Home / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 1 - Takdir Yang Mempertemukan

Share

Aku Ingin Kau Jadi Milikku
Aku Ingin Kau Jadi Milikku
Author: Faw faw

Bab 1 - Takdir Yang Mempertemukan

Author: Faw faw
last update Last Updated: 2025-09-30 14:58:53

Suara alarm memekik, memecah keheningan pagi di apartemen mungil milik Felisha Zhao. Dengan mata masih terpejam, tangannya meraba-raba meja di samping ranjang, menabrak tumpukan buku, kabel charger, dan botol air sebelum akhirnya berhasil mematikan sumber kebisingan itu.

Ia mendesah pelan, masih setengah tertidur.

"Lima menit lagi..." gumamnya, menarik kembali selimut ke atas kepala.

Namun baru dua detik berlalu, ia terduduk, menatap kosong ke langit-langit. Realita pagi terlalu keras untuk diabaikan.

Dengan enggan, Felisha melangkah ke kamar mandi. Air dingin menyentuh wajahnya, seperti tamparan dari dunia nyata. Kantuk menguap, berganti rasa malas yang tak kalah berat. Ia menatap cermin. Rambut awut-awutan, mata sembab, dan kaos tidur longgar yang entah sejak kapan mulai kehilangan bentuknya.

“Cantik sekali,” katanya dengan nada sinis, lalu terkekeh kecil.

Setelah membersihkan diri, ia membuka kulkas dan mengambil sebutir telur. Menu andalannya saat waktu tidak berpihak adalaah telur ceplok dan roti panggang. Suara televisi mulai mengisi keheningan ruangan, menayangkan acara pagi yang terlalu ceria. Presenter tersenyum selebar dunia, seolah hidup hanya berisi pelangi dan cupcake.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar kencang di atas meja. Felisha terlonjak, lalu meraihnya.

“Felisha! Gawat!” suara panik menyambutnya.

“Viola?” Felisha mengucek mata. “Kau tahu kan, ini masih jam tujuh pagi?”

“Mia tiba-tiba sakit. Aku sudah hubungi semua orang, cuma kau yang bisa bantu. Kau harus datang sekarang juga. Kalau bos tahu barista utama absen—”

Felisha langsung duduk tegak. “Ya ampun… kenapa hari liburku selalu jadi korban?”

“Karena kau malaikat tak bersayap. Cepat ya, sebelum aku mati konyol di balik mesin espresso.”

Meski kesal, felisha tidak bisa menahan senyum tipis. Viola, rekan kerja sekaligus sahabatnya itu memang pandai memaksa. “Baiklah. Tapi kau traktir makan malam.”

“Oke! Sekarang cepat ke sini!"

Telepon terputus. Felisha segera bangkit, membuka lemari, dan mengacak-acak isinya. Ia memilih atasan biru dengan renda halus dan celana jeans ketat favoritnya. Pagi masih sejuk, jadi ia menambahkan cardigan abu-abu tipis.

Setelah menyemprotkan parfum dengan aroma sederhana, ia berlari menuruni tangga apartemen dengan setengah roti panggang masih menggantung di mulut. Sampai di halte, satu-satunya bus menuju pusat kota baru saja meninggalkan jejak debu di wajahnya.

“Tidak! Tunggu!” teriaknya, mengangkat tangan. Sia-sia.

Ia mengumpat pelan, menoleh kanan-kiri. Di ujung jalan, sebuah taksi melaju pelan.

“Yes!”

Felisha melambai-lambaikan tangan sambil menyeberang, perhatiannya tak lepas dari ponselnya yang sedang digunakan untuk membalas pesan Viola. Tapi tiba-tiba sebuah bus besar melintas, menghalangi pandangannya. Ia tidak sadar bahwa taksi itu tidak berhenti.

Namun pandangannya langsung menangkap sebuah mobil hitam yang berhenti di pinggir jalan. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan masuk.

“Cepat antar aku ke Kafe Lenorè di pusat kota!” katanya tergesa, jari masih sibuk mengetik pesan balasan pada Viola.

Hening.

Baru beberapa detik kemudian, suara seorang lelaki terdengar—tenang, berat, dan terdengar geli.

“Maaf… kau siapa?”

Felisha mengangkat kepala dengan kaget. Yang duduk di balik kemudi bukan sopir taksi berusia paruh baya, melainkan seorang pria muda tampan dengan jas kasual. Rambut hitamnya tertata dengan gaya modis bak artis, mata sipit tajam menatapnya penuh seloroh.

“Eh… ini… bukan taksi?” tanyanya gugup.

Pria itu menyeringai kecil. “Sayangnya bukan. Tapi kau sudah terlanjur duduk di sana dengan percaya diri. Lalu, apa aku harus pura-pura jadi sopir taksi saja?”

Wajah Felisha langsung memanas. Ia buru-buru meraih tas. “Astaga, maaf! Kupikir taksi. Aku keluar saja—”

“Terlambat,” ucap pria itu ringan sambil menekan pedal gas. Mobil melaju mulus. “Pegang yang erat, Nona. Sopir edisi terbatas ini tidak suka jalan pelan.”

Felisha melongo, tubuhnya menegang. “Hei! Aku bisa terlambat kalau kau bercanda begini!”

“Bukankah tujuanmu Kafe Lenorè?” tanya si pria aneh itu sambil melirik spion.

Felisha terdiam. “Kau… dengar?”

“Ya. Dan kebetulan aku tahu jalannya. Jadi tenanglah. Kau aman di tangan sopir tampan ini.”

“Sopir taksi tidak seharusnya narsis," gumam Felisha memutar bola mata.

“Benar. Tapi aku kan bukan sopir taksi. Jadi aku boleh narsis, dong.”

Felisha tidak menjawab lagi . Ia menempelkan punggung ke kursi, mencoba menutupi rasa malunya dengan raut masam. Lelaki ini jelas bukan tipenya. Terlalu percaya diri. Terlalu lancar berbicara.

Sesampainya di depan kafe, Felisha buru-buru keluar, lalu menyodorkan beberapa lembar uang. “Ini ongkosnya.”

Tapi pria itu menolak, mendorong tangannya pelan. “Gratis. Tapi kalau kau merasa berutang… traktir aku kopi saja lain kali.”

Felisha mendecak. “Aku tidak mau berutang apa pun.”

“Kalau begitu, anggap saja aku sudah punya kupon traktir,” jawabnya sambil mengedipkan mata.

Seketika Felisha membeku. Pipinya merona. Sebelum ia sempat membalas, mobil itu sudah melaju pergi.

“Ya Tuhan…” desisnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan. “Memalukan sekali.”

***

Kini Felisha duduk di ruang istirahat kafe, menutup wajahnya dengan kedua tangan.

“Ya ampun, aku bodoh banget!" gumamnya.

Viola duduk di depannya, menyeruput kopi. “Jadi kau membiarkan pria itu mengantarmu ke sini?”

“Tidak! Dia sendiri yang memaksa dan berlagak senang menjadi supir taksi!”

Viola tertawa terpingkal-pingkal. “Lucu banget! Kau bikin pagi orang itu jadi berwarna!”

Felisha mendecak. “Lucu ya, kalau itu bukan aku.”

“Tenang, di kota sebesar ini, kau tidak akan bertemu dengannya lagi. Kecuali kalian berjodoh.”

“Jangan mulai.”

Tepat saat itu, bel pintu kafe berdenting. Felisha yang baru hendak berdiri, menoleh refleks ke arah pintu.

Dan di sana, berdiri lah pria itu.

Ace Alexander Newton. Si sopir taksi dadakan.

Mengenakan jas hitam kasual dan tersenyum seperti bintang iklan parfum mahal, ia masuk bersama seorang wanita tinggi dalam balutan gaun merah selutut yang menyala.

Felisha terpaku. “Itu dia...” bisiknya.

Viola ikut membeku. “Pria yang tadi itu??”

Felisha mengangguk pelan. Jantungnya berdetak kacau.

Ace berjalan ke kasir. Tatapannya langsung mengarah pada Felisha.

“Selamat datang,” ucap Felisha kaku, mencoba bersikap profesional.

Ace menyeringai dan berbisik santai. “Jadi, sudah kau pikirkan soal traktiran kopinya?”

Felisha mengangkat alis, sinis. “Pesananmu gratis. Hutangku lunas.”

“Gratis itu bukan traktiran. Aku maunya kau yang bayar pakai hati.”

“Kalau begitu, cari wanita lain. Hatiku mahal.”

“Justru itu yang bikin menarik,” jawab Ace, mengedipkan sebelah mata dengan nakal.

Wanita di sebelahnya masih sibuk membaca menu, seolah tak menyadari percakapan mereka.

Ace akhirnya memesan dua kopi, lalu duduk di meja dekat jendela. Viola masih melongo dari balik mesin kopi.

“Fel, kau tidak bilang kalau dia sangat tampan. Seperti aktor!”

Felisha mendengus. “Dia pria penggoda. Datang dengan wanita lain, tapi masih sempat menggodaku. Aku tidak sudi berurusan dengan pria seperti itu.”

Viola hanya mengangkat bahu sambil menahan tawa.

Dengan kesal, Felisha melepas celemek baristanya. “Gantian, ya. Aku ke belakang sebentar.”

“Tapi aku baru—”

“Tolong, sebentar saja.”

Viola mengalah, mengangguk pasrah.

Di ruang staf, Felisha duduk dan menarik napas panjang. Ia membuka ponsel. Satu pesan baru masuk.

'Kita perlu bicara. Ini penting.'

Tatapan Felisha berubah kosong. Pikirannya langsung melayang, bukan kepada Ace, melainkan kepada pengirim pesan tersebut. Yaitu seseorang dari masa lalu yang tak ingin ia hadapi lagi.

***

Sementara itu, di kantor pusat periklanan dan pemasaran di Singapura—Newton Group— seorang pria paruh baya dengan tubuh besar dan aura dominan duduk di balik meja besar berkayu mahoni.

Edward Newton, pemilik perusahaan raksasa itu, sedang mengamuk.

“Matthew!” suaranya menggelegar.

Seorang pria berwibawa dengan rambut keemasan dan sorot mata tenang masuk ke ruangan dengan langkah hati-hati. “Ya, Ayah?”

“Di mana Ace?! Sudah tiga hari dia tidak datang. Aku tidak membangun perusahaan ini untuk diwariskan pada seorang pemalas!”

Matthew tetap tenang di bawah tekanan amarah sang ayah yang sekaligus atasannya. “Dia sedang... mencari inspirasi, Ayah.”

“Inspirasi? Hah. Yang dia cari itu cuma masalah!”

“Dia akan kembali. Aku yakin.”

“Aku tidak peduli! Seret dia ke sini kalau perlu! Kalau dia masih ingin punya nama di keluarga ini, dia harus belajar tanggung jawab!”

Matthew mengangguk hormat. “Baik. Aku akan mencarinya.”

Tapi dalam hati, ia tahu, menemukan Ace mungkin mudah. Membuatnya patuh?

Itu seperti mencoba menghentikan badai dengan tangan kosong.

Dan badai itu—Ace—baru saja hendak mengusik hidup seorang gadis bernama Felisha.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Azzurra
Cinta pada pandangan pertama ya Ace.
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
ace bakalan sulit naklukan si felisha. wkwkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 129 - Sepenggal Cerita Di Kedai Es Krim

    Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 128 - Mantel Bulu

    “Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 127 - Ide Cemerlang

    Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 126 - Matthew Dan Nasi Lemak

    Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 125 - Menumpang Mandi

    “K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 124 - Tamu Tak Terduga

    “Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status