Beranda / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 2 - Hutang dan Keluarga

Share

Bab 2 - Hutang dan Keluarga

Penulis: Faw faw
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 15:01:33

Malam merayap turun di kota Singapura. Di tepi jalan yang lengang, sebuah mobil hitam mewah terparkir rapi di bawah bayang pohon cemara. Di dalamnya, Ace duduk di kursi pengemudi, lengan kirinya melingkari bahu Selena, wanita yang ia ajak kencan di kafe tadi—tempat Felisha bekerja. Sementara tangan kanannya mengatur volume musik yang mengalun pelan. Lagu klasik Jepang yang syahdu berganti dengan musik jazz Prancis yang melankolis, menciptakan suasana hangat dan intim dalam kabin mobil.

Selena menyandarkan kepalanya di bahu Ace, senyum kecil menghiasi bibirnya. Wangi parfumnya berpadu dengan aroma kulit jok mobil dan hujan malam, menciptakan atmosfer yang tak mudah dilupakan. Mereka berciuman, ringan tapi penuh rasa.

“Jadi, kau benar-benar sudah lepas dari Elsa?” tanya Selena pelan, menatap wajah Ace dari bawah, sorot matanya jujur dan sedikit waspada.

Ace menarik napas panjang. Ada kegetiran dalam senyumnya.

“Dia memutuskan hubungan pagi tadi."

Selena mengerutkan kening, lalu mengangkat dagu Ace dengan sentuhan lembut jemarinya. “Tapi kau tidak terlihat sedih.”

“Karena Elsa tidak pernah benar-benar mencintaiku. Dia mencintai versi diriku yang dia pikir akan cocok jadi pewaris Ayah.

“Dan kau terlalu keras kepala untuk menjadi siapa pun selain dirimu sendiri," sahut Selena, tersenyum miring.

Ace terkekeh kecil. “Tepat sekali. Aku lebih rela gagal karena jadi diriku.”

Selena menatap Ace dalam, lalu mengecup pipinya penuh ketulusan. “Kalau begitu, biar aku yang mencintaimu tanpa perintah. Tanpa paksaan.”

Namun sebelum Ace sempat membalas, suara ketukan pelan di kaca mobil mengoyak keheningan. Ia menoleh, dan wajahnya berubah kaku saat melihat sosok yang berdiri di luar.

“Matthew?” gumamnya, tak percaya.

Selena ikut melirik ke arah pria itu. “Siapa?”

“Kakakku,” jawab Ace singkat. “Dia sampai datang ke sini. Sepertinya ada urusan penting.”

Selena tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu membuka pintu.

“Tidak apa-apa,” ujarnya lembut. “Aku akan pulang sendiri. Kau bicara saja dengan kakakmu.”

Ace menggenggam tangannya sejenak, menatapnya dalam. “Maaf. Aku akan menghubungi lagi nanti.”

Selena tersenyum, meskipun sorot matanya sedikit meredup. Ia keluar dari mobil, membiarkan angin malam menyapu rambut panjangnya. Sebuah taksi melintas, dan ia melambaikan tangan.

Ace menghela napas, menutup pintu, dan menyusul Matthew yang kini duduk di bangku taman.

Ia duduk tanpa suara di samping kakaknya.

Matthew menyulut rokok, mengisap dalam-dalam, lalu menghembuskan asap ke udara dingin. “Aku tak bermaksud mengganggu malam romantismu,” katanya tanpa menoleh. “Tapi ini penting.”

Ace menyandarkan tubuhnya, menatap langit gelap di atas. “Kau tahu aku benci didikte, Matt.”

Matthew mengembuskan napas kasar, separuh tawa, separuh frustrasi. “Kau serius mau hidup seperti ini terus?”

“Seperti ini apanya?”

“Melarikan diri. Dari Ayah, dari tanggung jawab. Kau benci dia, tapi tak pernah mencoba membuktikan dirimu lebih baik.”

Ace menoleh lambat. “Aku tidak lari. Aku sedang membangun. Diam-diam. Jauh dari pengawasan dan kontrol.”

Matthew menatap adiknya lama, lalu menggeleng pelan. “Ayah marah besar siang tadi. Kau bolos rapat penting.”

“Aku sengaja. Biar dia sadar, aku bukan boneka yang bisa digerakkan sesuai kemauannya.”

“Kalau dia coret kau dari warisan, kau akan tetap tertawa seperti itu?”

“Peduli setan,” sahut Ace. “Yang aku inginkan dari Ayah bukan uang. Tapi penyesalan. Tapi itu takkan pernah kudapat.”

Matthew terdiam sejenak. “Karena kau selalu mencari alasan untuk membenci.”

Mata Ace mengeras. “Aku tidak butuh alasan. Aku melihat sendiri saat dia berselingkuh, sementara Ibu menunggu keajaiban yang tidak pernah datang. Di rumah sakit. Sendirian.”

Keheningan turun di antara mereka. Bahkan angin pun seolah berhenti.

Matthew membuang rokok ke tanah dan menginjaknya. “Ayah memang brengsek. Tapi Ibu tidak pernah ingin kau tumbuh jadi seperti ini. Penuh kemarahan.”

Ace memejamkan mata. Bahunya menurun perlahan. “Yang kuinginkan hanyalah kebebasan," gumamnya pelan.

“Bebas tanpa arah bukan kebebasan, Ace. Itu pelarian.”

“Aku tidak butuh pemahamanmu. Aku hanya butuh sedikit waktu. Bisnis yang aku bangun mulai bergerak. Dan aku takkan membiarkan Ayah mengacaukannya, seperti sebelumnya.”

Matthew menghela napas panjang. Lelah. “Terserah. Tapi besok, kau harus datang ke kantor. Jangan buat semuanya jatuh ke pundakku terus.”

Ace tersenyum tipis. “Kalau suasana hatiku bagus.”

Merasa sudah cukup bicara, Matthew pun berdiri, menepuk bahu adiknya. “Jangan sampai aku kehilangan adikku hanya karena dia terlalu sibuk membenci Ayah.”

Tanpa menunggu jawaban, Matthew melangkah pergi, langkahnya berat tapi mantap.

Ace tetap duduk. Menatap langit yang gelap. Hanya satu bintang terlihat—redup, tapi bersinar lebih terang dari yang lain.

***

Pukul sembilan malam, Felisha tiba di depan apartemennya. Langkahnya gontai, jaket tipisnya tak cukup melindungi dari angin malam yang mulai menggigit. Tangannya gemetar ringan—campuran antara lelah dan dingin setelah dua shift penuh di kafe kecil tempatnya bekerja.

Dengan sisa tenaga, ia menekan sandi pintu apartemen mungil yang selama ini menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman.

Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu.

Di dalam, seorang wanita tua duduk tegak di sofa, tangannya bersedekap di dada. Matanya tajam, menusuk, seperti pisau yang hendak mengiris lapisan luka lama.

Felisha membeku. Napasnya tercekat. Jantungnya berdetak tak karuan. Bukan karena takut, tapi karena emosi lain yang lebih rumit. Amarah, cemas, dan trauma masa kecil yang belum benar-benar sembuh.

“Bibi Rosie?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Rosie Zhao, kakak kandung mendiang ayahnya, menegakkan punggung, seolah ingin memastikan bahwa ia tetap memegang kendali. Wajahnya sudah dipahat usia, namun aura arogansi yang dulu menghantui Felisha masih ada—utuh, tak berubah sedikit pun.

“Aku pikir kau akan menyambutku dengan teh hangat, bukan interogasi,” ucap Rosie tajam, tanpa basa-basi.

Felisha menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan ketegangan yang mulai memenuhi dadanya. “Aku memang pernah memberitahumu kode akses apartemenku, karena waktu itu kau bilang ingin mengantarkan barang-barang lama Ayah. Tapi, Bibi… bukan berarti kau bisa masuk ke sini tanpa izin.”

Alis Rosie terangkat tinggi. “Kenapa aku harus minta izin untuk masuk ke rumah keponakanku sendiri? Hanya karena kau jadi yatim piatu, bukan berarti kau bisa berpura-pura tidak punya keluarga. Aku masih hidup, dan kedatanganku malam ini bukan untuk bersantai.”

Felisha menarik napas panjang, menaruh tas kerja di atas meja komputer, lalu berdiri tegak. “Jadi, ada apa, Bibi? Kenapa kau datang ke sini malam-malam begini?”

Rosie merogoh tas tangan tuanya, mengeluarkan selembar kertas kusut, lalu meletakkannya di meja dengan gerakan penuh tekanan. “Baca ini.”

Felisha maju, menunduk, dan menyisir angka-angka yang tercetak di kertas itu. Matanya menyipit, dahinya berkerut. “I... ini apa?”

“Utang ayahmu,” jawab Rosie cepat, nadanya seperti cambuk yang memukul balik.

Felisha tersentak. “Apa?! Ayah meminjam uang sebanyak ini untuk apa?”

Rosie menyilangkan kaki, ekspresinya mencemooh. “Tentu saja untuk berjudi! Kau pikir dia bangkrut karena nasib buruk? Adikku itu bukan pebisnis. Dia penjudi yang gagal. Dan aku, dengan bodohnya, mencoba menyelamatkannya. Sekarang aku yang harus menanggung akibatnya.”

Felisha menggeleng, mencoba mengusir fakta itu dari pikirannya. “Tidak. Tidak mungkin! Ayah tidak pernah membutuhkan sesuatu sampai harus berhutang.”

Rosie mencondongkan tubuh, matanya menancap seperti paku ke dalam mata Felisha. “Itulah faktanya. Dan sekarang kau yang harus melunasi. Jangan kira hanya karena dia mati, utangnya juga ikut dikubur bersamanya.”

Felisha mundur selangkah. Kakinya seolah kehilangan kekuatan. “Aku kerja di kafe kecil, Bibi. Gajiku bahkan tak cukup untuk menutup tagihan listrik bulan ini.”

“Itu bukan urusanku,” jawab Rosie tegas. Ia berdiri, merapikan syal bulu palsunya. “Kalau aku tidak dapat uang itu dalam dua bulan, tanah perkebunan yang menjadi satu-satunya sisa warisan keluargaku akan ditarik bank. Aku tak akan membiarkan kesalahan adikku menghancurkan segalanya.”

Felisha menatap wajah keriput di hadapannya. “Jadi, ini tentang menyelamatkan tanah itu?”

Rosie sudah melangkah menuju pintu. “Kau punya dua bulan. Lebih cepat lebih baik.”

“Bibi.....”

Tapi pintu telah dibanting, suaranya menggema dalam keheningan apartemen.

Felisha berdiri mematung, seolah tubuhnya tak mampu bergerak. Lalu lututnya goyah. Ia terjatuh perlahan ke lantai, tangannya masih menggenggam kertas itu. Matanya mulai basah, namun air mata belum jatuh. Ia terlalu lelah untuk menangis. Terlalu terbiasa menahan.

Di dalam kertas itu, angka-angka tertulis rapi, dingin, seperti vonis yang tak bisa ditawar. Seratus ribu dolar!

Dan di keesokan harinya, pagi datang dengan langit kelabu. Felisha tiba lebih awal di kafe, menyembunyikan mata sembabnya di balik concealer tipis. Ia tersenyum pada pelanggan seperti biasa, seolah tidak ada sesuatu pun yang berubah. Tapi hatinya, pikirannya, dunia kecilnya—telah retak semalam.

Saat jeda istirahat, Viola duduk di sampingnya sambil mengunyah donat.

“Fel,” katanya, antusias. “Lihat ini.”

Ia menyerahkan selembar brosur yang dilipat dua.

Felisha menerimanya dengan lemah. “Apa ini?”

“Lowongan kerja. Newton Group buka posisi untuk desainer grafis. Gajinya bisa tiga kali lipat dari yang kita dapat di sini.”

Felisha membuka brosur itu perlahan. Logo Newton Group terpampang besar di bagian atas.

“Newton.…” gumamnya, seperti mengucapkan nama sebuah takdir yang tidak ia sadari sedang mendekat.

Viola tersenyum, menepuk pundaknya. “Kau punya bakat, Fel. Semua desain poster kita yang kau buat selalu dipuji bos. Kau cuma belum berani melangkah.”

Felisha menatap brosur itu lama, seolah sedang menimbang seluruh hidupnya. Jalan keluar yang ditawarkan Viola terasa seperti jembatan gantung—menakutkan, tapi satu-satunya jalan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 129 - Sepenggal Cerita Di Kedai Es Krim

    Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 128 - Mantel Bulu

    “Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 127 - Ide Cemerlang

    Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 126 - Matthew Dan Nasi Lemak

    Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 125 - Menumpang Mandi

    “K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 124 - Tamu Tak Terduga

    “Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status