MasukSebelumnya, pagi masih tenang di Kafe Lenorè. Di pojok dekat kaca, dua pelanggan duduk diam, masing-masing larut dalam layar laptop dan dunia mereka sendiri. Suara musik jazz instrumental mengalun pelan, menyatu dengan desis mesin espresso dan aroma kopi yang memenuhi udara.
Di balik konter, Felisha dan Viola berdiri berdampingan. Uap dari susu panas memenuhi udara saat Viola menuangnya ke dalam pitcher logam. “Jadi.... kau benar-benar mau melamar ke Newton Group?” tanya Viola, mencoba terdengar santai, meski ada nada kagum di suaranya. Felisha mengangguk pelan. “Aku tahu itu perusahaan besar, nyaris tak masuk akal. Tapi aku tak bisa berada di sini selamanya. Rasanya seperti kakiku diam, tapi hatiku ingin lari.” Viola tersenyum dan menepuk lembut tangan sahabatnya. “Kau pantas untuk lebih, Fel. Desain-desainmu itu bukan cuma bagus, tapi juga hidup.” Felisha tertawa kecil, menunduk. “Aku cuma main kapur dan corat-coret. Bukan sesuatu yang bisa dibilang ‘desain’.” Sebelum Viola sempat membantah lagi, derap tumit terdengar dari lorong belakang. Seorang perempuan paruh baya muncul—berwibawa, dengan blazer putih gading dan tatapan yang tajam namun hangat. Monnica, pemilik sekaligus manajer kafe. “Felisha,” panggilnya langsung. “Aku butuh bantuanmu.” Felisha berdiri tegak. “Ada yang bisa aku kerjakan?” Monnica menunjuk ke arah papan tulis besar yang biasanya mereka letakkan di luar kafe. “Kita butuh desain baru hari ini. Promosi menu seasonal. Sesuatu yang bisa menghentikan langkah orang di trotoar.” Viola langsung melirik Felisha, ekspresinya jelas mengatakan, 'Inilah saatmu.' Monnica pun tersenyum tipis. “Sejak awal, kau yang paling berbakat soal ini, Felisha. Aku percaya pada seleramu.” Felisha terpaku sesaat. “Baik, akan kukerjakan. " “Kau punya waktu tiga puluh menit.” Clipboard diselipkan ke lengannya, dan tanpa banyak kata, Felisha langsung bergerak. Ia menuju ruang belakang, mengambil papan tulis besar dan meletakkannya di meja panjang dekat jendela dapur—sudut kecil tempat ia biasa berkarya diam-diam. Ia membuka kotak kapurnya. Beberapa batang sudah hampir habis. Tapi ia tak peduli. Ia mengambil satu yang ujungnya tumpul, yaitu warna lavender. Lalu jari-jarinya mulai menari. Garis pertama ditarik dengan hati-hati. Lalu lengkungan. Warna lain menyusul—kuning keemasan, biru muda, putih kapur. Tangannya bergerak mengikuti irama yang hanya bisa ia dengar sendiri. Ia menggambar gelas latte dengan busa hati di ujungnya, lalu menulis dengan gaya tulisan tangan unik, “Brew Your Mood with Us.” Tak ada sketsa. Tak ada ragu. Hanya naluri. Dan di tengah proses itu, senyum perlahan tumbuh di bibirnya. Bahunya yang semula tegang mulai mengendur. Matanya menyala dengan sesuatu yang sudah lama tak muncul, yakni rasa hidup. Saat jari-jarinya bermain di atas papan kapur, dunia di luar menghilang. Tak ada pelanggan. Tak ada lamaran kerja. Tak ada keraguan. Hanya dia, kapur, dan ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Begitu selesai, Felisha meletakkan papan itu sebentar di dekat toilet, sementara ia kembali ke dapur untuk merapikan kapur warna tadi. Kemudian Vin muncul. Ia berjalan ke arah toilet, tapi pikirannya berada jauh di tempat lain. Ia memikirkan proyek-proyek yang mandek, tim yang semakin compang-camping, dan atasannya yang hilang bak kabut. Namun langkahnya melambat. Ada sesuatu di sudut kiri yang menarik pandangannya. Papan kapur besar, berdiri sendirian, seolah memanggil. Vin pun berhenti. Ia memiringkan kepala sedikit, mengamati. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali kualitas dalam setiap garisnya. Gaya tulisan itu bukan sekadar estetika—itu bercerita. Warna-warnanya berani tapi tidak norak. Komposisinya punya kepercayaan diri yang jujur, bukan dibuat-buat. Ia mendekat dan menyentuh papan itu pelan, ujung jarinya menyusuri tepian garis. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang langka—bukan karena sempurna, tapi karena jujur. Siapa yang membuat ini...? pria paruh baya itu membatin. Saat pertanyaan itu mengendap di benaknya, dari pintu samping dapur muncullah Felisha—membawa nampan berisi cangkir-cangkir kosong dan kotak kapur warna. Langkahnya terhenti. Mata mereka bertemu. Vin menatapnya seperti seseorang yang baru saja menemukan jalan keluar dari kabut. *** "Sudah sepuluh menit lebih," gerutu Theo sambil melirik jam tangannya yang murah tapi penuh kenangan. "Jangan-jangan Vin pingsan di toilet karena kebanyakan sarapan roti isi sosis." Ace tidak menjawab. Duduk menyandar santai di sofa pojok kafe, pandangannya sibuk tertuju pada layar ponsel. Jari-jarinya lincah mengetik balasan pesan dari Selena, yang entah bagaimana bisa membuat senyum tipis muncul di wajahnya. Theo memperhatikan itu dengan ekor mata, lalu mendecak keras. "Apa kau bisa berhenti tersenyum seperti orang gila?" sindirnya dengan nada tinggi. "Vin hilang entah ke mana, kau malah pacaran. Kita ke sini bukan buat kencan digital." Ace masih tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Santai, Theo. Dunia tidak akan runtuh hanya karena Vista ke toilet lebih lama dari biasanya." "Dunia kita mungkin tidak, tapi deadline kita bisa." Baru saja Theo hendak melanjutkan ceramahnya, Vin muncul dari arah toilet. Langkahnya tergesa. Matanya berbinar-jauh berbeda dengan ekspresi malas yang biasa ia bawa. "Hei! Kalian tidak akan percaya dengan apa yang baru saja kutemukan!" katanya penuh semangat, langsung menghampiri Ace dan Theo. Ace mengangkat wajah sebentar, lalu ponselnya bergetar lagi. Ia melihat layar-panggilan masuk dari Selena. "Sebentar," katanya datar sebelum menekan tombol hijau dan berdiri sambil menepuk bahu Theo. "Kalian lanjut saja. Ini penting." Vin menghentikan langkahnya, kecewa. "Ace-sebentar, aku mau bilang sesuatu. Ini soal kandidat tim kreatif. Kau harus dengar." Tapi Ace sudah menjauh, menempelkan ponsel ke telinganya. "Halo, Selena. Ada apa?" Theo melotot tak percaya. "Serius? Lagi-lagi Selena? Apa di otaknya cuma ada perempuan?" "Ya begitulah dia," gumam Vin pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Tak lama kemudian, Ace kembali menghampiri mereka. Tapi kali ini raut wajahnya berubah. Serius. Tegang. "Aku harus pergi sekarang. Ada urusan darurat. Kalian balik ke kantor naik taksi saja," katanya singkat sambil meraih jaket. Theo berdiri setengah bangkit. "Apa-apaan ini, Ace? Kita belum bicara soal-" "Lain kali, Theo. Maaf," potong Ace cepat. Ia tak menunggu jawaban, langsung melangkah keluar kafe, meninggalkan kedua temannya. Pintu kaca menutup perlahan. Hening. Theo mendengus keras dan menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi. "Aku muak dengan gaya hidup ala drama televisi dia. Selalu ada urusan darurat, tapi tak pernah ada komitmen kerja." Vin menghela napas panjang, mencoba mengatur ulang semangatnya yang tadi melonjak. "Yah... kalau begitu, aku ceritakan padamu saja." "Ada apa?" kata Theo lemas. "Mungkin cerita bagus bisa membuatku lupa bahwa kita punya atasan yang lebih sering hilang daripada hadir." Vin mencondongkan tubuh ke depan, menatap Theo dengan sorot serius. "Aku barusan melihat desain papan promosi kafe ini. Sumpah, Theo. Itu karya tangan dingin. Punya karakter, punya emosi. Bukan desain instan dari template online." Theo menaikkan alis, sedikit penasaran. "Lalu?" "Lalu aku memintanya mengantarkan surat lamaran ke kantor kita. Minggu ini kita harus mewawancarainya," lanjut Vin sambil mengarahkan pandangan ke meja barista. "Itu dia orangnya. Yang berdiri di sana. Namanya Felisha." Theo menoleh ke arah yang ditunjuk. Di balik mesin espresso, gadis berambut pirang itu terlihat serius meracik kopi, sesekali tersenyum kecil pada pelanggan. "Dia?" tanya Theo ragu. "Seorang pelayan kafe? Kau mau rekrut dia jadi tim kreatif perusahaan kita?" Vin mengangguk mantap. "Ya. Karena bakat tidak mengenal tempat. Dan orang ini... aku yakin sekali, dia punya insting visual yang lebih tajam dari separuh orang yang kita wawancarai kemarin." Theo terdiam sejenak. Masih belum sepenuhnya yakin, tapi rasa penasaran mulai mengusik.Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.
“Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin
Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka
“K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si
“Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m







