Share

Bab 3

Penulis: Peachy
"Aku kasih kamu tiga hari, singkirkan wanita ini."

Bella menyentak tangannya dari Denis. Tunangan yang manis dan manja itu telah hilang.

Jelas, putri mafia itu tidak punya banyak kesabaran terhadap perselingkuhan calon suaminya.

Bella melangkah pergi dengan sepatu hak tingginya.

Saat melewatiku, tas tangannya menyenggol tanganku yang terluka dengan keras.

Rasa sakit yang tajam menyeruak. Aku menggigit bibirku agar tidak berteriak.

Setelah dia pergi, Denis menutup pintu kantor.

Dia menatapku, matanya kehilangan kehangatan yang dulu kukenal.

"Anton bilang kamu mau mengundurkan diri? Aku nggak setuju, tapi setelah apa yang terjadi hari ini, aku akan kasih kamu dua pilihan."

Dia berjalan ke bar dan menuangkan wiski untuk dirinya sendiri, dia tidak menuangkan untukku.

"Pilihan pertama, kamu bayar ganti rugi pada Keluarga Rosana sebesar 830 miliar atas kerusakan nama baik mereka."

Aku menatap Denis.

"Apa?"

"Skandal tadi malam merusak reputasi kedua keluarga kami," katanya dengan suara yang menakutkan saking tenangnya. "Seseorang harus bertanggung jawab."

"Aku nggak melakukan apa pun!"

"Kehadiranmu di sana adalah kesalahan." Dia menyesap minumannya. "Pilihan kedua, kamu minta maaf di depan umum pada Bella. Kamu akui kalau kamu menggodaku dan bersumpah akan menghilang. Sebagai gantinya, aku akan memindahkanmu ke rumahku di Pantai Barat, kamu bisa lanjut bekerja di sana."

Darahku terasa membeku.

Bekerja?

Denis hanya ingin mengurungku selamanya.

Dia ingin aku minta maaf... menyalahkan semua yang terjadi padaku...

"Kamu gila, Denis?" Suaraku bergetar. "Kamu mau aku minta maaf? Untuk apa? Karena mencintaimu? Kamu yang... "

"Pilih, Elian."

Matanya sempat bergetar sedetik, lalu kembali membeku.

"Kalau aku menolak?"

Dia meletakkan gelas dan berjalan ke arahku.

"Berarti kamu akan kehilangan segalanya. Meski kamu meninggalkanku, aku akan pastikan kamu nggak bisa kerja lagi di negara ini." Dia berhenti tepat di depanku. "Kamu tahu aku sanggup lakukan itu."

Aku menatap pada pria yang kukira kukenal.

"Aku ambil pilihan kedua," kataku sambil mengatupkan gigi. "Tapi ini yang terakhir."

"Rapat keluarga, besok jam 3 sore."

Keesokan harinya, aku berdiri di ruang rapat Keluarga Sanggu.

Sekitar belasan pria bersetelan mahal, inti dari keluarga itu duduk mengelilingi meja panjang.

Bella duduk di sisi kanan Denis, dengan senyum kemenangan di wajahnya.

"Tuan-Tuan." Denis berdiri. "Kita berkumpul hari ini untuk menyelesaikan sebuah... kesalahpahaman yang nggak menyenangkan."

Tatapannya bertemu dengan mataku. "Elian, silakan."

Aku menarik napas dalam-dalam dan berdiri.

"Aku... aku ingin minta maaf atas apa yang terjadi." Suaraku nyaris berbisik. "Ini salahku, aku seharusnya nggak ada di sana."

"Lebih keras, biar semua orang dengar," perintah Bella.

Aku mengepalkan tangan.

"Aku minta maaf atas perbuatanku." Aku meninggikan suara, kata-kata itu terasa pahit di lidah. "Akulah yang mengejar Pak Denis, aku bertindak nggak pantas, itu sebuah kesalahan, aku yang nggak bisa mengendalikan diriku."

Ruangan itu sunyi.

Beberapa pria tua saling bertukar pandang. Ada yang menggeleng, ada pula yang mencibir.

"Aku janji... aku nggak akan ganggu keluarga ini lagi." Aku memaksa kata-kata itu keluar. "Aku akan pergi dan nggak akan kembali."

"Bagus." Salah satu pria berambut putih mengangguk. "Bukan kejahatan bagi anak muda untuk membuat kesalahan, selama mereka bisa belajar dari kesalahan itu."

Aku teringat dua tahun lalu, di ruangan ini juga, Denis pernah menunjukkan pada mereka sebuah lukisan Renaissance yang kupulihkan.

"Elian itu genius," katanya waktu itu. "Dia bisa menghidupkan kembali karya seni yang mati."

Kebanggaan dan kekaguman di matanya waktu itu terasa seperti lelucon kejam sekarang.

"Rapat selesai," ucap Denis mengumumkan.

Saat semua orang pergi, Bella melewatiku. Bahunya menghantam bahuku. Dia membungkuk mendekat, aroma parfumnya menyengat. "Gadis pintar. Lain kali, menangislah supaya aktingmu lebih meyakinkan," bisiknya.

Tidak lama kemudian, hanya aku dan Denis yang tersisa.

"Lukamu masih sakit?" tanyanya sambil melirik tanganku yang diperban.

Aku menatap Denis, tidak percaya dia masih berani bertanya begitu.

"Kamu pura-pura peduli?"

"Setelah kamu menyelesaikan proyekmu, aku akan beri libur seminggu dengan bayaran. Lalu kamu bisa bersiap pindah ke rumah di Pantai Barat." Dia mengabaikan pertanyaanku. "Istirahatlah."

"Terima kasih atas kemurahan hatimu, Bos. Boleh aku pergi sekarang?" cibirku.

Dia mengangguk.

Aku berbalik hendak pergi, tapi berhenti di depan pintu.

"Denis," kataku sambil menatapnya. "Kau ingat 'Sleeping Venus'? Aku habiskan tiga bulan memulihkannya, dan kamu bilang itu hal terindah yang pernah kamu lihat."

Ekspresinya menegang.

"Akhirnya aku mengerti." Tawa getir lolos dari bibirku. "Kamu nggak pernah mencintaiku, kamu mencintai apa yang bisa kulakukan. Aku memperbaiki barang-barangmu yang rusak, menghidupkan kembali apa yang mati."

Aku menatap mata Denis. "Bedanya, Denis, sebuah lukisan nggak bisa mencintaimu balik dan nggak akan pernah bikin kamu dalam masalah."

Aku tidak menunggu jawabannya, tetapi langsung pergi.

Sesampainya di apartemen, aku mulai berkemas.

Aku melempar semua yang berhubungan dengan Denis ke dalam kantong sampah.

Buku-buku pemberiannya, foto-foto kami, bahkan berkas proyek kerjaku.

Aku memutus semua ikatan dengan masa laluku.

Keesokan harinya, aku berdiri di pembukaan besar hotel baru yang didanai Grup Sanggu.

Ini proyek terakhirku sebelum meninggalkan Nawa Yok. Aku bertanggung jawab atas pemulihan dan penataan seluruh karya seni hotel.

"Tuan dan Nyonya sekalian." Suara pembawa acara bergema. "Mari kita sambut konsultan seni utama kita, Nona Elian Vanka untuk memperkenalkan koleksi seni hotel ini."

Aku menarik napas dalam dan melangkah ke panggung.

Ini adalah puncak karierku, sekaligus perpisahanku.

"Terima kasih semuanya." Aku menyesuaikan mikrofon. "Malam ini, kami dengan bangga mempersembahkan… "

Namun tiba-tiba, kegaduhan kecil merambat di antara para tamu.

Para tamu mulai berbisik, menatapku dengan pandangan aneh.

Bingung, aku menoleh ke layar besar di belakangku.

Jantungku seakan berhenti berdetak.
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 21

    Sudut pandang Elian.Enam bulan kemudian, hari pernikahanku di Prasa.Aku mengenakan gaun yang Julian bantu rancang. Renda sederhana, dihiasi mutiara kecil seperti embun pagi.Sebelum upacara, satu paket anonim lagi tiba.Di dalamnya ada desain perhiasan asli oleh maestro Art Nouveau, Alphonse Mucha. Satu set alexandrite, itu semua tidak ternilai harganya.Alexandrite berubah warna dalam cahaya yang berbeda: Zamrud di siang hari, rubi di malam hari, simbol kehidupan ganda dan rekonsiliasi pada akhirnya.Kartu itu berisi satu baris dalam tulisan tangannya yang tajam dan familier, [Untuk wanita yang sejak awal seharusnya menjadi diri sendiri.]Aku tahu itu adalah salam perpisahan terakhir dari Denis.Aku menutup kotak itu dan meletakkannya ke samping. Lalu, aku mengenakan kalung bunga matahari sederhana yang diukir Julian untukku.Harta sejatiku, jenis yang tidak membutuhkan kegelapan untuk bersinar.Di dalam gereja, aku berjalan di pelaminan bersama ibuku, menuju Julian di altar.Saat p

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 20

    Sudut pandang Elian.Dua bulan kemudian, aku dan Julian berada di bandara.Kami akan pindah ke Prasa untuk memulai hidup baru sepenuhnya.Kota di Origo itu indah, tetapi kemunculan Denis bagaikan setetes tinta yang mengotori seluruh lautan.Aku butuh awal yang benar-benar baru.Denis tidak pernah muncul lagi setelah malam itu.Namun, "hadiah" penebusannya tidak pernah berhenti.Sketsa desain yang kupikir sudah lama hancur sudah direstorasi.Dokumen untuk yayasan seni yang didirikan atas namaku.Bahkan sertifikat kepemilikan Hotel Makmur di Cangga.Setiap hadiah adalah rantai lain yang mencoba menarikku kembali ke masa lalu.Aku mengembalikan semuanya tanpa dibuka, dengan satu catatan terlampir:[Aku tidak menginginkan apa pun darimu. Rasa bersalahmu adalah bebanmu sendiri, biarkan aku hidup tenang.]Sebelum naik pesawat, Julian memeriksa bagasi kami, aku duduk sendirian di ruang tunggu.Dari kejauhan, aku melihatnya.Denis berdiri di sisi lain pos pemeriksaan keamanan, mengenakan mante

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 19

    Sudut pandang Denis.Sebuah kota pesisir di Origo.Selama tiga hari, aku menjadi hantu dalam kehidupan baru Elian. Pengintai dari bayangan, kelaparan hanya untuk sekilas melihatnya.Aku melihatnya. Rambutnya kini pendek dan rapi. Dia mengenakan kemeja putih sederhana.Sinar matahari sore menyelimuti wajahnya yang fokus, membingkainya dengan cahaya keemasan.Dia bukan lagi gadis yang selalu tegang di sisiku, dia bersinar.Aku melihat seorang pria baik datang menjemputnya setiap sore.Pria itu akan mengambil tas peralatannya, lalu menggenggam tangannya.Dia akan mengaitkan jarinya dengan jari pria itu, begitu alami.Aku melihat mereka berbelanja di supermarket, bercanda sambil berdebat tentang merek susu.Setiap senyum yang Elian tunjukkan pada pria itu seperti pisau panas yang menusuk perutku.Kecemburuan adalah sulur beracun, mencekik hatiku hingga aku nyaris tidak bisa bernapas.Namun di saat yang sama, rasa kepuasan yang menyakitkan membanjiriku.Elian baik-baik saja, bahagia dan hid

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 18

    Sudut Pandang Denis.Tanganku mengendur.Revolver berlapis emas yang akan menentukan nasib Bella jatuh beradu ke lantai.Bella menerjang ke arahku seperti tali penyelamat.Dia merangkak, memeluk kakiku, wajahnya penuh air mata dan ingus. "Denis! Denis, dengarkan aku! Aku tahu di mana dia! Aku tahu di mana dia!"Aku perlahan menatap wanita menyedihkan di kakiku, mataku membeku."Ulangi ucapanmu.""Aku tahu di mana dia!" Bella mengira dia telah menemukan kartu negosiasi, kepalanya terangkat dengan penuh semangat. "Orang-orangku menemukannya sebelum orang-orangmu! Sebuah kota kecil di pesisir Origo. Dia mengganti namanya menjadi Elena Kumala dan membuka studio desain! Denis, aku tahu segalanya!"Sebuah tangan tak kasat mata mencengkeram jantungku, menekannya hingga nyaris berhenti.Bella tidak hanya menemukan Elian.Dari ekspresi Bella, tampaknya jauh lebih dari itu."Apa yang kamu lakukan padanya?" Suaraku rendah, setiap kata bak batu berat siap menghancurkannya.Mata Bella bergerak geli

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 17

    Sudut pandang Denis.Aku telah menghabiskan dua tahun merajut jaring besar untuk menjebak Keluarga Rosana di dalamnya.Aku memutus semua kesepakatan mereka, mendanai musuh-musuh mereka dan membiarkan mereka mati perlahan dalam penderitaan.Aku pikir semua itu kulakukan demi harga diriku, demi nama Keluarga Sanggu.Sampai Luki meletakkan laporan penyelidikan berdebu berusia dua tahun di depanku."Pak Denis, menurut temuan terbaru kami... kebocoran foto di upacara hotel dan permainan Rolet Rusia... semuanya bukan kebetulan."Aku menatap ke atas, kebingungan sekilas muncul di mataku.Luki menelan ludah dengan susah payah, suaranya tegang. "Semuanya ulah Bella, Pak Denis. Dia menyuap kru teknis untuk mempermalukan Nona Elian di depan umum. Dia bersekongkol sama Mario untuk mengatur permainan itu, dia mempermainkanmu. Kamu adalah senjata yang dia gunakan untuk menyiksa dan mungkin membunuh... Elian."PRANG.Gelas wiski di tanganku pecah.Pecahan kaca menusuk telapak tanganku. Darah bercampu

  • Aku Hilang, Dia Mencariku Kemana-mana   Bab 16

    Sudut pandang Denis.Dua bulan lalu, telepon internal di kantorku berdering."Pak Denis." Suara Luki terdengar ragu. "Kami menemukan seseorang di Orom... seseorang yang seharusnya sudah mati."Seolah ada kepalan tangan yang mencengkeram jantungku, darah di nadiku membeku."Siapa?" Suaraku terdengar jauh, seakan bukan milikku."Anton Raga."Tiga hari kemudian, di sebuah rumah aman tanpa jendela di pinggiran Nawa Yok, aku melihat Anton.Dua pengawal menyeretnya masuk. Tubuhnya kurus kering... tapi matanya masih menyala dengan perlawanan. Dia tampak seperti pria yang sudah terima kematiannya.Aku memberi isyarat agar para pengawal keluar, kami berdua sendirian di ruang beton besar itu.Aku tidak bicara, hanya mengitarinya seperti predator menilai mangsanya. Udara terasa begitu tegang hingga bisa meledak.Pistolku tergeletak di atas meja, logam dinginnya memantulkan cahaya putih lampu bohlam di atas kepala."Di pesawat… " Akhirnya aku bersuara, serak. "Apa dia ketakutan?"Anton menatapku,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status