Beranda / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 9 - Pewawancara Tak Terduga

Share

Bab 9 - Pewawancara Tak Terduga

Penulis: Faw faw
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-04 07:59:21

Sore itu, langit tampak sedikit lebih cerah dari biasanya. Bukan karena cuacanya yang berbeda, melainkan karena suasana hati Felisha yang untuk sekali ini terasa lebih ringan. Setelah berminggu-minggu terjebak dalam rutinitas melelahkan sejak pagi, akhirnya ada secercah harapan menyinari langkahnya, yakni sebuah pesan wawancara dari perusahaan impian—Newgate Group.

“Aku tidak percaya ini benar-benar terjadi,” gumamnya pelan, memandangi layar ponsel dengan senyum lembut.

Viola yang duduk di sebelahnya, segera menoleh begitu melihat ekspresi itu. “Besok kau akan diwawancarai?” tanyanya antusias.

Felisha mengangguk pelan. “Iya. Mereka baru saja mengabariku.”

“Kenapa harus pakai wawancara segala, sih? Harusnya mereka langsung menerima orang berbakat sepertimu!” gerutu Viola, suaranya terdengar setengah kesal tapi penuh kasih.

Felisha terkekeh ringan. “Yah, bagaimanapun juga, aku tetap harus ikut prosedur perusahaan.”

“Kuharap semuanya berjalan lancar untukmu, Felisha. Akhirnya, ada tempat yang bisa menampung bakatmu. Tapi...”

Nada suara Viola menurun. Keraguan menggantung di ujung kalimat. “Kalau kau diterima... kita tidak akan sering bertemu lagi, ya? Aku jadi kesepian, deh.”

Felisha menoleh, tersenyum lembut. “Aku bahkan belum resmi bekerja di sana, tapi kau sudah mulai dramatis.”

“Aku serius. Kau tidak akan melupakanku, kan?”

“Tentu saja tidak.” Gadis berambut pirang itu menyentuh tangan Viola. “Mana mungkin aku melupakan satu-satunya orang yang selalu memperhatikanku, bahkan saat dunia membelakangiku?”

Viola terkekeh kecil. “Masih ada kok orang lain yang memperhatikanmu.”

“Siapa?” tanya Felisha heran. Keluarga ayahnya jelas bukan. Terutama Bibi Rosie, yang tahu hidup hanya seputar utang dan tagihan.

“Itu loh... pria tampan yang sempat jadi sopir taksi dadakanmu.” Viola tersenyum nakal.

Wajah Felisha langsung berubah. Dingin. Sinis. “Jangan mulai bahas dia lagi.”

“Kenapa sih kau sebegitu kesalnya? Jujur saja, waktu kau memarahinya, aku sempat kasihan, loh.”

“Dia itu sangat menyebalkan. Tukang goda perempuan. Tidak tahu tempat, tidak tahu waktu. Pokoknya bikin geli. Aku nggak sudi dirayu pria macam itu.”

“Yah... dia memang tampan, sih. Mungkin itu sebabnya dia merasa bebas menggoda siapa saja.”

"Memangnya kenapa kalau tampan? Apa karena itu dia bisa mempermainkan hati wanita seenaknya? Kemarin berkencan dengan yang lain, hari ini berciuman dengan yang lain lagi. Lalu masih nekat mendekatiku seolah semua itu tak berarti.”

“Parah juga, ya,” gumam Viola pelan. “Tapi, kurasa dia benar-benar tertarik padamu. Dia sampai menanyakan nama dan alamatmu padaku, tahu?”

Felisha menegang. “Dan kau memberitahunya?”

Viola buru-buru menggeleng. “Tentu tidak! Aku bukan sahabat pengkhianat. Tenang saja.”

“Bagus,” kata Felisha, meski nada suaranya masih sedikit gusar. “Pokoknya jangan biarkan dia tahu apa pun tentangku.”

“Lagi pula, sebentar lagi kau akan pergi dari sini. Dia tidak akan bisa bertemu denganmu lagi," ujar Viola tersenyum, mencoba mencairkan suasana.

Felisha menatap ke luar jendela, memandang matahari yang mulai tenggelam. “Semoga saja. Newgate Group adalah harapan terakhirku. Jika aku diterima, aku bisa mulai mencicil hutang itu dan melupakan semua kekacauan ini. Termasuk pria itu.”

Viola mengusap pundak sahabatnya, lembut dan penuh keyakinan. “Percayalah. Kalau mereka tidak menerimamu, mereka akan sangat menyesal.”

Felisha membalas senyumnya, tulus. Hatinya dipenuhi harapan dan tekad. Tapi satu hal yang tak ia ketahui.

Pria yang ingin ia hindari mati-matian, justru akan duduk di kursi pewawancara esok hari.

***

Malam itu, di dalam kamarnya yang remang, Ace masih sibuk memandangi selembar foto yang terlampir pada surat lamaran kerja.

Berkali-kali ia menyebut nama itu—Felisha. Sebuah nama yang terasa begitu nyaman di bibirnya, seolah punya ritme tersendiri yang mengalun lembut dalam pikirannya. Senyum tipis mengembang di wajahnya, nyaris seperti orang kehilangan akal.

"Dunia ini memang aneh," batinnya.

Penuh kejutan dan misteri. Belum lama sejak pertemuan absurd itu—saat Felisha salah masuk ke dalam mobil Ace dan mengiranya sebagai taksi. Dan kini, gadis unik itu justru mengajukan lamaran kerja ke perusahaan milik ayahnya.

Sebenarnya, mewawancarai pelamar bukanlah tanggung jawab seorang petinggi sepertinya. Tapi untuk yang satu ini, Ace membuat pengecualian. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang tak bisa ia abaikan.

"Sepertinya kau memang tidak boleh lari dariku, Nona Tembem. Ah, maksudku... nona Felisha," gumamnya, bibirnya melengkung penuh arti.

Sudah lama ia terpaku pada foto itu, sampai akhirnya rasa penasaran membawanya membuka lampiran lain di map berwarna biru muda itu. Matanya mulai menyusuri hasil desain milik Felisha—dan ia langsung terdiam.

"Ternyata kau bukan hanya pintar ngomel, tapi jago desain juga, ya," ucapnya pelan, separuh kagum, separuh serius.

Semakin dalam ia menyelami lembar demi lembar karya Felisha, semakin besar keterkejutannya. Desain-desain itu tak biasa—unik, berkarakter, dan punya sentuhan emosional yang menyentuh hati. Bukan desain generik dari desainer grafis biasa.

Perlahan tapi pasti, perasaannya terhadap gadis itu berkembang menjadi kekaguman yang sulit ia sangkal. Ia bahkan mengabaikan beberapa panggilan masuk dari Selena dan Kathy yang berkali-kali mencoba menghubunginya. Namun saat nama Matthew muncul di layar, anehnya Ace tak ragu untuk menjawab.

"Halo, Ace. Apa benar kabar yang kudengar dari Theo? Besok kau akan mewawancarai pelamar kerja?"

Suara Matthew terdengar penuh rasa ingin tahu.

"Ya," jawab Ace singkat, matanya tak lepas dari map berisi karya Felisha.

"Itu berarti... kau juga akan hadir di rapat besar besok?"

"Tentu saja."

Hening sebentar, sebelum Matthew berkata dengan nada tak percaya,"Kau serius, Ace? Kau tidak bercanda atau membohongi kami lagi, kan?"

Ace mendengus pelan. "Apa hari ini telingamu belum dibersihkan? Harus berapa kali aku mengatakannya?" katanya agak kesal, tapi nada suaranya masih menyiratkan candaan.

Terdengar tawa kecil dari seberang sana. Ace tahu, Matthew pasti sangat lega mendengar jawabannya.

"Baiklah. Kalau kau butuh bantuan untuk rapat besok, tinggal bilang saja padaku."

"Hei, aku memang sering cabut dari kantor. Tapi bukan berarti aku kehilangan jiwa kepemimpinanku. Aku bisa mengatasinya sendiri."

"Haha. Itu bagus. Sampai jumpa besok di kantor, Ace."

Panggilan berakhir. Tapi Ace masih menatap map itu dengan sorot mata yang sama—penasaran, takjub, dan entah apa lagi yang belum bisa ia jelaskan.

"Ya... sampai jumpa besok di kantor, Nona Felisha," bisiknya pelan, namun penuh gairah dan semangat yang membara.

***

Langit di pagi secerah hati Felisha yang tengah bersiap menghadapi wawancara kerja.

Namun, di balik senyum tipisnya, jantungnya berdetak tak karuan. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. 'Apakah aku bisa melewati proses ini? Apakah aku akan mampu menjawab semua pertanyaan dengan tenang dan bijak?'

Kegelisahan itu menemaninya sepanjang perjalanan menuju kantor Newton Group.

Sesampainya di sana, Felisha menatap gedung pencakar langit yang menjulang gagah di hadapannya. Arsitekturnya modern dan bergaya, memancarkan aura profesional yang tak main-main. Desain bangunan itu sendiri seolah berbicara—mewakili bidang perusahaan desain grafis.

Para pekerja lalu-lalang di halaman dengan penampilan modis, kebanyakan turun dari mobil pribadi yang tampak mewah.

Felisha hanya bisa berdiri kaku, dengan tas di bahu dan sepatu yang sedikit berdebu karena naik bus kota.

Seketika rasa minder merayapi dirinya.

"Apa benar perusahaan semewah ini membutuhkan orang seperti aku?"

Ia mulai meragukan ucapan Vin, orang yang merekomendasikannya. "Jangan-jangan bapak-bapak itu hanya membual? Atau dia hanya ingin menempatkanku di posisi yang sama sekali bukan seperti yang ia katakan? Seperti... cleaning service, misalnya?"

Namun segera ia menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran buruk itu.

Yah, kalau pun jadi cleaning service, asalkan gajinya besar, itu masih lebih baik dari kafe Lenorè yang bayarannya kecil dan tak pernah ramai.

"Yang penting masuk dulu," gumamnya pelan, mencoba menenangkan hati.

Ia akhirnya melangkah masuk ke dalam gedung. Langkahnya ragu, namun tetap mantap.

Begitu memasuki lobi utama, Felisha mendongak terkejut. Ruangannya hampir sebesar lapangan bola, dengan desain interior yang bersih, elegan, dan berkelas. Bukannya kagum, perasaannya justru makin kacau. Jantungnya berdebar lebih keras.

"Silakan ke lantai lima belas. Ruang HRD ada di bilik paling depan, tepat setelah keluar dari lift," ujar resepsionis ramah.

Felisha mengangguk sopan sambil memaksakan senyum. Kakinya terasa lemas saat ia memasuki lift. Jari-jarinya mencengkeram tali tas dengan kuat, seolah itu bisa memberinya kekuatan lebih.

Sesampainya di lantai 15, suasananya cukup ramai. Orang-orang tampak sibuk—ada yang menelepon sambil berjalan, ada yang berbicara cepat dengan rekan kerja, bahkan ada yang nadanya terdengar ketus. Lingkungan ini jelas bukan tempat kerja biasa.

Seberapa keras sih dunia kerja di sini? pikirnya.

Di tengah keramaian itu, matanya menangkap sosok yang familiar—seorang pria paruh baya bertubuh besar dengan kumis melingkar khasnya. Vin. Pria yang pertama kali menawarinya kesempatan ini.

Vin tengah berbicara dengan bawahannya, namun segera tersenyum lebar saat melihat Felisha. Ia melangkah cepat menghampirinya.

"Ah, kau sudah datang? Tidak sulit kan, mencari ruang HRD?" tanyanya ramah sambil menunjuk ke ruangan yang ternyata tepat di sebelah Felisha berdiri.

"Silakan masuk ke sini," lanjut Vin.

Felisha menatap pintu itu dengan heran.

"Langsung sekarang juga? Tidak perlu menunggu panggilan dulu?"

Biasanya, pelamar lain harus duduk berbaris menanti giliran. Tapi di sini, tidak ada satu pun pelamar lain di depan ruangan itu.

"Iya. Kau tinggal masuk dan duduk. Pewawancaranya sudah menunggu di dalam," jawab Vin sambil membukakan pintu.

Felisha menelan ludah gugup.

"Oh, baiklah. Terima kasih," ucapnya sebelum melangkah masuk.

"Tidak usah tegang, ya. Santai saja," ujar Vin menutup pintu di belakangnya.

Ruangan itu dingin dan tenang, kontras dengan hiruk pikuk di luar. Di balik meja kerja, seseorang duduk membelakangi pintu. Sandaran kursi yang tinggi menutupi kepalanya, membuat Felisha tak bisa memastikan apakah pewawancaranya pria atau wanita.

"Permisi..." sapanya pelan. Ia berdiri kaku di dekat kursi tamu, tak tahu harus berkata apa.

"Silakan duduk," sahut suara yang tenang dari balik kursi. Suara seorang pria.

Felisha segera duduk. Beberapa detik kemudian, pria itu memutar kursinya—dan detik itu juga, napas Felisha tercekat.

Ace. Lagi-lagi si playboy sialan ini.

Pria yang paling tidak ingin ia temui lagi.

"Selamat datang, Nona Felisha," ucap Ace dengan senyum yang tak bisa ditebak. "Apa kau sudah siap diwawancarai olehku?"

Felisha terdiam. Ia tak tahu apakah ingin tetap bersikap sopan, atau beranjak keluar dari sana secepat mungkin.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 129 - Sepenggal Cerita Di Kedai Es Krim

    Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 128 - Mantel Bulu

    “Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 127 - Ide Cemerlang

    Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 126 - Matthew Dan Nasi Lemak

    Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 125 - Menumpang Mandi

    “K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 124 - Tamu Tak Terduga

    “Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status