Sore itu, langit tampak sedikit lebih cerah dari biasanya. Bukan karena cuacanya yang berbeda, melainkan karena suasana hati Felisha yang untuk sekali ini terasa lebih ringan. Setelah berminggu-minggu terjebak dalam rutinitas melelahkan sejak pagi, akhirnya ada secercah harapan menyinari langkahnya: sebuah pesan wawancara dari perusahaan impian—Shirohige Group.
“Aku tidak percaya ini benar-benar terjadi,” gumamnya pelan, memandangi layar ponsel dengan senyum lembut. Viola yang duduk di sebelahnya, segera menoleh begitu melihat ekspresi itu. “Besok kau akan diwawancarai?” tanyanya antusias. Felisha mengangguk pelan. “Iya. Mereka baru saja mengabariku.” “Kenapa harus pakai wawancara segala, sih? Harusnya mereka langsung menerima orang berbakat sepertimu!” gerutu Viola, suaranya terdengar setengah kesal tapi penuh kasih. Felisha terkekeh ringan. “Yah, bagaimanapun juga... aku tetap harus ikut prosedur perusahaan.” Viola menatapnya, kali ini dengan mata yang lebih teduh. “Kuharap semuanya berjalan lancar untukmu, Felisha. Akhirnya, ada tempat yang bisa menampung bakatmu.” Ia berhenti sejenak. “Tapi...” Nada suaranya menurun. Keraguan menggantung di ujung kalimat. “Kalau kau diterima... kita tidak akan sering bertemu lagi, ya? Aku jadi kesepian, deh.” Felisha menoleh, tersenyum penuh sayang. “Aku bahkan belum resmi bekerja di sana, tapi kau sudah mulai dramatis.” “Aku serius. Kau nggak akan melupakanku, kan?” “Tentu saja tidak.” Ia menyentuh tangan Viola. “Mana mungkin aku melupakan satu-satunya orang yang selalu memperhatikanku, bahkan saat dunia membelakangiku?” Viola terkekeh kecil. “Masih ada kok orang lain yang memperhatikanmu.” “Siapa?” tanya Felisha heran. Keluarga ayahnya jelas bukan. Bibi Rosie? Yang tahu hidup hanya seputar utang dan tagihan? Viola menyipitkan mata, lalu tersenyum nakal. “Itu loh... pria tampan yang sempat jadi sopir taksi dadakanmu.” Wajah Felisha langsung berubah. Dingin. Sinis. “Jangan mulai bahas dia lagi.” “Kenapa sih kau sebegitu kesalnya? Jujur saja, waktu kau memarahinya, aku sempat kasihan, loh.” “Dia itu sangat menyebalkan. Tukang goda perempuan. Tidak tahu tempat, tidak tahu waktu. Pokoknya bikin geli. Aku nggak sudi dirayu pria macam itu.” “Yah... dia memang tampan, sih. Mungkin itu sebabnya dia merasa bebas menggoda siapa saja.” Felisha menatap Viola tajam. “Lalu kenapa kalau tampan? Apa karena itu dia bisa mempermainkan hati wanita seenaknya? Kemarin berkencan dengan yang lain, hari ini berciuman dengan yang lain lagi. Lalu masih nekat mendekatiku seolah semua itu tak berarti.” “Parah juga, ya,” gumam Viola pelan. “Tapi... kurasa dia benar-benar tertarik padamu. Dia sampai menanyakan nama dan alamatmu padaku, tahu?” Felisha menegang. “Dan kau memberitahunya?” Viola buru-buru menggeleng. “Tentu tidak! Aku bukan sahabat pengkhianat. Tenang saja.” “Bagus,” kata Felisha, meski nada suaranya masih sedikit gusar. “Pokoknya jangan biarkan dia tahu apa pun tentangku.” Viola tersenyum, mencoba mencairkan suasana. “Lagi pula, sebentar lagi kau akan pergi dari sini. Dia tidak akan bisa bertemu denganmu lagi.” Felisha menatap ke luar jendela, memandang matahari yang mulai tenggelam. “Semoga saja. Shirohige Group adalah harapan terakhirku. Jika aku diterima, aku bisa mulai mencicil hutang itu... dan melupakan semua kekacauan ini. Termasuk pria itu.” Viola mengusap pundak sahabatnya, lembut dan penuh keyakinan. “Percayalah. Kalau mereka tidak menerimamu, mereka akan sangat menyesal.” Felisha membalas senyumnya, tulus. Hatinya dipenuhi harapan dan tekad. Tapi satu hal yang tak ia ketahui... Pria yang ingin ia hindari mati-matian, justru akan duduk di kursi pewawancara esok hari. *** Malam itu, di dalam kamarnya yang remang, Ace masih sibuk memandangi selembar foto yang terlampir pada surat lamaran kerja. Berkali-kali ia menyebut nama itu—Felisha. Sebuah nama yang terasa begitu nyaman di bibirnya, seolah punya ritme tersendiri yang mengalun lembut dalam pikirannya. Senyum tipis mengembang di wajahnya, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Dunia ini memang aneh..." batinnya. Penuh kejutan dan misteri. Belum lama sejak pertemuan absurd itu—saat Felisha salah masuk ke dalam mobil Ace dan mengiranya sebagai taksi. Dan kini, gadis unik itu justru mengajukan lamaran kerja ke perusahaan milik ayahnya. Sebenarnya, mewawancarai pelamar bukanlah tanggung jawab seorang petinggi sepertinya. Tapi untuk yang satu ini... Ace membuat pengecualian. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang tak bisa ia abaikan. "Sepertinya kau memang tidak boleh lari dariku, Nona Tembem... ah, maksudku... nona Felisha," gumamnya, bibirnya melengkung penuh arti. Sudah lama ia terpaku pada foto itu, sampai akhirnya rasa penasaran membawanya membuka lampiran lain di map berwarna biru muda itu. Matanya mulai menyusuri hasil desain milik Felisha—dan ia langsung terdiam. "Ternyata kau bukan hanya pintar ngomel, tapi jago desain juga, ya..." ucapnya pelan, separuh kagum, separuh serius. Semakin dalam ia menyelami lembar demi lembar karya Felisha, semakin besar keterkejutannya. Desain-desain itu tak biasa—unik, berkarakter, dan punya sentuhan emosional yang menyentuh hati. Bukan desain generik dari desainer grafis biasa. Perlahan tapi pasti, perasaannya terhadap gadis itu berkembang menjadi kekaguman yang sulit ia sangkal. Ia bahkan mengabaikan beberapa panggilan masuk dari Selena dan Kathy yang berkali-kali mencoba menghubunginya. Namun saat nama Marco muncul di layar, anehnya Ace tak ragu untuk menjawab. "Halo, Ace. Apa benar kabar yang kudengar dari Theo? Besok kau akan mewawancarai pelamar kerja?" Suara Marco terdengar penuh rasa ingin tahu. "Ya," jawab Ace singkat, matanya tak lepas dari map berisi karya Felisha. "Itu berarti... kau juga akan hadir di rapat besar besok?" "Tentu saja." Hening sebentar, sebelum Marco berkata dengan nada tak percaya,"Kau serius, Ace? Kau tidak bercanda atau membohongi kami lagi, kan?" Ace mendengus pelan. "Apa hari ini kotoran di telingamu belum dibersihkan? Harus berapa kali aku mengatakannya?" katanya agak kesal, tapi nada suaranya masih menyiratkan candaan. Terdengar tawa kecil dari seberang sana. Ace tahu, Marco pasti sangat lega mendengar jawabannya. "Baiklah. Kalau kau butuh bantuan untuk rapat besok, tinggal bilang saja padaku." "Hei, aku memang sering cabut dari kantor. Tapi bukan berarti aku kehilangan jiwa kepemimpinanku. Aku bisa mengatasinya sendiri." "Haha. Itu bagus. Sampai jumpa besok di kantor, Ace." Panggilan berakhir. Tapi Ace masih menatap map itu dengan sorot mata yang sama—penasaran, takjub, dan entah apa lagi yang belum bisa ia jelaskan. "Ya... sampai jumpa besok di kantor, Nona Felisha," bisiknya pelan, namun penuh gairah dan semangat yang membara. *** Langit pagi itu secerah hati Felisha yang tengah bersiap menghadapi wawancara kerja. Namun, di balik senyum tipisnya, jantungnya berdetak tak karuan. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. 'Apakah aku bisa melewati proses ini? Apakah aku akan mampu menjawab semua pertanyaan dengan tenang dan bijak?' Kegelisahan itu menemaninya sepanjang perjalanan menuju kantor Shirohige Group. Sesampainya di sana, Felisha menatap gedung pencakar langit yang menjulang gagah di hadapannya. Arsitekturnya modern dan bergaya, memancarkan aura profesional yang tak main-main. Desain bangunan itu sendiri seolah berbicara—mewakili bidang perusahaan: desain grafis. Para pekerja lalu-lalang di halaman dengan penampilan modis, kebanyakan turun dari mobil pribadi yang tampak mewah. Felisha hanya bisa berdiri kaku, dengan tas di bahu dan sepatu yang sedikit berdebu karena naik bus kota. Seketika rasa minder merayapi dirinya. "Apa benar perusahaan semewah ini membutuhkan orang seperti aku?" Ia mulai meragukan ucapan Vista, orang yang merekomendasikannya. "Jangan-jangan pria itu hanya membual? Atau... hanya ingin menempatkanku di posisi yang sama sekali bukan seperti yang ia katakan? Seperti... cleaning service, misalnya?" Namun segera ia menggelengkan kepala, mencoba menepis pikiran buruk itu. Yah... kalau pun jadi cleaning service, asalkan gajinya besar, itu masih lebih baik dari kafe Lenorè yang bayarannya kecil dan tak pernah ramai. "Yang penting masuk dulu..." gumamnya pelan, mencoba menenangkan hati. Ia akhirnya melangkah masuk ke dalam gedung. Langkahnya ragu, namun tetap mantap. Begitu memasuki lobi utama, Felisha mendongak terkejut. Ruangannya hampir sebesar lapangan bola, dengan desain interior yang bersih, elegan, dan berkelas. Bukannya kagum, perasaannya justru makin kacau. Jantungnya berdebar lebih keras. "Silakan ke lantai lima belas. Ruang HRD ada di bilik paling depan, tepat setelah keluar dari lift," ujar resepsionis ramah. Felisha mengangguk sopan sambil memaksakan senyum. Kakinya terasa lemas saat ia memasuki lift. Jari-jarinya mencengkeram tali tas dengan kuat, seolah itu bisa memberinya kekuatan lebih. Sesampainya di lantai 15, suasananya cukup ramai. Orang-orang tampak sibuk—ada yang menelepon sambil berjalan, ada yang berbicara cepat dengan rekan kerja, bahkan ada yang nadanya terdengar ketus. Lingkungan ini jelas bukan tempat kerja biasa. Seberapa keras sih dunia kerja di sini? pikirnya. Di tengah keramaian itu, matanya menangkap sosok yang familiar—seorang pria paruh baya bertubuh besar dengan kumis melingkar khasnya. Vista. Pria yang pertama kali menawarinya kesempatan ini. Vista tengah berbicara dengan bawahannya, namun segera tersenyum lebar saat melihat Felisha. Ia melangkah cepat menghampirinya. "Ah, kau sudah datang? Tidak sulit kan, mencari ruang HRD?" tanyanya ramah sambil menunjuk ke ruangan yang ternyata tepat di sebelah Felisha berdiri. "Silakan masuk ke sini," lanjut Vista. Felisha menatap pintu itu dengan heran. "Langsung sekarang juga? Tidak perlu menunggu panggilan dulu?" Biasanya, pelamar lain harus duduk berbaris menanti giliran. Tapi di sini... tidak ada satu pun pelamar lain di depan ruangan itu. "Iya. Kau tinggal masuk dan duduk. Pewawancaranya sudah menunggu di dalam," jawab Vista sambil membukakan pintu. Felisha menelan ludah gugup. "Oh, baiklah... Terima kasih," ucapnya sebelum melangkah masuk. "Sama-sama. Tidak usah tegang, ya. Santai saja," ujar Vista menutup pintu di belakangnya. Ruangan itu dingin dan tenang, kontras dengan hiruk pikuk di luar. Di balik meja kerja, seseorang duduk membelakangi pintu. Sandaran kursi yang tinggi menutupi kepalanya, membuat Felisha tak bisa memastikan apakah pewawancaranya pria atau wanita. "Permisi..." sapanya pelan. Ia berdiri kaku di dekat kursi tamu, tak tahu harus berkata apa. "Silakan duduk," sahut suara yang tenang dari balik kursi. Suara seorang pria. Felisha segera duduk. Beberapa detik kemudian, pria itu memutar kursinya—dan detik itu juga, napas Felisha tercekat. Pria itu adalah Ace. Pria yang paling tidak ingin ia temui lagi. "Selamat datang, Nona Felisha," ucap Ace dengan senyum yang tak bisa ditebak. "Apa kau sudah siap diwawancarai olehku?" Felisha terdiam. Ia tak tahu apakah ingin tetap bersikap sopan... atau beranjak keluar dari sana secepat mungkin."Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang
Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace
Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak
Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p
BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.
Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber