Sesuai perkataan Amira sebelumnya, dia mendatangi rumah sakit dan menyerahkan surat gugatan cerai kepada Alan. Amira datang tanpa memberi kabar dan masuk begitu saja ke dalam ruang kerja Alan. Saat ini di ruangan Alan tidak hanya pria itu, tetapi ada Sandi dan juga Dokter Salma yang sepertinya sedang membahas sesuatu yang serius. Mereka juga sangat terkejut dengan kehadiran Amira yang tiba-tiba. Alan berdiri dari duduknya dan menghampiri Amira. Map berwarna cokelat digenggam erat oleh Amira. Alan pun juga melihat Amira dengan wajah tegasnya yang saat ini membawa map itu, dapat dilihat bahwa Alan saat ini tampak ketakutan. "Sayang, ada apa kemari?" tanya Alan gugup. Saat hendak meraih tangan sang istri, Amira mundur dua langkah. Degup jantung Alan berdetak tak karuan, dia bisa membaca situasi saat ini. Amira memandang Sandi dan Dokter Salma secara bergantian, lalu setelahnya menatap Alan dengan serius. Alan berusaha tersenyum walau perasaannya mulai tidak enak karena map yang dibawa
Alan yang berada di ujung pintu mengusap wajahnya kasar. Dia mendengar pembicaraan Amira dengan ibunya. Semuanya sangat kacau, Alan tidak bisa menghentikan Amira untuk tidak berpisah darinya. Tangis Amira menjadi-jadi setelah menelepon orang tuanya. Niat untuk mengemas barang akhirnya tertunda karena dadanya begitu sesak. Amira menepuk-nepuk kedua pundak untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia baru merasakan tangis yang begitu menyesakkan, karena orang yang dicintainyalah yang membuatnya terluka. "Sayang." Alan tiba-tiba datang dan memeluk tubuh Amira yang jatuh ke lantai. Alan memeluknya sangat erat, pria itu juga mengeluarkan air mata kesedihan karena melihat Amira yang menangis pilu. "Lepasin, Mas." Amira memberontak pelan, tenaganya sudah terkuras habis. "Maafkan, Mas." Alan mengecup puncak kepala sang istri yang terbalut hijab. Keduanya pun menangis deras menyalurkan kesedihan masing-masing. Seujung kuku pun tak ada niatan bagi Alan untuk mendua, tak pernah terbesit unuk
Lima menit yang lalu Salma dijemput oleh suaminya dan lebih dulu meninggalkan restoran. Sedangkan Amira memilih menetap sejenak sambil menghabiskan cokelat hangat yang sebelumnya telah dipesan.Setelah dirasa bosan berdiam diri di restoran, Amira bangkit hendak pulang ke rumah. Pikirannya berkecamuk antara kembali ke rumah Alan, atau pergi menginap disuatu tempat. Alan tidak akan mengizinkannya pergi dari rumah, tetapi Amira tidak mau lagi serumah dengan pria itu. Amira sibuk dengan pikirannya sendiri sampai tidak sadar bahwa Alan kini berada di depannya. Alan menghadang tubuh Amira dan berdiri begitu saja di depannya. Amira menabrak Alan bahkan hampir terjatuh. Untung saja Alan siap tanggap dan meraih tubuh Amira. "Mas Alan?" Amira melepaskan diri dari rangkulan sang suami. "Mas ngapain di sini?" tanyanya kebingungan. Entah sejak kapan suaminya itu berada di daerah restoran. "Oh... Mas buntutin Amira, ya." Amira menuding kesal, dia tidak menyangka jika Alan sampai mengikuti Amira
Perselingkuhan dan proses perceraian membuat kepribadian Amira berubah total. Amira menjadi lebih pendiam, bahkan di kantor dia memilih menyendiri dan menetap di bilik meja kerjanya. Luna berusaha membujuk sahabatnya itu, tetapi Amira hanya menggelengkan kepala saat Luna mengajaknya bicara atau pergi ke kantin saat jam istirahat. Hanya Luna yang tahu masalah yang dihadapi oleh Amira, meskipun rekan-rekan kerja yang lain penasaran dengan keadaan Amira, Luna tidak memberitahu mereka sedikitpun. Kali ini Luna berusaha lagi membujuk Amira untuk pergi ke kantin. Sudah kedelapan kalinya Amira menolak ajakan Luna. Meskipun lelah, Luna tidak menyerah dan terus menarik lengan Amira untuk pergi bersamanya. "Tidak, Lun. Aku bawa bekal," kata Amira dengan nada sendunya. Luna menggeleng keras, dia tidak ingin sahabatnya itu berlarut-larut dalam kesedihan. Karena itulah dia ingin membuat Amira bersemangat lagi. "Kalau begitu aku tidak mau makan jika kamu tidak ikut ke kantin," rengek Luna dan
“Berani-beraninya kamu muncul di hadapanku,” teriak Luna bersiap-siap melayangkan tasnya ke tubuh Alan. Secepat kilat Amira berlari menghampiri Luna dan memeluk sahabatnya itu dari belakang. Alan pun mundur beberapa langkah untuk menghindari Luna. Banyak pasang mata yang kini menyaksikan pertengkaran Luna dan Alan. Mereka terlihat seperti anak kecil yang sedang berebut mainan, lalu bertengkar saat ini. Tak lupa, Amira juga membekap mulut Luna agar wanita itu tidak lepas membocorkan tentang perceraian Amira dan Alan. Kalau sudah emosi dan marah seperti sekarang ini, apapun yang ada di otak Luna akan keluar begitu saja dan bisa saja sahabatnya itu kelepasan membocorkan kepada semua orang. “Luna malu dilihat banyak orang,” kata Amira berusaha menenangkan sahabatnya itu. “Ti... emm pemm am....” Luna berkata tidak jelas karena Amira membekap mulutnya. Luna menepuk punggung tangan Amira dan meminta untuk dilepaskan, tentu saja Amira tidak akan melepaskannya. "Tidak akan sebelum kamu
Kini mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu. Alan yang menuntun sang ibu untuk duduk di sebelahnya, sedangkan Amira duduk pada sofa lain yang berseberangan dengan sofa yang kini diduduki Alan dan ibunya. Sejujurnya Amira masih syok dengan kehadiran ibu mertuanya. Amira hanya menelepon dua hari yang lalu dan mengabarkan tentang perceraian ini. Sejak saat itu Amira belum siap untuk bertemu dan meminta maaf secara langsung kepada keluarga Alan. Namun, kedatangan ibu Alan membuat Amira lebih sakit hati."Amira, kamu sudah dewasa. Mengapa masih berpikiran seperti anak-anak?" tanya Ratna ketus sekali, Amira termenung lebih tepatnya ingin mendengar lebih jauh ungkapan dari ibu Alan. "Kayla saja tahu bahwa Alan menikahi kamu, dia tidak marah, dia tidak menggugat apapun. Mengapa kamu tidak bisa menerima seperti Kayla?"Deg...Dibandingkan seperti itu membuat batin Amira bergejolak kembali. Amira tidak suka dibedakan dengan orang lain, apalagi dibandingkan dengan wanita yang telah merebut Al
Pintu kamar dibuka, saat terdengar suara langkah kaki, Amira semakin memejamkan kedua matanya. Alan memeluknya dari belakang, tetapi Amira segera menepis tangan suaminya itu. Amira bangkit, dia menatap sinis wajah Alan yang tampak memelas. Alan meraih tangan Amira, dia merasa bersalah atas perkataan sang ibu yang menyakiti perasaan Amira. Amira memang pantas marah besar tehadap Alan, selain perbuatan Alan yang tidak bisa dimaafkan, sekarang ditambah dengan ibu Alan yang tidak bisa memahami perasaan Amira.Alan pun juga terkejut dengan sikap sang ibu yang menyalahkan Amira atas retaknya rumah tangga mereka ini. Alan sadar dan mengakui kesalahannya, tetapi tidak dengan sang ibu yang justru membelanya di depan Amira. "Maaf." Satu kata itu yang berhasil keluar dari mulut Alan. Amira memutar bola matanya malas, maaf dan maaf yang selalu Aln ucapkan. Kata maaf tidak akan mengubah keadaan, justru membuat Amira semakin lelah dengan masalah yang mereka hadapi ini. "Maaf, maaf dan maaf teru
"Perjanjian apa maksud kamu?" Alan ikut bangkit setelah mendengar kata perjanjian yang diucapkan sang istri. Amira berjalan menuju koper yang teronggoh dengan tenang di samping lemari. Kontan Alan membulatkan mata karena Amira menyeret kopernya yang berat. Amira belum membongkar ataupun mengeluarkan semua isi yang ada di dalam koper, dia berpikir jika sewaktu-waktu harus pergi dari rumah ini tidak perlu repot-repot mengemas barangnya lagi. "Tidak. Jika kamu berpikir untuk pergi dari rumah ini, Mas tidak akan pernah mengabulkannya," kata Alan seraya menggelengkan kepalanya. "Oke." Amira memutar bola matanya jengah.Amira mengambil bantal dan selimut cadangan yang ada di dalam lemari. Alan mengerutkan dahinya tidak paham dengan apa yang akan dilakukan oleh sang istri. Amira berpikir dan memutuskannya sendiri tanpa berunding dengan Alan. "Perjanjiannya adalah kita pisah ranjang dan pisah kamar," ujar Amira mengungkapkan keinginannya. "APA?" Tanpa menunggu jawaban dari Alan, Amira