Kian menyodorkan air mineral yang sudah dibuka tutupnya dan roti sobek yang lezat. Setelah menandaskan roti itu kami segera masuk pesawat karena sudah mendekati jadwal take off. Satu hal yang aku tahu sejak check in, bahwa seat-ku dan Kian berbeda. Itu adalah hal membuatku kurang senang padahal aku ingin sekali bersebelahan dengannya. Dia bukan kekasihku tapi aku seperti ingin membari tali pada tubuhnya agar selalu dekat denganku, begitu juga sebaliknya. Di dalam pesawat, ia duduk bersebelahan dengan seorang perempuan yang lebih dewasa dariku. Jujur terbersit rasa cemburu dan malas melihat mereka berdua terlibat obrolan kecil yang nampak menyenangkan. Menyebalkan! 'Sama orang lain supel. Sama gue galaknya amit-amit!' Kesalku dalam dada. Sayup-sayup suara mereka berbincang terdengar so sweat. Tapi hal itu seperti anak panah yang menghunus telingaku. Aku berkali kali mengubah posisi duduk agar lebih nyaman untuk mengusir kegalauan. Lebih kesal lagi, perempuan yang duduk bers
"Nih kartu kamar lo." "Makasih." "Nanti jam 2 kita langsung ke lapangan." "Oke." Lalu kami menuju kamar masing-masing dengan barang bawaan masing-masing. Namun ada satu lokasi yang sempat mencuri perhatianku karena keelokannya. Kolam renang. Mungkin setelah pekerjaan ini selesai aku bisa berenang disana merasakan sejuknya air yang terlihat jernih dan biru itu. Untuk melepas penat setelah lelah bekerja. "Kamar lo sebelah sini, menghadap parkiran. Kalau kamar gue ada disebelah sana langsung menghadap kolam." "Yah kok kamar kamu enak sih Kian?!" "Ya kan gue minta upgrade tadi." Aku berdecak sebal. "Banyak duit yah enak mau apa aja bebas." Kian terkekeh. "Kalau lo mau, langsung aja nyebur kolam utama yang ada di luar itu." "Enakan kamu lah ada private pool-nya." Kian terkekeh. "Makanya rajin kerja biar dapat bonusan." Setelah selesai menata baju dan barang-barangku di lemari kamar hotel, kami menuju lokasi proyek sekalian membeli makan siang. Kini, kami sudah ada di l
Tidak ada yang lebih membahagiakan selain bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan lancar. Tapi kadang keinginan customer membuat kepalaku berdenyut nyeri jika harga material yang diminta harus tidak terlalu mahal namun bagus. Aku menjelaskan pada Pak Sam jika kedua supplier yang kudatangi kemarin memiliki harga penawaran yang sama pada setiap materialnya. "Menurut saya itu adalah penawaran standard pak. Kalau mau mencari yang dibawahnya lagi saya tidak bisa jamin besok kita akan selesai." "Benar-benar tidak ada harga yang lebih murah lagi ya mbak?" "Sepertinya itu sudah standard semua supplier pak. Kalau menurut saya itu saja sudah bagus." Pak Sam masih memperhatikan berkas-berkas lamaku yang penuh dengan coretan untuk memberi keyakinan diri material dari supplier mana yang harus ia pilih. "Ya sudah kalau begitu. Tolong buatkan rincian yang baru dengan supplier kemarin saja ya?" Ingin rasanya aku melompat ke dasar laut andai Pak Sam tahu. Aku membuatnya dengan susah pa
Kian adalah pria yang terkenal perfeksionis, tidak suka mencampuri urusan orang lain apa lagi bawahan biasa sepertiku. Bahkan selama mengenalnya, dia tidak pernah bertanya tentang hubunganku dengan Affar lebih jauh padahal ia mengetahui secuil kedekatan kami. Kini, mengapa ia mendadak ingin mengetahui hal yang aku sendiri tidak tahu apa jawabannya. Aneh!!! "Sejak kapan lo kenal Wildan?" Tanyanya ketika kami sudah di dalam rumah makan. "Sejak kapan? Kenal aja tadi." Jawabku polos. "Jangan bohong lo." Tatapan tajamnya membuatku terintimidasi. "Lah? Bohong ngapain? Emang aku bakal dapat uang apa bohongin kamu?" "Kenapa lo senyam senyum waktu dicocok-cocokin sama dia? Lo naksir?" Aku terkejut dengan tuduhannya. "Heeeh? Ngaco kamu." "Tadi udah pedekate express kan?!" "Kamu pikir Wildan kurir apa?" "Lo belain banget ya?" Aku membelalakkan mata tidak percaya. "Lah emang kita kenal aja baru tadi. Lalu pedekate express yang gimana maksud kamu?" Pertengkaran kami mirip orang pac
Menyerah mencintai Kian di saat yang tepat adalah hal yang kunanti-nantikan. Menggunakan perasaan dan kebaikan hati Wildan untuk membantuku bisa berpaling dari Kian. Konon kata orang, cara move on terbaik adalah dengan mencoba mencintai orang lain. Tapi, Kian seolah menghalangi usahaku. 'Apa maunya duda sialan ini?!' Gerutuku dalam hati. "Kenapa nggak minta tolong gue? Baru aja gue pulang dari minimarket. Beliin lo cemilan tadi." Aku melongo mendengar itu. Sejak kapan Kian begitu baik padaku alih-alih perhatian membelikan cemilan. Padahal kami baru saja berdamai dan aku tidak mengatakan apa yang menjadi kesukaanku. Perhatian Kian membuatku bahagia tapi juga membuatku bingung. Saat aku berniat move on dengan belajar membuka hati untuk Wildan, malah Kian datang membuyarkan. "Jadi? Mau gue antar atau sama Wildan?" Kian menunjuk keberadaan Wildan dengan dagunya. Ia baru saja datang lalu memarkir kendaraannya. Ia nampak begitu siap dengan pakaian santainya malam ini begitu juga deng
Kian, pria dewasa yang menyandang status duda. Sifat pemaksa dan dominan begitu erat melekat dalam sosoknya. Setelah berhasil memojokkanku dengan dalih laporan keuangan yang kukerjakan belum selesai, detik itu juga Wildan terpukul mundur. Juga, aku tidak siap jika harus berurusan dengan amarah Kian jika berani membantah. Dia baik atau dia jahat padaku hasilnya akan tetap sama. Aku selalu terluka. Padahal aku sedang berusaha move on meninggalkan segala kenangan tentangnya dengan belajar membuka hati untuk Wildan. "I....iya." Teriakku. Akhirnya aku kembali mengalah atau Kian akan membuka paksa pintu kamarku dengan berbagai cara. Dia orang yang cerdas, kritis, dan menyebalkan. Buru-buru aku merapikan penampilan barangkali ada sehelai rambut yang tidak mendukung. Lalu membuka pintu perlahan dan mengintip. "Ngapain ngintip segala? Ayo keluar katanya mau beli paketan." Aku mengangkat kedua alis tidak percaya lalu tersenyum kikuk. "Wildan, gimana?" Cicitku. "Udah selesai." J
Aku berpikir memberi jawaban terbaik tentang harapanku di lorong harapan ini. "Em.... Keluargaku sehat. Kerjaku lancar. Rezekiku banyak. Jodohku orang baik. Itu mungkin." "Ya udah." Aku melemas mendengar jawaban Kian yang tidak mengasyikkan. "Kalau kamu?" "Gue nggak ada harapan." Aku berdecak kesal. "Kalau nggak ada harapan itu artinya mau mati." "Ayo foto sekali lagi." Kian mendekat dan mengacak rambutku. Cekrek! "Duh Kian, rambutku berantakan dodol!" Kian tertawa puas lalu meninggalkanku. Aku berlari mengejar dan balik mengacak rambutnya lalu menggelitik pinggangnya. "Rasain ya!" "Ampun Sha!" Pekiknya sambil tertawa. "Nggak ada ampun!" Setelah puas bersenang senang di lorong harapan, kami mengunjungi rumah hantu dan mencoba becak mini yang dipenuhi lampu warna warni. Sembari bersenang senang, aku terus menahan ledakan bahagia saat bersamanya demi menjaga perasaan agar tidak sedih sendiri. Kian ingin bersenang senang denganku, bukan mencintaiku. Jika Kian tidak
Ada debaran tidak jelas ketika Kian melihat Audrey berpakaian begitu minim dengan menampilkan paha ramping kuning mulusnya. Juga dengan pakaian berlengan pendek. Kaum hawa selalu memiliki daya tarik kuat untuk membuat para kaum adam terpesona diam-diam hingga tidak bisa berkata apa-apa. Kian, dia hanya pria biasa, seorang duda yang telah lama 'puasa' dengan tidak pernah merasakan apa itu surga dunia. Dia bukan duda sembarangan yang menjajakan hasratnya pada wanita jalang yang haus rupiah. Melainkan pria terhormat dengan harga diri dijunjung tinggi. Tapi, Audrey mulai merobohkan pertahanannya perlahan tanpa disadari. Kian berada di lokasi proyek dengan Pak Sam untuk menunjukkan hasil desain terbarunya. Lalu Pak Sam mengangguk puas dengan hasil revisi design bestek itu. Pak Sam tidak sendiri, ada Wildan yang selalu setia mengikuti sang bos kemanapun pergi. Kian mendadak sangat tidak menyukai Wildan bahkan saat ketiganya membahas kelanjutan desain proyek untuk tiap lantai mall, Kia