Aku meminta Nita untuk ikut bersamaku menuju kantor. Membicarakan sesuatu yang begitu sensitif begini hanya akan menjadikan kami bahan gunjingan di belakang. Bagaimanapun, para pekerja yang ada di bawah kekuasaanku juga manusia, mereka suka berbicara dan bergosip layaknya orang-orang pada umumnya.
Kulirik Anha yang baru menyusul, sepertinya gadis itu sibuk mengganggu Gagah dan temannya bekerja hingga tidak langsung kembali. Aku memberikan isyarat pada Anha agar lekas mengikuti langkahku ke kantor dan memastikan membawa Nita bersamanya.
Kami meniti anak tangga menuju lantai dua, melewati ruang admin yang begitu sibuk melayani keluhan, jumlah pesanan yang membludak dan mengeprint pesanan yang tidak berkesudahan. Aku bersyukur tanpa henti mampu menggaji tiga orang sekaligus untuk duduk terus-menerus di depan komputer, dan puluhan orang lainnya yang bekerja tak kalah giat di bawah sana.
Pintu dari kantorku yang berseberangan dengan ruang admin kudorong pelan. Beg
Aku memandang Bang Teguh yang berlagak seperti pemilik sungguhan. Tangannya mengudara, memberi perintah untuk keluarganya mengutil setiap barang yang ada di gudang.Kulihat pekerja-pekerja yang merasa terganggu. Pesanan orang yang sudah mereka ambil di gudang belakang, kondisinya sudah dicek dengan baik dengan semudah itu diambil begitu saja.“Uwa juga mau, Guh! Ini loh, yang lagi viral itu,” ucap wanita yang mirip dengan ibu mertua. Sebagian rambutnya mulai memutih, tapi tidak sebanyak ibu mertua.“Ambil, Uwa. Ambil sebanyak yang Uwa mau. Kapan lagi Uwa datang ke sini, kan? Kapan lagi Teguh bisa bahagiain Uwa dengan semua yang Teguh punya. Lagian, ini enggak akan habis kalau Cuma diambil segitu.” Bang Teguh kian menjadi-jadi, dan lagaknya itu didukung penuh oleh ibu mertua yang sama tidak tahu malunya.Memang benar, keluarga Bang Teguh yang di tinggal di Bandung ini tidak tahu apapun soal aku yang memiliki gudang dan berprofesi se
“Coba diulang lagi, Bang?” Aku berpura-pura tuli, tidak bisa mendengar dengan jelas keinginan dari Bang Teguh saat ini.Dia minta range roverku? Si Gagahku? Eh, maksudnya Si Gagah yang di garasi, bukan yang tadi.“Kunci mobil, Gin! Mobil range rover yang putih, kemarikan kuncinya. Abang mau anterin Uwa Rabiah dan yang lain pulang. Di luar panas banget Gin!” rengeknya padaku lengkap dengan tangan yang mengipas.Sempat aku terkekeh, lalu kembali mengatur ekspresi, menutupi hati yang kian tersayat perih. Pria ini memasang wajah tak berdosanya padaku, meminta hartaku yang menawan seolah-olah itu miliknya sendiri.“Maaf, Bang ... Abang punya hape, kan? Dua lagi tuh. Punya aplikasi taksi online, kan? Atau perlu aku pesankan?” Sengaja aku melirik saku celananya yang menonjol.“Kenapa sih, mobil aja kamu pelit banget! Ini suamimu yang minta, Gin!” sahut ibu mertua lagi.“Maaf, Bu ... jangan lupa,
Pagi kedua setelah minggat dari rumah ibu mertua datang. Hari yang berat berlalu dengan cepat semalam. Dengkuran halus dari Anha, serta kelelahan yang terus menerpa dada membuat tidurku nyenyak seperti di awan.Wajahku kian bergairah pagi ini. Entah mengapa, aku pun tak mengerti alasannya. Usai salat subuh, aku dengan sengaja menggelitik tubuh Anha, menggoda gadis itu agar segera bangun dan menunaikan kewajiban. Memang Anha pernah lalai, kehidupan malam yang dijalaninya membuatnya jauh dari Sang Pencipta, dan inilah tugasku mengingatkan gadis baik itu.Setelah memastikan Anha bangun, aku gegas keluar dari rumah. Ingin sejenak berjalan-jalan di depan, menghirup udara segar Kota Bogor yang permai.Baru sedetik melangkah, aku mendengar gawaiku berbunyi. Benda pipih persegi yang kusimpan rapi di saku kulot itu terus merongrong minta diambil. Siapa yang memanggilku di pagi hari ini? Sejenak aku berpikir.Gawai itu kudekatkan ke te
“Apa maksudmu, Nak?” Ibu mencoba membaca ekspresiku.“Itu cuma bercandaannya Gina, Bu. Jangan diambil hati. Sekarang kita fokus sama kehamilan Gina, Bu. Sudah dua tahun lebih kita menanti,” bujuk Bang Teguh pada ibuku.Aku tahu alasan kenapa pria itu berusaha menjilat ibu, selain karena aku yang patuh pada ibu, Bang Teguh juga menyadari jika dirinya diperlakukan spesial oleh ibu. Selama ini, tidak ada anak perempuan ibu yang diizinkannya tinggal bersama mertua, hanya aku seorang demi menyenangkan hati Bang Teguh.“Bang, tahu darimana aku hamil, hah?” sergahku cepat. Pria ini sepertinya sudah kehilangan kewarasannya, jelas-jelas kami tidak pernah bersentuhan lagi, apalagi aku baru selesai datang bulan beberapa hari lalu.“Loh, kan memang ada tanda-tandanya, Gin!” sambung ibu mertua. “Anak itu butuh ayahnya, kamu jangan keras kepala terus, Gina.”“Ayah? Pr
“Hentikan ini semua! Memalukan! Pagi-pagi kalian membuat keributan?!” seru Bang Willy pada kami lagi.Segera ibu melepaskan tarikannya pada helaian rambut Bang Teguh, kemudian meniup telapak tangannya dari rambut yang tercabut. Begitu juga dengan aku dan Anha, kami gegas melepaskan ibu mertua yang menyisakan amukan serta cacian untuk kami berdua.“Dasar wanita gila kalian semua!” tunjuknya beriring dengan tatapan mata ke arahku dan Anha.Serupa denganku, Anha menyikapinya santai. Gadis itu malah mengendikkan bahu, seolah tidak mau tahu dengan apa yang baru saja kami lakukan pada ibu mertua yang kejam itu.“Semuanya duduk!” Suara Bang Willy kembali menggelegar. Dia menatapi kami bergantian dengan tatapannya yang setajam elang. Entah mengapa, tiba-tiba saja auranya menjadi begitu berbeda dan mencekam.“Duduk, Bu ... duduk Bang!” ucap Bang Willy pada keluarganya sendiri.“Mereka tidak usah d
Seminggu setelah insiden di rumah ibu mertua berlalu banyak hal yang berubah. Aku, Anha dan ibu tinggal bersama di bawah rumah sederhana milih Anha, sebab ibu mengaku ingin menemani di saat-saat berat ini. Karena memang, pengajuan perceraianku sudah masuk ke pengadilan beberapa hari lalu. Aku tidak mungkin lagi menunda perceraian ini lebih lama dan membiarkan Bang Teguh terus menyiksa. Apalagi, sertifikat tanah yang dulu kuperdebatkan itu belum mencapai titik akhir. Aku tidak rela jika Bang Teguh mendapatkan harta yang kuperjuangkan seorang diri begitu mudah, kemudian bersenang-senang bersama Adinda dengannya. “Gin, sudah dapat panggilan dari pengadilan?” Anha mengekoriku yang baru selesai memasak sarapan pagi ini. Aku menggeleng pelan, setelah mengajukan perceraian, nyatanya permintaanku itu belum mendapat balasan apapun. Bahkan alasanku bercerai saja sempat diragukan. Poligami? Aku seperti menentang sunnah nabi. Tapi nyatanya bukan karena Bang Teguh berpoli
Aku mengitari dengan mata ketiga orang yang duduk bersisian di sofa tempat ibu membaca koran semula. Wajah ketiganya getir, sedangkan Bang Teguh sedikit gugup sampai butiran bening bermunculan di pelipisnya.Tidak ada yang berbicara, bahkan ibu merasa enggan membuka suara. Hanya ada aroma harum dari ayam goreng bumbu di meja yang tidak dipindahkan Anha, serta nasi yang masih menghangat dan terasa lezat di mata.Kulirik Bang Teguh yang memelototi sarapan kami pagi ini. Wajahnya kian kusam serta muram. Sepertinya, pria ini tergiur dengan ayam lezat di depannya, karena aku tahu benar Bang Teguh menyukai daging ayam lebih dari apapun, mungkin lebih dari menyukai istrinya sendiri.Ingat dulu saat dia menghabiskan dua potong ayam sekali duduk tanpa memikirkan orang lain? Entah bagaimana kehidupannya sekarang setelah kami berpisah. Dia tidak lagi bekerja, sekarang hampir punya bayi dan tidak ada lagi yang bisa dijadikannya tumpuan dan sandaran.“Kamu lihat
Ekspresi Bang Teguh, ibu mertua dan menantunya menjadi riang setelah melihat sikap dari ibu. Aku hanya bisa membiarkan mereka meneguk senang di sana, karena saat ini keningku berdenyut luar biasa.Entah apa yang harus kulakukan agar bisa mengusir orang-orang tanpa harus mengeluarkan uang seperser pun. Aku berpikir sembari menatap wajah Anha. Gadis di sana itu sering punya ide licik, tapi entah kenapa hari ini malah diam tak banyak bicara.“Gin, transfer ke nomor rekeningku!” Bang Teguh membulatkan suara. Aku menengadah perlahan, menatap balik wajak tidak punya malu dari pria yang akan kuceraikan.Apa-apaan mereka ini? Benarkah dia pria yang dulu melamar dan menikahiku? Kenapa sikap dan hatinya sudah serupa dengan iblis? Astagfirullah, ampunkan aku Ya Allah.“Cepat Gin!” desak Bang Teguh.“Kemarikan sertifikatnya, Bang.” Aku mengulurkan tangan.“Uangnya dulu, Gin!”