Share

Aku Diabaikan Saat Setia
Aku Diabaikan Saat Setia
Penulis: Hawa Hajari

Bukti Perselingkuhan

“Kamu selingkuh, Dik?” Mata Kang Oded menatapku lurus-lurus. 

Ia berdiri tegak di depan meja kamar. Meja satu-satunya dalam kamar sempit ini, tempat meletakkan rice cooker dan keranjang kecil berisi peralatan makan yang berbilang tak sampai sepuluh.

Aku yang baru keluar dari kamar mandi, tertegun. Kuusap anak rambut yang masih basah di dekat telinga.

“Kenapa Akang tanya begitu?” Aku tatap balik matanya. Langkahku menuju lemari plastik kecil berisi aneka pakaian menjadi terhenti.

“Ini buktinya!” Kang Oded mengacungkan ponselku. Mataku mengerjap sekali.

Ponsel itu aku tinggalkan di atas kasur ketika ke kamar mandi di belakang. Mungkin tadi sewaktu aku mandi,  dibacanya isi pesan-pesanku pada Mas Rudi. 

Tumben ia mengutak-atik ponselku, perhatian sekali. Biasanya aku jungkir balik pun ia tak mempermasalahkan. 

Aku menghela napas, lalu duduk di atas ranjang.

“Akang baca isi pesanku pada Mas Rudi? Baguslah jika Akang sudah tahu,” kataku santai, lalu menyandarkan punggung pada bantal yang kususun di atas kasur.

Tubuhku sangat penat. Sepulang bekerja sebagai buruh jahit di sebuah pabrik konveksi, aku perlu beristirahat.

“Dik, sejak kapan kamu berubah?” Kang Oded menatapku penuh luka. Tak terdengar nada marah dalam suaranya.

“Sudah sejak lama, Kang. Akang saja yang tidak pernah perhatian,” jawabku penuh perasaan, puas akhirnya bisa mengatakan kegondokanku terhadap sikapnya selama ini.

“Padahal aku selalu percaya kamu, membebaskan kamu ketika ingin ini dan itu...” Bahu Kang Oded turun dan suaranya menjadi lirih.

“Ya, Aku memang dibebaskan untuk berbuat apa saja. Tapi Akang juga kurang perhatian dan kasih sayang sama aku,” balasku kejam. 

Biarlah malam ini aku ungkapkan semua kekesalan dan unek-unekku selama menikah dengannya. Biar tuntas semua rasa.

“Ketika kamu ingin kerja, Akang perbolehkan. Apa itu kurang perhatian?” Tanya Kang Oded keheranan.

Oh, alangkah lugunya Kang Oded. Apa dipikirnya perempuan cukup dituruti kemauannya saja maka itu sudah merupakan perhatian?

“Ya. Aku senang. Tapi Akang ingat, ketika aku minta dijemput pulang selepas jam kerja pabrik? Akang malah menyuruhku pulang sendiri naik angkot,” jawabku berapi-api.

“Padahal aku sudah bilang dari malam sebelumnya, bahwa aku pulang pukul empat sore. Seharusnya, sebelum pukul empat Akang sudah menjemputku. Paling tidak ada kemauan datang sendiri, tak perlu sampai aku telepon minta jemput,” tambahku semakin bersemangat. Kang Oded menunduk.

“Padahal lagi, aku hanya pulang seminggu sekali ke rumah, hari-hari lainnya aku lembur dan tidur di pabrik. Itupun Akang malas menjemputku, malah pernah Akang menyuruh Mas Rudi yang menjemputku di pabrik!” Napasku naik-turun mengatur rasa sesak di dada.

Mas Rudi teman suamiku yang sering datang ke rumah. Mereka begitu akrab hingga beberapa kali lelaki yang umurnya hanya selisih tiga tahun di atasku itu menginap di rumah kami yang bertipe RSSS, rumah sangat sempit sekali.

“Aku ini istrimu, Kang! Tapi kenapa malah menyuruh temanmu yang menjemputku? Jadi jangan salahkan aku kalau jadi akrab dan dekat dengan temanmu,” dengusku gemas. 

Salahnya sendiri membiarkan aku akrab dengan temannya, hingga akhirnya aku dan Mas Rudi pun memiliki rasa di dada. Seperti kata orang Jawa kuno, witing tresno jalaran soko kulino. Cinta hadir karena terbiasa.

Kang Oded semakin menunduk. Matanya mulai berair. Dasar lembek! Baru segitu saja sudah menangis. Bukankah seharusnya aku yang menangis dan dia yang marah?

“Dik, aku maafkan perselingkuhanmu,” tuturannya terdengar tulus. Di telingaku justru terdengar konyol. Siapa juga yang minta maaf sampai harus dimaafkan.

“Apa saja kesalahanku, aku mau memperbaiki diri, Dik,” Kang Oded mengangkat mukanya, kini menatapku lurus penuh tekad. Aku mencibir.

“Sudah terlambat, Kang. Aku sudah nggak ada rasa...” tolakku dingin.

Tangan Kang Oded meraih tanganku, tapi kutepiskan tanda tak sudi.

“Apa sepuluh tahun menikah tidak ada artinya buatmu, Dik?” Bujuknya lagi, mengingatkan akan semua hal yang pernah terjadi diantara kami.

Aku terdiam. Selama itukah aku sudah menikah dengannya? Buang-buang umur saja. Baru aku sadari bahwa selama ini aku begitu naif dan lugu mau bersamanya.

Kang Oded memintaku pada Bapak tepat setahun aku lulus SMP. Umurku 16 tahun saat itu. Setahun luntang-lantung tak bersekolah, hanya membantu bapak dan ibu di rumah.

Lantaran tak ada biaya, Bapak tak mampu membiayai pendidikanku ke SMU. Bapak hanya seorang perajin tas buatan tangan kecil-kecilan yang penghasilannya tak tentu. Ibuku, ibu rumah tangga yang tak berpenghasilan. Beliau menikah ketika berumur 16 tahun, sama dengan umurku saat menikah dengan Kang Oded.

Kang Oded datang dengan mahar pekerjaan di tangannya, lebih baik daripada teman-temanku lelaki yang pengangguran semua. Dengan bangga Kang Oded mengatakan ia telah memiliki penghasilan yang dapat menafkahiku setelah menikah. Mungkin karena itulah Bapak tertarik menerima lamaran Kang Oded, lelaki yang umurnya sepuluh tahun lebih tua dariku.

Aku mengangguk saja ketika ditanya maukah menikah dengannya. Tak sekolah dan tak ada pekerjaan, mau apa lagi aku? Lebih baik aku menikah, daripada menjadi beban orangtua.

“Tentu ada artinya, Kang. Artinya, aku sudah bosan hidup begini-begini terus tidak ada kemajuan,” kataku sengaja menyakitkan hati. Semoga ia sadar bahwa aku sudah tak mau dengannya lagi.

Setelah menikah, aku dibawanya ke rumah kontrakan RSSS ini. Rumah yang hanya memiliki dua kamar dan satu kamar mandi di luar. Satu kamar di depan menjadi ruang kerja Kang Oded sekaligus ruang tamu. Satu kamar yang lebih kecil menjadi kamar tidur kami. Tak ada tempat buat memasak. 

Setiap hari pekerjaanku hanya menemani Kang Oded, menonton sinetron di televisi, dan sesekali ke tetangga di depan rumah. Membosankan sekali. Apalagi aku tak kunjung hamil, entah kenapa. 

“Padahal aku sudah berencana mencicil rumah sendiri, Dik. Kita nggak akan tinggal di sini terus,” bujuknya lagi. Mungkin ia mengira aku bosan tinggal di rumah kecil sewaan terus. Persoalannya bukan itu saja, Fergusooo.

“Aku bosan menanti datangnya buah hati,” tampikku dengan embusan napas lelah.

“Anak itu pemberian tuhan, Dik. Bukan kita yang menentukan kapan akan diberi anugerah,” Kang Oded menyampaikan alasan yang itu lagi itu lagi. 

Sampai bosan aku mendengar dalihnya tentang anak. Bersabar dan terus bersabar, sementara tak ada usaha memeriksakan diri kami ke ahli kandungan. Sama saja mengharap makan buah rambutan tapi tak ada usaha mengambilnya dengan galah. 

“Sudahlah, Kang! Aku itu sudah malas meneruskan pernikahan kita,” kataku semakin jelas. Kang Oded terpana.

“Jadi maksudmu ...?” 

“Aku mau cerai saja!” Ujarku tegas. Aku tatap matanya terang-terangan untuk membuktikan bahwa aku serius. Bahwa tak ada tangis dan duka dalam keputusanku. Aku mantap.***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status