"Bagaimana, Lun?" Luna yang baru saja keluar dari perusahaan terkejut akan kedatangan Alan. Luna memijit kedua pelipisnya, meskipun begitu tidak bisa menghilangkan denyut yang mendera kepalanya ini. Alan terus mengganggunya sejak kehilangan kontak dengan Amira. Luna saja juga tidak tahu dimana keberadaaan sahabat satu-satunya itu, seakan-akan Amira lenyap ditelan bumi. Luna sangat khawatir dengan keadaan Amira saat ini, sudah dua hari sahabatnya itu menghilang. Di kantor pun sudah tertera izin cuti tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan Luna. "Aku juga tidak tahu, Lan." Luna menghela napas, dia merogoh tas untuk mengambil ponsel. Siapa tahu Amira telah mengiriminya pesan. Namun, saat dilihat tidak ada satu pesan pun dari Amira. "Aku juga mencarinya, tetapi teleponku saja tidak diangkat." Luna menghela napas berat, dia takut terjadi sesuatu dengan Amira."Apa dia diculik?" Alan memasang raut khawatir membuat Luna geli melihat wajahnya. "Yang benar saja kamu, Lan.""Atau dia dicu
"Untuk apa kamu ke sini?" Hari masih pagi, sinar matahari pun masih sembunyi-sembunyi untuk menampilkan kegagahannya. Alan menghela napas berat saat melihat Bram di depannya. Padahal sebelumnya dia telah berdoa agar dijauhkan dari hari buruk. Melihat Bram serasa dunianya saat ini menghitam.Bram pun menampakkan ketidaksukaannya terhadap Alan. Dua pria yang dulunya saling berteman baik menjadi musuh karena seorang wanita, ya...siapa lagi kalau bukan Amira wanita yang mereka sukai secara bersamaan. "Bukan urusan kamu." Bram membalas pertanyaan Alan dengan ogah-ogahan. Dua mobil mereka saling berhadapan, Alan dan Bram duduk di bagian depan mobil mereka dan sedang menunggu sesuatu. Alan menatap rumah kontrakan Amira, terlihat sangat kotor akibat debu-debu yang menempel di lantai. Bunga-bunga di halamannya pun sangat layu. Alan berpikir jauh bahwa Amira tidak pulang ke rumah ini. Lalu, di mana Amira? Paman, bibi, dan Luna pun tidak tahu di mana keberadaan Amira. "Tidak mungkin, dia...
"Aku tidak mau tahu, pokoknya harus dirawat."Suara yang sedikit lantang itu membuat banyak pasang mata memandang heran ke arah Luna. Bagaimana dia tidak khawatir jika sahabat satu-satunya pingsan dan terjatuh dari bis? Luna tidak ingin ada cedera serius pada Amira. Namun, Amira menentang keras keinginan Luna tersebut. Dia sadar sebelum sampai di rumah sakit. Luna menangis histeris, suaranya yang cempreng itu membangunkan Amira dari pingsannya. Bikin malu saja. Amira ingin sekali membekap mulut Luna, sayangnya tangan kirinya terpasang jarum infus sehingga tangannya terasa kebas dan sakit. "Aku bilang kalau aku baik-baik saja. Tidak ada luka-luka di tubuhku, kepalaku, atau wajahku." Amira meraba seluruh tubuhnya agar Luna percaya. Amira tidak ingin dirawat di tempat yang berbau obat-obatan ini. "Kamu itu sakit, AMIRA!" "Aku akan panggilkan dokter untuk memeriksamu secara menyeluruh. Kalau perlu kita lakukan saja CT Scan, tes MRI atau semacamnya lah."Amira menarik ujung kemeja Lun
Layaknya seorang ratu, semua kebutuhan Amira dipenuhi oleh Alan. Bahkan Amira tidak diperbolehkan turun dari tempat tidur. Amira menebalkan hatinya, dia hanya bersikap biasa-biasa saja padahal kedua pipinya beberapa kali bersemu merah. "Dia pintar sekali membuatku tersipu malu," ucapnya lirih saat Alan pergi dari kamar untuk mengambilkan Amira air minum.Pantas saja Amira sangat jatuh hati terhadap Alan, pasalnya pria itu sangat pintar mengambil hatinya. Hanya segelas air saja mampu membuat Amira jatuh cinta kembali kepada pria itu. Kata-katanya terlalu manis sampai Amira tidak bisa membedakan dunia nyata dan kehidupan dongeng. Kisah cintanya terlalu abu-abu untuk saat ini. "Kamu butuh apa lagi?" tanya Alan sembari menaruh gelas bening di atas nakas tempat tidur. Amira hanya menggelengkan kepala. Selepas minum obat kedua matanya sangat berat untuk terbuka. "Ya sudah kalau begitu tidur saja. Kamu harus banyak istirahat," ujar Alan lembut. Amira menurut, dia memejamkan kedua matany
"Apa benar kamu baik-baik saja?" Alan membuntuti ke manapun Amira pergi. Amira menghela napas panjang, dia menghentikan langkahnya saat sudah berada di ruang tamu. Alan pun turut berhenti tepat di belakang sang istri. Amira membalikkan badannya, lalu menatap serius wajah Alan yang terlihat sangat khawatir padanya. "Aku baik-baik saja, Mas. Lihat aku sudah lebih kuat dari pada kemarin. Jangan melihatku seperti anak kecil, okay." Amira menyelempangkan tasnya. Jika berlama-lama di atas tempat tidur rasanya akan lebih sakit. Amira lebih suka bergerak dan bebas melakukan apapun dari pada bermalas-malasan di rumah. Apalagi saat ini dia ada di rumah yang tidak ingin ia tempati. Alan tidak membiarkan Amira begitu saja untuk pergi bekerja. Dia mengambil kunci mobil dan menyusul Amira yang sudah ada di halaman rumah. Alan menarik lengan Amira sampai wanita itu memekik karena bertubrukan dengan dada bidang Alan. "Ahh ada apa lagi, Mas?" Amira semakin jengkel dengan sikap antusias Alan. "Ak
Amira tidak bisa tidur karena membaca sebuah pesan masuk yang dikirimkan ke ponsel suaminya. Pasalnya, bukan hanya satu kali ataupun dua kali, melainkan pesan itu dikirim hampir setiap hari membuat Amira takut setengah mati. [Jangan lupa beli susu untuk anak kita, Mas.] Begitulah kiranya salah satu pesan yang masuk ke dalam ponsel Alan, suami Amira. Saat membacanya tangan Amira bergetar hebat. Namun, Amira berusaha menepis pikiran buruk di otaknya. Dia berpikir bahwa pesan itu dari orang iseng karena tidak ada nama yang tercantum. Bahkan, Alan tidak pernah membalas pesannya. Hingga jam satu malam Amira tetap terjaga karena memikirkan pesan masuk itu. Amira beringsut dari ranjang, dia bangkit menuju kamar mandi yang ada di pojok kamar. Amira membasuh wajahnya dengan air. "Tidak mungkin Mas Alan mengkhianatiku. Kita baru menikah tiga bulan," lirih Amira menguatkan hatinya. Tangis Amira lepas saking sesaknya. Alan sangat mencintainya, begitupun Amira. Setidaknya itu yang Amira ta
Sudah jam dua belas siang Amira bolak-balik mengecek ponselnya yang sunyi tanpa kehidupan. Sejak kepergian Alan tadi malam, pria itu tidak bisa dihubungi. Amira meraih ponselnya, dia berpikir akan ada satu pesan dari sang suami ternyata hasilnya nihil. Amira mendesah panjang, dia bangkit dari tempat duduknya. Lebih baik dia mengisi perutnya yang mulai lapar. Seperti biasa Amira ditemani Luna-sahabatnya menuju kantin perusahaan. "Ada apa denganmu? Sejak tadi pagi wajahmu ditekuk seperti itu," tanya Luna mulai kesal dengan sikap Amira. Amira menggelengkan kepala sekaligus menghela napas panjang. "Tidak ada," katanya. "Kalau tidak ada masalah, kenapa napasmu berat seperti itu? Kamu tidak bisa membohongiku." Jari telunjuk Luna teracungkan tepat di depan wajah Amira. Sekali lagi Amira menghela napas panjang dan kini lebih berat. "Oh ayolah." Luna sampai memutar bola matanya dengan malas. Dia menahan langkah kaki Amira agar mau menceritakan masalah yang membuat Amira murung. "Nanti sa
Alan mengambil jas dokternya pada sandaran kursi. Dia tidak ingin membuat Amira menunggu lama. Alan tahu akan kesalahan yang telah diperbuatnya saat ini, membuat Amira menunggu dan tidak memberi kabar apapun sejak tadi malam. Alan terpaksa melakukannya, bahkan ponselnya sengaja ia matikan agar aktivitas dan perbuatan yang dilakukannya saat ini tidak diketahui oleh istrinya tersebut. Alan menghembukan napas resah, dia bergegas menuju lobi rumah sakit. "Mas, mau ke mana?" tanya seseorang yang tengah berbaring di atas ranjang pasien. Tangan Alan pun ditarik olehnya membuat pria itu menoleh sejenak. "Aku harus pergi, Amira menungguku," jawab Alan dengan raut wajah khawatir. Detik itu juga cekalan pada tangan Alan mengendur. Setelah kepergian Alan, hanya ada Sandi dan orang itu saja di kamar pasien ini. Sandi kebingungan, dia seperti manusia yang tak tentu arah. Entah perbuatannya ini benar atau justru akan membuat seseorang terluka, yang pastinya dia telah memegang suatu rahasia besa