Share

chapter 2

"Iya Bu!" jawab Nisa.

Nisa segera menyiapkan semua pesanan dan permintaan mertua dan adik iparnya dengan begitu teliti.

Setelah mengantarkan minuman untuk keduanya, Nisa kembali ke dapur.

Nisa menyuruh Ahmad yang menemaninya sambil belajar di meja makan masuk ke kamar, dan dia pun melanjutkan kembali kegiatannya di dapur.

Setelah kurang lebih satu jam, semua masakan pun telah selesai disajikan. Nisa pun beranjak menemui mertua dan adik iparnya kembali.

"Bu, makanan sudah saya siapkan! Apa Ibu ingin makan sekarang?"

"Masak begitu saja kok lama! Kenapa sih Arman mau menikah sama kamu! Kerja aja lelet begitu!" Bukannya menghargai justru hinaan yang terlontar dari bibir bu Susy.

Bu Susy dan Bella beranjak dan berjalan ke arah dapur duduk di kursi meja makan, tanpa basa-basi untuk mengajak menantunya makan bersama, mereka menikmati makanan yang tersaji.

Sementara Nisa hanya duduk memperhatikan keduanya yang tak menganggap keberadaannya.

"Lain kali, kalau masak jangan terlalu banyak minyak, biar nggak nambah kalori dan bikin kolesterol," ujar bu Susy mengomentari masakan menantunya.

"Iya Bu!" jawaban simpel dan aman itulah yang digunakan Nisa jika menjawab ocehan mertuanya.

"Jangan iya iya aja! Apa yang dikatakan Mama itu di dengar bukan dilupakan, dasar orang kampung! Begitu saja nggak becus!" sarkas Bella ketus.

Kata kata pedas pun seolah sudah menjadi resep bagi Nisa, dalam mengolah kesabarannya.

"Iya Bell, lain kali akan saya kurangi minyaknya!" jawaban yang sama dari Nisa untuk menjaga telinganya dari bentakan Bella.

"Kami mau pulang tapi nggak ada ongkos taxi! Jadi berikan uang Arman untuk ongkos kami pulang satu juta!" ungkap Bu Susy sambil tersenyum ke arah putrinya.

"Maaf Bu, jika uang aku nggak punya. Aku cuma pegang uang belanja untuk sepuluh hari, dan jumlahnya juga tidak seberapa lagi!" jawab Nisa jujur tanpa maksud menjelekkan suaminya.

"Kamu jangan bohong ya! Arman itu uangnya banyak. Gak mungkin kamu hanya dikasih uang belanja sepuluh hari sekali! Apa kamu pikir aku percaya?" ucap bu Susy membela anaknya.

"Iya Bu, Mas Arman hanya memberikan uang belanja satu juta untuk sepuluh hari, dan hari ini adalah hari kedelapan, jadi sisa uang belanja, udah nggak cukup jika Ibu meminta satu juta!" jelas Nisa hati-hati.

"Alaah, kamu itu memang pelit, bilang saja kamu nggak mau memberi kami uang 'kan? Awas saja, kamu akan aku adukan pada Arman, biar jadi janda untuk kedua kalinya kamu!" ujar bu Susy tersenyum smirk.

"Saya berani sumpah Bu, jika apa yang saya katakan adalah benar!" Nisa merasa percuma menjelaskan tapi tak juga dipercaya.

"Ayo Bella kita pulang saja!" ucap bu Susy pada putrinya.

"Heh kamu, wanita kampung yang beruntung menjadi istri kakakku! Jangan pernah kamu memfitnah kakakku untuk menutupi kebohonganmu itu!" ucap Bella ikutan menghujat, sambil mengarahkan jari telunjuknya pada Nisa.

"Benar Bella, kamu bisa tanyakan pada Mas Arman jika kamu nggak percaya!" jawab Nisa sambil menurunkan jari Bella.

Nisa berusaha sabar menelan semua hinaan, yang selalu ia terima bila bertemu mereka.

"Alaah, sok meyakinkan! Padahal hati kamu itu busuk! Dasar nggak tau diri!"

"Sudah Bella, jangan bicara sama orang nggak berpendidikan, percuma! Nanti kamu bisa ikut-ikutan bodoh!" Bu Susy menarik tangan putrinya dan pergi meninggalkan rumah, dan berlalu begitu saja.

Hari sudah mulai magrib, Nisa kembali masuk ke kamarnya dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah.

Melihat baju kerja suaminya yang belum di bawa kebelakang, Nisa pun mengambilnya. Betapa kagetnya Nisa, saat melihat jika ada beberapa tanda bibir, di kemeja putih tersebut.

"Ini bibir siapa? Apa Mas Arman telah selingkuh?" Nisa bicara sendiri sambil menatap kosong baju kemeja di tangannya.

Nisa pun langsung menyimpan baju tersebut di tempat semula, menunggu waktu yang tepat untuk bertanya.

Nisa keluar kamar dan menghampiri kamar putranya lagi.

"Ahmad....??" Sambil membuka pintu kamar Nisa memanggil, dilihatnya putranya sedang menghapal ayat ayat pendek suci Al-Qur'an di kamarnya.

" Ya Bunda!" jawab Ahmad sopan, sambil beranjak dan menghampiri Bundanya.

" Kita makan dulu yuk? Nanti belajarnya dilanjutkan lagi!" ujar Nisa sambil mengusap kepala putranya lembut.

"Baik Bun, kebetulan Ahmad juga udah lapar, hehe!" jawab Ahmad sambil berjalan ke dapur mengikuti langkah bundanya.

Mereka makan dengan lauk seadanya! Beruntung, Ahmad anak yang tidak cerewet, dan pemilih masalah makanan.

"Bun? Kenapa sekarang Ayah kalau bicara, kok suka bentak-bentak ya Bun?" tanya Ahmad di tengah suasana makan malam mereka.

"Nggak kok sayang. Cuma sekarang itu, telinga Ayah lagi bermasalah dan masih dalam masa penyembuhan, jadi kalau bicara harus lebih kencang agar kedengaran!" jawab Nisa berbohong.

"Berarti telinga Ayah sakit ya Bun?" tanya Ahmad lagi penasaran.

"Sekarang udah sembuh sayang, cuma tinggal pemulihan saja?" jelas Nisa.

"Oh syukurlah, Ahmad nggak mau lihat Ayah sakit Bun!"

Perhatian putranya pada Ayah sambungnya itu, membuat miris hati Nisa. Anaknya yang begitu perhatian namun tak pernah dianggap.

"Udah, cepat habiskan makanannya, habis itu masuk kamar lagi ya! Belajar yang rajin? Jangan lupa kalau mau tidur gosok gigi, cuci kaki dan baca do'a tidur ya, sayang!"

"Iya Bun!" jawab Ahmad sambil memasukkan suapan terakhir ke mulutnya.

Setelah mereka selesai makan, Ahmad langsung meninggalkan meja makan, dan masuk ke kamar melanjutkan kegiatannya.

Nisa membereskan sisa makannya dan membersihkan dapur seperti semula. Nisa membuat segelas kopi kesukaannya. Nisa duduk di kursi sambil menyesap kopi buatannya sambil menerawang jauh.

Baru saja Nisa ingin memikirkan, bagaimana caranya agar ia bisa menghasilkan uang, tiba-tiba kembali sebuah panggilan masuk ke handphonenya.

Sejenak, Nisa melihat nomor yang tidak dikenalnya. Namun karena penasaran, Nisa pun menerima "Hallo...! Siapa ini?" Jawab Nisa.

"Hallo, Nisa..! Assalamualaikum!" Terdengar suara seseorang laki-laki.

Mendengar suara dari seberang, tubuh Nisa menegang kaku. Ia seakan tak percaya jika saat ini, ia kembali mendengar suara yang begitu ia kenal.

"Hallo... Nisa!" Kembali suara itu memanggil.

"Ha..hallo..!" jawab Nisa gugup.

"Bagaimana kabar kalian, Nis?" tanya pria tersebut lembut.

Nisa terdiam mendengar suara lembut, dari laki-laki yang pernah mengisi hatinya di masa lalu.

"Alhamdulillah, baik!" Nisa menjawab kaku pertanyaan.

"Nis..! Apa aku bisa bertemu dengan kamu dan anak kita?" tanya laki-laki tersebut penuh harap.

"Indra..!" panggil Nisa pelan, menyebut nama dari laki-laki yang begitu ia cintai pada saat itu.

"Ya sayang!" jawab Indra dengan semangat.

"Apa kita bisa bertemu, Nis? Aku rindu sama kamu dan anak kita!" Indra sangat bahagia bisa berbicara langsung dengan wanita yang selama sekian tahun ini, ia cari.

Mendengar permintaan dari Indra, Nisa tak mampu berkata-kata.

Karena tak mendapat jawaban, indra kembali memanggil "Hallo Nisa! Kamu mendengar suaraku 'kan?"

"I..iya!" Jawab Nisa gugup sambil memikirkan permintaan dari Indra tadi.

"Nisa, aku tau kamu pasti mendengar ucapanku tadi! Dan aku mohon Nisa, sebutkan alamatmu dan aku akan menemuimu, segera!" jawab Indra penuh harap.

Karena tak tau harus mengatakan apapun, Nisa pun menyebutkan alamat rumah Arman.

"Terimakasih Nisa, aku akan segera menemui kalian!" tegas indra.

Setelah beberapa saat, panggilan pun terputus.

Nisa masih terdiam, ia sama sekali tak menyangka, jika ayah kandung dari anaknya saat ini menghubunginya kembali.

Lama Nisa kembali larut dalam kisah masa lalunya yang tragis. Dimana ia dipaksa cerai, sehari setelah ijab kabul pernikahan yang tak direstui ibu dari suaminya.

Keesokan paginya, Arman duduk sambil menikmati kopi. Tiba-tiba suara handphonenya terdengar, Arman bergegas menerima panggilan dan berbicara dengan orang di sebrang sana.

Tampak kegelisahan dari raut wajah Arman. Setelah panggilan terputus, Arman pun langsung beranjak pergi tanpa berpamitan pada istrinya.

Nisa yang baru saja datang dari mengantar putranya sekolah, mendengar suara mobil suaminya bergegas menyusul keluar dan ternyata benar, bahwa suaminya kali ini pergi tanpa berpamitan lagi.

Nisa berjalan ke dapur dan melihat jika tas kerja suaminya tertinggal di meja makan.

Baru saja Nisa ingin meletakkan tas suaminya di ruang kerja, terdengar suara bel pintu.

"Assalamualaikum, Nisa!"

"I... Indra?" ucap Nisa pelan menyebut nama tamu, yang ternyata adalah mantan suaminya tersebut.

"Waalaikumsalam!" Nisa menjawab pelan salam yang diucapkan Indra.

"Apa kabar, Nisa?" tanya Indra masih berdiri di depan pintu sambil tersenyum.

"Ba..baik!" jawab Nisa gugup.

"Kamu kenapa gugup gitu, Nis?" tanya Indra tersenyum, sambil meraih tangan Nisa.

"Gak apa-apa kok!" ujar Nisa sambil melepaskan tangannya dari genggaman Indra.

"Apa aku boleh masuk, Nis?" pinta indra penuh harap.

Nisa pun tersadar jika tamunya saat ini masih berdiri di pintu "Maaf, suamiku gak ada di rumah!" tolak Nisa sambil menundukkan kepalanya.

"Oh...! Gak apa-apa. Apa kita bisa bicara sebentar, Nis!" ungkap Indra dengan wajah memohon.

Nisa pun memandang wajah Indra, yang tak nampak perubahan berarti dari mereka remaja dulu.

"Apa lagi yang ingin dibicarakan! Bukankah semua sudah berakhir seperti harapan orangtuamu? Jadi biarkan aku dan anakku menjalani kehidupan kami sendiri!" jawab Nisa dengan wajah tegas.

"Nisa..! Kumohon Nis, beri aku kesempatan untuk membuktikan cintaku padamu!" ungkap Indra mencoba tuk menarik simpati dari mantan istrinya tersebut.

"Kesempatan yang sudah kamu buang percuma, demi menjadi anak yang berbakti, 'kan?" tegas Nisa lagi.

"Nggak Nis, aku gak pernah membuang kesempatan itu, aku hanya menundanya untuk saat ini!"

"Setelah aku menjadi istri orang lain, begitu?" tanya Nisa tegas.

"Ceraikan suamimu dan menikahlah denganku!" ucap Indra tak menyerah.

"Apa semudah itu, Indra? Apa kamu pikir aku piala bergilir, yang bisa kalian perebutkan saat merasa mampu, dan dilepaskan jika merasa sulit?" ungkap Nisa emosi.

"Kumohon, Nisa! Kembalilah padaku dan ceraikan suamimu saat ini! Aku akan menikahimu segera!" ungkap Indra sambil berlutut di depan Nisa.

"Apa maksudnya ini??" Terdengar suara lantang dan nyaring tak jauh dari tempat Indra dan Nisa.

Sontak keduanya menoleh ke arah suara. Dan betapa kagetnya Nisa, saat tau jika itu adalah suara Arman, suaminya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status