“Apa Teh Lisa tahu?” Tanyaku penasaran.
“Ya. Tisni jarang ada di rumah kan, Kang?” Teh Lisa mengerjapkan mata saat berbalik tanya.
Melihat gelagatnya yang mencurigakan, aku jadi punya insting bahwa Teh Lisa tidak jujur.
“Tolong, Teh. Beri tahu saya apa yang Teteh tahu,” ujarku memelas, memohon kejujurannya.
Kupandangi sepasang mata Teh Lisa dengan sorot permohonan yang sungguh-sungguh, berharap Teh Lisa merasa iba dan mau berpihak kepadaku.
Teh Lisa menundukkan kepala, lalu melirikku takut-takut.
“Kang Oded jangan marah, ya?” Pintanya dengan wajah seperti tak enak.
“Iya, Teh. Saya nggak akan marah,” ujarku meyakinkannya. Senyum aku bentangkan selebar mungkin, berharap sikapku akan membuatnya menjadi berani berkata yang sebenarnya.
Teh Lisa menghela napas, lalu ikut duduk di kursi kosong di seberangku. Bahasa tubuh Teh Lisa menunjukkan ia sudah menyerah, dan bersiap membuat pengakuan. Kurasakan debaran di dalam dada, bertalu keras tak beraturan. Ya Allah, aku gugup sekali.
“Sejak Mas Rudi sering datang, saya sebetulnya sudah curiga, Kang.” Teh Lisa menatap lantai saat berbicara.
“Ehm. Bagaimana, ya. Cara Mas Rudi memandang Tisni itu beda. Ah, sulit menjelaskannya. Waktu itu saya hanya merasa ada yang salah, tapi saya nggak berani ikut campur.” Teh Lisa menghela napas lagi.
“Kapan itu?” Aku menatap Teh Lisa dengan dahi berkerut.
“Nggak lama setelah Mas Rudi sering datang. Waktu itu saya sedang menuju rumah Eyang. Saya juga nggak sengaja melihat Mas Rudi dan Tisni mengobrol di rumah, Kang Oded nggak ada.” Pandangan Teh Lisa menerawang, seperti mengingat lagi kejadian yang diceritakannya.
Aku tertunduk. Beberapa kali Tisni aku tinggalkan berdua dengan Rudi, rupanya kesempatan itu digunakan Rudi untuk mengambil keuntungan. Grrr... Aku geram!
“Saya sudah berusaha mengingatkan Tisni secara halus, agar jangan terlalu percaya semua omongan Mas Rudi. Tapi tampaknya Tisni mengabaikan peringatan saya,” Teh Lisa terlihat menyayangkan sikap Tisni.
“Lho, bukannya Mas Rudi juga beberapa kali menginap di rumah Kang Oded?” Tiba-tiba Mang Beben ikut menimpali.
Dia yang sedari tadi sibuk menjemur pakaian penyewa kos, sengaja menghentikan kegiatannya demi menimbrung. Rupanya Mang Beben ikut menyimak pembicaraanku dengan istrinya.
“Malah pernah ditinggal berdua di rumah, sewaktu kita ramai-ramai nonton sepak bola di teve, ya?” Tambah Mang Oded lagi, sambil kembali melanjutkan meletakkan pakaian basah ke tali jemuran.
Mang Oded tidak memandangku, tapi celetukan itu berhasil menohok hati. Aku merasa disudutkan, bahwa aku telah teledor menjaga istri. Wajahku terasa memanas.
Aku ingat kejadian itu. Aku ingin menonton pertandingan PERSIB lawan PERSIJA, lagi seru-serunya babak itu.
“Nonton bola di depan yuk, Rud,” ajakku pada Rudi. Tanganku menunjuk rumah kos yang diurus Mang Beben.
“Silakan, Kang Oded saja. Aku nggak terlalu suka nonton bola lokal. Kalau Piala Dunia, baru seru!” Rudi menolak sembari tersenyum.
Ketika itu, dia sedang asyik mengobrol dengan Tisni. Mengetahui aku ingin pergi menonton, Rudi tidak pamit pulang meskipun malam telah menunjukkan pukul sembilan. Akhirnya, aku pergi sendiri ke rumah Mang Beben.
Aku pikir tidak apa-apa meninggalkan Rudi bersama Tisni, karena toh aku hanya ke depan. Lagipula, pintu rumah juga terbuka lebar. Tidak akan terjadi hal-hal yang mesum.
Di rumah Mang Beben sudah banyak para tetangga berkumpul untuk menonton sepak bola beramai-ramai. Kami memang biasa nobar, nonton bareng.
“Naaah, datang juga Kang Oded,” celetuk Mang Beben, senang melihat aku yang baru muncul.
“Sudah pulang si Rudi?” Tanya Mang Beben, lebih terdengar seperti basa-basi.
“Belum. Ada tuh, mengobrol dengan Tisni,” sahutku santai.
“Oh?” Mang Beben melongo mendengar jawabanku. Ekspresinya sulit aku artikan.
“Oi! Bola sudah hampir mulai, Mang!” Panggil Dodi, seorang mahasiswa penyewa kos yang akrab dengan Mang Oded.
Panggilan itu mengalihkan perhatian kami berdua. Lekas-lekas kami mengambil tempat di depan teve.
Keseruan menonton ramai-ramai membuatku lupa akan Tisni di rumah. Aku baru teringat lagi ketika pertandingan selesai, pukul setengah dua belas malam saat itu.
Aku pulang dengan mata mengantuk. Sesampainya di rumah, aku lihat Rudi dan Tisni masih mengobrol. Mata Tisni terlihat mulai berkedip-kedip menahan kantuk, tapi Rudi terlihat masih segar.
“Lho, saya kira sudah pulang, Rud,” cetusku heran.
“Oh! Jam berapa ini? Astaga... ternyata sudah larut, ya. Keasyikan mengobrol...” Rudi memandang jam dinding dengan terkejut, tak ada ekspresi bersalah pada wajahnya.
Lantaran sudah terlalu malam, aku tawarkan kepada Rudi untuk menginap.
“Menginap saja di sini, Rud. Sudah kemalaman.” Saranku langsung dibalas anggukan oleh Rudi.
“Iya, Kang. Saya sekarang takut pulang malam-malam,” ujarnya serius.
Ketakutan Rudi ada betulnya, karena waktu itu sedang ramai-ramainya isu begal motor di kota ini. Sudah beberapa kali terjadi, sekelompok orang bertopeng yang mengendarai sepeda motor merampas sepeda motor orang yang melaju sendirian di tengah malam. Bahkan ada korban yang sampai terluka akibat melawan. Kawasan rawan begal itu ada beberapa titik, salah satu diantaranya adalah jalan besar yang berada tepat di depan gang pemukimanku.
“Kang? Kang Oded nggak marah, kan?” Suara Teh Lisa membangunkanku dari lamunan.
“Uh... Nggak kok, Teh,” ujarku lemas.
“Jadi sekarang Tisni ada di mana, Kang?” Teh Lisa menatapku dengan sorot mata khas emak-emak yang kubenci, penasaran alias kepo.
“Ada di tempat kerjanya. Biasanya hari Sabtu sore Tisni pulang, tapi nggak tahu Sabtu ini,” jawabku gamang.
Teh Lisa mengangguk maklum.
“Jemput saja, Kang,” Teh Lisa memberi saran, matanya menatapku lekat-lekat.
Aneh, mengapa Teh Lisa sengotot ini memberi saran. Setahuku Teh Lisa bukan perempuan cerewet, mengapa sekarang menjadi suka ikut campur begini?
“Iya. Pasti Tisni saya jemput,” jawabku cepat.
“Nah... Begitu, Kang. Jangan biarkan Tisni dijemput Mas Rudi. Ups...!” Teh Lisa menutup mulutnya tiba-tiba. Matanya melirikku dengan ekspresi salah tingkah.
Aneh betul sikap Teh Lisa. Kecurigaanku bangkit lagi.
“Dari mana Teh Lisa tahu kalau Rudi sering menjemput Tisni? Tisni cerita, ya?” Ucapanku bertanya, tapi nada suaraku berupa tuduhan.
Wajah Teh Lisa bersemu merah. Ia menggigit bibirnya sambil melirik ke arahku.
“Maaf, Kang. Sebetulnya Tisni sudah cerita semua tentang dia dan Mas Rudi,” lirih suara Teh Lisa saat membuat pengakuan.
Bagi telingaku, suara lirih itu lebih dahsyat terdengar daripada bunyi guntur. Ada bunyi denging yang tiba-tiba muncul di dalam kepala. Jadi aib itu sudah diceritakan Tisni kepada Teh Lisa! Tak aku duga Tisni mampu berbuat begitu.
“Apa saja yang Tisni ceritakan kepada Teh Lisa?” Aku menuntut pengakuan.
Pesan-pesan antara Tisni dengan Rudi yang sempat aku baca di ponsel Tisni berkelebat lagi di pelupuk mata. Apakah ada yang lebih daripada itu? Mungkin dari Teh Lisa, aku bisa mengetahui sejauh mana hubungan Tisni dengan Rudi. ***
Apa saja yang Teh Lisa tahu?
Tisni membalik badan dan melangkah pergi, setelah sebelumnya berpamitan pada sahabatnya Dewi dan Resti di pintu gerbang mess. Dewi dan Resti sama-sama menatap tas ransel yang tergantung di punggung Tisni, menjauh bersama pemiliknya. Sosok Tisni lenyap di balik angkot yang membawanya pergi secepat kedatangannya yang mengebut.“Kasihan Tisni ya, Res,” desah Dewi pelan. Napasnya mengembus pelan namun berat.“Maksudmu?” sahut Resti. Bola hitam mata Resti bergulir ke sudut, melirik Dewi di sampingnya.“Ya, Tisni hanya dikadalin Mas Rudi,” jelas Dewi. Sekarang Dewi menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah prihatin.“Hm, sebetulnya aku sudah menduga sejak lama lho, Dew,” balas Resti. Kepalanya ditelengkan miring, hingga wajahnya lurus ke arah wajah Dewi.“Oya? Kok bisa, Res? Kamu punya firasat begitu?” kejar Dewi. Dewi bal
Pasrah. Itulah sikap yang kupilih. Biar saja semua orang membicarakanku sekehendak hati. Lebih baik aku fokus pada pekerjaan. Meskipun dalam hati kecil, terbersit rasa penasaran. Siapa dalang penyebar fitnah ini?Suatu hari, aku ungkapkan ganjalan hati tentang hal ini pada Boy dan Beni. Mereka berdua sudah aku percaya, karena terbukti berulang kali tak pernah mencampuri urusan orang lain jika tak diminta.“Kalau menurutku, penyebar fitnah itu ya Santi sendiri,” ujar Beni sambil merokok.Usai satu kalimat, ia mengisap benda haram itu dengan nikmat. Asap keluar dari dua lubang hidungnya membentuk dua jalur asap.“Menurutku juga begitu. Santi sakit hati, makanya mengarang kisah untuk menyudutkanmu, Kang,” timpal Beni.Beni seorang perokok berat, levelnya melebihi Boy. Sekarang saja ia mengeluarkan bungkus rokok kedua, lalu sebatang rokok berpindah
Tiada hari tanpa penyesalan. Menyesal kurang memerhatikan Tisni, menyesal kurang menunjukkan rasa cintaku padanya, menyesal menganggap keluhannya sebagai angin lalu, menyesal dan menyesali banyak hal. Ribuan penyesalan silih berganti menghinggapi benak, hingga aku tenggelam dalam lautan keputusasaan.“Sudah, Ded. Jangan terlalu dipikirkan. Semua yang telah berlalu, anggaplah masa lalu kelabu. Pikirkan langkah baru,” nasihat Paman Andi kepadaku, sok bergaya menjadi pujangga.Tak aku jawab perhatian kakak ayahku itu. Hanya sorot mata pilu yang kuberikan sebagai tanggapan. Meskipun mulutku terkunci, sejatinya hatiku ingin menampik.“Mudah bagi Paman bicara itu, karena bukan Paman yang patah hati,” bisik hati kecilku.Lepasnya Tisni sebagai istri merupakan kehilangan besar yang berdampak hebat bagi jiwa dan ragaku. Baru dua minggu surat cerai dari Pengadilan Agama kuterima, berat
Cantik. Itu yang kulihat ketika pertama kali mengenal Tisni. Wajahnya lugu khas gadis kampung, namun ia tak terlihat kampungan. Kulitnya putih bersih dan halus, matanya tidak liar jelalatan, bahkan ia lebih sering menunduk jika berbicara dengan lelaki atau orang yang lebih tua.Kang Oded sendiri teman yang cukup menyenangkan. Sejak kantorku menyewa jasanya untuk membuat seragam kantor, kami mulai dekat. Awalnya aku ke rumahnya untuk urusan proyek baju seragam, lalu kunjunganku berlanjut untuk sekedar mengobrol santai.Keberadaan Tisni yang cantik menjadi daya tarik tersendiri bagiku untuk terus berkunjung ke rumah Kang Oded. Dengan bertandang ke rumahnya, aku berharap dapat menikmati wajah cantik Tisni.Saat Kang Oded meminta bantuanku untuk mengajari Tisni komputer, aku langsung menyanggupi. Ini kesempatan untuk berdekat-dekatan dengan Tisni. Siapa yang tak suka berdekatan dengan perempuan cantik yang harumnya melambung
Keesokan harinya, sebuah paket besar datang ke rumah. Saat itu, kami sekeluarga sedang makan siang bersama.“Paket!” seru Abang pengantar paket dari ekspedisi.Aku menghambur ke pintu depan, lantaran tahu Ibu sudah cukup tua untuk berlari menyambut paket.“Ya?” Sapaku pada Abang paket.“Paket buat Ibu Tisni?” tanyanya, sementara mata Abang paket terpaku pada label di atas paket besar yang ditopang oleh kedua tangannya.“Saya sendiri,” jawabku antusias.“Silakan,” ujar Abang paket seraya menyerahkan paket besar seukuran kardus minuman mineral ke arahku.Aku menyambut paket terbungkus kertas tebal cokelat itu, sedangkan Abang paket mencatat sesuatu dalam notesnya.“Terima kasih,” ujarku otomatis.Aku berjalan masuk kembali sambi
Haruskah aku menerima Kang Oded kembali, setelah semua kekecewaan yang ia berikan? Rasanya tak mungkin aku menjilat ludah sendiri. Egoku mengajak untuk menolak tawaran Kang Oded.Tetapi ... Bukankah aku juga gegabah? Aku balas semua kelakuannya dengan pengkhianatan, sebelum kami resmi berpisah. Kalau dipikir-pikir lagi, aku pun sama bersalahnya dengan Kang Oded.Aku bingung.“Aku pikirkan dulu, Kang,” kataku akhirnya.Kang Oded mengangguk pelan. Tak kulihat kemarahan ataupun kekecewaan dari raut wajahnya. Mungkin reaksiku sudah diperkirakan olehnya.“Akang tunggu, Dik,” balasnya, tatapannya penuh ke arah mataku.“Oya, Akang mau berpantun dulu. Boleh?” tambahnya, tak terduga.“Boleh, Kang,” jawabku sambil mengangguk.“Ke Cikini membeli dukuhWayah gini masih