Jarang sekali pria tertutup seperti Kian suka mencampuri urusan orang lain jika itu tidak benar-benar ada hubungan dengan dirinya. Tapi, bukankah aku ini kekasihnya? Bukankah wajar jika ia ingin tahu apa yang menjadi urusanku? Bahkan apa yang tengah aku bicarakan dengan sahabatku? Ah, apakah ini artinya Kian mulai mencintaiku? Mulai melihatku sebagai kekasihnya yang selalu ada untuknya? Jika benar demikian, aku amat sangat bersyukur dengan perubahan hubungan kami yang bergerak maju. "Inisialnya K." Setelah berucap, Kian berjalan mendahului kami tanpa rasa berdosa sama sekali.Mas Fajar dan Anjar menatap punggung Kian dan wajahku bergantian. Aku membuka tangan perlahan yang menutup wajah sembari mengintip Kian yang berjalan meninggalkan kami seusai berkata demikian."Lo ada hubungan apa sama Pak Asmen sampai dia tahu inisial duda lo Drey?" Tanya Mas Fajar."Wiiih Audrey keren mas, dia bisa bikin Pak Asmen kepo sama urusan dia." Imbuh Anjar."Emang duda punya lo tuh saudaranya Pak A
Setelah obrolan konyol antara aku, Anjar, dan Mas Fajar karena ulah Kian, kami kembali ke kubikel masing-masing. Aku berpesan pada mereka berdua untuk tutup mulut dengan iming-iming akan memberi tahu siapa duda kesayanganku suatu saat nanti. "Awas lo berdua sampai nyeplos kalau Ki...ah maksudku Pak Asmen nyamperin gue. Itu tadi gue yakin cuma candaan." "Lo yakin Drey nolak cowok sekeren, seganteng, dan semapan Pak Asmen? Nggak nyesel lo?" "Ck...udah deh Njar, gue nggak mikirin Pak Asmen. Gue mikirin cowok gue aja." "Apa Pak Asmen kurang bernilai sampai lo nggak tertarik?" Aku menonyor kepala Anjar. "Diem!" Hubunganku dengan Kian tetaplah harus disembunyikan. Aku tidak mau mendapat teguran dari HRD atau mendapat cemoohan dari rekan kantor yang lain sebagai perempuan penggoda, perempuan tidak tahu diri, anak emas atasan, gadis simpanan, dan sebagainya. My beloved Kian (A) : Katanya ada urusan? Kok makan siang sendirian di kantin? (K) : Urusannya b
"Kalian tata dulu. Gue ke atas. Mau mandi." "Oke mas bos." Sebenarnya, aku ingin tahu lebih dalam tentang ucapan anak buah Kian yang mengatakan bahwa aku adalah kekasihnya yang baru. Apakah Kian sering membawa kekasihnya kemari? Hingga anak buahnya mengerti dengan pasti?Tanpa bisa bertanya, aku pun ikut naik ke lantai atas. Sedang kedua anak buahnya malah tertawa cekikikan. Di lantai dua ada banyak kotak kaca aquarium yang kosong, berbagai perlengkapan merangkai aquascape. Ada sebuah sofabed besar, home theatre mini, heater, beberapa bahan minuman ringan lengkap dengan sendok garpu, bahkan kulkas mini. "Sha?" Teriak Kian di dalam kamar mandi."Apa?" "Ambilin baju ganti gue di mobil."Bayanganku kembali dengan kejadian saat kami di Jogja. Dia tidak menyuruhku mengambilkan celana dalamnya juga kan? "Baju aja kan Kian?" "Iya." Selesai memberikan baju yang Kian minta, aku membuat secangkir kopi hitam untuk diriku sendiri. "Bikin apa Sha?" Tanya Kian yang baru keluar dari kamar m
Kian mengambil lap yang kubawa lalu meletakkannya asal. Tatapan teduhnya mampu menghipnotis bahkan seketika pandanganku hanya dipenuhi dirinya saja. Seolah poros kehidupanku yang baru hanya akan bermuara padanya.Tangan kirinya mulai menarik pinggangku mendekati tubuhnya yang tinggi. Dan tangan kanannya perlahan membelai pipiku dengan wajah dimiringkan ke kanan. Lalu tatapannya seperti memindai seluruh wajahku ke dalam panglihatannya dan berakhir di bibirku. Pandangan Kian membuat dahaga di sanubariku berteriak meminta pelepasnya. Kian, dia wujud lelaki sempurna penghapus dahaga kaum hawa yang lemah akan cinta sepertiku. Menikmati ciuman dan belaian darinya seperti membuat oase di tengah gersangnya padang pasir.Demi apapun, setiap tatapan teduh matanya seolah memiliki mantra pengendali jiwa ragaku, apapun yang ia lakukan pada ragaku selalu saja tidak ada penolakan. Kian mulai mendekatkan wajahnya dengan aku masih menikmati belaian lembut jemari seksinya di pipiku. Astaga Tuhan, ini
Kian menggeleng dengan suara berbisik. "Nggak usah takut. Kita udah pernah ngelakuinnya kan?"Aku masih menahan dada Kian, lalu tangan kanannya meraih tanganku perlahan kemudian mencium telapak tanganku dengan kecupan sensual penuh godaan. Betapa panasnya dudaku satu ini. Dia pandai menyembunyikan wujud aslinya dibalik sosok tegas dan killer yang terihat seperti tidak memiliki keinginan untuk sekedar jatuh cinta. "Awalnya pasti sakit, tapi nggak akan sesakit kemarin Sha.""Kian, aku ---""Gue janji bakal pelan-pelan."Dengan cepat Kian melepas kemaja berikut pakaian dalamku. Negosiasi yang kukira akan membawa perubahan, nyatanya tidak menyurutkan keputusan Kian untuk menyatukan tubuh kami kembali. Dia sudah berkabut gairah dan tidak menginginkan hal lain lagi selain merengkuh kenikmatan bersamaku di malam itu. Dan mulailah penjelajahan kami di malam itu. Aku gagal menghentikan nafsu Kian yang telah menggulung bak ombak pantai laut lepas dan gagal membendung hasratku sendiri.Malam i
"Let's make out on the table." Kian mengendikkan dagunya ke arah meja yang tidak jauh dari tempat kami berdiri. Aku sedikit menoleh ke arahnya yang memelukku dari belakang sambil memikirkan ucapannya dengan 'melayaninya' di atas meja. 'Memang bisa? Yang bener aja?' Batinku bertanya. Karena sejauh ini yang kutahu tempat terbaik untuk bercinta adalah di atas ranjang, bukan di atas meja. Atau jaman sudah bergeser dengan menjadikan meja sebagai tempat bercinta? Atau aku yang ketinggalan jaman?"Tapi ---"Belum sempat aku memprotes keinginannya yang tidak bisa kumengerti sama sekali, Kian sudah membawa tubuhku ke atas meja. Dia mencium leherku sembari membaringkan tubuhku perlahan-lahan dengan tangan kirinya menahan punggungku dan tangan kanannya bertumpu pada meja untuk menahan tubuh kami.Setelah mendapatkan gairahku, tanpa malu-malu Kian membuka lebar kedua kakiku dan kembali mengajariku cara bercinta yang luar biasa. Dan benar saja, di atas meja pun kami bisa melakukan itu tanpa kes
Kian menatapku dengan pandangan yang sama seperti tadi malam. Kini ia setengah memelukku di dalam lift dengan kami saling berpandangan. Bohong jika aku tidak terhipnotis dengan wajah tampannya yang terlihat lebih tampan sehabis mandi dan mencukur jambang tipisnya. Juga sepasang mata tajamnya yang terlihat teduh ketika menatapku. Bukan tatapan intimadatif yang membuatku kabur tulang langgang. Kian makin mengeratkan rengkuhannya di pinggangku saat lift merangkak ke lantai 6. "Kian kamu mau apa ke lantai 6?" Kian memajukan sedikit wajahnya hingga hidungnya menyentuh hidungku pula. "Menurut lo?" Aku meneguk ludah kasar ketika bibirnya tepat berada di depan bibirku. "Kian, kita mestinya masuk ke tempat masing-masing. Kita kan udah telat." "Gue tahu. Tapi masa bodoh." Aku tidak percaya jika Kian bisa menepikan apapun demi sesuatu yang bernama 'nafsu'. Ah...aku lupa jika lelaki memiliki dua otak. Satu di atas dan satu di bawah. Aku bergerak sedikit agar Kian melepas peluk
'Dudaku nakal dudaku binal.'Tawaku menguar setelah mengganti nama Kian yang tersimpan di kontak ponselku. Ada-ada saja. Tentu!Kejadian semalam saat di ruko, lalu menjelang pagi, dan ditambah di lantai 6 kantor cukup memberiku gambaran betapa beringasnya Paralio Kian Mahardika. Arsitek kesayanganku yang telah lama kupuja dan kucintai. Dia tenang, tegas, dan killer namun panas. Ouwh... andai Anjar tahu betapa kuatnya Kian di ranjang hingga aku kewalahan karenanya. "Kenapa lo Drey ketawa sendirian?" Celetuk Anjar. Lalu senyumku berganti wajah serius di depan laptop. "Duda lo minta jatah lagi?""Konyol. Siapa juga sih Njar yang cipokan?""Nah tuh tuh tuh." Anjar membuka sedikit kemejaku dengan tiba-tiba hingga posisi kami nampak seperti hendak bercinta. "Njar!" Aku menahan tangannya bersamaan dengan Kian yang kini berjalan melewati kubikel kami hendak memasuki ruangan Bu Fatma. Pandangan kami bertemu juga dengan Anjar yang terlihat seperti sedang nafsu padaku. Sialan! Aku tidak ma