Se connecterDi dalam lift kaca yang perlahan turun dari lantai 30 Newton Group, keheningan mengambang seperti kabut yang menebal di antara dua pria yang berdiri berdampingan.
Edward, pria paruh baya dengan rambut putih keperakan dan jas abu-abu armani yang jatuh rapi tanpa kerutan, menyilangkan tangan di dada. Matanya tajam menatap ke depan, tapi pikirannya entah di mana. Di sampingnya, Matthew berdiri tegak. Tangannya dimasukkan ke saku celana, sementara matanya lelah menatap lantai lift yang memantulkan bayangan. “Bagaimana kabar Ace?” suara Edward akhirnya pecah. Dalam, berat, nyaris seperti perintah yang disamarkan dalam nada tanya. Matthew menghela napas sebelum menjawab. “Masih sama, Ayah.” Edward menoleh sedikit. Alisnya terangkat. “Maksudmu?” “Masih sibuk dengan hal-hal yang tidak jelas. Tapi kurasa itu bukan kabar baru.” Lift terus turun. Di dinding logam yang memantulkan cahaya lampu, bayangan Edward tampak seperti patung yang diukir dari marmer dingin. “Padahal dia punya segalanya,” gumam Edward. “Bakat, karisma, naluri. Dia bisa memimpin divisi periklanan jauh lebih baik dari siapa pun yang kita miliki sekarang. Tapi dia memilih lari.” Matthew menoleh cepat. “Ayah tidak bisa memaksa orang bertumbuh dengan cara yang tidak mereka pilih.” “Tidak ada pilihan,” potong Edward tajam. “Ini bukan soal ingin atau tidak. Ini kewajiban. Dia putra Shirohige.” “Tapi dia juga manusia, Ayah,” ujar Matthew, nada suaranya mulai terdengar getir. “Bukan pion yang bisa dipindah seenaknya di papan bisnis Ayah.” Edward mendesis pelan, tapi sorot matanya tak berubah. “Apa kau membelanya sekarang?” Matthew menahan diri untuk tidak mendesah. Sudah terlalu sering ia menjadi penengah dalam perang sunyi antara adik dan ayahnya. Tapi kali ini rasanya berbeda. Ada kegelisahan yang belum selesai sejak percakapannya dengan Ace kemarin. “Dia membangun sesuatu, Ayah,” kata Matthew, akhirnya. “Bisnis kecil. Belum besar, tapi itu miliknya. Hasil tangannya sendiri. Dia hanya takut memberitahu Ayah.” “Takut?” Edward menyipitkan mata. “Takut pada siapa? Aku ini ayahnya.” “Justru karena itu,” sahut Matthew, pelan tapi tegas. “Karena Ayah selalu menghancurkan hal-hal yang tidak sesuai dengan standar Ayah. Dia tidak mau karyanya dijadikan bahan olok-olok hanya karena tidak seperti visi Ayah.” Pintu lift terbuka di lantai 10. Tak ada yang masuk. Keheningan kembali menyesaki ruang sempit itu. “Selama dia menghindari tanggung jawab, selama itu pula dia akan gagal,” ujar Edward, seperti mengulang sesuatu yang telah lama ia yakini. “Aku tidak butuh alasan. Aku butuh kehadirannya. Di kantor. Memimpin divisi periklanan.” Matthew mengatup rahangnya. “Dan kalau dia masih menolak?” Edward tidak menjawab. Tapi sorot matanya menjawab segalanya—dingin, mutlak, dan tak mengenal kompromi. Beberapa detik kemudian, ia bersuara, lebih pelan. "Ace itu seperti langit musim panas—liar, tak terduga, dan terlalu terang untuk ditatap langsung. Tapi bahkan langit musim panas pun bisa berubah menjadi badai.” Matthew mengangguk pelan. Kata-kata itu terasa asing keluar dari mulut sang ayah. Lembut, tapi menyimpan luka. “Aku tahu dia punya potensi,” lanjut Edward. “Itulah kenapa aku tak bisa membiarkannya terus terbang tanpa arah. Kalau dia jatuh, siapa yang akan menampungnya? Dunia luar tidak seperti keluarga. Tidak ada belas kasihan.” Lift mencapai lantai dasar. Pintu terbuka perlahan. Udara malam menyambut dengan keheningan yang tak kalah dingin. Mereka melangkah keluar bersama, langkah mereka bergema di lobi marmer yang sunyi. Di depan pintu mobil hitam yang menunggu, Edward berhenti. Ia menatap Matthew dalam-dalam. “Jika Ace ingin sukses dengan caranya, buktikan. Tapi jangan minta aku menunggu atau memahami. Dunia bisnis tidak sabar pada yang ragu. Dia harus datang ke kantor. Entah dengan kehendaknya, atau karena dia sadar itu satu-satunya cara agar dia bisa berdiri sejajar denganku.” Matthew tak menjawab. Tapi dalam hati, ia tahu ini baru permulaan. Perang diam antara ayah dan adik itu belum akan berakhir dalam waktu dekat. Namun malam ini, untuk pertama kalinya, ia melihat retakan kecil di dinding baja bernama Edward Newton—dan dari celah itu, mengintip bayangan seorang ayah yang sebenarnya hanya ingin putranya berhasil... meski dengan cara yang keliru. *** Dentuman tinju menghantam samsak dengan ritme teratur—bam, bam, bam—seperti jantung mesin yang sedang membara. Setiap pukulan yang dilepaskan Ace bukan sekadar latihan. Itu luapan amarah, kegelisahan, dan tekanan yang tak pernah ia ungkapkan. Suara hantaman menggema dalam ruang latihan yang ia rancang sendiri di balik sebuah bar—sebuah tempat yang tak diketahui siapa pun, apalagi sang ayah. Cahaya lampu sorot yang temaram memantulkan keringat dari tubuhnya yang berotot. Setiap otot menegang, setiap gerakan presisi. Di sini, tak ada senyum nakal, tak ada gombalan usil. Hanya pria dengan luka-luka yang disembunyikan dalam diam. “Kalau kau memukul manusia sekeras itu,” suara dari sudut ruangan memecah keheningan, “otaknya bisa pindah ke lutut.” Ace berhenti. Napasnya masih memburu saat ia menoleh dan menemukan Donnie—teman yang ikut mengelola bisnis bar miliknya—bersandar santai di dinding, botol air di tangan, senyum di bibir. “Kau datang hanya untuk berkomentar seperti itu?” tanya Ace, menyeka keringat dengan handuk. Donnie terkekeh, melangkah mendekat. "Kau harusnya jadi atlet. Dunia olahraga bisa jadi milikmu. Tapi kau malah sibuk mengurus pemasaran bar dan bikin konten promo kreatif di sosial media.” Ace mengambil botol itu, meneguk cepat. “Kalau aku jadi atlet, lalu siapa yang mengelola bisnis bar kita?” Donnie menepuk pundaknya. “Tapi serius, Ace. Bisnis kita tumbuh cepat. Pendapatan minggu ini naik tiga puluh persen. Sistem reservasi digital yang kau buat benar-benar ngebut.” Ace tersenyum tipis, bangga tersembunyi di balik matanya. “Itu hanya soal algoritma. Bar ini punya potensi. Orang datang ke sini bukan cuma buat mabuk, tapi merasa... diterima.” Mereka keluar dari ruang latihan menuju area utama bar. Tempat itu seperti potret dari jiwa Ace sendiri. Liar, bebas, dan sedikit rusak. Dindingnya dipenuhi poster-poster band rock klasik, lampu neon menyala samar, dan aroma alkohol bercampur asap rokok menyelimuti udara. Donnie menuangkan dua gelas whiskey. “Untuk bisnis yang tidak diketahui ayah dan kakakmu.” Ace menerima gelas itu, menatap isinya sejenak sebelum meneguk. “Untuk kebebasan yang harus dibayar mahal.” Namun sebelum obrolan mereka meluncur lebih dalam, suara kaca pecah menggelegar dari sudut bar. "Praaang!!" Semua kepala menoleh serempak. Dua pria bertubuh besar tengah saling dorong. Salah satu dari mereka menghantam meja hingga terjungkal, botol-botol pecah, dan pengunjung lain terseret dalam kekacauan. “Dasar keparat! Kau pikir kau siapa?!” Musik berhenti mendadak. Ketegangan mengental seperti kabut tebal. Beberapa orang mundur, yang lain mulai merekam. Donnie berdiri tergesa. “Gawat! Mereka bisa menghancurkan properti kita. Apa kita hubungi polisi saja?” Ace hanya meletakkan gelasnya perlahan, lalu berdiri. Wajahnya datar, tapi sorot matanya berubah—dingin dan penuh kendali. “Tidak perlu,” katanya tenang. “Biar aku yang urus.” “Jangan nekat! Badan mereka sebesar lemari es!” Namun Ace sudah berjalan. Langkahnya lambat, tapi mantap. Semua mata mengikuti pergerakannya. Sorot matanya tajam seperti pisau. Tatapan orang yang tahu apa yang ia lakukan. “Sudah,” katanya keras tapi tenang. “cukup!” Salah satu pria menoleh. “Kau siapa, hah? Bos di sini? Jangan sok ngatur!” Ace melangkah lebih dekat, tak tergoyahkan. “Ini bukan tempat untuk adu otot. Kalau mau ribut, silahkan keluar." Pria itu tertawa mengejek, lalu melayangkan pukulan. Tapi Ace lebih cepat. Ia menunduk, berputar, dan menghantam rahang pria itu dengan uppercut bersih. Dentuman keras. Tubuh besar itu jatuh menghantam meja hingga hancur. Temannya menerjang dari belakang. Tapi Ace memutar tubuh, menyapu kaki lawan, dan membantingnya ke lantai. Sekejap, pria itu terkunci, tak bisa bergerak. Dalam hitungan detik, semuanya selesai. Hening. Semua mata terbelalak. Salah seorang pengunjung wanita berbisik kagum pada teman di sebelahnya, “Siapa dia? Keren sekali!" Donnie melongo, lalu tertawa, setengah kagum setengah khawatir. Sementara Ace berdiri, mengatur napas, lalu menoleh ke bartender. “Tutup bar setengah jam. Bersihkan kekacauan ini. Dan beri minuman gratis untuk semua orang malam ini. Anggap saja kompensasi.” Sorak-sorai menggema. Tapi di balik keramaian itu, Ace kembali duduk. Sorot matanya tidak puas. Bahkan setelah semua pujian dan kekaguman, ada kekosongan yang tetap bertahan. Luka lama yang tak pernah sembuh—ekspektasi seorang ayah yang tidak pernah melihat siapa dirinya sesungguhnya. Bar ini mungkin kecil, tapi di sini Ace adalah raja. Raja tanpa mahkota. Raja yang memilih jalannya sendiri.Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.
“Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin
Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka
“K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si
“Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m







