Beranda / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 2 - Bayangan Masa Lalu

Share

Bab 2 - Bayangan Masa Lalu

Penulis: Faw faw
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 15:01:33

Malam merayap turun di kota Tokyo. Di tepi jalan yang lengang, sebuah mobil hitam mewah terparkir rapi di bawah bayang pohon sakura. Di dalamnya, Ace duduk di kursi pengemudi, lengan kirinya melingkari bahu Selena, sementara tangan kanannya mengatur volume musik yang mengalun pelan. Lagu klasik Jepang yang syahdu berganti dengan musik jazz Prancis yang melankolis, menciptakan suasana hangat dan intim dalam kabin mobil.

Selena menyandarkan kepalanya di bahu Ace, senyum kecil menghiasi bibirnya. Wangi parfumnya berpadu dengan aroma kulit jok mobil dan hujan malam, menciptakan atmosfer yang tak mudah dilupakan. Mereka berciuman, ringan tapi penuh rasa.

“Jadi, kau benar-benar sudah lepas dari Elsa?” tanya Selena pelan, menatap wajah Ace dari bawah, sorot matanya jujur dan sedikit waspada.

Ace menarik napas panjang. Ada kegetiran dalam senyumnya.

“Dia memutuskan hubungan pagi tadi."

Selena mengerutkan kening, lalu mengangkat dagu Ace dengan sentuhan lembut jemarinya. “Tapi kau tidak terlihat sedih.”

“Karena Elsa tidak pernah benar-benar mencintaiku. Dia mencintai versi diriku yang dia pikir akan cocok jadi pewaris Ayah.

Selena tersenyum miring. “Dan kau terlalu keras kepala untuk menjadi siapa pun selain dirimu sendiri.”

Ace terkekeh kecil. “Tepat sekali. Aku lebih rela gagal karena jadi diriku.”

Selena menatapnya dalam, lalu mengecup pipinya penuh ketulusan. “Kalau begitu, biar aku yang mencintaimu tanpa perintah. Tanpa paksaan.”

Namun sebelum Ace sempat membalas, suara ketukan pelan di kaca mobil mengoyak keheningan. Ia menoleh, dan wajahnya berubah kaku saat melihat sosok yang berdiri di luar.

“Marco?” gumamnya, tak percaya.

Selena ikut melirik ke arah pria itu. “Siapa?”

“Kakakku,” jawab Ace singkat. “Dia sampai datang ke sini. Sepertinya ada urusan penting.”

Selena tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk pelan, lalu membuka pintu.

“Tak apa,” ujarnya lembut. “Aku akan pulang sendiri. Bicaralah dengan kakakmu.”

Ace menggenggam tangannya sejenak, menatapnya dalam. “Maaf. Aku akan telepon nanti.”

Selena tersenyum, meskipun sorot matanya sedikit meredup. Ia keluar dari mobil, membiarkan angin malam menyapu rambut panjangnya. Sebuah taksi melintas, dan ia melambaikan tangan. Sebelum masuk, ia sempat melirik Ace sekali lagi. Ada kehangatan yang tertinggal di udara saat kendaraan itu menjauh, membawa separuh malam yang belum sempat menjadi cerita.

Ace menghela napas, menutup pintu, dan menyusul Marco yang kini duduk di bangku taman.

Ia duduk tanpa suara di samping kakaknya.

Marco menyulut rokok, mengisap dalam-dalam, lalu menghembuskan asap ke udara dingin. “Aku tak bermaksud mengganggu malam romantismu,” katanya tanpa menoleh. “Tapi ini penting.”

Ace menyandarkan tubuhnya, menatap langit gelap di atas. “Kau tahu aku benci didikte, Marco.”

Marco mengembuskan napas kasar, separuh tawa, separuh frustrasi. “Kau serius mau hidup seperti ini terus?”

“Seperti ini apanya?”

“Melarikan diri. Dari Ayah, dari tanggung jawab. Kau benci dia, tapi tak pernah mencoba membuktikan dirimu lebih baik.”

Ace menoleh lambat. “Aku tidak lari. Aku sedang membangun. Diam-diam. Jauh dari pengawasan dan kontrol.”

Marco menatap adiknya lama, lalu menggeleng pelan. “Ayah marah besar siang tadi. Kau bolos rapat penting.”

“Aku sengaja. Biar dia sadar, aku bukan boneka yang bisa digerakkan sesuai kemauannya.”

“Kalau dia coret kau dari warisan, kau akan tetap tertawa seperti itu?”

“Peduli setan,” sahut Ace. “Yang aku inginkan dari Ayah bukan uang. Tapi penyesalan. Tapi itu takkan pernah kudapat.”

Marco terdiam sejenak. “Karena kau selalu mencari alasan untuk membenci.”

Mata Ace mengeras. “Aku tidak butuh alasan. Aku melihat sendiri saat dia berselingkuh, sementara Ibu menunggu keajaiban yang tidak pernah datang. Di rumah sakit. Sendirian.”

Keheningan turun di antara mereka. Bahkan angin pun seolah berhenti.

Marco membuang rokok ke tanah dan menginjaknya. “Ayah memang brengsek. Tapi Ibu tidak pernah ingin kau tumbuh jadi seperti ini. Penuh kemarahan.”

Ace memejamkan mata. Bahunya menurun perlahan.

“Yang kuinginkan hanyalah kebebasan."

“Bebas tanpa arah bukan kebebasan, Ace. Itu pelarian.”

“Aku tidak butuh pemahamanmu. Aku hanya butuh sedikit waktu. Bisnis yang aku bangun mulai bergerak. Dan aku takkan membiarkan Ayah mengacaukannya, seperti sebelumnya.”

Marco menghela napas panjang. Lelah. “Terserah. Tapi besok, kau harus datang ke kantor. Jangan buat semuanya jatuh ke pundakku terus.”

Ace tersenyum tipis. “Kalau suasana hatiku bagus.”

Marco berdiri, menepuk bahu adiknya. “Jangan sampai aku kehilangan adikku... hanya karena dia terlalu sibuk membenci Ayah.”

Tanpa menunggu jawaban, Marco melangkah pergi, langkahnya berat tapi mantap.

Ace tetap duduk. Menatap langit yang gelap. Hanya satu bintang terlihat—redup, tapi bersinar lebih terang dari yang lain.

***

Pukul sembilan malam, Felisha tiba di depan apartemennya. Langkahnya gontai, jaket tipisnya tak cukup melindungi dari angin malam Tokyo yang mulai menggigit. Tangannya gemetar ringan—campuran antara lelah dan dingin setelah dua shift penuh di kafe kecil tempatnya bekerja.

Dengan sisa tenaga, ia menekan sandi pintu apartemen mungil yang selama ini menjadi satu-satunya tempat ia merasa aman.

Namun, langkahnya terhenti di ambang pintu.

Di dalam, seorang wanita tua duduk tegak di sofa, tangannya bersedekap di dada. Matanya tajam, menusuk, seperti pisau yang hendak mengiris lapisan luka lama.

Felisha membeku. Napasnya tercekat. Jantungnya berdetak tak karuan—bukan karena takut, tapi karena emosi lain yang lebih rumit: amarah, cemas, dan trauma masa kecil yang belum benar-benar sembuh.

“Bibi Rosie?” suaranya lirih, nyaris tak terdengar. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Rosie, kakak kandung mendiang ayahnya, menegakkan punggung, seolah ingin memastikan bahwa ia tetap memegang kendali. Wajahnya sudah dipahat usia, namun aura arogansi yang dulu menghantui Felisha masih ada—utuh, tak berubah sedikit pun.

“Aku pikir kau akan menyambutku dengan teh hangat, bukan interogasi,” ucap Rosie tajam, tanpa basa-basi.

Felisha menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan ketegangan yang mulai memenuhi dadanya. “Aku memang pernah memberitahumu kode akses… karena waktu itu kau bilang ingin mengantarkan barang-barang lama Ayah. Tapi, Bibi… bukan berarti kau bisa masuk ke sini tanpa izin.”

Alis Rosie terangkat tinggi. “Kenapa aku harus minta izin untuk masuk ke rumah keponakanku sendiri? Hanya karena kau jadi yatim piatu, bukan berarti kau bisa berpura-pura tidak punya keluarga. Aku masih hidup, dan kedatanganku malam ini bukan untuk bersantai.”

Felisha menarik napas panjang, menaruh tas kerja di atas meja komputer, lalu berdiri tegak. “Jadi... ada apa, Bibi?”

Rosie merogoh tas tangan tuanya, mengeluarkan selembar kertas kusut, lalu meletakkannya di meja dengan gerakan penuh tekanan. “Baca ini.”

Felisha maju, menunduk, dan menyisir angka-angka yang tercetak di kertas itu. Matanya menyipit, dahinya berkerut. “Ini... apa?”

“Utang ayahmu,” jawab Rosie cepat, nadanya seperti cambuk yang memukul balik.

Felisha tersentak. “Apa?! Ayah meminjam uang sebanyak ini untuk apa?”

Rosie menyilangkan kaki, ekspresinya mencemooh. “Tentu saja untuk berjudi! Kau pikir dia bangkrut karena nasib buruk? Adikku itu bukan pebisnis. Dia penjudi yang gagal. Dan aku, dengan bodohnya, mencoba menyelamatkannya. Sekarang aku yang harus menanggung akibatnya.”

Felisha menggeleng, mencoba mengusir fakta itu dari pikirannya. “Tidak... tidak mungkin. Ayah... dia selalu bilang dia sedang berjuang membangun sesuatu.”

Rosie mencondongkan tubuh, matanya menancap seperti paku ke dalam mata Felisha. “Dan sekarang kau yang harus melunasi. Jangan kira hanya karena dia mati, utangnya juga ikut dikubur bersamanya.”

Felisha mundur selangkah. Kakinya seolah kehilangan kekuatan. “Aku kerja di kafe kecil, Bibi. Gajiku bahkan tak cukup untuk menutup tagihan listrik bulan ini.”

“Itu bukan urusanku,” jawab Rosie tegas. Ia berdiri, merapikan shawl bulu palsunya. “Kalau aku tidak dapat uang itu dalam dua bulan, tanah perkebunan yang menjadi satu-satunya sisa warisan keluargaku akan ditarik bank. Aku tak akan membiarkan kesalahan adikku menghancurkan segalanya.”

Felisha menatap wajah keriput di hadapannya. “Jadi ini... tentang menyelamatkan tanah itu?”

Rosie sudah melangkah menuju pintu. “Kau punya dua bulan. Lebih cepat lebih baik.”

“Bibi...”

Tapi pintu telah dibanting, suaranya menggema dalam keheningan apartemen.

Felisha berdiri mematung, seolah tubuhnya tak mampu bergerak. Lalu lututnya goyah. Ia terjatuh perlahan ke lantai, tangannya masih menggenggam kertas itu. Matanya mulai basah, namun air mata belum jatuh. Ia terlalu lelah untuk menangis. Terlalu terbiasa menahan.

Di dalam kertas itu, angka-angka tertulis rapi, dingin, seperti vonis yang tak bisa ditawar. Lima juta yen.

Dan di keesokan harinya, pagi datang dengan langit kelabu. Felisha tiba lebih awal di kafe, menyembunyikan mata sembabnya di balik concealer tipis. Ia tersenyum pada pelanggan seperti biasa, seolah tidak ada sesuatu pun yang berubah. Tapi hatinya, pikirannya, dunia kecilnya—telah retak semalam.

Saat jeda istirahat, Viola, sahabat sekaligus rekan kerjanya, duduk di sampingnya sambil mengunyah donat.

“Fel,” katanya, antusias. “Lihat ini.”

Ia menyerahkan selembar brosur yang dilipat dua.

Felisha menerimanya dengan lemah. “Apa ini?”

“Lowongan kerja. Shirohige Group buka posisi untuk desainer grafis. Gajinya bisa tiga kali lipat dari yang kita dapat di sini.”

Felisha membuka brosur itu perlahan. Logo Shirohige Group—perusahaan raksasa di bidang periklanan dan pemasaran—terpampang besar di bagian atas.

“Shirohige…” gumamnya, seperti mengucapkan nama sebuah takdir yang tidak ia sadari sedang mendekat.

Viola tersenyum, menepuk pundaknya. “Kau punya bakat, Fel. Semua desain poster kita yang kau buat selalu dipuji bos. Kau cuma belum berani melangkah.”

Felisha menatap brosur itu lama, seolah sedang menimbang seluruh hidupnya. Jalan keluar yang ditawarkan Viola terasa seperti jembatan gantung—menakutkan, tapi satu-satunya jalan.

***

Lantai sembilan gedung kaca Shirohige Group terasa lebih panas dari biasanya, meski AC sentral bekerja maksimal. Di dalam ruangan divisi kreatif, suasana tegang menggantung di udara seperti asap kopi yang terlalu pekat.

Theo—manajer operasional yang dikenal cerewet dan memiliki rambut dengan jambul norak—berjalan mondar-mandir dengan langkah tak sabar. Kemejanya sudah setengah lecek, jambulnya kusut karena sering disisir pakai tangan, dan cangkir kopinya hanya menyisakan ampas pahit.

“Mana si brengsek itu?!” gumamnya geram, lebih pada dirinya sendiri.

Dari balik kubikel yang penuh papan vision board dan sticky note warna neon, Vista muncul. Kepala tim kreatif 1 itu berjalan santai, dengan kopi susu dingin di tangan dan senyum licik yang jadi ciri khasnya.

“Brengsek yang mana, nih? Ada banyak soalnya,” godanya sambil duduk di ujung meja Theo.

Theo menatapnya tajam. “Aku bicara soal Ace. Katanya hari ini mau masuk! Sekarang hampir jam sepuluh dan dia belum kelihatan juga!”

Vista mengangkat bahu, ekspresinya tenang. “Kau percaya dia bakal datang cuma karena ‘katanya’? Kau lebih naif dari yang kupikir, Theo.”

Theo membanting map ke meja. “Ini bukan soal datang atau tidak. Divisi kita kacau! Orang resign satu per satu, proyek mangkrak, deadline mepet. Dan kepala divisi kita... malah menghilang seperti hantu! Ayahnya tiap hari meneleponku, seperti mau menggorok leherku! Apa dia pikir jabatan kepala divisi itu cuma buat gaya-gayaan?!"

“Makanya kita buka lowongan,” sahut Vista ringan. “Siapa tahu, ada penyelamat masuk dari pintu depan.”

Seolah dipanggil oleh takdir, pintu otomatis bergeser pelan. Ace muncul.

Langkahnya tenang, nyaris malas. Parfum mahalnya langsung memenuhi udara. Ia mengenakan kemeja linen putih yang digulung di lengan, rambut sedikit acak, dan senyum separuh yang membuat orang sulit menebak apakah ia serius atau hanya bercanda.

Matanya menyapu ruangan, lalu tertuju pada sebuah benda di mejanya.

“Ah, ini dia,” gumamnya sambil mengambil jam tangan mewah yang tertinggal.

"HEI, SIALAN!!" suara Theo meledak seperti petasan. "Masih punya muka juga kau?"

Ace hanya menoleh, sedikit mengangkat alis. "Tenang, Theo. Aku cuma mau ambil jam tanganku."

"Kau pikir ini rumahmu?! Kau hilang selama beberapa hari, lalu muncul cuma untuk mengambil barang?!"

Ace menyematkan jam di pergelangan tangan sambil berkaca di layar komputer. "Well, jam ini limited edition. Sayang kalau hilang."

"KAU...!" Theo menunjuk Ace seperti akan meninju udara.

Namun Ace hanya terkekeh santai. Diumpat seperti itu oleh bawahannya, tidak membuat ia tersinggung sama sekali. Sebab Theo dan Vista adalah teman satu kuliahnya. Mereka sudah berteman dekat sejak lama hingga sekarang.

"Kau harus jaga tekanan darahmu. Nanti cepat tua. Tidak ada perempuan yang mau mendekatimu," ujarnya, usil.

"Berani bicara begitu karena tampangmu mendukung, ya?! Coba kau jelek kayak aku-lihat siapa yang mau dekat!"

"Yah, kalau jelek sepertimu... mungkin takdirnya memang jadi manajer sialan selamanya."

Vista tertawa pecah. "Hentikan, kalian berdua seperti anak kecil saja!"

"Kalau mau ribut, ayo ke ring tinju," kata Ace sambil duduk di tepi meja. "Tapi kalau mau minum, ayo ikut aku," tawarnya seketika, mengganti suasana tegang menjadi ajakan santai.

Theo berkedip. "Kau yang traktir, kan?"

Vista menyenggol Theo, "Hei, tolol. Bukannya kau sedang kesal?"

"Itu... bisa dibicarakan nanti. Yang penting minum dulu." Theo tersipu seperti anak kecil yang dibujuk es krim.

Vista menggeleng pelan. "Aku ikut. Tapi serius, Ace. Kita perlu bicara soal struktur tim kreatif. Kacau sekali sekarang."

"Antri, dong! Aku duluan yang harus bicara dengan anak sialan ini!" sela Theo, tak mau kalah.

Dan dengan begitu, mereka bertiga melangkah keluar kantor. Ace mengemudikan mobil menuju tempat yang dirasa pas. Kafe Lenorè.

Setibanya di sana, Ace mendorong pintu kaca kafe. Aroma kopi dan vanilla menyambut mereka, menenangkan kepala yang riuh barusan.

Theo melirik sekeliling dan memicingkan mata. "Lho? Bukannya kita mau minum di bar?"

Ace nyengir. "Masih terlalu pagi untuk alkohol. Ngopi saja dulu."

"Masih terlalu pagi nenek moyangmu. Ini sudah jam makan siang!"

"Ya sudah, kalau tidak suka, pergi ke bar sana, sendirian."

Theo cemberut tapi tetap masuk. Vista hanya tertawa dan menepuk pundaknya. "Sudah, tua. Tidak usah banyak tingkah."

Namun di meja kasir, bukan Felisha yang menyambut mereka, melainkan Viola. Wanita itu membeku sejenak saat melihat Ace. Matanya sedikit membelalak, namun ekspresi wajahnya cepat disembunyikan di balik senyum ramah.

Ace melangkah mendekat, menyapa santai, "Nona Tembem lagi di mana?"

Viola terkekeh kecil. "Nona Tembem?"

"Aku yakin kau tahu siapa maksudku."

Viola menoleh ke dapur. Wajahnya seperti menyimpan rahasia.

"Maaf. Dia sedang sibuk di belakang. Tapi aku bisa mencatat pesanan kalian."

“Latte dua, espresso satu. Dan... sampaikan salam dariku,” kata Ace, lebih pelan.

Viola hanya mengangguk, lalu berlalu menuju mesin kopi.

Sementara itu, Vista menjauh ke arah toilet. Ia berhenti di dekat papan tulis besar yang menggantung di dinding—dipenuhi ilustrasi, lettering kapur, dan warna pastel. Ada sentuhan tangan yang jelas di sana. Bukan desain biasa. Ini punya jiwa.

Ia mendekat, menelusuri huruf dengan ujung jarinya.

Lalu, dari pintu dapur, Felisha muncul membawa nampan dan sekotak kapur yang sudah pendek-pendek. Mereka berpapasan.

Vista menatapnya, lalu tersenyum. “Ini... kau yang buat?”

Felisha terdiam, lalu mengangguk pelan. “Iya. Kenapa?”

“Namaku Vista. Aku kepala tim kreatif 1 dari Shirohige Group.”

Felisha membeku. Nama itu langsung memukul ingatannya. Shirohige. Tempat yang ingin ia lamar. Dunia yang terasa terlalu jauh dari jangkauannya. Tapi kini, seseorang dari sana justru berdiri di depannya—menawarkan pintu yang tak sempat ia ketuk.

“Aku tahu ini mendadak,” lanjut Vista. “Tapi... apa kau tertarik bekerja di dunia periklanan?”

Felisha menggenggam erat kotak kapur itu. Napasnya seolah berhenti sesaat. Dunia seperti berhenti bergerak.

Mungkin inilah awalnya. Ketika semesta memutar arah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 19 - Secangkir Harapan

    "Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 18 - Dua Wajah Di Sore Itu

    Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 17 - Yang Tak Bisa Dimaafkan

    Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 16 - Antara Dua Dunia

    Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 15 - Bayang-bayang Felisha

    BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 14 - Di Puncak Pengkhianatan

    Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status