Share

Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!
Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!
Author: Alita novel

Bab 1

Author: Alita novel
last update Last Updated: 2024-04-04 16:40:02

Cklek

“Apa yang kamu lakukan mas?” Teriakku kaget melihat kamar yang sudah seperti kapal pecah.

Baju sudah berhamburan di atas tempat tidur. Bahkan di lantai. Make up yang seharusnya tertata rapi di atas meja rias sudah berantakan. Sementara suamiku, Mas Aksa masih sibuk mengobrak-abrik lemari. Seperti kesetanan saja.

“Dimana kamu menyimpan uang tabunganmu itu Nia?” Mas Aksa justru balik bertanya padaku. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Seolah dia sedang mencari hartanya yang sudah di curi. Padahal tabungan yang ia maksud berasal dari pendapatanku mengelola warung.

“Kenapa kamu pakai menanyakan uang tabungan yang kusimpan di lemari? Tidak seperti biasanya saja,” jawabku kesal karena harus merapikan baju yang di keluarkan olehnya. Menumpuk semua baju itu di atas tempat tidur lebih dulu sebelum di lipat kembali.

“Untuk dp jasa tukang rias pengantin dan gedung untuk acara pernikahan adikku.”

“Apa?” Gerakan tanganku seketika terhenti. Kutatap manik matanya yang serius. Untuk yang ke sekian kalinya Mas Aksa meminta uangku lagi untuk kebutuhan keluarganya.

Kuhela nafas untuk meredakan segala emosi yang sudah berkecamuk. Setelah selama ini aku mengalah dengan membiayai kebutuhan kami, Mas Aksa masih melonjak dengan memintaku untuk membiayai pernikahan adiknya. Keterlaluan sekali.

“Mana uangnya? Aku butuh sekarang untuk di berikan pada Ibu.” Paksa Mas Aksa sambil menadahkan tangan padaku. Dasar tidak tahu malu. Padahal posisinya sebagai suami dan kepala rumah tangga tidak bisa memberikan nafkah yang layak untukku.

Kembali ku ambil baju di lantai lalu meletakannya di atas tempat tidur. Dengan santai aku menggantungkan tas lalu mengambil jurnal keuangan yang tersimpan di laci meja rias. Menunjukkan jurnal itu tepat di depan wajah Mas Aksa.

“Sudah aku pakai untuk bayar kontrakan ruko. Selain itu, aku_”

“Apa kamu tidak bisa meminta keringanan? Pemilik ruko itukan kakak sepupumu sendiri. Kalau memang uangnya sudah terpakai untuk bayar ruko, masih ada sisa sepuluh juta lagikan? Kemarin aku hitung uang tabunganmu ada tiga puluh juta,” terang Mas Aksa membuatku menganga tidak percaya.

Meskipun ini bukan pertama kalinya Mas Aksa mengambil uang yang aku tabung untuk kebutuhan Ibu dan adiknya, namun tetap saja hatiku terasa berdarah. Selalu keluarganya yang di utamakan. Tanpa memikirkan kebutuhan hidup istri dan kedua anak kembarnya. Kepalaku terasa pusing jika sudah membicarakan perihal uang dengan Mas Aksa.

“Kamu lupa apa gimana sih Mas? Kemarin itu jatuh tempo bayar kredit rumah dan mobil. Tidak ada uang yang tersisa dari tabungan yang sudah aku kumpulkan. Bahkan untuk makan besok saja kita harus sedikit berhemat karena bahan makanan untuk jualan besok juga sudah habis. Jadi di putar dulu untuk belanja warung dan kebutuhan rumah tangga. Belum lagi aku masih harus membayar kredit motor adik bungsumu.”

“Masa sih?” Tanya Mas Aksa tidak percaya.

“Kamu pasti mengarang karena tidak mau memberikan uang pada keluargakukan, Nia?” Tunjuknya tanpa tedeng aling-aling. Seolah dia lupa ingatan saat merengek minta di belikan mobil secara kredit.

Aku melemparkan buku jurnalku yang di abaikan padanya. Dengan mata yang mendelik tajam sebagai isyarat untuknya mengambil bukuku yang terjatuh. Mas Aksa sudah mengambil buku itu lalu melihat catatan jurnalku untuk kebutuhan kemarin.

“Ada kwitansi bukti pembayaran kredit juga. Lihat tanggalnya baik-baik,” ucapku penuh penekanan. Tidak ingin berteriak lagi agar tidak mengganggu anak-anak yang sudah tertidur.

Baru setengah jam yang lalu aku dan anak-anak sampai ke rumah. Setelah enam jam berkutat di warung untuk jualan. Aku membuka usaha warung kebab, burger dan sosis. Di tambah dengan es teh, es jeruk, aneka jus buah dan minuman sachet kemasan. Dalam sehari aku bisa menghasilkan omset kotor sebesar tujuh ratus ribu sampai satu juta rupiah jika sedang ramai. Kalau sedang sepi sekitar dua ratus sampai lima ratus ribu rupiah. Semuanya kucatat dalam buku jurnal untuk membagi pengeluaran warung dengan pengeluaran rumah tangga.

Sudah tiga tahun ini Mas Aksa hanya memberikan nafkah lima puluh ribu untuk semingu. Itu semua karena gajinya yang hanya UMR di berikan pada Ibu dan kedua adiknya. Dengan alasan mereka masih sekolah. Namun, setelah lulus kedua adik Mas Aksa tetap menggantungkan hidup padanya karena mereka hanya bekerja sebagai pegawai toko kelontong dan warung makan dengan gaji yang kecil. Jika uang Mas Aksa habis maka akulah yang harus memenuhi kebutuhan hidup mereka.

“Kenapa semua kredit harus jatuh tempo di saat yang bersamaan sih?” Gumam Mas Aksa seorang diri. Ia sudah mengacak rambutnya frustasi.

Aku sendiri tengah sibuk melipat pakaian yang tadi di acak-acak oleh suamiku. Rasanya tubuh sudah sangat lelah. Ingin segera mencatat di buku jurnal lalu tidur. Agar besok pagi bisa bangun tepat waktu seperti biasa. Malah harus merapikan kekacauan yang di buat Mas Aksa.

“Salah sendiri kamu maksa kredit mobil saat kita juga masih membayar kredit rumah. Padahal aku sudah bilang kalau pembayaran kredit rumah dan kontrakan ruko itu sangat besar. Pengeluaran akan bertambah jika kita harus kredit mobil juga.” Jawabku sinis.

“Apa kamu tidak punya uang tabungan lagi di bank Nia? Masa sih warungmu yang ramai hanya cukup untuk kebutuhan hidup kita dan bayar kredit?” Kini Mas Aksa sudah duduk di sampingku.

Warungku memang ramai karena lokasinya yang sangat strategis. Awal membangun usaha aku menyewa ruko milik kakak sepupuku di pinggiran pasar. Ada SD, SMP, SMA, Mts, MA bahkan pondok pesantren di dekat pasar. Sehingga jualanku selalu habis. Aku akan stok bahan untuk jualan dua atau tiga hari sekali. Mas Aksa tahu hal itu dari Ibu yang kadang minta uang padaku di warung.

“Semua harga barang sekarang naik Mas. Untuk kebutuhan kita dan si kembar saja dalam sebulan bisa habis sepuluh juta. Itu semua untuk memenuhi gizi anak-anak. Kamu juga selalu minta di buatkan makanan yang enakkan?” terangku menunjuk jurnal dan resi dari toko yang aku dapat.

“Belum lagi si kembar yang sudah masuk TK besar tahun ini. Uang jajan dan bekal mereka itu cukup banyak. Kalau uangku ada sisa setelah di tabung untuk membayar ini dan itu, aku berikan pada Ibu setiap beliau datang ke warung. Uang untuk Ibumu juga aku catat agar tidak bingung mengatur daftar belanja untuk hari berikutnya. Oh iya, kebutuhan rumah tangga di rumah Ibu sebagian besar juga masih aku tanggung. Jadi, mana bisa aku menyisihkan uang lain di bank?”

Mas Aksa terdiam. Dia membanting bukuku ke lantai lalu keluar dari kamar. Suara pintu depan yang terbuka dan tertutup menandakan jika Mas Aksa pergi. Pasti ke rumah Ibunya yang ada tepat di samping rumah ini. Mungkin untuk mengadu jika aku tidak bisa membantu biaya pernikahan adik perempuannya. Selalu seperti itu. Setiap kami bertengkar maka dia akan pergi ke rumah Ibunya untuk mengadu.

Air mataku sudah mengalir deras. Kutahan isakan yang hendak keluar agar tidak mengganggu tidur anak-anak. Kupaksa tangan tetap bekerja melipat baju. Enam tahun pernikahan yang tidak membahagiakan ini tidak bisa kuakhiri begitu saja. Teringat dengan pesan mendiang Ibu saat aku memaksa menikah dengan Mas Aksa karena cinta.

Bahwa aku tidak boleh memutuskan bercerai jika Mas Aksa tidak pernah selingkuh dan main tangan. Memaafkan semua sikapnya sambil berdoa agar suamiku bisa berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Tapi, aku sudah tidak sanggup lagi Bu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku lelah menjadi tulang punggung untuk keluarga mereka.

***

“Daniaaaa.” Teriak Ibu mertua begitu masuk ke dalam rumah. Belum ada setengah jam Mas Aksa pergi ke rumah Ibunya. Mereka sudah datang kesini.

Aku keluar dari kamar. Mas Aksa hanya kembali dengan Ibunya. Tidak ada kedua adik iparku yang biasanya minta jatah uang.

“Kenapa kamu bodoh sekali sih? Uang untuk bayar kontrakan ruko bisa di pending dulu. Setidaknya cukup untuk memberikan dp pada tukang rias,” ucap Ibu penuh amarah.

“Kenapa aku harus ikut memikirkan pernikahan anak Ibu? Aku juta butuh uang untuk menjalankan usahaku,” balasku tidak terima.

“Dasar menantu tidak tahu diri.”

Tangan Ibu sudah melayang hendak menamparku. Aku masih berdiri tegak dengan mata terpejam. Siap menerima tamparannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 90

    Aku masih diam. Kaget karena lamunan yang tiba-tiba buyar. Tubuhku gemetar dengan pikiran kosong. Melihatku yang masih saja, Mas Aksa menuntunku duduk di sofa. Dia membawa teh hangat dan mengambil pisang rebus dari dandang lalu menyajikannya di meja. Wajah Mas Aksa tampak sangat khawatir melihatku yang masih diam sejak tadi. Pikiranku buntu. Aku menghela nafas berulang kali agar lebih tenang. Tanpa sadar tangisku sudah pecah. Mas Aksa membawa tubuh ini dalam pelukan. Harum parfum yang masih menempel di bajunya membuatku tenang. Baru kali ini Mas Aksa memperlakukanku selembut ini. Tidak pernah terbayang akan mendapat pelukannya setelah lima tahun pernikahan yang menyiksa. Keputusan untuk rujuk yang kulakukan demi anak-anak justru membawa hubungan kami menjadi lebih dekat lagi.“Aku minta maaf jika ada salah padamu.” Tangan besarnya mengusap punggungku lembut. Getar suaranya sangat terasa dalam setiap gerakan tangannya. Aku menggeleng. Ini semua bukan salahnya. Berusaha meredam tangisan

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 89

    Malam semakin larut. Kami sudah selesai makan malam bersama. Setelah bicara dengan Mas Aksa, Ibu akhirnya mau menginap di rumah ini bersama Rosi dan Syntia. Walaupun besok pagi harus bangun pagi sekali untuk pulang agar bisa jualan di rumah. Alhamdulillah dari berjualan Ibu punya uang yang lebih dari cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Penghasilan Rosi dan Syntia juga membantu. Sehingga uang dari Mas Aksa bisa ditabung untuk biaya persalinan Rosi kelak. Semuanya akan terasa cukup jika tidak berfoya-foya. "Besok libur jualan saja dulu Bu," kata Mas Aksa begitu kami pindah ke ruang tengah. Aku masih sibuk mencuci piring dibantu Rosi dan Syntia. Rani sudah kembali ke rumahnya sebelum adzan maghrib berkumandang. Memastikan jika keluarganya juga aman di rumah. "Kalau libur pelanggan Ibu jadi pergi Sa. Ibu sudah tidak sakit lagi. Saat badan masih sehati, lebih enak dibuat bekerja. Lagipula setelah jualan, badan Ibu jadi lebih segar karena terus bergerak." "Jualan Ibu sudah mulai habis?

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 88

    Kami turun ke lantai satu bersama setelah mengambil wudhu. Salat berjamaah di musola. Selain Rani, Bapak dan anak-anak, hanya Rosi yang ikut karena Ibu dan Syntia masih tertidur. Kami memutuskan membiarkan mereka tidur sebentar lagi sampai setengah jam ke depan. Setelah salat ashar, anak-anak sudah mengajak Mas Aksa untuk melihat tanaman mereka.“Besok kita jadi beli tanaman baru Yah?” tanya Mawar bersemangat.“Jadi dong.”“Aku dan Mawar juga mau beli pakai uang tabungan kita sendiri Yah.” Melati sudah memekik senang memikirkan ide itu. Aku hanya bisa menggeleng mendengar ocehan anak-anak yang sangat bersemangat setiap kali bermain dengan ayah mereka. Pandanganku sempat teralih sebentar ke teras.Melihat Bapak bersantai di teras samping melihat menantu dan kedua cucunya. Rosi yang kembali masuk kamar, Rani duduk di sofa ruang tengah untuk mengetik novel dengan tangan lain yang kadang memegang ponsel lain yang menampilkan rekaman kamera CCTV di rumahnya. Agar bisa tetap memantau keadaa

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 87

    Usai cairan infus Ibu sudah habis, kami pulang ke rumah dua lantai untuk sementara waktu agar bisa memantai keadaan Ibu yang belum sepenuhnya pulih. Ibu dan Syntia menatap bingung saat mobil sudah berhenti di depan pagar. Ibu terlihat tidak enak, tetapi tidak bicara apapun. Aku menekan bel agar Rani membukakan pagar. Tidak lama kemudian gadis itu sudah keluar. Saat pagar terbuka, mobil pegawai Hanin masuk. Aku berjalan mengikuti di belakang. “Kamu turun dulu Don. Pasti capek nunggu kita seharian ini,” ucapku pada pegawai Hanin yang siang ini bertugas sebagai sopir dadakan kami. Aku memang sudah mengenal beberapa pegawai Hanin yang sudah lama bekerja dengannya. Salah satunya adalah Doni. Karena Doni sering menemani Hanin jika ada pekerjaan di luar. Dia juga sudah di angkat sebagai manajer toko dan memegang semua pekerjaan saat Hanin sibuk menyelesaikan pekerjaannya sebagai programmer. “Terima kasih Mbak. Maaf merepotkan.” Meski bicara seperti itu, Doni tetap terkekeh pelan. “Nggak

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 86

    “Apa maksud kalian? Adik saya sudah berpisah dari suaminya sejak sebulan lalu. Dia sudah tidak ada tanggung jawab atas semua hutang yang ditinggalkan Varo. Apa buktinya jika adik saya juga terlibat?” kata Mas Aksa menengahi. Dia berhasil meredam emosi berkat Pak RT yang memanggil Limas agar kedua rentenir itu tidak melanjutkan keributan. Suasana ruang tamu benar-benar kacau. Tidak hanya keluarga dan dua preman itu, banyak tetangga yang melihat dari luar sehingga ruang tamu terasa sesak. Aku tidak lagi mendengar apa saja yang mereka bicarakan karena sudah membawa Ibu ke kamar. Membaringkan beliau di tempat tidur, melepas sandalnya lalu menaikan selimut. Wajah Ibu tampak kesakitan. Ia terus memegang pinggul sebelah kanan sejak tadi. Tubuhnya juga terasa dingin dengan keringat yang tampak di dahi dan seluruh tubuh. Erangan kesakitan Ibu sudah tidak terdengar separah tadi saat aku baru saja datang. Hanya wajahnya yang masih tampak pucat. Aku berjongkok agar bisa sejajar dengan Ibu. “A

  • Aku Bukan Tulang Punggungmu, Mas!   Bab 85

    Rasanya seperti kembali saat kami masih pacaran. Pergi bedua hanya untuk ke minimarket sambil bergandengan tangan. Melibat banyak orang yang juga datang bersama pasangan masing-masing sambil bergandengan tangan seperti kami. Membuat tidak banyak orang yang mengamati kami. Bedanya dulu aku dan Mas Aksa hanya akan berjalan bersisian karena tidak mau bergandengan tangan dengannya sebelum menikah. Sekarang kami menunjukkan kemesraan di depan umum. Setelah belanja di minimarket aku memesan taksi online lagi. Kami menunggu di parkiran. Mas Aksa menenteng satu kantung plastik besar di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam tanganku. Banyak orang yang melihat dengan beragam pandangan. Ada yang tersenyum melihat kemesraan kami. Ada juga yang menggeleng dengan wajah jengah. Seolah sudah sering melihat pemandangan serupa. Ada juga yang merengut sebal."Maaf aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Doakan rejekiku lancar ya agar bisa membelikan barang apapun yang kau mau." Tiba-tiba s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status