Se connecterPagi itu, matahari belum naik, tapi langit sudah tinggi. Di belakang sebuah bangunan bergaya industrial—sebuah bar yang belum buka untuk umum—terdengar derak besi dan helaan napas berat.
Suara itu berasal dari seorang pria yang tengah melakukan bench press. Barbel seberat dua puluh kilogram naik-turun dengan ritme mantap di atas dadanya. Ia melakukannya tanpa suara berlebihan, tanpa pamer. Setiap gerakan tampak seperti rutinitas yang mendarah daging, bukan demi siapa pun—hanya untuk dirinya sendiri. Itulah Ace. Tubuhnya atletis, tegap dan berotot, dengan garis lengan yang menonjol saat ia mengangkat beban. Keringat mengalir perlahan di pelipis, meluncur ke sepanjang rahang tegas yang terpantul kilau cahaya pagi. Kaos hitam tipis melekat pada kulitnya, memperlihatkan otot dada dan perut yang terbentuk sempurna oleh disiplin bertahun-tahun. Namun bukan hanya fisiknya yang mencuri perhatian. Ekspresi wajahnya—tenang, fokus, dan sedikit dingin—menyiratkan dominasi. Sosok yang tidak perlu berusaha keras untuk menjadi pusat perhatian. Dari balik pintu besi, terdengar suara derit. Seseorang masuk, disertai langkah tergesa. “Kau di sini?” suara itu terdengar setengah bingung, setengah lega. Ace hanya menoleh sedikit tanpa menghentikan gerakannya. “Pagi, Don.” Sosok yang masuk adalah Donnie. Rambutnya masih berantakan, celana training belum sempat disetrika, dan wajahnya belum sepenuhnya terbangun. “Sial, kukira ada maling masuk diam-diam,” gumam Donnie sambil mendekat. “Sejak kapan kau ada di sini?” Ace menyelesaikan set terakhirnya sebelum meletakkan barbel kembali ke rak. Ia duduk tegak, mengambil handuk, dan mengusap keringat dari tengkuk hingga ke dada. “Baru satu jam lalu. Aku malas balik ke apartemen setelah mengantar Kathy pulang dari pesta.” Donnie menaikkan alisnya, heran. “Kathy? Tunggu… yang rambut coklat itu?” Ace hanya mengangkat bahu kecil disertai senyum menyudut. “Yup.” Donnie mendecak. “Astaga. Baru kemarin kau bersama Selena, sekarang sudah jalan sama Kathy?” Tanpa perlu menjawab, Ace bangkit berdiri. Tubuhnya menjulang dengan gerakan santai tapi penuh kendali. Ia membuka botol air minum dan meneguknya perlahan. Donnie tertawa pendek. “Kau benar-benar tidak ada remnya. Tapi hati-hati, Ace. Kalau Selena tahu, bisa-bisa ribut.” Ace menyampirkan handuk ke bahunya, lalu mengambil jaket kulit yang tergeletak di kursi dekat rak beban. Ia mengeluarkan ponselnya, menatap layar dengan tenang. “Kalau wanita mau mendekati pria sepertiku, mereka harus siap ambil risiko." Donnie menggeleng pelan, separuh kagum, separuh frustrasi. Ia melirik jam dinding. “Aku mau buka bar. Anak-anak sebentar lagi datang. Kau mau langsung cabut?” " Mau jemput Kathy," sahut Ace menyeringai tipis. “Katanya mau lari pagi di taman. Aku tak bisa menolak ajakan cewek dengan kaki jenjang itu.” Donnie mengangkat tangan, memberi tanda ‘terserah’. “Tentu saja. Begitulah dirimu. Selamat berkencan, Romeo.” Ace hanya tertawa pendek, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan tenang. Cahaya pagi menyambutnya, membingkai siluet tubuhnya yang tinggi dan tegap. Dalam diamnya, Ace adalah badai yang tenang—pria yang tahu apa yang ia mau, dan tak pernah minta maaf atas siapa dirinya. *** Sekitar setengah jam kemudian, mobil Ace berhenti di depan sebuah gedung apartemen mewah di kawasan elit kota. Gedung itu menjulang seperti istana modern dengan kaca-kaca besar yang memantulkan sinar matahari pagi. Ace mematikan mesin mobil, tapi tidak langsung turun. Ia menyalakan sebatang rokok dan bersandar di pintu mobil, menatap ke langit sambil menikmati embusan angin pagi yang menyegarkan. Tepat saat itu, matanya menangkap sosok perempuan yang berjalan keluar dari gedung di sebelah. Apartemen itu jauh lebih sederhana, hampir kontras dibanding tempat Kathy tinggal. Tapi perhatian Ace langsung teralihkan. Felisha. Gadis berambut pirang itu mengenakan blazer abu-abu muda dan celana bahan hitam. Sepatunya tampak usang, tapi bersih. Ia membawa tas jinjing kecil dan terlihat tergesa, namun tidak murung. Justru ada senyuman kecil menghiasi wajahnya saat ia berhenti sejenak menatap anak-anak yang sedang bermain engklek di sisi trotoar. Angin bertiup lembut, menggerakkan helaian rambut yang menyapu pipi bulatnya. Cahaya matahari pagi mengenai wajahnya dari samping, membuat kulit putih pucatnya tampak bersinar halus seperti porselen. Tapi bukan hanya keindahan fisiknya yang paling menonjol di momen itu. Senyumannya juga. Senyum hangat yang tulus, seperti sinar matahari setelah hujan panjang. Ketika salah satu anak mengajak Felisha ikut bermain, tanpa ragu gadis itu meletakkan tasnya dan melompati kotak-kotak kapur dengan tawa ringan. Anak-anak tertawa gembira, dan Felisha ikut larut dalam tawa itu. Ace berdiri terpaku. Rokok di tangannya masih menyala tapi terlupakan. Untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak memikirkan Kathy. Tidak juga Selena. Bahkan bukan tentang bar, pekerjaan, atau pelarian dari tanggung jawab. “Huh…” gumamnya pelan. “Dia… bukan cuma cantik.” Ada sesuatu yang membekas. Bukan ketertarikan biasa. Sebuah rasa penasaran yang dalam — siapa sebenarnya Nona Tembem itu? Ace ingin tahu namanya. Itu adalah gadis dengan senyum paling tulus yang pernah ia lihat.Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.
“Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin
Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka
“K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si
“Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m







