MasukAce menggeleng pelan, menyadari dirinya terlalu lama terjebak dalam lamunan. Namun saat kembali mengarahkan pandang, Felisha sudah jauh berjalan, menuruni trotoar dan bersiap menyeberangi jalan raya. Langkahnya cepat, berayun seirama dengan semilir angin pagi.
Tanpa pikir panjang, Ace segera menyalakan mesin mobil. Tadinya ia berniat menjemput Kathy—wanita yang entah kenapa, kini terasa seperti bagian dari hidup yang membosankan dan hambar. Namun dorongan aneh dari dalam dirinya membuat ia memutar arah. Ia tak bisa membiarkan Felisha pergi begitu saja. Mobil hitamnya melaju perlahan, menyusul Felisha yang baru saja menyeberang. Ia menghentikan mobil tepat di depannya, lalu menurunkan kaca jendela sisi penumpang. “Halo,” sapa Ace dengan senyum kecil. Suaranya rendah, berusaha terdengar hangat. “Kita ketemu lagi, nih.” Felisha langsung menghentikan langkah. Matanya menyipit, menatap curiga. Suara itu—wajah itu—ia kenal betul. Mustahil ia bisa melupakannya. “Kenapa kau mengikutiku?” tanyanya dingin, tajam. Ace terdiam sejenak, terkejut dengan nada bicara Felisha. Ia mengangkat tangan, mencoba mencairkan suasana. “Bukan begitu. Aku hanya... kebetulan melihatmu berjalan sendirian. Kupikir, mungkin kau butuh tumpangan. Seperti waktu itu.” Felisha memutar bola matanya. Seketika, memori menjijikkan kembali menyeruak—saat ia tak sengaja melihat Ace mencium Kathy penuh nafsu di parkiran apartemen. Geli, muak, dan sebal bercampur jadi satu. Ia melangkah mundur, menjauh dari mobil. “Maaf. Aku lebih memilih berjalan kaki daripada duduk di mobilmu,” tukasnya tajam. Tanpa menunggu reaksi, ia langsung menaiki bus kota yang baru saja berhenti. Ace terdiam, mematung di balik kemudi. Ia menoleh pelan, menatap bus yang kini bergerak menjauh, membawa Felisha bersamanya. “Galak juga, ya,.” gumamnya sambil tersenyum pahit. Meski ditolak mentah-mentah, ada sesuatu dalam diri Felisha yang membuatnya tak bisa berhenti memikirkannya. Reaksi, ucapan, sikapnya—semuanya terasa jujur, tanpa kepura-puraan. Pada akhirnya mobil Ace kembali melaju, membuntuti bus dari kejauhan. Ia sendiri tak mengerti mengapa begitu peduli. Bus itu berhenti di sebrang kafe. Felisha turun dan masuk melalui pintu samping. Ace menunggu sebentar, lalu memutuskan untuk ikut masuk. Pagi itu suasana kafe cukup ramai. Aroma kopi dan roti panggang langsung menyergap hidung. Namun baru beberapa langkah masuk, Ace langsung disambut suara tajam yang tak asing. “Mau apa lagi kau ke sini?!” bentak Felisha dari balik meja barista. Wajahnya merah, antara marah dan kaget. Viola, rekan kerjanya, sontak menoleh dengan ekspresi cemas, khawatir bos mereka mendengar keributan itu. Sementara itu, Ace hanya tersenyum canggung. “Tentu saja untuk ngopi. Atau kau mau menemaniku?” Felisha mendengus. “Kalau begitu, minum kopimu sendiri. Dan tolong, jangan pernah muncul lagi di hadapanku.” Ace mengangkat alis, pura-pura tersinggung. “Kau tidak merasa sedikit kasar hari ini? Aku jadi sedih, loh.” Merasa sudah terlalu muak, Felisha menatap tajam ke arah Viola. “Kau saja yang urus dia. Aku mau ke dapur.” Ia bersiap pergi, namun Ace menahan, mencoba bersikap lebih tenang. “Apa kau takut aku menagih hutang traktiran waktu itu? Tenang saja, aku belum berniat menagihnya.” Sialnya, kata "hutang" yang terlontar dari mulut Ace justru memicu kepanikan lain dalam benak Felisha. Ingatannya langsung tertuju pada Rosie—dan tagihan yang belum bisa ia lunasi. Susah payah Felisha melupakannya, tapi Ace malah membangkitkan rasa takut itu. Tatapan Felisha kian tajam. Ia mengeluarkan sejumlah uang yang seharusnya cukup untuk membayar taksi dan mungkin lebih. Dengan gerakan tegas, uang itu diletakkan di meja kasir. “Sekarang hutangku lunas. Kau bisa beli kopi dengan itu. Tapi setelah ini, aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!” Tanpa memberi kesempatan bicara, Felisha membalikkan badan dan menghilang di balik pintu dapur. Viola yang menyaksikan semuanya dari balik meja hanya bisa terpaku, wajahnya cemas dan bingung. Ace menghela napas panjang. “Dia memang segalak itu, atau memang aku yang salah?” Viola mencoba tersenyum, meski canggung. “Mungkin ini hari terberatnya.” “Padahal ini masih pagi. Jangan-jangan dia lagi datang bulan?” Viola menunduk, menahan tawa yang tak keluar. Ia tetap berusaha profesional. “Hm... bisa jadi. Kita tak pernah tahu apa yang sedang dipikul seseorang.” Ace menarik kursi dekat meja bartender, lalu duduk di atasnya. Tatapannya kosong, namun senyumnya perlahan muncul. “Siapa sih namanya? Aku penasaran.” Perlahan Viola berhenti mengelap meja, dan menatap Ace tajam. “Maaf. Aku tidak bisa memberitahumu.” “Kenapa?” tanya Ace, bingung. “Tidak semua orang nyaman jika identitasnya diungkap kepada orang asing,” jawab Viola pelan. “Bahkan sebuah nama pun bisa menjadi bagian dari harga diri seseorang.” Ace kembali menatap ke arah pintu dapur. Saat itu juga, ia menyadari—Felisha berbeda. Sangat berbeda. Ia bukan tipe perempuan yang akan mendekatinya dengan senyum manja atau suara menggoda seperti yang biasa mengelilinginya. Diam-diam Viola memperhatikan ekspresi Ace, lalu tersenyum simpul. “Mungkin, lebih baik kau saja yang tanyakan langsung. Kalau berkenan, dia pasti akan memberitahukan namanya sendiri.” Ace mengangguk pelan. Ia menatap lembaran uang yang tadi disodorkan Felisha dengan kasar. “Tapi... bolehkah aku tahu alamatnya?” Viola menarik napas dalam. Namun sebelum salah paham muncul, Ace buru-buru menjelaskan. “Tenang saja. Aku tidak akan mendatanginya. Aku hanya ingin mengembalikan uang ini lewat kurir. Bagaimanapun juga, tidak keren menerima tagihan hutang seperti ini.” Viola terkekeh, lalu menatap Ace serius. “Dari pada merasa tidak keren, bukankah lebih baik disimpan saja sebagai kenang-kenangan?” Kata-kata Viola, membuat Ace terdiam sejenak. Sesederhana apa pun, menusuk ke dalam pikirannya. Ia memandangi lembaran uang itu sekali lagi—kemudian tersenyum kecil. Geli, namun juga tergerak. Dilipatnya uang itu pelan dan disimpannya ke dalam dompet. Setelah menyelesaikan urusannya di Kafe Lenorè, Ace berjalan menuju mobilnya dengan langkah santai bersama kenang-kenangan dari Felisha Namun, sebelum sempat membuka pintu mobil, pikirannya terusik. Ia menatap kembali uang itu dalam-dalam, lalu mendecak kesal. “Ah, sial. Kalau uang ini kusimpan, berarti aku tidak punya alasan lagi untuk menemui si Nona Tembem,” gumamnya, menggaruk kepala. Ia menimbang-nimbang sejenak. “Tidak. Sebaiknya kukembalikan saja lewat wanita tadi.” Ace segera berbalik. Langkahnya cepat, tekadnya bulat untuk kembali ke dalam kafe. Tapi belum sempat mencapai pintu, semuanya berubah. BRUK! Sesuatu yang tebal dan gelap membungkus kepalanya dari belakang. Ia terperangah. Kedua tangan kuat mencengkeram tubuhnya dari depan, menahan segala upaya perlawanan. “Apa-apaan ini?!” pikirnya panik. Tapi suaranya tak bisa keluar, napasnya tercekat. Apa ini penculikan? Pertanyaan-pertanyaan berkelebat di kepala Ace. Siapa yang melakukannya? Apakah ini terkait ayahnya? Apakah ia akan disandera demi menebus kekayaan keluarga? Tubuhnya terguncang dalam perjalanan yang tak jelas arah. Dunia terasa sempit, napasnya memburu. Hingga akhirnya—kain penutup itu disingkap. Cahaya lampu putih menyilaukan matanya. Begitu pandangannya pulih, ia mendapati dirinya sudah berada di ruang kerjanya sendiri. Di Newgate Group. Dan di hadapannya, dua pria berdiri dengan ekspresi bangga seperti anak kecil habis mengerjai seseorang. Theo dan Vin. “Apa-apaan kalian ini?!” bentak Ace, berdiri dengan mata melotot. “Minta dihajar, ya?!” “Tenang, tenang!” kata Theo, mengangkat tangan seolah baru selesai melakukan hal heroik. “Jangan buang energimu sebelum rapat penting besok!” Vin ikut bersuara dengan wajah kalem yang tidak meyakinkan. “Sebagai kepala divisi periklanan, kau harus stabil. Tarik napas dalam-dalam, lalu keluarkan perlahan... lewat mana saja.” Ace menatap mereka seperti menatap dua alien. Ia memijat dahinya, seolah menahan ledakan emosi. “Sepertinya kalian memang harus dihajar. Belakangan ini aku terlalu lembut pada kalian!” serunya, lalu memasang kuda-kuda. Tinju terkepal, sorot mata siap menebas. Wajah Theo langsung memucat. Ia bersembunyi di balik tubuh lebar Vin. “Bagaimana ini, Vin?! Dia serius!” Vin menahan napas, mencoba tetap tenang walau kakinya gemetar. “Dengar, Ace! Kompetisi tahunan akan segera dimulai! Kita harus bersiap—rekut anggota baru, dan bangun strategi!” “Iya! Kalau kita menang, divisi kita bakal naik daun! Ada bonus besar juga!" tambah Theo cepat, mencoba mengalihkan amarah. Ace terdiam. Napasnya berat. Ia menunduk sejenak. “Sudah mau dimulai, ya?” tanyanya, dengan suara menurun. Theo dan Vin saling lirik, lalu mengangguk cepat. Seperti melihat titik terang dalam badai. “Makanya, Ace. Ayo bersiap! Besok, kita semua harus kumpul di ruang rapat. Ayahmu juga akan hadir sekadar untuk mengawasi.” “Peduli setan dengan rapat itu!” Mendadak Ace meledak lagi. Suaranya menggema seperti bom. Theo dan Vin serempak melompat karena kaget. Tapi Ace tak melanjutkan amarahnya. Ia memilih berjalan menuju pintu. Bagaimanapun juga, ia tak bisa memburu jantung kedua temannya. Namun saat mencoba membuka pintu, rupanya terkunci. Ace memutar gagang berkali-kali, tetap tak terbuka. Matanya menyala seperti bara. “Theo...” desisnya penuh ancaman. Theo menyeringai seperti kuda. “Maaf, Ace. Demi kebaikan bersama.” Vin yang menyadari situasi kian memburuk buru-buru menghampiri, mencoba mengalihkan emosi Ace. Ia menyodorkan sebuah map berisi berkas desain. “Tunggu. Lihat ini dulu, Ace. Ini desain kandidat baru. Kalau dia diterima, dia bisa jadi aset berharga untuk perusahaan.” Ace memalingkan wajah, enggan melihat. Tapi Vin belum menyerah. “Namanya Felisha. Dia salah satu staf dari kafe yang kita kunjungi kemarin. Meskipun begitu, bakatnya luar biasa!” Mendengar kalimat tersebut, seketika Ace berhenti. Tatapannya berubah. Penasaran mengusik pikirannya. “Felisha...?” Direbutnya map itu dari tangan Vin. Matanya langsung tertuju pada foto yang menempel di halaman pertama. Di situ, terpampang wajah yang belakangan ini selalu memenuhi benaknya. Si tembem judes. Ace menatap fotonya dalam diam. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia sudah diwawancarai?” tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari foto Felisha. Hasil desainnya bahkan belum dilirik sedikit pun. Theo dan Vin saling pandang, bingung dengan perubahan ekspresi Ace yang begitu drastis. “Belum. Rencananya besok, sebelum rapat,” jawab Vin, pelan. Ace menutup map itu dengan satu tepukan. Senyumnya menyeringai nakal, matanya berkilat. “Kalau begitu, biar aku yang mewawancarainya langsung.” Sontak Theo dan Vin terbelalak. “APA?!” sahut mereka bersamaan.Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.
“Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin
Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka
“K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si
“Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m







