Accueil / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 3 - Ketika Dunia Bertabrakan

Share

Bab 3 - Ketika Dunia Bertabrakan

Auteur: Faw faw
last update Dernière mise à jour: 2025-10-21 14:38:57

Lantai sembilan gedung kaca Newton Group terasa lebih panas dari biasanya, meski AC sentral bekerja maksimal. Di dalam ruangan divisi kreatif, suasana tegang menggantung di udara seperti asap kopi yang terlalu pekat.

Theo—manajer operasional yang dikenal cerewet dan memiliki rambut dengan jambul norak—berjalan mondar-mandir dengan langkah tak sabar. Kemejanya sudah setengah lecek, jambulnya kusut karena sering disisir pakai tangan, dan cangkir kopinya hanya menyisakan ampas pahit.

“Mana si brengsek itu?!” gumamnya geram, lebih pada dirinya sendiri.

Dari balik kubikel yang penuh papan vision board dan sticky note warna neon, Vin muncul. Kepala tim kreatif 1 itu berjalan santai, dengan kopi susu dingin di tangan dan senyum licik yang jadi ciri khasnya.

“Brengsek yang mana, nih? Ada banyak soalnya,” godanya sambil duduk di ujung meja Theo.

Theo menatapnya tajam. “Aku bicara soal Ace. Katanya hari ini mau masuk! Sekarang hampir jam sepuluh dan dia belum kelihatan juga!”

Vin mengangkat bahu, ekspresinya tenang. “Kau percaya dia bakal datang cuma karena ‘katanya’? Kau lebih naif dari yang kupikir, Theo.”

Theo membanting map ke meja. “Ini bukan soal datang atau tidak. Divisi kita kacau! Orang resign satu per satu, proyek mangkrak, deadline mepet. Dan kepala divisi kita malah menghilang seperti hantu! Ayahnya tiap hari meneleponku, seperti mau menggorok leherku! Apa dia pikir jabatan kepala divisi itu cuma buat gaya-gayaan?!"

“Makanya kita buka lowongan,” sahut Vin ringan. “Siapa tahu, ada penyelamat masuk dari pintu depan.”

Seolah dipanggil oleh takdir, pintu otomatis bergeser pelan. Ace muncul.

Langkahnya tenang, nyaris malas. Parfum mahalnya langsung memenuhi udara. Ia mengenakan kemeja linen putih yang digulung di lengan, rambut sedikit acak, dan senyum separuh yang membuat orang sulit menebak apakah ia serius atau hanya bercanda.

Matanya menyapu ruangan, lalu tertuju pada sebuah benda di mejanya.

“Ah, ini dia,” gumamnya sambil mengambil jam tangan mewah yang tertinggal.

"HEI, SIALAN!!" suara Theo meledak seperti petasan. "Masih punya muka juga kau?"

Ace hanya menoleh, sedikit mengangkat alis. "Tenang, Theo. Aku cuma mau ambil jam tanganku."

"Kau pikir ini rumahmu?! Kau hilang selama beberapa hari, lalu muncul cuma untuk mengambil barang?!"

Ace menyematkan jam di pergelangan tangan sambil berkaca di layar komputer. "Jam ini limited edition. Sayang kalau hilang."

"KAU...!" Theo menunjuk Ace seperti akan meninju udara.

Namun Ace hanya terkekeh santai. Diumpat seperti itu oleh bawahannya, tidak membuat ia tersinggung sama sekali. Sebab Theo dan Vin adalah teman satu kuliahnya. Mereka sudah berteman dekat sejak lama hingga sekarang.

"Kau harus jaga tekanan darahmu. Nanti cepat tua. Tidak ada perempuan yang mau mendekatimu," ujarnya, usil.

"Berani bicara begitu karena tampangmu mendukung, ya?! Coba kau jelek kayak aku-lihat siapa yang mau dekat!"

"Yah, kalau jelek sepertimu... mungkin takdirnya memang jadi manajer sialan selamanya."

Vin tertawa pecah. "Hentikan, kalian berdua seperti anak kecil saja!"

"Kalau mau ribut, ayo ke ring tinju," kata Ace sambil duduk di tepi meja. "Tapi kalau mau minum, ayo ikut aku," tawarnya seketika, mengganti suasana tegang menjadi ajakan santai.

Theo berkedip. "Kau yang traktir, kan?"

Vin menyenggol Theo, "Hei, tolol. Bukannya kau sedang kesal?"

"Itu bisa dibicarakan nanti. Yang penting minum dulu." Theo tersipu seperti anak kecil yang dibujuk es krim.

Vin menggeleng pelan. "Aku ikut. Tapi serius, Ace. Kita perlu bicara soal struktur tim kreatif. Kacau sekali sekarang."

"Antri, dong! Aku duluan yang harus bicara dengan anak sialan ini!" sela Theo, tak mau kalah.

Dan dengan begitu, mereka bertiga melangkah keluar kantor. Ace mengemudikan mobil menuju tempat yang dirasa pas. Kafe Lenorè.

Setibanya di sana, Ace mendorong pintu kaca kafe. Aroma kopi dan vanilla menyambut mereka, menenangkan kepala yang riuh barusan.

Theo melirik sekeliling dan memicingkan mata. "Lho? Bukannya kita mau minum di bar?"

Ace nyengir. "Masih terlalu pagi untuk alkohol. Ngopi saja dulu."

"Masih terlalu pagi nenek moyangmu. Ini sudah jam makan siang!"

"Ya sudah, kalau tidak suka, pergi ke bar sana, sendirian."

Theo cemberut tapi tetap masuk. Vin hanya tertawa dan menepuk pundaknya. "Sudah, tua. Tidak usah banyak tingkah."

Namun di meja kasir, bukan Felisha yang menyambut mereka, melainkan Viola. Wanita itu membeku sejenak saat melihat Ace. Matanya sedikit membelalak, namun ekspresi wajahnya cepat disembunyikan di balik senyum ramah.

Ace melangkah mendekat, menyapa santai, "Nona Tembem lagi di mana?"

Viola terkekeh kecil. "Nona Tembem?"

"Aku yakin kau tahu siapa maksudku."

Viola menoleh ke dapur. Wajahnya seperti menyimpan rahasia.

"Maaf. Dia sedang sibuk di belakang. Tapi aku bisa mencatat pesanan kalian."

“Latte dua, espresso satu. Dan... sampaikan salam dariku,” kata Ace, lebih pelan.

Viola hanya mengangguk, lalu berlalu menuju mesin kopi.

Sementara itu, Vin menjauh ke arah toilet. Ia berhenti di dekat papan tulis besar yang menggantung di dinding—dipenuhi ilustrasi, lettering kapur, dan warna pastel. Ada sentuhan tangan yang jelas di sana. Bukan desain biasa. Ini punya jiwa.

Ia mendekat, menelusuri huruf dengan ujung jarinya.

Lalu, dari pintu dapur, Felisha muncul membawa nampan dan sekotak kapur yang sudah pendek-pendek. Mereka berpapasan.

Vin menatapnya, lalu tersenyum. “Ini... kau yang buat?”

Felisha terdiam, lalu mengangguk pelan. “Iya. Kenapa?”

“Namaku Vin Russel. Aku kepala tim kreatif 1 dari Newton Group.”

Felisha membeku. Nama itu langsung memukul ingatannya. Newton. Tempat yang ingin ia lamar. Dunia yang terasa terlalu jauh dari jangkauannya. Tapi kini, seseorang dari sana justru berdiri di depannya, menawarkan pintu yang tak sempat ia ketuk.

“Aku tahu ini mendadak,” lanjut Vin. “Tapi, apa kau tertarik bekerja di dunia periklanan?”

Felisha menggenggam erat kotak kapur itu. Napasnya seolah berhenti sesaat. Dunia seperti berhenti bergerak.

Mungkin inilah awalnya. Ketika semesta memutar arah.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 129 - Sepenggal Cerita Di Kedai Es Krim

    Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 128 - Mantel Bulu

    “Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 127 - Ide Cemerlang

    Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 126 - Matthew Dan Nasi Lemak

    Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 125 - Menumpang Mandi

    “K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 124 - Tamu Tak Terduga

    “Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status