Felisha menahan sesak di dadanya. Matanya menatap tajam ke arah pria yang kini duduk di hadapannya dengan santai, seolah dunia sedang bermain di tangannya.
Kenapa harus dia? Kenapa si playboy ini yang mewawancaraiku? Apa yang pria itu lakukan di sini? Dan yang lebih mengganggu lagi, kenapa selalu dia… dan dia lagi? Mengapa bukan orang lain saja? Felisha mengatur napasnya. Ia mencoba bersikap profesional meskipun wajah juteknya sulit disembunyikan. Tatapan sinis dan alis yang sedikit terangkat adalah ekspresi aslinya setiap kali Ace ada di sekitarnya. Namun, Ace justru tersenyum girang melihat itu. Ia tersenyum puas, seperti seekor kucing yang akhirnya berhasil menjebak tikus cerdik. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menautkan jari-jarinya dan memandang Felisha seolah ini adalah sesi ngobrol santai, bukan wawancara kerja. "Kaget, ya? Kau pasti tidak menyangka akan bertemu denganku lagi di tempat ini," ucap Ace dengan nada ringan. Felisha diam. Jantungnya berdetak tidak karuan. “Tenang saja,” lanjut Ace. “Aku juga tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi.” Ia terkekeh kecil. “Mungkin ini sinyal dari alam semesta agar kita... lebih mengakrabkan diri?” Felisha membalas dengan tatapan tajam. “Kupikir kita di sini untuk wawancara kerja. Bukan untuk membahas hal absurd.” Ace mengangguk, berpura-pura menyesal. “Benar juga. Maaf, terkadang aku lupa diri setelah melihatmu. Baiklah... kita mulai wawancaranya, ya.” Nada suara Ace berubah. Senyum isengnya menghilang. Posturnya tegak dan serius, seolah saklar di dalam dirinya baru saja diputar dari ‘main-main’ ke ‘profesional’. Felisha terhenyak sesaat. Pria ini... serius? “Pertama, jelaskan padaku bagaimana kau akan menghadapi klien yang meminta revisi desain sebanyak lima kali, padahal brief awalnya sudah disepakati.” Felisha menelan ludah. Ia tidak menduga akan langsung dilempar pertanyaan seberat itu. Si playboy yang selalu cengengesan ini mengecoh orang lewat penampilannya. Tiba-tiba ia berubah drastis. Meskipun begitu, Felisha tetap tidak boleh lengah. “Um... aku akan mencoba memahami alasan perubahan itu dulu. Lalu, aku akan mengklarifikasi mana yang memang perlu direvisi, dan mana yang hanya karena perubahan mood semata. Kalau perlu, aku pertahankan desain awal dengan argumen teknis dan estetik yang masuk akal," jawab Felisha sesuai apa yang ada di pikirannya. Ace mengangguk pelan. “Pendekatan diplomatis. Bagus. Tapi bagaimana kalau klien tetap ngotot?” Felisha berpikir cepat. “Aku akan berdiskusi dengan tim. Mungkin solusi kompromi bisa ditemukan. Tapi kalau sudah melampaui batas kewajaran, harus ada batas toleransi. Kualitas desain juga bagian dari reputasi kami.” Ace tersenyum. Kali ini bukan senyum penggoda, tapi senyum puas. “Hm... Jawaban yang masuk akal.” Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir. Tentang desain branding, krisis komunikasi, manajemen deadline, bahkan tentang etika tim dalam tekanan proyek besar. Felisha sempat kehilangan arah, tapi ia menjawab sejujur dan sebaik yang ia bisa. Tak ada yang dikarang. Semua dari pengalaman kerja dan instingnya sebagai orang kreatif. Dan yang mengejutkan, Ace menanggapi semua jawabannya dengan bijak. Tak sekalipun ia meremehkan, menertawakan, atau bersikap merendahkan. Sesekali, senyum profesional Ace muncul di sela diskusi. Tapi tidak lebih. "Kau tahu kau sangat berbakat dalam bidang desain periklanan," kata Ace sambil memperhatikan lembar hasil karya Felisha di dalam mapnya. Ace menatap desain itu seperti seorang penilai yang handal dan kritis. "Tapi berbakat saja tidak cukup. Dalam dunia bisnis, kau juga harus cepat, mampu bekerja bersama tim dan di bawah tekanan. Bagaimana menurutmu? Apakah kau mampu?" "Aku sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan, berpacu dengan waktu dan bekerja secara berkelompok. Itu bukan hal baru lagi untukku." Lagi-lagi jawaban Felisha membikin ace tersenyum. Ada kesungguhan yang bisa ia rasakan dari jawaban tersebut. Setelah hampir satu jam, Ace menutup berkas catatannya, menyandarkan tubuhnya santai, dan berkata, “Wawancaranya selesai.” Felisha menghela napas panjang. Akhirnya ia bisa memgendurkan tubuhnya dan bebas kembali menatap Ace dengan sinis. “Kau bisa bekerja besok,” lanjut Ace, tersenyum. “Di tim Kreatif 1. Di bawah bimbingan Vista." Felisha menatapnya, bingung antara harus bahagia atau sebaliknya. Ia berhasil masuk ke perusahaan besar. Tapi harus berhadapan setiap hari dengan pria penggoda yang tak pernah serius itu. “Selamat bergabung di Shirohige Group,” ucap Ace sambil mengedipkan mata, senyumnya khas dan penuh teka-teki. Kedua tangannya bertumpu santai di atas meja, sementara tubuhnya condong ke depan, menatap lekat kegundahan yang jelas tergambar di wajah Felisha. Felisha segera berdiri, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. “Terima kasih,” ucapnya singkat, suaranya nyaris dingin. Tanpa menunggu lebih lama, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan gerakan tergesa. Namun sebelum ia sempat keluar, terdengar suara Ace memanggil namanya. "Felisha." Langkah Felisha terhenti. Namun ia enggan menoleh. Hanya tubuhnya yang diam, sementara wajahnya tetap menghadap pintu. Dalam diam itu, Ace menghampiri, lalu berdiri tepat di hadapannya, menyodorkan sebuah amplop putih. “Ini materi penting yang perlu kau pelajari,” ujarnya tenang. “Tak semua anggota baru mendapatkannya.” Senyumnya tetap ada—senyum nakal yang seolah menyimpan maksud lain. Dan Felisha tahu itu. Ia bisa menebak isi pikiran pria itu. Ace pasti senang karena kini ia bisa mempermainkannya setiap hari. Geram oleh penilaian itu, Felisha tak mau diam. Ia menatap Ace dengan tajam. “Terima kasih atas perhatianmu... yang seharusnya tidak perlu kau berikan padaku. Aku di sini untuk bekerja, bukan untuk menjadi hiburanmu.” Senyuman Ace seketika meredup. “Kenapa kau berpikir begitu?” tanyanya, terdengar tulus namun masih dengan nada santai. Felisha memalingkan wajah, enggan menjawab secara langsung. “Pertanyaan klise,” gumamnya tajam. Alih-alih tersinggung, tingkah Felisha justru membuat Ace nyaris tertawa. Namun ia menahan diri. Ia tahu wanita di depannya ini berbeda, dan karenanya menarik. “Maaf, Nona Felisha. Tapi aku sungguh tak mengerti,” ucap Ace, kali ini dengan nada lebih serius. Felisha menatapnya kembali. Tatapannya penuh ketegasan, bahkan sedikit mengancam. “Aku harap aku bisa bekerja dengan tenang tanpa gangguan darimu. Dan kalaupun ada yang ingin kau bicarakan, pastikan itu hanya soal pekerjaan. Kalau tidak, aku tak akan ragu melapor kepada atasanku. Tuan Vista.” Ace tercengang sejenak, lalu tertawa—kaku, dibuat-buat. “Haha… Jangan, dong. Bisa-bisa nanti aku dipecat.” Ace tak menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. Felisha tak tahu bahwa pria yang sedang ia ancam itu bukan sekadar staf biasa, bukan pula HRD, melainkan salah satu petinggi di Shirohige Group—pimpinan divisi periklanan. Yang jelas jabatannya lebih tinggi dari Vista maupun Theo. Ace hanya merasa terhibur dengan permainan kecil ini. Ia ingin tahu seperti apa ekspresi Felisha saat akhirnya menyadari siapa dirinya yang sebenarnya. Felisha pun melangkah pergi tanpa sepatah kata lagi. Dari ambang pintu, Ace menatap kepergiannya sambil tersenyum kecil. Tawa pelan mengalir dari bibirnya, diiringi gelengan kepala pelan. “Menarik,” gumamnya pelan. “Sangat menarik.” *** Felisha melangkah keluar dari gedung Shirohige Group dengan langkah cepat dan ekspresi yang sulit dibaca. Wajahnya menegang, sementara kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. “Ya ampun, apa-apaan ini…” gumamnya, suara setengah berbisik namun sarat emosi. “Dari sekian banyak perusahaan, kenapa harus di sini? Dan kenapa pula harus dia yang menyambutku?” Gadis itu terus berjalan di pekarangan kantor, melewati karyawan-karyawan yang berlalu-lalang tanpa tahu badai emosi yang tengah melanda dirinya. Langkahnya akhirnya terhenti di dekat taman kecil di sisi kiri gedung. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. “Sabar, Felisha. Sabar…” bisiknya pada diri sendiri sambil menatap langit yang cerah. “Ini semua demi melunasi hutang Ayah. Aku pasti bisa melewatinya.” Ia mengepalkan tangan, menguatkan hati. “Aku tidak akan menyerah hanya karena pria penggoda itu ada di sini. Mungkin dia pikir dia bisa mempermainkanku, tapi aku tidak akan membiarkan itu terjadi.” Matanya menajam, sorotnya penuh tekad. Tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Felisha ragu sejenak, namun akhirnya mengangkat panggilan tersebut. “Halo?” “Felisha,” suara hangat dan bersahabat terdengar dari seberang. “Maaf, aku tidak sempat menemuimu setelah wawancara. Tapi semuanya berjalan lancar, kan?” Felisha langsung mengenali suara itu. “Tuan Vista?” sahutnya, berusaha menjaga nada bicara agar tetap tenang meski hatinya masih diselimuti guncangan emosional. “Ya, ini aku. Kau masih berada di sekitar kantor, kan? Sebelum makan siang nanti, akan ada rapat penting divisi periklanan. Rapat ini bagian dari persiapan kompetisi tahunan. Aku harap kau bisa ikut bergabung. Ada anggota tim yang lainnya juga, kok.” Felisha menegakkan tubuh. Ia mendengarkan dengan saksama di tengah keramaian, lalu menjawab dengan mantap, “Tentu saja, Tuan Vista. Aku akan segera kembali.” “Bagus. Dengan menghadiri rapat ini, kau akan mendapatkan materi penting. Naiklah ke lantai dua puluh. Rapat akan dimulai sekitar sepuluh menit lagi. Terima kasih, Felisha.” Begitu panggilan berakhir, Felisha segera membalik arah. Langkahnya kini lebih ringan. Ada semangat baru yang mengalir dalam dirinya. Mulutnya tersenyum kecil, penuh kepuasan. “Lihat,” bisiknya pelan, tertuju pada Ace yang masih berada di dalam gedung kantor. “Tanpa bantuanmu, aku bisa mendapatkan materi sendiri.” Keyakinan terpancar dari wajahnya. Hatinya mulai pulih dari ketidaknyamanan sebelumnya. Baginya, Ace hanyalah ujian kecil yang tak akan menggoyahkan tujuan besar yang telah ia tetapkan. Namun, Felisha belum tahu bahwa dalam waktu sepuluh menit, semua kepercayaan dirinya akan diuji kembali—karena sosok yang akan memimpin rapat itu… adalah Ace. *** Edward Newgate baru saja turun dari mobil hitam mewah yang berhenti tepat di depan lobi utama Shirohige Group. Seorang asisten dengan sigap membukakan pintu, sementara para karyawan yang sedang berlalu-lalang spontan menundukkan kepala, memberi penghormatan pada sosok yang nyaris legendaris di perusahaan itu. Kharisma Edward bukan hanya karena jabatannya, tapi juga karena sorot matanya—tajam, menusuk, dan tak pernah menampakkan kelembutan. Setiap langkahnya menyisakan tekanan, seolah udara ikut menahan napas menyambut kehadirannya. Marco, yang saat itu berada di lobi, langsung menghampiri ayahnya. Edward hanya menatap sekilas, lalu bertanya dengan suara berat namun terdengar jelas, “Apa benar anak monyet itu akan memimpin rapat hari ini?” Marco berjalan di samping ayahnya, mengikuti langkah besar dan penuh wibawa itu menuju lift. “Begitulah yang dikatakan Theo,” jawab Marco, tenang seperti biasa meski langkahnya cepat mengikuti irama Edward. “Semalam aku sudah menghubungi Ace. Dan dia memastikan akan hadir.” Edward tak menunjukkan ekspresi lain selain berwajah datar. “Bahkan sejak pagi dia sudah ada di kantor,” lanjut Marco. Sebuah dengusan kecil lolos dari hidung Edward. Bukan tawa. Lebih seperti bentuk ketidakpercayaan. Ia menatap angka-angka di lift yang terus naik. “Apa yang membuatnya tiba-tiba begitu rajin?” gumamnya dingin. Marco sempat terdiam. Saat mereka memasuki lift dan pintu tertutup, ia menjawab lebih hati-hati. “Menurut Theo, semuanya bermula setelah Ace melihat surat lamaran dari seorang wanita. Namanya Felisha. Dia bahkan mewawancarainya langsung—padahal jelas-jelas bukan tugasnya.” Alis Edward terangkat sedikit. “Kali ini apa yang ada di pikirannya?" Marco tersenyum kecut. “Itulah yang membuatku bingung. Tindakannya terlalu… mendadak. Seperti dipicu sesuatu.” Edward mencibir pelan. “Dipicu oleh wanita, pasti.” Marco tak membantah. Ia mengenal adiknya dengan baik—terlalu baik, mungkin. “Aku juga merasa ada yang aneh,” katanya pelan. “Tapi di sisi lain… mungkin ini bisa jadi awal yang baik. Kalau wanita itu bisa membuat Ace kembali fokus, bukankah itu lebih baik daripada dia menghilang entah ke mana lagi?” Edward mendengus lebih keras kali ini. “Kau terlalu berharap. Bedebah itu tidak akan berubah hanya karena satu perempuan.” Marco tertunduk. Ia tahu, apa yang dikatakan ayahnya tak sepenuhnya salah. Ace memang seperti angin: liar, tak bisa ditebak, dan terlalu sering bermain api. “Begitu dia bosan,” lanjut Edward, “dia akan kabur lagi. Dan kau tahu itu.” Marco hanya diam, mengakui kebenaran di balik kata-kata pahit itu. Ia menghela napas panjang, memijat dahi yang mulai terasa berat. Dalam kesunyian itu, ekor mata Edward melirik Marco secara halus."Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang
Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace
Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak
Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p
BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.
Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber