Home / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 5 - Antara Hutang dan Obsesi

Share

Bab 5 - Antara Hutang dan Obsesi

Author: Faw faw
last update Last Updated: 2025-10-03 21:53:18

Ace menggeleng pelan, menyadari dirinya terlalu lama terjebak dalam lamunan. Namun saat kembali mengarahkan pandang, Felisha sudah jauh berjalan, menuruni trotoar dan bersiap menyeberangi jalan raya. Langkahnya cepat, berayun seirama dengan semilir angin pagi.

Tanpa pikir panjang, Ace segera menyalakan mesin mobil. Tadinya ia berniat menjemput Kathy—wanita yang entah kenapa, kini terasa seperti bagian dari hidup yang membosankan dan hambar. Namun dorongan aneh dari dalam dirinya membuat ia memutar arah. Ia tak bisa membiarkan Felisha pergi begitu saja.

Mobil hitamnya melaju perlahan, menyusul Felisha yang baru saja menyeberang. Ia menghentikan mobil tepat di depannya, lalu menurunkan kaca jendela sisi penumpang.

“Halo,” sapa Ace dengan senyum kecil. Suaranya rendah, berusaha terdengar hangat. “Kita ketemu lagi, nih.”

Felisha langsung menghentikan langkah. Matanya menyipit, menatap curiga. Suara itu—wajah itu—ia kenal betul. Mustahil ia bisa melupakannya.

“Kenapa kau mengikutiku?” tanyanya dingin, tajam.

Ace terdiam sejenak, terkejut dengan nada bicara Felisha. Ia mengangkat tangan, mencoba mencairkan suasana.

“Bukan begitu. Aku hanya... kebetulan melihatmu berjalan sendirian. Kupikir, mungkin kau butuh tumpangan. Seperti waktu itu.”

Felisha memutar bola matanya. Seketika, memori menjijikkan kembali menyeruak—saat ia tak sengaja melihat Ace mencium Kathy penuh nafsu di parkiran apartemen. Geli, muak, dan sebal bercampur jadi satu. Ia melangkah mundur, menjauh dari mobil.

“Maaf. Aku lebih memilih berjalan kaki daripada duduk di mobilmu,” tukasnya tajam. Tanpa menunggu reaksi, ia langsung menaiki bus kota yang baru saja berhenti.

Ace terdiam, mematung di balik kemudi. Ia menoleh pelan, menatap bus yang kini bergerak menjauh, membawa Felisha bersamanya.

“Galak juga, ya...” gumamnya sambil tersenyum pahit. Meski ditolak mentah-mentah, ada sesuatu dalam diri Felisha yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkannya. Reaksi, ucapan, sikapnya—semuanya terasa jujur, tanpa kepura-puraan.

Mobilnya kembali melaju, membuntuti bus dari kejauhan. Ia sendiri tak mengerti mengapa begitu peduli. Bus itu berhenti di depan sebuah kafe. Felisha turun dan masuk melalui pintu samping. Ace menunggu sebentar, lalu memutuskan untuk ikut masuk.

Suasana kafe cukup ramai. Aroma kopi dan roti panggang langsung menyergap hidung. Namun baru beberapa langkah masuk, ia langsung disambut suara tajam yang tak asing.

“Mau apa lagi kau ke sini?!” bentak Felisha dari balik meja barista. Wajahnya merah, antara marah dan kaget.

Viola, rekan kerjanya, sontak menoleh dengan ekspresi cemas, khawatir bos mereka mendengar keributan itu.

Sementara itu, Ace hanya tersenyum canggung. “Tentu saja untuk ngopi. Atau... kau mau menemaniku?”

Felisha mendengus. “Kalau begitu, minum kopimu sendiri. Dan tolong, jangan pernah muncul lagi di hadapanku.”

Ace mengangkat alis, pura-pura tersinggung. “Kau tidak merasa sedikit kasar hari ini? Aku jadi sedih, loh.”

Felisha menatap tajam ke arah Viola. “Viola, kau saja yang urus dia. Aku mau ke dapur.”

Ia bersiap pergi, namun Ace menahan, mencoba bersikap lebih tenang.

“Apa kau takut aku menagih hutang traktiran waktu itu? Tenang saja, aku belum berniat menagihnya.”

Namun, kata "hutang" yang terlontar dari mulut Ace justru memicu kepanikan lain dalam benak Felisha. Ingatannya langsung tertuju pada Rosie—dan tagihan yang belum bisa ia lunasi. Ia berusaha menenangkan diri, tapi Ace malah membangkitkan rasa takut itu.

Tatapan Felisha kian tajam. Ia mengeluarkan sejumlah uang yang seharusnya cukup untuk membayar taksi dan mungkin lebih. Dengan gerakan tegas, uang itu diletakkan di meja kasir.

“Sekarang hutangku lunas. Kau bisa beli kopi dengan itu. Tapi setelah ini, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!”

Tanpa memberi kesempatan bicara, Felisha membalikkan badan dan menghilang di balik pintu dapur. Viola yang menyaksikan semuanya dari balik meja hanya bisa terpaku, wajahnya cemas dan bingung.

Ace menghela napas panjang. “Dia memang segalak itu, atau memang aku yang salah?”

Viola mencoba tersenyum, meski canggung. “Mungkin... ini hari terberatnya.”

Ace terkekeh pelan. “Padahal ini masih pagi. Jangan-jangan dia lagi datang bulan?”

Viola menunduk, menahan tawa yang tak keluar. Ia tetap berusaha profesional. “Hm... bisa jadi. Kita tak pernah tahu apa yang sedang dipikul seseorang.”

Ace lalu duduk di kursi dekat meja bartender. Tatapannya kosong, namun senyumnya perlahan muncul. “Siapa sih namanya? Aku penasaran.”

Viola menghentikan aktivitasnya mengelap meja, menatap Ace tajam. “Maaf. Aku tidak bisa memberitahumu.”

“Kenapa?” tanya Ace, bingung.

“Tidak semua orang nyaman jika identitasnya diungkap kepada orang asing,” jawab Viola pelan. “Bahkan sebuah nama pun bisa menjadi bagian dari harga diri seseorang.”

Ace kembali menatap ke arah pintu dapur. Saat itu juga, ia menyadari—Felisha berbeda. Sangat berbeda. Ia bukan tipe perempuan yang akan mendekatinya dengan senyum manja atau suara menggoda seperti yang biasa mengelilinginya.

Viola, memperhatikan ekspresi Ace, tersenyum simpul. “Mungkin, lebih baik kau saja yang tanyakan langsung. Kalau berkenan, dia pasti akan memberitahukan namanya sendiri.”

Ace mengangguk pelan. Ia menatap lembaran uang yang tadi disodorkan Felisha dengan kasar.

“Tapi... bolehkah aku tahu alamatnya?”

Viola menarik napas dalam. Namun sebelum salah paham muncul, Ace buru-buru menjelaskan.

“Tenang saja. Aku tidak akan mendatanginya. Aku hanya ingin mengembalikan uang ini lewat kurir. Bagaimanapun juga, tidak keren menerima tagihan hutang seperti ini.”

Viola terkekeh, lalu menatap Ace serius. “Dari pada merasa tidak keren, bukankah lebih baik disimpan saja sebagai kenang-kenangan?”

Ace terdiam. Kata-kata Viola, sesederhana apa pun, menusuk ke dalam pikirannya.

Ia memandangi lembaran uang itu sekali lagi—kemudian tersenyum kecil. Geli, namun juga tergerak. Ia melipat uang itu pelan dan menyimpannya ke dalam dompet.

Setelah menyelesaikan urusannya di Kafe Lenorè, Ace berjalan menuju mobilnya dengan langkah santai bersama kenang-kenangan dari Felisha

Namun, sebelum sempat membuka pintu mobil, pikirannya terusik. Ia menatap kembali uang itu dalam-dalam, lalu mendecak kesal.

“Ah, sial... Kalau uang ini kusimpan, berarti aku tidak punya alasan lagi untuk menemui si Nona Tembem,” gumamnya, menggaruk kepala.

Ia menimbang-nimbang sejenak.

“Tidak... sebaiknya kukembalikan saja lewat wanita tadi.”

Ace berbalik. Langkahnya cepat, tekadnya bulat untuk kembali ke dalam kafe. Tapi belum sempat mencapai pintu, semuanya berubah.

BRUK!

Sesuatu yang tebal dan gelap membungkus kepalanya dari belakang. Ia terperangah. Kedua tangan kuat mencengkeram tubuhnya dari depan, menahan segala upaya perlawanan.

“Apa-apaan ini?!” pikirnya panik. Tapi suaranya tak bisa keluar, napasnya tercekat.

Apa ini penculikan?

Pertanyaan-pertanyaan berkelebat di kepala Ace.

Siapa yang melakukannya? Apakah ini terkait ayahnya? Apakah ia akan disandera demi menebus kekayaan keluarga?

Tubuhnya terguncang dalam perjalanan yang tak jelas arah. Dunia terasa sempit, napasnya memburu.

Hingga akhirnya—kain penutup itu disingkap.

Cahaya lampu putih menyilaukan matanya. Begitu pandangannya pulih, ia mendapati dirinya sudah berada di ruang kerjanya sendiri. Di Shirohige Group.

Dan di hadapannya, dua pria berdiri dengan ekspresi bangga seperti anak kecil habis mengerjai seseorang: Theo dan Vista.

“Apa-apaan kalian ini?!” bentak Ace, berdiri dengan mata melotot. “Mau kuhajar, hah?!”

“Tenang, tenang!” kata Theo, mengangkat tangan seolah baru selesai melakukan hal heroik. “Jangan buang energimu sebelum rapat penting besok!”

Vista ikut bersuara dengan wajah kalem yang tidak meyakinkan.

“Sebagai kepala divisi periklanan, kau harus stabil. Tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan perlahan... lewat mana saja.”

Ace menatap mereka seperti menatap dua alien. Ia memijat dahinya, seolah menahan ledakan emosi.

“Sepertinya kalian memang harus dihajar. Belakangan ini aku terlalu lembek!” serunya, lalu memasang kuda-kuda. Tinju terkepal, sorot mata siap menebas.

Wajah Theo langsung memucat. Ia bersembunyi di balik tubuh lebar Vista.

“Bagaimana ini, Vista?! Dia serius!”

Vista menahan napas, mencoba tetap tenang walau kakinya gemetar.

“Dengar, Ace! Kompetisi tahunan akan segera dimulai! Kita harus bersiap—rekut anggota baru, dan bangun strategi!”

“Iya! Kalau kita menang, divisi kita bakal naik daun! Ada bonus besar juga!" tambah Theo cepat, mencoba mengalihkan amarah.

Ace terdiam. Napasnya berat. Ia menunduk sejenak.

“Sudah mau dimulai, ya?” tanyanya, dengan suara menurun.

Theo dan Vista saling lirik, lalu mengangguk cepat. Seperti melihat titik terang dalam badai.

“Makanya, Ace. Ayo bersiap. Besok, kita semua harus kumpul di ruang rapat. Ayahmu juga akan hadir sekadar untuk mengawasi.”

“Peduli setan dengan rapat itu!”

Ace meledak lagi. Suaranya menggema seperti bom. Theo dan Vista serempak melompat karena kaget.

Tapi Ace tak melanjutkan amarahnya. Ia memilih berjalan menuju pintu. Bagaimanapun juga, ia tak bisa memburu jantung kedua temannya. Namun saat mencoba membuka pintu, rupanya terkunci.

Ace memutar gagang berkali-kali—tetap tak terbuka. Matanya menyala seperti bara.

“Theo...” desisnya penuh ancaman.

Theo nyengir seperti kuda. “Maaf, Ace. Demi kebaikan bersama.”

Vista yang menyadari situasi kian memburuk buru-buru menghampiri, mencoba mengalihkan emosi Ace. Ia menyodorkan sebuah map berisi berkas desain.

“Tunggu. Lihat ini dulu, Ace. Ini desain kandidat baru. Kalau dia diterima, dia bisa jadi aset berharga untuk perusahaan.”

Ace memalingkan wajah, enggan melihat. Tapi Vista belum menyerah.

“Namanya Felisha. Dia salah satu staf dari kafe yang kita kunjungi kemarin. Meskipun begitu, bakatnya luar biasa!”

Mendengar kalimat tersebut, seketika Ace berhenti. Tatapannya berubah. Penasaran mengusik pikirannya. “Felisha...?”

Direbutnya map itu dari tangan Vista. Matanya langsung tertuju pada foto yang menempel di halaman pertama. Di situ, terpampang wajah yang belakangan ini selalu memenuhi benaknya.

Si tembem judes.

Ace menatap fotonya dalam diam. Jantungnya berdetak lebih cepat.

“Dia sudah diwawancarai?” tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari foto Felisha. Hasil desainnya bahkan belum dilirik sedikit pun.

Theo dan Vista saling pandang, bingung dengan perubahan ekspresi Ace yang begitu drastis.

“Belum. Rencananya besok, sebelum rapat,” jawab Vista, pelan.

Ace menutup map itu dengan satu tepukan. Senyumnya menyeringai nakal, matanya berkilat.

“Kalau begitu, biar aku yang mewawancarainya langsung.”

Sontak Theo dan Vista terbelalak.

“APA?!” sahut mereka bersamaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 19 - Secangkir Harapan

    "Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 18 - Dua Wajah Di Sore Itu

    Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 17 - Yang Tak Bisa Dimaafkan

    Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 16 - Antara Dua Dunia

    Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 15 - Bayang-bayang Felisha

    BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 14 - Di Puncak Pengkhianatan

    Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status