"Ke...kenapa?"
"Ada pasirnya." Kian mengusapnya lembut dengan menatap mata dan pipiku bergantian.
Tangannya tiba tiba terulur menyelipkan anak rambutku ke belakang telinga. Wajah tampannya tidak luput dari mataku yang merekamnya dengan sangat baik.
Tuhan!!! Jika aku jatuh cinta lebih dalam aku pasti akan menyalahkan Kian atas kejadian ini. Tapi sayang dia tidak mungkin mau bertanggung jawab atas kelancangan hatiku berani mencintainya.
Dia tidak bertanggung jawab atas kegugupanku karena perhatian dan sentuhannya.
"Sha?"
Aku terkesiap lalu mundur dua langkah.
"Lo ngelamun? Di tepi pantai kayak gini?"
"Ishhh... Nggak lah."
"Habisnya Lo bengong kayak ketemu orang ganteng aja."
Sialan!!
Memang Kian itu ganteng. Kalau dia tidak mempesona mengapa aku repot repot menyembunyikan perasaanku sendiri.
Jika dia tidak mencuri hatiku mengapa aku repot repot move on lalu ber
"Gue takut Lo bakal sakit hati Sha.""Apaan sih? Kamu jangan main petak umpet dari tadi.""Kalau lo terluka gue nggak tanggung jawab.""Bukannya berani jatuh cinta juga harus berani patah hati?"Aku harus memancing Kian mengatakan hal yang sejak tadi aku wanti wanti.Iya, seperti aku mencintai Kian tapi juga harus siap menerima kenyataan jika dia tidak mencintaiku.Lalu aku sendiri yang merasa sakit hati karena belum bisa move on. Menyedihkan!Bukannya aku tidak bisa mencari penggantinya hanya saja hatiku masih terlalu nyaman mencintai Kian. Hingga aku tidak berpikir segera mencintai yang lain untuk melupakannya.Harusnya aku bersikap biasa saja. Agar bisa mencari pengganti Kian yang lebih baik."Ayolah Kian, katakan ada apa." Aku menarik narik bajunya."Apa Lo tahu.... kalau.... Alfonso dijodohkan?"Aku mengangguk lesu. "Alfonso udah cerita.""Lo sedih?"&nbs
Akhirnya aku memutuskan menunggu Kian istirahat sejenak sambil bertukar pesan dengan Alfonso. Kursi kemudi ia rebahkan lalu ia menutup mata dengan tangan kanan dipakai menutupinya. Tidak berapa lama ia tampak damai.Saat ia terlelap beginilah aku menggunakan kesempatan ini untuk memandangi wajah dan tubuhnya lekat. Kulit kuning bersihnya selalu cocok ketika disandingkan dengan kaos atau kemeja apapun. Juga tubuh tinggi dan seksinya pantas disandingkan dengan beragam celana jeans apapun yang membuatnya nampak seperti lelaki berusia 25 tahunan.Kian masih tidur di kursi kemudi yang direbahkan, jadi kuputuskan mengangkat telfon dari Alfonso."Halo Al?" Ucapku lirih sambil melirik Kian."Masih di pantai?""Heum. Dia lagi tidur.""Tidur?""Tidur di mobil. Lo jangan mikir aneh-aneh. Kian bilang lagi ngantuk makanya dia tidur bentar."Aku menoleh ke arah Kian yang masih terpejam.
Tidak ada yang lebih menyenangkan selain dihubungi lebih dulu oleh seseorang yang begitu kucintai, meski ia belum tentu mencintaiku juga. Mungkin aku terkena syndrome cinta buta dan tidak peduli jika kembali terluka.Bodoh!"Malam Kian." Jawabku malu malu."Pulang telat apa on time?""On time lah. Kamu itu yang telat mulu."Kian terkekeh. "Oh ya, udah terima undangan?"Aku tahu apa yang Kian maksud, karena undangan sialan itu baru datang tadi siang dan aku memasukkannya ke dalam tong sampah."Udah." Jawabku tidak bersemangat."Minggu depan lo datang kan?"Aku terdiam memikirkan jawaban yang tepat. Jika pergi kesana ha
ian tampak meladeni pertanyaan pertanyaan Firna yang begitu genit dan menyebalkan. Aku bukan kekasihnya tapi melihat kedekatan mereka seperti ini membuatku ingin mengatakan pada Kian agar tidak melakukannya terang-terangan di hadapanku.Aku masih sakit hati karena Affar lalu mengapa ia menambahnya dengan menunjukkan hal memuakkan ini? Ingin membunuh hatiku perlahan hingga aku krisis cinta?Karena eneg, aku memilih menjauh dari drama membosankan itu."Sha?" Panggilnya lalu aku menoleh.Saat Kian menghampiriku, Firna menatap kami tidak percaya. Jika dia bisa membuatku jengah dengan ucapan genitnya pada Kian, maka ini lah saat yang tepat menunjukkan betapa dekatnya kami.Aku bukan perempuan yang lemah apa lagi bisa diinjak injak, akan aku tunjukkan padanya jika Kian memberiku perhatian yang tidak kala
"Gue benci di posisi kayak gini."Siapa yang tidak terkejut diberi kejutan seperti ini? Elea datang lalu meneriaku seperti ini di hadapan banyak pengunjung. Aku kembali seperti perempuan perebut lelaki orang.Aku menoleh ke arah Elea dan Kian pergi. Mereka sudah hilang di balik tembok.Rasa sesak di dada masih saja menggelayuti. Bahkan ini lebih sakit dari pada tidak bertemu dengan Kian sama sekali. Kesedihanku lengkap hari ini.Jika aku tidak menerima ajakannya untuk menghadiri acara terlaknat anaknya Affar, mungkin aku tidak bertemu dengan Elea. Atau mengalami de Javu seperti ini.Tuhan, aku tidak meminta alur hidupku seperti ini."Kampret banget! Mimpi apa gue hari ini samp
"Tapi kini aku sadar, aku bukan lah kandidat terbaik. Bukan kandidat yang kamu dan keluargamu butuhkan." Tatapan Kian melunak.Lalu Elea melepas cengkeraman tangannya di kemeja Kian.Akhirnya Kian menggunakan logikanya, jika ia bukanlah sosok yang pantas bersanding dengan Elea.Benar kata Alfonso, bagi keluarga Elea, harta adalah yang utama. Aku mulai mempercayai kembali ucapan Alfonso, jika ia memang benar benar ingin menyelamatkan Kian dari patah hati yang mendalam."Sekarang jawab aku, apa kamu menerima Alfonso saat kita masih jalan kan?!""M....maksudnya?""Jangan pura pura nggak paham!" Kian menatap Elea tajam.
Begitu aku sudah di meja dengan pura pura memainkan ponsel, Kian datang dengan wajah emosi. Mengambil tas dan kunci mobilnya dengan kasar, meletakkan dua lembar uang berwarna merah di meja nongkrong lalu pergi. Tanpa basa basi aku pun mengikutinya pergi. Aku tahu ia sedang sangat marah dan kecewa. Sepanjang perjalanan hanya hening yang terjadi. Aku tidak berani mengajaknya ngobrol atau sebaliknya. Bahkan aku yakin jika Kian menyetir tanpa tujuan. Begitu sampai di taman hutan kota, ponsel Kian berdering. Itu dari Elea tapi Kian tidak mau menerimanya. Women quickly explode and soften. Perempuan akan bersikap demikian ketika marah, dia ingin dipuja puja kekasihnya ketika marah. Jika tidak demikian maka ia sendiri yang akan datang sambil mengucap kata maaf.
Hari sudah sore, acara kuliner yang dijanjikan Kian pun berakhir tidak menyenangkan. Lebih tepatnya amat sangat tidak menyenangkan!Aku menjadi saksi putusnya Kian dengan perempuan yang amat ia cintai. Lagi lagi aku berperan menjadi pihak ketiga, hanya saja kali ini hanya pura-pura. Padahal aku ingin menjadi lakon utama sebagai perempuan yang dicintai sungguh sungguh oleh Kian.Tapi sepertinya aku terlalu banyak bermimpi dengan mendapatkan hati Kian. Jika dulu aku pernah berkata pada Amelia jika tidak memiliki debaran hanya dengan melihat Kian, kini itu semua terbalik, aku sangat jatuh cinta padanya dan mengharapkan dia sepenuhnya. Bodoh? Iya, aku terlalu buta akan cinta hingga tidak bisa melepas bayangan Kian dari otakku.Apa aku sedih melihat Kian putus dengan Elea? Tidak sama sekali, malah aku bersor