LOGINFelisha terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya menggigil meski udara kamar tak sedingin itu. Keringat dingin membasahi pelipis dan tengkuknya. Dengan panik, ia meraih lampu meja dan menyalakannya. Sinar kuning lembut mengusir bayangan mimpi yang masih menghantui pikirannya.
“Ibu..…” gumamnya lirih. Matanya masih terbuka lebar, jantungnya berdetak terlalu cepat untuk tenang. Bayangan itu kembali melintas—tali tambang yang menggantung di langit-langit ruang tamu, tubuh ibunya yang menggantung lemah, dan tangisannya sendiri yang menggema di ruangan yang sunyi dan bau obat nyamuk. Ia hanya seorang gadis kecil saat itu, belum paham benar apa yang sedang terjadi. Hanya tahu satu hal—ibunya tak akan pernah bangun lagi. Felisha menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangis yang ia tahan sejak bangun perlahan meledak dalam isakan pelan. Rasa sesak menumpuk dalam dada, seperti bertahun-tahun luka masa lalu yang tak pernah sembuh, kembali mencuat hanya karena satu mimpi. Beberapa menit berlalu sebelum Felisha bisa menenangkan diri. Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan perlahan menuju meja rias. Lampu kecil di sudut cermin memantulkan bayangan dirinya yang pucat dan lelah. Matanya jatuh pada secarik kertas di sudut meja. Sebuah amplop cokelat lusuh yang terbuka dengan isi surat yang sudah dibaca puluhan kali sejak kemarin, yaitu surat tagihan dari Bibi Rosie. Angka yang tertera membuat perutnya mual setiap kali melihatnya. “Seratus ribu dolar? Apa benar Ayah berhutang segitu banyaknya?” Felisha bergumam dalam hati. Ia meraih surat itu dan membaca ulang dengan tatapan tajam. Oh. Sungguh tega Bibi Rosie ini. Datang setelah sekian tahun cuma untuk menuntut uang? Padahal waktu itu Felisha baru lima tahun dan wanita kejam itu sendiri yang bilang tidak mau mengurus anak yatim piatu! Felisha membanting surat tersebut ke meja. Kertasnya mengerut di tepi, tapi tetap tak bergeming. Tagihan itu tetap nyata, tetap menuntut. “Ayah… Ibu…” gadis itu memejamkan mata, mencoba merasakan kehadiran dua orang yang paling ia rindukan dalam hidupnya. Namun tak ada sahutan selain sunyi. Kamar itu terlalu sepi. Seperti hidupnya selama bertahun-tahun. Ia berdiri dan melangkah ke jendela, menarik pintu balkon dan berdiri di sana. Di luar, langit malam mulai bergeser ke arah subuh. Sisa-sisa mimpi buruk masih menempel di matanya, tapi kesadarannya sudah kembali. Felisha memejamkan mata sebentar, lalu menarik napas panjang. Hembusan udara segar masuk ke paru-parunya, sedikit meredakan sesak yang tersisa. Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Sebuah suara tawa lirih yang manja dan sedikit menggoda, terdengar samar. Felisha membuka matanya dan menoleh ke bawah secara refleks, ke arah area parkir apartemen yang terlihat dari balkonnya. Ia menyipitkan mata, mencoba memastikan apa yang sedang terjadi. Di sana, tepat di samping sebuah mobil sedan hitam mengkilap, berdiri sepasang pria dan wanita. Lampu jalan cukup terang untuk membuat mereka terlihat jelas. Wanita itu mengenakan gaun pendek berwarna biru laut, rambut panjangnya tergerai liar, sementara pria itu… bertubuh tinggi, rambut hitam berantakan, dan….. “Oh, astaga!” bisik Felisha dengan mata terbelalak. Pria itu adalah Ace. Lelaki yang dengan santainya selalu muncul di kafe tempat ia bekerja. Lelaki menyebalkan yang hobi melemparkan rayuan usang padanya. “Tidak mungkin…” gumamnya lagi, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ace, si penggoda itu, tengah mencium wanita di hadapannya—tanpa ragu, tanpa malu. Bukan ciuman manis dan penuh kasih, melainkan penuh gairah dan agresif. Tangan pria itu meremas pinggang wanita itu. Sementara wanita itu tertawa kecil, membalas ciumannya dengan penuh kenikmatan. Mereka tampak seperti adegan dari film dewasa yang kebetulan sedang syuting di depan apartemen Felisha. Felisha merasa jantungnya berhenti sejenak. Yang membuatnya lebih tak percaya lagi adalah, wanita yang sedang dicumbu Ace saat itu, berbeda dengan wanita yang ia ajak ke kafenya kemarin—Selena. “Dasar pria menjijikkan!” ucap Felisha, wajahnya memerah karena malu dan geli. Buru-buru ia menutup pintu balkon dengan kasar. *** Pagi itu, atmosfer kantor terasa jauh lebih sunyi dan tegang dari biasanya. Langkah kaki para karyawan terdengar pelan dan hati-hati di lorong utama, seolah seluruh bangunan ikut menahan napas. Theo dan Vin berdiri canggung di depan pintu kayu besar bertuliskan “Direktur – Edward Newton”. Keduanya saling melirik dalam diam. Theo menggigit bibir bawahnya, sementara Vin menatap lurus ke depan, mencoba tampak tenang meski keringat dingin menetes di pelipisnya. “Kau duluan yang ketuk,” bisik Theo, suaranya nyaris tak terdengar. “Kita masuk bersama-sama. Ini bukan panti pijat. Ini ruangan singa,” sahut Vin pelan. Sebelum mereka sempat mengetuk, pintu sudah terbuka dari dalam. Matthew berdiri di baliknya, sosok tinggi tegap dengan kacamata dan wajah serius. Ia hanya memberi anggukan kecil. “Masuk.” Ruangan itu seperti dunia lain—sunyi, rapi, dan penuh tekanan. Edward duduk di balik meja kerjanya yang besar, mengenakan setelan jas kelabu tua. Sorot matanya tajam seperti elang, menusuk ke arah mereka begitu mereka masuk. “Duduk,” ucap Edward pendek, tapi nadanya seperti dentuman palu godam di kepala Theo. Mereka duduk di hadapannya. Matthew berdiri di sisi ruangan, menyilangkan tangan di dada, menjadi saksi dari momen yang tak diinginkan siapa pun itu. “Aku kecewa,” kata Edward akhirnya, kalimat pendek itu menggema di ruang besar itu. “Kupikir mempekerjakan kalian akan jadi solusi. Kupikir kalian bisa menuntun Ace agar lebih profesional. Lebih bertanggung jawab. Tapi nyatanya?” Ia bersandar ke kursinya, menatap mereka bergantian. “Tidak ada yang berubah.” Theo menunduk, jari-jarinya meremas ujung jasnya sendiri. Vin tetap menatap lurus, walau dagunya sedikit bergetar. “Dia masih seperti anak kecil,” lanjut Edward, suaranya mulai meninggi. “Hidup seenaknya, datang sesuka hati, menghilang tanpa jejak. Dan kalian, cuma sibuk mempertahankan posisi kalian di perusahaan ini!” “Tidak, Tuan!” suara Theo memecah. Ia berdiri refleks, meski lututnya goyah. “Kami juga pusing. Sangat pusing mengurus Ace! Kami selalu berusaha! Tapi dia itu susah diatur.” “Theo...” Vin menegur pelan, khawatir temannya berkata sembarangan. Theo mengangkat tangan, napasnya tercekat. “Divisi periklanan hancur, Tuan. Semua orang butuh pemimpin. Tapi pemimpinnya malah seperti kucing birahi. Ke sana ke mari, mencari kucing betina.” Seketika, Matthew menunduk, bahunya bergetar menahan tawa. Ia menggigit bibir, mencoba terlihat tetap tenang meski wajahnya hampir merah karena menahan ledakan tawa. Edward membalikkan wajah ke arah putranya. Matthew langsung berdiri tegap. “Maaf, Ayah,” ucapnya tetap bijaksana. “Ini yang ingin kalian katakan padaku?” suara Edward meninggi, memukul meja keras. “Aku tidak peduli masalah divisi, tidak peduli kompetisi, tidak peduli apapun. Kalian kupekerjakan hanya untuk satu alasan—awasi Ace. Hanya itu. Titik.” Vin akhirnya angkat bicara, suaranya pelan namun penuh penyesalan. “Kami gagal, Tuan. Saya pribadi minta maaf. Saya pikir saya bisa menjadi teman yang membimbing Ace. Tapi saya tidak mampu.” Theo duduk kembali, wajahnya mendung. “Maaf, Tuan. Saya pikir... kalau Ace itu diikat di kursi, disumpal mulutnya, dan dibungkus jadi mumi, mungkin dia tidak akan bisa kabur lagi.” Akhirnya Matthew tidak tahan. Ia batuk pelan, mencoba menutupi suara tawanya yang nyaris lolos. Edward menggeleng keras. “Keluar kalian sebelum aku pecat sekarang juga!” Matthew dengan cepat melangkah maju. “Ayah, biar aku yang urus mereka.” Tanpa menunggu balasan, Matthew menuntun keduanya keluar. Begitu pintu tertutup, suara napas lega terdengar dari Theo dan Vin. “Kupikir jantungku sudah pindah ke dengkul,” kata Theo. Vin menyandarkan diri ke dinding. “Tiap kali beliau marah, rasanya seperti dosa tujuh turunanku dibuka semua.” Sementara itu, Matthew menatap mereka dengan serius. “Dengar. Aku tahu Tuan Edward keras, tapi kalian harus mengerti, posisi Ace penting sekarang. Kompetisi tahunan tim kreatif akan dimulai dua minggu lagi. Tanpa Ace, divisi kalian lumpuh.” Vin menunduk. “Kita tahu itu. Tapi kita juga bingung harus gimana lagi. Dia sudah tidak angkat telepon, tidak balas pesan.” Matthew menghela napas panjang. Ada kelelahan yang dalam di matanya. “Tetaplah berusaha. Tolong, apapun caranya, temui dia. Sampaikan bahwa perusahaan membutuhkannya. Kalian yang paling mungkin bisa menyentuh hatinya.” Vin mengangguk perlahan. “Kami akan berusaha.” Matthew menepuk bahu mereka, lalu beranjak pergi. “Aku harus lanjut meeting. Semoga berhasil.” Begitu Matthew menjauh, Theo langsung merosot ke lantai, wajahnya frustrasi. “Aku bersumpah. Kalau anak itu ketemu, aku akan membungkus dia dengan lakban, dari ujung kepala sampai kaki. Lalu aku tulis : ‘Properti Kantor. Jangan Dilepas.’” Vin tersenyum miris. “Atau tulis saja : ‘Binatang Liar. Butuh Pengawasan Khusus.’” Mereka tertawa pelan. Tapi di balik tawa itu, ada beban yang nyata—beban menyadarkan seseorang yang terus menghindar dari tanggung jawab, sekaligus sahabat yang mereka sayangi.Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.
“Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin
Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka
“K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si
“Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m







