Home / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 10 - Wawancara Yang Mengguncang

Share

Bab 10 - Wawancara Yang Mengguncang

Author: Faw faw
last update Last Updated: 2025-10-04 08:15:50

Felisha menahan sesak di dadanya. Matanya menatap tajam ke arah pria yang kini duduk di hadapannya dengan santai, seolah dunia sedang bermain di tangannya.

'Kenapa harus dia? Kenapa si playboy ini yang mewawancaraiku? Apa yang pria itu lakukan di sini? Dan yang lebih mengganggu lagi, kenapa selalu dia dan dia lagi? Mengapa bukan orang lain saja?' Felisha membatin tak karuan.

Ia mengatur napasnya dan mencoba bersikap profesional meskipun wajah juteknya sulit disembunyikan. Tatapan sinis dan alis yang sedikit terangkat adalah ekspresi aslinya setiap kali Ace ada di sekitarnya.

Namun, Ace justru tersenyum girang melihat itu. Seperti seekor kucing yang akhirnya berhasil menjebak tikus cerdik. Ia menyandarkan tubuh ke kursi, menautkan jari-jarinya dan memandang Felisha seolah ini adalah sesi ngobrol santai, bukan wawancara kerja.

"Kaget, ya? Kau pasti tidak menyangka akan bertemu denganku lagi di tempat ini," ucap Ace dengan nada ringan.

Felisha diam. Jantungnya berdetak tidak karuan.

“Tenang saja,” lanjut Ace. “Aku juga tidak menyangka akan bertemu denganmu lagi.”

Ia terkekeh kecil. “Mungkin ini sinyal dari alam semesta agar kita lebih mengakrabkan diri?”

Tatapan Felisha menajam saat membalas basa-basi itu. “Kupikir kita di sini untuk wawancara kerja. Bukan untuk membahas hal absurd.”

Ace mengangguk, berpura-pura menyesal. “Benar juga. Maaf, terkadang aku lupa diri setelah melihatmu. Baiklah, kita mulai wawancaranya, ya.”

Nada suara Ace berubah. Senyum isengnya menghilang. Posturnya tegak dan serius, seolah saklar di dalam dirinya baru saja diputar dari ‘main-main’ ke ‘profesional’.

Felisha terhenyak sesaat.

'Pria ini... serius?'

“Pertama, jelaskan padaku bagaimana kau akan menghadapi klien yang meminta revisi desain sebanyak lima kali, padahal brief awalnya sudah disepakati.”

Felisha menelan ludah. Ia tidak menduga akan langsung dilempar pertanyaan seberat itu.

Si playboy yang selalu cengengesan ini mengecoh orang lewat penampilannya. Tiba-tiba ia berubah drastis. Meskipun begitu, Felisha tetap tidak boleh lengah.

“Um... aku akan mencoba memahami alasan perubahan itu dulu. Lalu, aku akan mengklarifikasi mana yang memang perlu direvisi, dan mana yang hanya karena perubahan mood semata. Kalau perlu, aku pertahankan desain awal dengan argumen teknis dan estetik yang masuk akal," jawab Felisha sesuai dengan apa yang ada di pikirannya.

Ace mengangguk pelan. “Pendekatan diplomatis. Bagus. Tapi bagaimana kalau klien tetap ngotot?”

Felisha berpikir cepat. “Aku akan berdiskusi dengan tim. Mungkin solusi kompromi bisa ditemukan. Tapi kalau sudah melampaui batas kewajaran, harus ada batas toleransi. Kualitas desain juga bagian dari reputasi kami.”

Ace tersenyum. Kali ini bukan senyum penggoda, tapi senyum puas. “Hm... Jawaban yang masuk akal.”

Pertanyaan demi pertanyaan terus mengalir. Tentang desain branding, krisis komunikasi, manajemen deadline, bahkan tentang etika tim dalam tekanan proyek besar.

Felisha sempat kehilangan arah, tapi ia menjawab sejujur dan sebaik yang ia bisa. Tak ada yang dikarang. Semua dari pengalaman kerja dan instingnya sebagai orang kreatif.

Dan yang mengejutkan, Ace menanggapi semua jawabannya dengan bijak. Tak sekalipun ia meremehkan, menertawakan, atau bersikap merendahkan.

Sesekali, senyum profesional Ace muncul di sela diskusi. Tapi tidak lebih.

"Kau tahu kau sangat berbakat dalam bidang desain periklanan," kata Ace sambil memperhatikan lembar hasil karya Felisha di dalam mapnya. Ace menatap desain itu seperti seorang penilai yang handal dan kritis. "Tapi berbakat saja tidak cukup. Dalam dunia bisnis, kau juga harus cepat, mampu bekerja bersama tim dan di bawah tekanan. Bagaimana menurutmu? Apakah kau mampu?"

"Aku sudah terbiasa bekerja di bawah tekanan, berpacu dengan waktu dan bekerja secara berkelompok. Itu bukan hal baru lagi untukku."

Lagi-lagi jawaban Felisha membikin ace tersenyum. Ada kesungguhan yang bisa ia rasakan dari jawaban tersebut.

Setelah hampir satu jam, Ace menutup berkas catatannya, menyandarkan tubuhnya santai, dan berkata,

“Wawancaranya selesai.”

Felisha menghela napas panjang. Akhirnya ia bisa memgendurkan tubuhnya dan bebas kembali menatap Ace dengan sinis.

“Kau bisa bekerja besok,” lanjut Ace, tersenyum. “Di tim Kreatif 1. Di bawah bimbingan Vin."

Untuk sesaat Felisha terdiam, bingung antara harus bahagia atau sebaliknya. Ia berhasil masuk ke perusahaan besar. Tapi harus berhadapan setiap hari dengan pria penggoda yang tak pernah serius itu.

“Selamat bergabung di Newton Group,” ucap Ace sambil mengedipkan mata, senyumnya khas dan penuh teka-teki. Kedua tangannya bertumpu santai di atas meja, sementara tubuhnya condong ke depan, menatap lekat kegundahan yang jelas tergambar di wajah Felisha.

Felisha segera berdiri, berusaha tetap tenang meski hatinya berkecamuk. “Terima kasih,” ucapnya singkat, suaranya nyaris dingin.

Tanpa menunggu lebih lama, ia berbalik dan melangkah menuju pintu dengan gerakan tergesa. Namun sebelum ia sempat keluar, terdengar suara Ace memanggil namanya.

"Felisha."

Langkah Felisha terhenti. Namun ia enggan menoleh. Hanya tubuhnya yang diam, sementara wajahnya tetap menghadap pintu. Dalam diam itu, Ace menghampiri, lalu berdiri tepat di hadapannya, menyodorkan sebuah amplop putih.

“Ini materi penting yang perlu kau pelajari,” ujarnya tenang. “Tak semua anggota baru mendapatkannya.”

Senyumnya tetap ada—senyum nakal yang seolah menyimpan maksud lain. Dan Felisha tahu itu. Ia bisa menebak isi pikiran pria itu. Ace pasti senang karena kini ia bisa mempermainkannya setiap hari.

“Terima kasih atas perhatianmu yang seharusnya tidak perlu kau berikan padaku. Aku di sini untuk bekerja, bukan untuk menjadi hiburanmu," timpal Felisha, menahan geram.

Senyuman Ace seketika meredup. “Kenapa kau berpikir begitu?” tanyanya, terdengar tulus namun masih dengan nada santai.

Felisha memalingkan wajah, enggan menjawab secara langsung. “Pertanyaan klise,” gumamnya tajam.

Alih-alih tersinggung, tingkah Felisha justru membuat Ace nyaris tertawa. Namun ia menahan diri. Wanita di depannya ini sungguh menarik.

“Maaf, Nona Felisha. Tapi aku sungguh tak mengerti,” ucap Ace, kali ini dengan nada lebih serius.

Felisha menatapnya kembali. Tatapannya penuh ketegasan, bahkan sedikit mengancam. “Aku harap aku bisa bekerja dengan tenang tanpa gangguan darimu. Dan kalaupun ada yang ingin kau bicarakan, pastikan itu hanya soal pekerjaan. Kalau tidak, aku tak akan ragu melapor kepada atasanku. Tuan Vin.”

Ace tercengang sejenak, lalu tertawa—kaku, dibuat-buat. “Haha! Jangan, dong. Bisa-bisa nanti aku dipecat.”

Dengan iseng, Ace sengaja tak menjelaskan siapa dirinya sebenarnya. Felisha pun tak tahu bahwa pria yang sedang ia ancam itu bukan sekadar staf biasa, bukan pula HRD, melainkan salah satu petinggi di Newton Group—pimpinan divisi periklanan. Yang jelas jabatannya lebih tinggi dari Vin maupun Theo.

Ace hanya merasa terhibur dengan permainan kecil ini. Ia ingin tahu seperti apa ekspresi Felisha saat akhirnya menyadari siapa dirinya yang sebenarnya.

Felisha pun melangkah pergi tanpa sepatah kata lagi. Dari ambang pintu, Ace menatap kepergiannya sambil tersenyum kecil. Tawa pelan mengalir dari bibirnya, diiringi gelengan kepala pelan.

“Menarik,” gumamnya pelan. “Sangat menarik.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 129 - Sepenggal Cerita Di Kedai Es Krim

    Matthew memang bukan pria setampan adiknya. Ia juga tidak punya bakat menggoda wanita—bahkan mungkin tidak pernah terpikir untuk mencobanya. Baginya, hidup adalah bisnis, rapat, dan angka. Namun entah bagaimana, kedewasaannya justru memancarkan karisma yang halus. Wibawanya tenang, senyumnya tulus, dan ketika membahas pekerjaan, ia berubah seperti pemimpin bijaksana yang baru turun dari panggung TED Talk.Dan sekarang, Felisha berada di mobil pria itu.Ia sendiri tidak mengerti bagaimana ia sampai duduk di sebelah Matthew, dalam perjalanan menyusul Viola di kedai es krim. Ia hanya terbawa arus. Terbawa keramahan pria ini. Tapi akibatnya, ia duduk tegak seperti murid baru yang dipanggil kepala sekolah. Tangannya kaku di pangkuan, bibirnya terkunci.Keheningan berlangsung lama, sampai akhirnya Matthew membuka suara dengan lembut.“Kenapa kau tidak melanjutkan makanmu tadi, dan malah pergi ke tempat lain?”Felisha menoleh sedikit, melihat pancaran mata lembut di balik kacamata beningnya.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 128 - Mantel Bulu

    “Si–siapa kau?! Kenapa kau memakai pakaian milik Bonita?!” seru si pria berkacamata, menunjuk-nunjuk wajah Felisha seolah sedang menuduh kriminal buronan internasional.Felisha mendengus tak terima. “Memangnya kalian pikir mantel seperti ini cuma boleh dipakai Bonita?! Aku juga punya, tahu!”“Bohong! Itu mantel mahal. Cuma Bonita yang mampu membelinya!”“Buktinya aku pakai sekarang!”“Itu pasti barang KW.”“Kurang ajar! Kau pikir aku tidak mampu beli yang asli?!”“Kalaupun mampu,” tambah salah satu teman si kacamata sambil mengamati Felisha dari atas sampai bawah, “kau tetap tidak cocok memakainya.”“Apa??!” Felisha hampir meledak. “Kalian ini benar-benar tidak sopan!”Ia menatap mereka dengan penuh kegeraman—orang-orang yang penampilannya bahkan lebih menyedihkan dari pakaian gelandangan, berani-beraninya meremehkan dirinya. Tapi para penggemar itu mendadak kehilangan minat. Ekspresi mereka merosot drastis, lebih muram dari nasi lemak tanpa sambal. Dengan langkah gontai, mereka menin

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 127 - Ide Cemerlang

    Matthew menatap Bonita dengan campuran serius dan bingung. Wanita yang terkenal angkuh dan sulit didekati itu kini berdiri di hadapannya dengan napas terengah dan wajah panik. Padahal Matthew sudah hampir melupakan urusan bisnis dengannya dan berencana mencari artis pengganti. Tapi sekarang Bonita muncul lagi… dalam keadaan kacau.“Ada apa, Nona Bonita?” tanya Matthew berusaha tetap lembut namun penuh keheranan.Bonita melirik ke jendela sambil buru-buru menutupi wajahnya dengan mantel bulunya. “Ada sekelompok fans fanatik mengejarku. Aku harus bersembunyi.”“Bagaimana kau bisa dikejar fans fanatik? Dan… di mana asistenmu?” tanya Matthew, logis.“Ceritanya panjang. Aku tidak bisa jelaskan sekarang,” jawab Bonita cepat, hampir putus asa. “Kau harus bantu aku keluar dari sini. Bawa aku ke mobilmu sebelum mereka melihatku. Tolong antar aku ke manajerku.”Matthew menghela napas dan menggaruk dahinya pelan—kebiasaan saat ia bingung. Ia ingin membantu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 126 - Matthew Dan Nasi Lemak

    Pada hari Minggu, Felisha memutuskan untuk bertemu dengan Viola di luar. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan, terutama tentang hubungannya dengan Ace yang kini berjalan semakin mesra—topik yang pasti membuat Viola tidak sabar mendengarnya.Sambil berjalan di trotoar, Felisha membalas pesan Viola satu per satu. Ia berencana naik bus di halte depan untuk menuju kedai es krim favorit mereka. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pria berjalan sempoyongan di kejauhan. Pria itu mengumpat, menantang siapa pun yang menatapnya aneh, hingga membuat beberapa orang memilih mengalihkan pandangan.Dan pria itu adalah…“Paman Guan…?!” bisik Felisha. Darahnya seperti berhenti mengalir. Jarak mereka semakin dekat, dan itu membuatnya panik.Tanpa pikir panjang, Felisha melipir masuk ke sebuah rumah makan kecil. Apa pun tempatnya, asal bukan di dekat Guan. Ia bahkan rela memesan minuman yang tidak ingin ia minum, asalkan bisa bersembunyi.“Teh hangat satu,” ucapnya gugup, sambil seseka

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 125 - Menumpang Mandi

    “K-Kau mau apa?!” seru Felisha refleks, wajahnya memanas saat melihat Ace berdiri tanpa atasan. Ia buru-buru memalingkan kepala. Hampir saja ia lupa bahwa pacarnya bukan hanya tampan—tapi juga bertubuh kekar dan sangat… berbahaya untuk kesehatan jantungnya.Dan lebih buruknya lagi: mereka berdua sedang sendirian di rumah.Sangat sendirian.Mungkinkah… Ace tidak bisa mengendalikan diri? pikir Felisha panik, imajinasinya berlari jauh lebih cepat daripada logikanya.Namun Ace hanya mendengus santai. “Bukankah tadi kau menyuruhku ke kantor?” katanya sambil menaikkan sebelah alis, seolah ketelanjurannya itu sepenuhnya salah Felisha.Felisha langsung memutar badan dan menatapnya dengan mata membulat. “Ah… i-iya! Benar! Kau harus ganti bajumu dulu. M-mungkin sudah kering… semalam tidak terlalu basah, kan?” ucapnya terbata-bata, jelas sedang kewalahan dengan pemandangan di depannya.“Ya, sepertinya begitu,” balas Ace tenang sambil membalikkan badan. “Aku pinjam kamar mandimu, ya.”“Oh—iya. Si

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 124 - Tamu Tak Terduga

    “Siapa itu?” gumam Ace, mendongak ke arah pintu ketika bel rumah Felisha berbunyi nyaris tanpa jeda.Ia hendak bangkit untuk membukakan pintu, namun Felisha cepat-cepat menahannya.“Bi—biar aku saja yang buka,” ujarnya terburu-buru, nada suaranya terdengar panik.Ace sempat mengerutkan kening, tapi belum sempat bertanya, Felisha sudah berlari kecil menuju pintu. Jantungnya berdetak cepat. Jika yang datang benar Guan, ia berencana menutup pintu itu secepat mungkin dan menemuinya di luar.Namun begitu daun pintu terbuka, sosok yang berdiri di sana justru membuatnya terpaku.“Felisha, kau sakit?” tanya Viola cemas, memandangi sahabatnya dari kepala hingga kaki. “Tadi pagi aku mampir ke kantor untuk membawakan hadiah kecil untuk timmu. Tapi Tuan Vin bilang kau tidak masuk karena sakit.”“Oh… aku cuma demam,” jawab Felisha gugup, mencoba menenangkan diri.“Kau seharusnya memberitahuku kalau sedang sakit! Bagaimana kau bisa mengurus diri sendiri?” gerutu Viola sambil menyodorkan sebungkus m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status