Beranda / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 3 - Jalan Yang Dipilih

Share

Bab 3 - Jalan Yang Dipilih

Penulis: Faw faw
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 15:04:16

Sebelumnya, pagi masih tenang di Kafe Lenorè. Di pojok dekat kaca, dua pelanggan duduk diam, masing-masing larut dalam layar laptop dan dunia mereka sendiri. Suara musik jazz instrumental mengalun pelan, menyatu dengan desis mesin espresso dan aroma kopi yang memenuhi udara.

Di balik konter, Felisha dan Viola berdiri berdampingan. Uap dari susu panas memenuhi udara saat Viola menuangnya ke dalam pitcher logam.

“Jadi... kau benar-benar mau melamar ke Shirohige Group?” tanya Viola, mencoba terdengar santai, meski ada nada kagum di suaranya.

Felisha mengangguk pelan. “Aku tahu itu perusahaan besar, nyaris tak masuk akal. Tapi aku tak bisa berada di sini selamanya. Rasanya seperti... kakiku diam, tapi hatiku ingin lari.”

Viola tersenyum dan menepuk lembut tangan sahabatnya. “Kau pantas untuk lebih, Fel. Desain-desainmu itu bukan cuma bagus—mereka hidup.”

Felisha tertawa kecil, menunduk. “Aku cuma main kapur dan corat-coret. Bukan sesuatu yang bisa dibilang ‘desain’.”

Sebelum Viola sempat membantah lagi, derap tumit terdengar dari lorong belakang. Seorang perempuan paruh baya muncul—berwibawa, dengan blazer putih gading dan tatapan yang tajam namun hangat. Monnica, pemilik sekaligus manajer kafe.

“Felisha,” panggilnya langsung. “Aku butuh bantuanmu.”

Felisha berdiri tegak. “Ada yang bisa aku kerjakan?”

Monnica menunjuk ke arah papan tulis besar yang biasanya mereka letakkan di luar kafe. “Kita butuh desain baru hari ini. Promosi menu seasonal. Sesuatu yang bisa menghentikan langkah orang di trotoar.”

Viola langsung melirik Felisha, ekspresinya jelas: ini saatmu.

Monnica pun tersenyum tipis. “Sejak awal, kau yang paling berbakat soal ini, Felisha. Aku percaya pada seleramu.”

Felisha terpaku sesaat. “Baik, akan kukerjakan. "

“Kau punya waktu tiga puluh menit.”

Clipboard diselipkan ke lengannya, dan tanpa banyak kata, Felisha langsung bergerak. Ia menuju ruang belakang, mengambil papan tulis besar dan meletakkannya di meja panjang dekat jendela dapur—sudut kecil tempat ia biasa berkarya diam-diam.

Ia membuka kotak kapurnya. Beberapa batang sudah hampir habis. Tapi ia tak peduli. Ia mengambil satu yang ujungnya tumpul—warna lavender.

Lalu… jari-jarinya mulai menari.

Garis pertama ditarik dengan hati-hati. Lalu lengkungan. Warna lain menyusul—kuning keemasan, biru muda, putih kapur. Tangannya bergerak mengikuti irama yang hanya bisa ia dengar sendiri. Ia menggambar gelas latte dengan busa hati di ujungnya, lalu menulis dengan gaya tulisan tangan unik: “Brew Your Mood with Us.”

Tak ada sketsa. Tak ada ragu. Hanya naluri.

Dan di tengah proses itu, senyum perlahan tumbuh di bibirnya. Bahunya yang semula tegang mulai mengendur. Matanya menyala dengan sesuatu yang sudah lama tak muncul: rasa hidup.

Saat jari-jarinya bermain di atas papan kapur, dunia di luar menghilang. Tak ada pelanggan. Tak ada lamaran kerja. Tak ada keraguan.

Hanya dia, kapur, dan ruang untuk menjadi dirinya sendiri.

Begitu selesai, Felisha meletakkan papan itu sebentar di dekat toilet, sementara ia kembali ke dapur untuk merapikan kapur warna tadi.

Kemudian Vista muncul. Ia berjalan ke arah toilet, tapi pikirannya berada jauh di tempat lain: memikirkan proyek-proyek yang mandek, tim yang semakin compang-camping, dan atasannya yang hilang bak kabut.

Namun langkahnya melambat.

Ada sesuatu di sudut kiri yang menarik pandangannya.

Papan kapur besar, berdiri sendirian, seolah memanggil.

Vista berhenti.

Ia memiringkan kepala sedikit, mengamati. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengenali kualitas dalam setiap garisnya. Gaya tulisan itu bukan sekadar estetika—itu bercerita. Warna-warnanya berani tapi tidak norak. Komposisinya punya kepercayaan diri yang jujur, bukan dibuat-buat.

Ia mendekat dan menyentuh papan itu pelan, ujung jarinya menyusuri tepian garis. Rasanya seperti menemukan sesuatu yang langka—bukan karena sempurna, tapi karena jujur.

Siapa yang membuat ini...?

Saat pertanyaan itu mengendap di benaknya, dari pintu samping dapur muncullah Felisha—membawa nampan berisi cangkir-cangkir kosong dan kotak kapur warna.

Langkahnya terhenti.

Mata mereka bertemu.

Vista menatapnya seperti seseorang yang baru saja menemukan jalan keluar dari kabut.

***

"Sudah sepuluh menit lebih," gerutu Theo sambil melirik jam tangannya yang murah tapi penuh kenangan. "Jangan-jangan Vista pingsan di toilet karena kebanyakan sarapan roti isi sosis."

Ace tidak menjawab. Duduk menyandar santai di sofa pojok kafe, pandangannya sibuk tertuju pada layar ponsel. Jari-jarinya lincah mengetik balasan pesan dari Selena, yang entah bagaimana bisa membuat senyum tipis muncul di wajahnya.

Theo memperhatikan itu dengan ekor mata, lalu mendecak keras.

"Apa kau bisa berhenti tersenyum seperti orang gila?" sindirnya dengan nada tinggi. "Vista hilang entah ke mana, kau malah pacaran. Kita ke sini bukan buat kencan digital."

Ace masih tidak mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Santai, Theo. Dunia tidak akan runtuh hanya karena Vista ke toilet lebih lama dari biasanya."

"Dunia kita mungkin tidak, tapi deadline kita bisa."

Baru saja Theo hendak melanjutkan ceramahnya, Vista muncul dari arah toilet. Langkahnya tergesa. Matanya berbinar-jauh berbeda dengan ekspresi malas yang biasa ia bawa.

"Hei! Kalian tidak akan percaya dengan apa yang baru saja kutemukan!" katanya penuh semangat, langsung menghampiri Ace dan Theo.

Ace mengangkat wajah sebentar, lalu ponselnya bergetar lagi. Ia melihat layar-panggilan masuk dari Selena.

"Sebentar," katanya datar sebelum menekan tombol hijau dan berdiri sambil menepuk bahu Theo. "Kalian lanjut saja. Ini penting."

Vista menghentikan langkahnya, kecewa. "Ace-sebentar, aku mau bilang sesuatu. Ini soal kandidat tim kreatif. Kau harus dengar."

Tapi Ace sudah menjauh, menempelkan ponsel ke telinganya. "Halo, Sayang. Ada apa?"

Theo melotot tak percaya. "Serius? Lagi-lagi Selena? Apa di otaknya cuma ada perempuan?"

"Ya begitulah dia," gumam Vista pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, Ace kembali menghampiri mereka. Tapi kali ini raut wajahnya berubah. Serius. Tegang.

"Aku harus pergi sekarang. Ada urusan darurat. Kalian balik ke kantor naik taksi saja," katanya singkat sambil meraih jaket.

Theo berdiri setengah bangkit. "Apa-apaan ini, Ace? Kita belum bicara soal-"

"Lain kali, Theo. Maaf," potong Ace cepat. Ia tak menunggu jawaban, langsung melangkah keluar kafe, meninggalkan kedua temannya.

Pintu kaca menutup perlahan. Hening.

Theo mendengus keras dan menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi. "Aku muak dengan gaya hidup ala drama televisi dia. Selalu ada urusan darurat, tapi tak pernah ada komitmen kerja."

Vista menghela napas panjang, mencoba mengatur ulang semangatnya yang tadi melonjak.

"Yah... kalau begitu, aku ceritakan padamu saja."

"Ada apa?" kata Theo lemas. "Mungkin cerita bagus bisa membuatku lupa bahwa kita punya atasan yang lebih sering hilang daripada hadir."

Vista mencondongkan tubuh ke depan, menatap Theo dengan sorot serius.

"Aku barusan melihat desain papan promosi kafe ini. Sumpah, Theo. Itu karya tangan dingin. Punya karakter, punya emosi. Bukan desain instan dari template online."

Theo menaikkan alis, sedikit tertarik. "Lalu?"

"Lalu aku memintanya mengantarkan surat lamaran ke kantor kita. Minggu ini kita harus mewawancarainya," lanjut Vista sambil mengarahkan pandangan ke meja barista. "Itu dia orangnya. Yang berdiri di sana. Namanya Felisha."

Theo menoleh ke arah yang ditunjuk. Di balik mesin espresso, gadis berambut pirang itu terlihat serius meracik kopi, sesekali tersenyum kecil pada pelanggan.

"Dia?" tanya Theo ragu. "Seorang pelayan kafe? Kau mau rekrut dia jadi tim kreatif perusahaan kita?"

Vista mengangguk mantap. "Ya. Karena bakat tidak mengenal tempat. Dan orang ini-aku yakin-punya insting visual yang lebih tajam dari separuh orang yang kita wawancarai kemarin."

Theo terdiam sejenak. Masih belum sepenuhnya yakin, tapi rasa penasaran mulai mengusik.

***

Di dalam lift kaca yang perlahan turun dari lantai 30 Shirohige Group, keheningan mengambang seperti kabut yang menebal di antara dua pria yang berdiri berdampingan.

Edward, pria paruh baya dengan rambut putih keperakan dan jas abu-abu armani yang jatuh rapi tanpa kerutan, menyilangkan tangan di dada. Matanya tajam menatap ke depan, tapi pikirannya entah di mana. Di sampingnya, Marco berdiri tegak. Tangannya dimasukkan ke saku celana, sementara matanya lelah menatap lantai lift yang memantulkan bayangan.

“Bagaimana kabar Ace?” suara Edward akhirnya pecah. Dalam, berat, nyaris seperti perintah yang disamarkan dalam nada tanya.

Marco menghela napas sebelum menjawab. “Masih sama, Ayah.”

Edward menoleh sedikit. Alisnya terangkat. “Maksudmu?”

“Masih sibuk dengan hal-hal yang tidak jelas. Tapi kurasa itu bukan kabar baru.”

Lift terus turun. Di dinding logam yang memantulkan cahaya lampu, bayangan Edward tampak seperti patung yang diukir dari marmer dingin.

“Padahal dia punya segalanya,” gumam Edward. “Bakat, karisma, naluri. Dia bisa memimpin divisi periklanan jauh lebih baik dari siapa pun yang kita miliki sekarang. Tapi dia memilih lari.”

Marco menoleh cepat. “Ayah tidak bisa memaksa orang bertumbuh dengan cara yang tidak mereka pilih.”

“Tidak ada pilihan,” potong Edward tajam. “Ini bukan soal ingin atau tidak. Ini kewajiban. Dia putra Shirohige.”

“Tapi dia juga manusia, Ayah,” ujar Marco, nada suaranya mulai terdengar getir. “Bukan pion yang bisa dipindah seenaknya di papan bisnis Ayah.”

Edward mendesis pelan, tapi sorot matanya tak berubah. “Apa kau membelanya sekarang?”

Marco menahan diri untuk tidak mendesah. Sudah terlalu sering ia menjadi penengah dalam perang sunyi antara adik dan ayahnya. Tapi kali ini rasanya berbeda. Ada kegelisahan yang belum selesai sejak percakapannya dengan Ace kemarin.

“Dia membangun sesuatu, Ayah,” kata Marco, akhirnya. “Bisnis kecil. Belum besar, tapi itu miliknya. Hasil tangannya sendiri. Dia hanya takut memberitahu Ayah.”

“Takut?” Edward menyipitkan mata. “Takut pada siapa? Aku ini ayahnya.”

“Justru karena itu,” sahut Marco, pelan tapi tegas. “Karena Ayah selalu menghancurkan hal-hal yang tidak sesuai dengan standar Ayah. Dia tidak mau karyanya dijadikan bahan olok-olok hanya karena tidak seperti visi Ayah.”

Pintu lift terbuka di lantai 10. Tak ada yang masuk. Keheningan kembali menyesaki ruang sempit itu.

“Selama dia menghindari tanggung jawab, selama itu pula dia akan gagal,” ujar Edward, seperti mengulang sesuatu yang telah lama ia yakini. “Aku tidak butuh alasan. Aku butuh kehadirannya. Di kantor. Memimpin divisi periklanan.”

Marco mengatup rahangnya. “Dan kalau dia masih menolak?”

Edward tidak menjawab. Tapi sorot matanya menjawab segalanya—dingin, mutlak, dan tak mengenal kompromi.

Beberapa detik kemudian, ia bersuara, lebih pelan. "Ace itu seperti langit musim panas—liar, tak terduga, dan terlalu terang untuk ditatap langsung. Tapi bahkan langit musim panas pun bisa berubah menjadi badai.”

Marco mengangguk pelan. Kata-kata itu terasa asing keluar dari mulut sang ayah. Lembut, tapi menyimpan luka.

“Aku tahu dia punya potensi,” lanjut Edward. “Itulah kenapa aku tak bisa membiarkannya terus terbang tanpa arah. Kalau dia jatuh, siapa yang akan menampungnya? Dunia luar tidak seperti keluarga. Tidak ada belas kasihan.”

Lift mencapai lantai dasar. Pintu terbuka perlahan. Udara malam menyambut dengan keheningan yang tak kalah dingin.

Mereka melangkah keluar bersama, langkah mereka bergema di lobi marmer yang sunyi. Di depan pintu mobil hitam yang menunggu, Edward berhenti. Ia menatap Marco dalam-dalam.

“Jika Ace ingin sukses dengan caranya, buktikan. Tapi jangan minta aku menunggu atau memahami. Dunia bisnis tidak sabar pada yang ragu. Dia harus datang ke kantor. Entah dengan kehendaknya... atau karena dia sadar itu satu-satunya cara agar dia bisa berdiri sejajar denganku.”

Marco tak menjawab. Tapi dalam hati, ia tahu ini baru permulaan. Perang diam antara ayah dan adik itu belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Namun malam ini, untuk pertama kalinya, ia melihat retakan kecil di dinding baja bernama Edward Newgate—dan dari celah itu, mengintip bayangan seorang ayah yang sebenarnya hanya ingin putranya berhasil... meski dengan cara yang keliru.

***

Dentuman tinju menghantam samsak dengan ritme teratur—bam, bam, bam—seperti jantung mesin yang sedang membara. Setiap pukulan yang dilepaskan Ace bukan sekadar latihan. Itu luapan amarah, kegelisahan, dan tekanan yang tak pernah ia ungkapkan. Suara hantaman menggema dalam ruang latihan bawah tanah yang ia rancang sendiri di balik bar—sebuah tempat yang tak diketahui siapa pun, apalagi sang ayah.

Cahaya lampu sorot yang temaram memantulkan keringat dari tubuhnya yang berotot. Setiap otot menegang, setiap gerakan presisi. Di sini, tak ada senyum nakal, tak ada gombalan usil. Hanya pria dengan luka-luka yang disembunyikan dalam diam.

“Kalau kau memukul manusia sekeras itu,” suara dari sudut ruangan memecah keheningan, “otaknya bisa pindah ke lutut.”

Ace berhenti. Napasnya masih memburu saat ia menoleh dan menemukan Deuce—teman yang ikut mengelola bisnis bar miliknya—bersandar santai di dinding, botol air di tangan, senyum di bibir.

“Kau datang hanya untuk berkomentar seperti itu?” tanya Ace, menyeka keringat dengan handuk.

Deuce terkekeh, melangkah mendekat. "Kau harusnya jadi atlet. Dunia olahraga bisa jadi milikmu. Tapi kau malah sibuk mengurus pemasaran bar dan bikin konten promo kreatif di sosial media.”

Ace mengambil botol itu, meneguk cepat. “Kalau aku jadi atlet, lalu siapa yang mengelola bisnis bar kita?”

Deuce menepuk pundaknya. “Tapi serius, Ace. Bisnis kita tumbuh cepat. Pendapatan minggu ini naik tiga puluh persen. Sistem reservasi digital yang kau buat benar-benar ngebut.”

Ace tersenyum tipis, bangga tersembunyi di balik matanya. “Itu hanya soal algoritma. Bar ini punya potensi. Orang datang ke sini bukan cuma buat mabuk, tapi merasa... diterima.”

Mereka keluar dari ruang latihan menuju area utama bar. Tempat itu seperti potret dari jiwa Ace sendiri: liar, bebas, dan sedikit rusak. Dindingnya dipenuhi poster-poster band rock klasik, lampu neon menyala samar, dan aroma alkohol bercampur asap rokok menyelimuti udara.

Deuce menuangkan dua gelas whiskey. “Untuk bisnis yang tidak diketahui ayah dan kakakmu.”

Ace menerima gelas itu, menatap isinya sejenak sebelum meneguk. “Untuk kebebasan yang harus dibayar mahal.”

Namun sebelum obrolan mereka meluncur lebih dalam, suara kaca pecah menggelegar dari sudut bar.

"Praaang!!"

Semua kepala menoleh serempak. Dua pria bertubuh besar tengah saling dorong. Salah satu dari mereka menghantam meja hingga terjungkal, botol-botol pecah, dan pengunjung lain terseret dalam kekacauan.

“Dasar keparat! Kau pikir kau siapa?!”

Musik berhenti mendadak. Ketegangan mengental seperti kabut tebal. Beberapa orang mundur, yang lain mulai merekam.

Deuce berdiri tergesa. “Gawat! Mereka bisa menghancurkan properti kita. Apa kita hubungi polisi saja?”

Ace hanya meletakkan gelasnya perlahan, lalu berdiri. Wajahnya datar, tapi sorot matanya berubah—dingin dan penuh kendali.

“Tidak perlu,” katanya tenang. “Biar aku yang urus.”

“Jangan nekat! Badan mereka sebesar lemari es!”

Namun Ace sudah berjalan. Langkahnya lambat, tapi mantap. Semua mata mengikuti pergerakannya. Sorot matanya tajam seperti pisau. Tatapan orang yang tahu apa yang ia lakukan.

“Sudah,” katanya keras tapi tenang. “Cukup.”

Salah satu pria menoleh. “Kau siapa, ha? Bos di sini? Jangan sok ngatur—”

Ace melangkah lebih dekat, tak tergoyahkan. “Ini bukan tempat untuk adu otot. Kalau mau ribut, silahkan keluar."

Pria itu tertawa mengejek, lalu melayangkan pukulan. Tapi Ace lebih cepat. Ia menunduk, berputar, dan menghantam rahang pria itu dengan uppercut bersih. Dentuman keras. Tubuh besar itu jatuh menghantam meja hingga hancur.

Temannya menerjang dari belakang. Tapi Ace memutar tubuh, menyapu kaki lawan, dan membantingnya ke lantai. Sekejap, pria itu terkunci, tak bisa bergerak.

Dalam hitungan detik, semuanya selesai.

Hening. Semua mata terbelalak.

Salah seorang pengunjung wanita berbisik kagum pada teman di sebelahnya, “Siapa dia? Gila... keren banget!"

Deuce melongo, lalu tertawa, setengah kagum setengah khawatir.

Sementara Ace berdiri, mengatur napas, lalu menoleh ke bartender. “Tutup bar setengah jam. Bersihkan kekacauan ini. Dan beri minuman gratis untuk semua orang malam ini. Anggap saja kompensasi.”

Sorak-sorai menggema.

Tapi di balik keramaian itu, Ace kembali duduk. Sorot matanya tidak puas. Bahkan setelah semua pujian dan kekaguman, ada kekosongan yang tetap bertahan. Luka lama yang tak pernah sembuh—ekspektasi seorang ayah yang tidak pernah melihat siapa dirinya sesungguhnya.

Bar ini mungkin kecil, tapi di sini Ace adalah raja.

Raja tanpa mahkota. Raja yang memilih jalannya sendiri.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 19 - Secangkir Harapan

    "Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 18 - Dua Wajah Di Sore Itu

    Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 17 - Yang Tak Bisa Dimaafkan

    Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 16 - Antara Dua Dunia

    Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 15 - Bayang-bayang Felisha

    BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 14 - Di Puncak Pengkhianatan

    Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status