LOGIN“Katakan padaku, Felisha. Apa kau mencintaiku?”Suara Ace terdengar dalam dan berat, menyimpan luka.Felisha masih diam. Ia menundukkan kepala, menatap jemarinya sendiri yang saling bertaut di pangkuan. Namun sebelum sempat mengalihkan pandangan, Ace meraih dagunya dengan lembut, memaksa gadis itu menatapnya kembali.Tatapan pria itu jernih. Bening seperti kaca yang siap pecah kapan saja. Ada getaran halus di matanya yang membuat Felisha tertegun. Ada takut, keraguan, dan cinta yang begitu nyata.“Sebenarnya hubungan kita ini apa, Felisha?” tanya Ace lagi perlahan, tapi nadanya menusuk dalam.Felisha menelan ludah. Suaranya hampir tak terdengar ketika ia menjawab, “Menurutmu... bagaimana?”“Menurutku, kita adalah sepasang kekasih,” ucapnya lirih namun mantap.Kata-kata itu sederhana, tapi terasa seperti ancaman manis yang membuat jantung Felisha berdegup tak terkendali.Ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa ia pun merasakan hal yang sama dengan Ace. Tapi lidahnya kelu. Ada ego dan logi
Sesampainya di rumah, Felisha langsung menjatuhkan diri ke atas kasur. Wajahnya tertimbun bantal, lalu terdengar suara teriakan kecil yang teredam di dalamnya. Ia menghentak-hentakkan kaki ke pinggiran kasur dengan gemas, menyalurkan segala rasa malu dan kalut yang sejak tadi berputar di kepalanya.Ketika ia mengangkat wajahnya, pipinya sudah semerah tomat. Nafasnya masih belum teratur. Bayangan kejadian hari itu berkelebat jelas di benaknya. Mulai dari ciuman di dalam lift, ciuman di dalam mobil, hingga sentuhan jemari Ace di pinggangnya yang membuat tubuhnya menegang dan bergetar.Kenangan itu seperti api kecil yang terus menyala, membuat Felisha menutup wajahnya lagi dengan kedua tangan.Ia tidak mengenali dirinya sendiri. Semua hal yang terjadi terasa di luar kendali. Ia bukan Felisha yang biasanya tenang, dingin, dan rasional. Ada sesuatu dalam diri Ace yang bisa menembus dinding pertahanannya. Dan bukannya membuat marah, hal itu justru membuatnya merasa l
Perlahan, Ace menghentikan tarian jemarinya di pinggul Felisha. Tawa kecil yang sempat memenuhi kabin mobil perlahan memudar, meninggalkan keheningan yang anehnya terasa begitu hangat. Felisha menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang masih belum teratur. Ia melirik Ace sekilas. Wajahnya setengah kesal, setengah malu. Namun, seperti biasa, Ace hanya menatapnya sambil tersenyum. Senyum tenang yang entah bagaimana selalu mampu membuat Felisha tidak tahu harus berbuat apa. Ia tampak begitu rileks, seolah kebersamaan seperti ini adalah puncak kebahagiaan di dunia. “Terima kasih,” ucapnya lembut, meletakkan hadiah pemberian Felisha di celah kosong samping jok . “Aku akan memakainya besok.” Felisha tersenyum samar, tapi matanya menunduk cepat. Ada semburat merah di pipinya, karena di balik kata sederhana itu, ia bisa merasakan ketulusan yang dalam dari pria di sampingnya. Namun, senyumnya perlahan memudar. Ekspresinya ber
Felisha menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan balasan dari Ace di bangku taman kota yang teduh. Senyum kecil muncul di bibirnya, lalu pipinya memerah perlahan seperti bunga mawar yang baru merekah. Ia tak pernah membayangkan akan tiba hari di mana hatinya benar-benar terbuka untuk pria itu. Namun di balik senyum itu, dadanya masih terasa bergetar. Ada ragu yang halus, seperti desir angin yang tak bisa diabaikan. Apakah keputusanku ini sudah tepat? batinnya berbisik pelan. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan debar di dadanya. Tatapannya lalu jatuh pada tas kertas kecil di pangkuannya, yakni tas berisi dasi pria yang baru saja ia beli dari toko di sudut jalan. Jari-jarinya menelusuri tali tas itu dengan gugup, membayangkan bagaimana ia akan menyerahkannya nanti. Sekadar hadiah kecil, namun entah mengapa, rasanya lebih berarti dari apa pun. Lamunannya buyar ketika terdengar suara pintu mobil ditutup dengan
Felisha berlari menuruni tangga darurat dengan napas memburu. Wajahnya masih terasa panas, seperti terbakar. Rasa malu menelannya bulat-bulat, apalagi mengingat beberapa pasang mata yang tadi menatapnya di lobi, menyaksikan ciuman pertamanya dengan Ace, pria yang selama ini ia hindari. Kakinya berhenti ketika tiba di basement parkir yang sepi. Suara langkahnya bergema samar, hanya ditemani desiran AC dan aroma khas beton. Ia bersandar pada dinding dingin, berusaha menenangkan diri, tapi jantungnya tetap berdegup kacau, tak juga mereda. Dus di pelukannya bergerak kecil, membuatnya tersadar. Si induk kucing di dalamnya mengeong pelan, seakan ikut merasakan kegelisahan gadis itu. Felisha menunduk, membuka sedikit tutup dus. Sepasang mata bulat penuh rasa ingin tahu menatapnya. Senyum tipis tersungging di wajahnya, meski pipinya masih merah. “Jangan lihat aku seperti itu…” bisiknya lirih pada kucing tersebut, seakan berbicara pada dirinya sendiri. “Aku benar-benar tidak tahu harus
Beberapa menit sebelumnya: Merasa sudah terlalu lama menunggu, Bonita —artis papan atas yang gemerlap kariernya selalu menjadi sorotan media—mulai kehilangan kesabaran. Duduk di sofa lobi dengan kaki disilangkan, ia mengetukkan jarinya pada lengan kursi, menandakan kekesalan yang kian menumpuk. Setelah beberapa menit, ia akhirnya bangkit dengan anggun, meraih kacamata hitam yang sedari tadi hanya tergeletak di sampingnya, lalu mengenakannya dengan gerakan penuh gaya. Bibirnya melengkung, menyunggingkan gumaman sarkastis yang hanya cukup terdengar oleh dirinya sendiri. “Beraninya dia membuatku menunggu selama ini. Padahal aku baru saja ingin mempertimbangkan pria seperti apa dia. Dan ternyata? Cuma pebisnis biasa yang bahkan tidak tahu cara menghargai wanita berkelas sepertiku ini.” Bonita mulai melangkah, gaun mewahnya berayun mengikuti gerakan tubuhnya. Aroma parfum mahal yang ia kenakan menebar ke udara, membuat beberapa karyawan yang lewat sempat menoleh tanpa berani berkomentar







