Home / Romansa / Aku Ingin Kau Jadi Milikku / Bab 9 - Senyum Yang Menipu

Share

Bab 9 - Senyum Yang Menipu

Author: Faw faw
last update Last Updated: 2025-10-04 13:51:57

Segelas mojito segar habis diseruput oleh Felisha. Namun, bukan ekspresi puas yang muncul dari wajahnya, melainkan raut letih dan frustrasi yang sulit disembunyikan. Matanya tampak kosong, bahunya jatuh lesu. Ia menyandarkan tubuh ke kursi sambil menghela napas berat.

“Aku benar-benar tak habis pikir…” gumamnya lirih.

Di hadapannya, Viola memiringkan kepala, mencoba memahami. Satu tangannya menggenggam cangkir kopi, tangan lainnya menopang dagu.

“Ini memang luar biasa… ah, maksudku, aneh,” ujar Viola pelan, masih mencerna cerita yang baru saja ia dengar. “Pertama, kau naik mobilnya karena mengira dia supir taksi. Lalu dia muncul lagi di kafe. Dan sekarang… ternyata dia adalah direktur di Shirohige Group? Serius, Fel, ini kebetulan yang keterlaluan.”

Viola meletakkan cangkir kopinya dengan sedikit dramatis.

“Sebentar lagi aku bakal gila juga sepertimu.”

Felisha mengangkat tangan, menutupi mata yang mulai terasa panas.

“Jangan gila dulu. Kau harus menghiburku.” Suaranya serak. “Aku bahkan belum sempat merayakan keberhasilan diterima kerja. Hari pertamaku langsung berubah jadi mimpi buruk. Dia seperti seekor hama yang mengganggu.”

“Hei, tenanglah,” ucap Viola lembut. “Kau tidak bisa kerja dengan pikiran seperti ini.”

“Lantas aku harus bagaimana?” Felisha menatap sahabatnya, putus asa. “Diam dan sabar setiap kali dia mengganggu? Kalau sampai muncul gosip, bagaimana? Aku ini masih karyawan baru.”

“Hm… baiklah,” Viola menghela napas panjang, lalu menyesuaikan duduknya seperti seorang analis profesional. “Dari ceritamu tentang dia yang terus-menerus mengganggu… jelas dia tertarik padamu.”

Felisha mendengus pendek. “Tertarik? Padaku?” Ia tertawa hambar. “Dia suka wanita seksi yang bajunya nyaris transparan. Sedangkan aku? Aku bahkan cuma dandan ala kadarnya ke kantor.”

“Justru karena itu.” Viola tetap tenang. “Dia merasa tertantang. Tipikal pria penakluk. Terbiasa melihat wanita mengejarnya, dan ketika kau cuek, egonya terusik. Kau seperti teka-teki yang belum bisa dia pecahkan.”

Felisha menyipitkan mata curiga. “Jadi maksudmu... aku harus merayu dia supaya dia cepat bosan?”

“Bukan merayu,” Viola menyeringai kecil. “Dan bukan juga berubah menjadi ulat bulu genit. Cuma… bersikap seperti wanita lainnya. Senyum seperlunya. Ramah. Jangan terlalu defensif. Kalau dia melihatmu sebagai sesuatu yang ‘biasa’, dia akan kehilangan minat.”

Felisha termenung. “Jadi… aku harus pura-pura akrab?”

“Pura-pura santai,” koreksi Viola. “Tunjukkan bahwa kau tidak terpengaruh. Pria seperti dia tidak suka kalau permainannya terasa datar.”

“Hm.” Felisha mengangguk pelan. “Mungkin... bisa dicoba.”

“Dan kalau dia sudah bosan, dia akan pindah ke target baru. Lalu kau bisa fokus ke kompetisi iklan itu dan memenangkannya.”

Felisha menatap Viola dan akhirnya tersenyum lemah. “Terima kasih, Viola! Saranmu sangat membantu. Tidak sia-sia aku mengajakmu bertemu di sini.”

Viola tertawa. “Tapi ingatlah, kawanku. Ini tidak gratis! Kalau kau menang, kau harus mentraktir aku makan enak!”

“Aku akan memberikan lebih dari sekadar traktiran,” ujar Felisha sambil menyeringai.

“Baiklah. Akan kutunggu hari itu,” sahut Viola sambil mengangguk puas.

Mereka berdiri hampir bersamaan, hendak keluar dari kafe tempat mereka saling bertemu di sela jam istirahat.

Felisha melirik jam tangannya. “Astaga! Sudah lewat jam istirahat. Aku menyita banyak waktumu!”

Viola mengangkat bahu santai. “Tenang. Ada Mia yang sedang menjaga kafe.”

“Oh. Dia sudah sembuh?”

“Dia terlihat sangat segar. Aku curiga, kemarin dia cuma pura-pura sakit supaya dapat izin cuti.”

Felisha terkekeh. “Apa Bos tidak curiga? Matanya kan tajam seperti elang.”

“Dia selamat, karena hari ini bos ke luar kota,” jawab Viola.

“Oh ya?” Felisha membelalakkan mata. “Berarti... dia belum membaca surat pengunduran diriku?”

“Belum. Surat itu sudah aku taruh di mejanya. Tapi aku yakin, begitu dia membacanya, dia bakal uring-uringan.”

“Jangan bilang begitu, dong.” Felisha menggaruk tengkuknya. “Aku jadi merasa bersalah.”

“Terus? Kau mau batal resign hanya karena tidak ingin membuat bos kecewa?” dengus Viola.

“Tentu tidak.”

“Ya sudah. Fokus saja ke pekerjaan barumu. Dan pastikan kau menang. Soalnya... kalau kau kalah, aku nggak bisa dapat makan enak gratis.”

“Jadi, itu yang paling kau khawatirkan?” Felisha tertawa pahit.

“Memangnya apa lagi?”

Tawa mereka masih terdengar saat dua bus datang bersamaan. Viola naik lebih dulu, melambaikan tangan. Felisha membalas lambaian itu sebelum naik ke bus lain yang akan membawanya pulang ke apartemen sederhananya.

Tinggallah halte itu, kembali sunyi, hanya ditemani angin siang yang panas dan sedikit berdebu. Tapi di tengah kekacauan yang menguras emosi, Felisha tahu satu hal: ia tidak sendirian. Dan untuk hari ini, itu sudah cukup.

***

Malam itu, Ace baru saja keluar dari kamar mandi. Uap panas masih menempel di kulitnya yang basah saat ia meraih handuk kecil untuk mengeringkan rambut. Dengan tubuh setengah telanjang dan celana pendek longgar, ia melangkah santai ke ruang tengah apartemen. Sebotol bir dingin menantinya di meja kecil, tepat di samping majalah fashion yang sudah agak lecek di bagian sudut.

Sambil menjatuhkan tubuh ke pinggir ranjang, Ace membuka halaman demi halaman majalah tersebut, tanpa benar-benar membaca. Pandangannya kosong, pikirannya melayang ke tempat lain. Baru saja ia meneguk bir keduanya malam itu, ponselnya berdering.

Nama "Selena" muncul di layar.

Ia mendecak pelan, lalu mengangkat panggilan itu dengan senyum tipis yang dipaksakan.

“Ace. Kemana saja kau? Kenapa tidak pernah membalas pesanku?”

Suara Selena terdengar resah, nyaris seperti sedang menahan rindu.

Ace menyandarkan punggung ke sandaran kasur dan membalas dengan nada santai, masih memegang majalah.

“Maaf, Selena. Belakangan ini aku sibuk di kantor,” ujarnya sambil menyeruput bir lagi.

“Di kantor?” Selena terdengar tak percaya. “Apa kau dan ayahmu sudah baikan sekarang? Atau... dia memaksamu lagi untuk kerja di sana?”

“Bukan begitu,” jawab Ace sembari tertawa kecil. “Tiba-tiba ada urusan penting yang harus kutangani. Meski aku tidak terlalu antusias dengan perusahaan itu... mau bagaimanapun, aku adalah kepala divisi. Tanggung jawab tetaplah tanggung jawab.”

“Kau benar. Tapi jangan abaikan pesanku begitu saja, dong! Apa sesibuk itu kau sekarang?”

“Hehe. Maaf.”

“Apa cuma itu yang bisa kau sampaikan? Pokoknya, besok kita harus ketemu!”

“Hm... bagaimana kalau makan siang di restoran favoritmu?”

“Baik. Akan kukabari besok.”

“Kalau begitu, istirahatlah. Selamat malam, Selena.”

“Selamat malam, Ace. Sampai jumpa besok.”

Panggilan berakhir.

Ace menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Ia menghela napas.

“Padahal aku maunya makan siang dengan Felisha.”

Begitu nama itu muncul dalam pikirannya, Ace mendadak tertawa pelan.

“Yah... meskipun aku tahu, dia pasti menolak juga, sih,” gumamnya sambil meletakkan bir, lalu mengangkat kakinya ke kasur.

Ia merebahkan tubuh, menarik selimut setengah, dan memejamkan mata. Tapi belum sempat ia terlelap, terdengar suara klik dari gagang pintu kamar.

Ace membuka matanya.

Pintunya bergerak perlahan. Deritannya mengiris kesunyian malam. Tidak ada orang lain di apartemen. Tak seharusnya ada siapa-siapa.

Ia bangkit perlahan, menatap pintu itu dengan waspada.

Saat pintu terbuka setengah, sepasang mata muncul di baliknya—mata milik seseorang yang tak pernah ia bayangkan akan muncul di sana.

Felisha.

Rambut pirangnya tergerai, sedikit acak, dengan sinar lembut dari lampu kamar menyentuh pipinya. Ia masuk pelan-pelan, langkahnya tenang, hampir seperti melayang.

Ace terpaku. Tapi bukan hanya karena kemunculannya yang tiba-tiba.

Gadis itu mengenakan gaun putih tipis yang nyaris transparan, melambai setinggi paha. Lekuk tubuhnya terlihat jelas, sesuatu yang selama ini tersembunyi di balik setelan formal dan sikap dinginnya.

Kini, ia tampil menggoda, misterius, dan sangat berbeda.

“F-Felisha…?” suara Ace tercekat.

Felisha tidak menjawab. Ia hanya tersenyum samar dan melangkah lebih dekat.

Ace nyaris tak bisa bernapas. Tangannya terulur tanpa sadar, menyentuh pipi bulat gadis itu.

Lembut. Dingin. Kenyal. Seperti kapas segar di pagi hari.

Felisha menutup matanya, seakan menikmati sentuhan itu.

Tangan Ace kemudian turun perlahan ke tengkuk gadis itu, lalu ke pundaknya yang terbuka. Ia bisa merasakan detak jantungnya sendiri berdetak gila. Suara napas Felisha terdengar tipis, menandakan sensasi yang ikut dirasakannya.

“Kau... kenapa bisa ada di sini…?” tanya Ace lirih.

Felisha membuka mata, bibirnya sedikit terbuka seperti ingin menjawab. Namun sebelum sepatah kata pun keluar—

TRIIIINGGG!!

Ace tersentak.

Ia bangun mendadak dari ranjang, berkeringat, dengan napas memburu. Alarm ponsel terus berbunyi nyaring di meja kecil. Dengan kesal, ia meraihnya dan mematikan.

“Argh!” umpatnya. “Apa-apaan mimpi tadi?!”

Ia jatuh kembali ke kasur, mendesah frustasi sambil menatap langit-langit. Tangannya—yang tadi dalam mimpi menyentuh wajah Felisha—terasa dingin dan menggigil.

“Rasanya nyata sekali,” gumamnya sambil menatap telapak tangan. “Tapi... aku masih belum puas.”

Ia tertawa sendiri, geli sekaligus malu.

“Kalau aku benar-benar menyentuhnya seperti itu, dia pasti akan menamparku."

Meski konyol, mimpi itu membuat Ace sadar akan sesuatu: Ia benar-benar terobsesi.

***

Pagi itu, Felisha tampak lebih bersemangat dari biasanya.

Langkahnya ringan menyusuri trotoar menuju halte, sesekali tersenyum pada burung-burung yang bertengger di dahan, seolah ia adalah Putri Salju dalam kisah dongeng. Saran Viola kemarin begitu membekas di benaknya.

Jika tidak ingin dijadikan hiburan oleh pria seperti Ace, maka bersikap biasa saja. Netral.

Hari ini, Felisha berniat melakukannya. Ia akan menghadapi Ace seperti menghadapi seorang atasan pada umumnya. Tanpa emosi. Tanpa sindiran. Hanya sopan dan profesional.

Begitu sampai di kantor, Felisha melihat Ace dari kejauhan—dikelilingi oleh beberapa karyawan, tertawa lepas seperti biasa. Namun, tatapan pria itu langsung mengarah padanya secepat kilat. Bahkan sebelum Felisha bisa menghindar, Ace sudah melangkah ke arahnya.

Felisha menarik napas dalam-dalam, lalu memasang senyum kecil yang sopan.

“Selamat pagi, Tuan Ace,” sapanya, sambil membungkuk ringan.

Ace yang semula hendak menyambut dengan gaya santainya, mendadak tercengang. Tatapannya bingung.

“...? Selamat pagi,” jawabnya kaku, nyaris refleks.

Tanpa basa-basi, Felisha melanjutkan langkahnya menuju lift.

Ace hanya bisa berdiri diam, memandangi punggung gadis itu yang perlahan menghilang di balik pintu lift. Ia tertawa kecil, getir.

Apa-apaan itu tadi? Kenapa dia tiba-tiba... bersikap seperti itu? pikirnya dalam hati, sementara orang-orang di sekelilingnya masih asyik bercanda tanpa menyadari kebingungan yang memenuhi benaknya.

Di saat yang bersamaan, Theo muncul dari ujung koridor dan langsung merangkul pundak Ace untuk berjalan menuju ruang kerja.

“Ace, kita perlu bicara soal proyek Izo. Ada beberapa poin yang harus disesuaikan.”

Ace menurut, tapi pikirannya tertinggal di tempat lain. Di sepanjang koridor, Theo terus berbicara tentang revisi teknis, tapi tak sekalipun Ace menanggapi. Bahkan ketika duduk di kursi kerjanya, pria itu masih larut dalam pikirannya sendiri.

'Apa maksud dari senyuman tadi? Felisha bukan tipe yang bersikap manis tanpa alasan. Dia pasti sedang mencoba membuatku kehilangan ketertarikan.'

Ace menyandarkan punggung, tersenyum kecil, tapi bukan karena bahagia—lebih karena frustrasi.

'Sial... dia cukup pintar juga.'

Theo yang menyadari keanehan itu langsung menegur.

“Hei, Ace. Kau dengar aku, tidak? Dari tadi senyum-senyum sendiri. Jangan-jangan otakmu kebentur lemari semalam?”

Ace tidak menjawab. Senyum di wajahnya tak kunjung hilang.

Theo menyipitkan mata curiga. “Oh... aku tahu. Ini pasti soal anak buahnya Vista, kan?”

Ace mengalihkan pandangan, lalu menjawab enteng. “Dia sudah masuk ke ruang kerjanya?”

“Ya ampun... ternyata benar.” Theo menepuk jidat sendiri, frustasi.

“Apa maksudmu?” tanya Ace dengan nada tak senang. “Aku hanya bertanya soal Felisha. Kenapa kau bawa-bawa topik lain?”

“Harusnya aku yang tanya begitu!” seru Theo, mulai kesal. “Dari tadi aku ngomong panjang lebar soal proyek Izo, tapi isi kepalamu cuma gadis itu!”

Dengan wajah tak bersalah, Ace tertawa kecil. “Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?”

“Melupakan apa, sih?” tukas Theo, makin gemas.

Ace terdiam sejenak. Pandangannya menerawang. “Semalam... aku memimpikannya.”

“Ya Tuhan.” Theo menatap langit-langit. “Tolong jangan lanjutkan.”

“Di dalam mimpi itu, aku...” Ace terhenti. Wajahnya mendadak kesal. “Kenapa aku harus cerita soal ini padamu? Sudahlah. Keluar dari sini.”

Saking anehnya sikap Ace hari itu, Theo sampai kehabisan kata-kata. Seumur-umur, baru kali ini temannya itu bertingkah konyol saat sedang mendekati seorang wanita. Namun Theo tak ingin diam lagi. Setelah menghela napas, ia memperingati Ace dengan nada serius.

"Kapan kau akan bersungguh-sungguh, Ace? Jangan sampai perasaanmu mengacaukan pekerjaan atau bahkan perusahaan ini."

Ace menyipitkan mata, tak terima dinasehati oleh teman sekaligus bawahannya itu.

“Hentikan itu. Kau mulai terdengar seperti Pak Tua Edward.”

"Pokoknya aku sudah memperingatimu, ya. Seseorang harus menjaga akal sehatmu agar tetap berada di tempatnya. Terserahmu mau suka dengan siapa. Sama Felisha, kek. Sama monyet, kek. Yang penting urusan kantor jangan sampai berantakan.”

“Pergilah. Sebelum aku mencukur jambul norakmu itu.”

Refleks, Theo langsung melindungi jambulnya sambil berkaca di cermin dekat pintu. “Enak saja! Jambul ini aset negara, tahu! Jangan macam-macam.” Lalu ia keluar sambil masih menggerutu.

Tak lama setelah Theo pergi, Ace masih termenung di ruang kerjanya. Cahaya matahari menembus tirai jendela, menyinari setumpuk berkas yang sudah lama menunggu tanda tangannya. Ia membuka satu per satu, mencoba membaca isinya dengan seksama—namun pikirannya melayang. Bukan pada angka, bukan pada strategi bisnis, tapi masih pada Felisha.

Wajah gadis itu tak juga hilang dari benaknya. Senyuman sopan nan lembut yang pagi tadi menyambutnya, terasa asing dan menusuk sekaligus. Bukan karena manisnya, tapi karena kehampaannya.

Ia menggigit bibir bawahnya, menahan keresahan yang tidak tahu dari mana asalnya. Tangannya mengepal pelan di atas meja.

'Apa dia sedang mencoba membuatku tidak tertarik lagi padanya?'

Ace bersandar, matanya menatap langit-langit. Dalam hati, ia mengutuk dirinya sendiri—karena merasa kehilangan sesuatu yang belum sempat ia genggam.

Lamunannya buyar ketika suara notifikasi ponsel menggema. Sebuah pesan masuk dari Selena.

'Maafkan aku, Ace. Mungkin ini mendadak. Tapi saat ini aku dan ibuku sedang berbelanja di mall dekat kantormu. Bagaimana kalau kita bertemu sekarang saja? Kita sarapan bersama di restoran sushi. Ibuku juga ingin sekali bertemu denganmu. Kutunggu kau di restoran ini, ya!'

Ace mendesah panjang, kepalanya tertunduk lesu. "Sial... janji itu..." pikirnya. Ia benar-benar lupa.

"Aku pikir dia tidak akan merepotkan begini," gumamnya, suaranya nyaris seperti keluhan.

Ace memejamkan mata sejenak. Lalu dengan enggan, ia bangkit, meraih jasnya, dan melangkah keluar. Tapi sebelum turun ke basement, langkahnya melambat di depan ruang kerja Felisha.

Dari balik kaca bening, ia melihat gadis itu sedang tekun menatap layar monitor. Rambut panjangnya tergerai ke depan, sebagian menutupi wajah. Tangannya lincah menggerakkan mouse, sementara rekan di sekitarnya tampak santai, mengobrol sambil sesekali tertawa.

Ace hanya berdiri di sana, diam. Pandangannya tak beranjak.

"Kenapa aku begitu peduli padanya?"

Ia tersenyum samar. "Kalau urusan dengan Selena selesai, mungkin aku bisa mengajaknya makan siang," gumamnya, lebih seperti penghiburan diri daripada rencana sungguhan.

Secercah harapan membuatnya sedikit bersemangat. Mobil sedan hitam miliknya meluncur ke mall yang tak jauh dari kantor. Ace menatap kaca spion, merapikan rambutnya, lalu masuk ke restoran sushi yang disebutkan.

"Ace!" Suara ceria memanggilnya.

Selena berdiri dari kursinya, tersenyum lebar dalam balutan gaun merah muda. Ia melambaikan tangan dengan semangat, seolah tak ada hal di dunia ini yang lebih membahagiakan daripada kedatangan pria itu.

Ace membalas senyuman tersebut dengan ramah. Ia melangkah santai, masih menjaga citra percaya diri yang melekat padanya. Tapi saat pandangannya jatuh pada wanita yang duduk di samping Selena—langkahnya terhenti seketika.

Senyum di wajahnya seketika lenyap. Darahnya seolah berhenti mengalir.

Wanita itu menoleh perlahan, lalu tersenyum hangat. Senyuman yang bagi orang lain mungkin terasa ramah—tapi bagi Ace, itu seperti hantaman dari masa lalu yang paling kelam.

“Akhirnya kita bisa bertemu juga, Ace,” ucapnya ramah. “Selena sering sekali bercerita tentangmu.”

Ace tak mampu menjawab. Matanya terpaku pada wanita itu. Dadanya terasa sesak.

Tidak mungkin...

Ia mengenali sorot mata itu—sendu, namun menyimpan kelicikan yang tak pernah ia lupakan. Garis senyum yang tampak lembut, namun penuh kepalsuan. Bahkan waktu dan usia tidak mampu menghapus bekas-bekas luka di hatinya yang ditorehkan oleh wanita itu.

Wanita itu… adalah selingkuhan ayahnya.

Orang yang dulu pernah masuk ke rumahnya tanpa malu, menggoda sang ayah ketika ibunya terbaring lemah di rumah sakit. Wanita yang menjadi simbol kehancuran keluarganya—sebuah luka yang tak pernah sembuh.

Kini, wanita itu berada di hadapannya... sebagai ibu dari Selena.

Ace mencengkeram jemarinya sendiri, rahangnya mengeras. Ia berusaha menjaga napasnya tetap stabil. Tapi tubuhnya menegang, seperti hendak menghantam dinding.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 19 - Secangkir Harapan

    "Ahhhh!" Felisha dan Viola sama-sama menghembuskan napas panjang, merasa lega sekaligus lelah, begitu tubuh mereka akhirnya menyentuh kasur yang hangat dan nyaman. Setelah melakukan berbagai aktivitas menyenangkan, tubuh mereka akhirnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Gila… aku belum pernah merasa sekenyang ini," gumam Viola sambil mengusap perutnya yang sedikit kembung. Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar Felisha yang dihiasi tempelan bintang glow in the dark. Meski ia hanya tidur di bawah, beralaskan kasur lipat, suasananya tetap membuatnya merasa nyaman. Sementara itu, Felisha yang berbaring di kasur single di atasnya, ikut menatap bintang-bintang kecil itu. Cahaya lembutnya terlihat lebih indah saat lampu kamar dipadamkan. "Enak, kan? Ramen super pedas buatanku, plus sekotak penuh ayam goreng yang kita beli seberang apartemen," kata Felisha, mengenang makan malam mereka yang penuh tawa sekitar satu jam lalu. "Ngomong-ngomong… film yang kita tonton tadi serem bang

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 18 - Dua Wajah Di Sore Itu

    Pukul empat sore, suasana lobi gedung Shirohige Group mulai ramai dipenuhi karyawan yang bersiap pulang. Beberapa di antara mereka tampak terburu-buru, sementara yang lain masih sibuk berbincang santai. Ada juga yang menahan langkah, terpaksa menetap di kantor demi lembur. Untungnya, Felisha bukan termasuk golongan yang harus bekerja hingga larut malam hari ini.Namun, meski pulang tepat waktu, Felisha tetap tampak lelah. Energinya habis terkuras oleh kejadian meresahkan yang selalu menerornya di sela jam kerja.Di lantai dua gedung itu, Ace tengah berdiri di samping jendela besar di ruangan kakaknya, Marco. Tirai putih yang sedikit disingkapnya memberinya pandangan langsung ke lobi di bawah. Pandangannya penuh harap, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan benar saja, di antara kerumunan karyawan yang bergegas pulang, Ace menangkap sosok Felisha. Gadis itu berjalan dengan langkah gontai, wajahnya muram, matanya sayu seperti menahan beban yang tak seorang pun tahu. Ace

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 17 - Yang Tak Bisa Dimaafkan

    Ace terpaksa menghentikan langkahnya menuju kantor ketika tanpa sengaja berpapasan dengan Elise di lorong rumah sakit itu. Waktu seolah berhenti bagi Ace. Dadanya bergemuruh hebat—amarah yang selama ini dipendam demi ibunya mendidih di balik ketenangannya. Melukai hati Selena masih belum cukup. Rasa itu belum terbayar. Ia ingin melihat wanita licik ini menderita. Ia ingin Elise merasakan rasa sakit yang sama seperti yang pernah dirasakan Riyuka."Wah, kebetulan sekali kita bertemu di sini, ya?" gumam Elise dengan nada sinis yang dibungkus senyum tipis. Suaranya lembut, tapi bagai pisau tipis yang mengiris ke dalam. "Atau... jangan bilang kau kemari untuk menjenguk putriku yang sudah kau sakiti semalam?"Ace mengangkat alis. Tatapannya tetap dingin dan tak tergoyahkan. "Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya," jawabnya datar, nyaris malas. "Bahkan aku tidak peduli."Kata-kata itu menghantam Elise bagai tamparan telak. Sesaat ia terdiam, menelan ludah demi menjaga wibawanya, sebelum ak

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 16 - Antara Dua Dunia

    Pagi itu, suasana ruang rapat di lantai tertinggi gedung Shirohige Group terasa sunyi dan tegang. Jam dinding menunjukkan pukul 09.52—delapan menit menjelang pertemuan penting yang telah diumumkan Ace sebelumnya. Rapat yang akan membahas bahan proyek untuk kompetisi kali ini hanya melibatkan para kepala tim kreatif. Mereka adalah : Vista, Izo, Atmos, dan Curiel.Di antara mereka, baru Vista yang sudah hadir lebih dulu. Ia duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Ace duduk di kursi paling ujung, dengan punggung tegak tapi mata gelisah. Tangannya memainkan bolpoin berulang-ulang, seolah berusaha mengalihkan diri dari badai pikiran yang tak kunjung reda.Ia tampak tidak fokus. Bahkan ketika suara pintu sedikit berderit karena angin AC, Ace hanya menoleh sekilas sebelum kembali menatap bolpennya, seperti seorang pria yang sedang menunggu kabar penting dari seseorang—dan tak kunjung mendapatkannya."Apa Felisha sudah menerima hadiah dariku?" tanya Ace pada Vista kemudian, dengan suara p

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 15 - Bayang-bayang Felisha

    BUK! BUK!Samsak tinju terayun keras, terpental jauh oleh pukulan beruntun yang dilayangkan Ace. Napasnya memburu, keringat mengucur deras dari pelipis. Di balik sorotan lampu sasana yang redup, amarah dan kebimbangan bergelora dalam dadanya. Sejak makan malam bersama Felisha berakhir kacau, hanya ini pelampiasan yang bisa ia lakukan-menyalurkan amarah, rasa bersalah, dan... kekalahan.Namun bukan kemarahan Felisha yang menyiksa pikirannya. Bukan pula tamparan keras yang mendarat di pipinya. Yang benar-benar membuatnya muak adalah dirinya sendiri."Kenapa aku harus melibatkan dia dalam semua ini?" gerutunya dalam hati.Seharusnya, ia bisa saja memilih wanita lain untuk berpura-pura di depan Selena. Bukankah ia punya segudang relasi untuk sandiwara seperti itu? Tapi entah kenapa, pesona Felisha justru membelenggunya. Ia terlalu menantang. Terlalu nyata. Terlalu... istimewa.Dan saat gadis itu berbicara tentang Riyuka-dengan nada penuh luka dan ketegasan-Ace seolah ditampar ribuan kali.

  • Aku Ingin Kau Jadi Milikku   Bab 14 - Di Puncak Pengkhianatan

    Waktu yang ditentukan telah tiba.Felisha menatap pantulan dirinya di cermin dekat pintu masuk apartemen. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dengan langkah yang penuh oleh keterpaksaan.Ia tidak berdandan berlebihan. Tidak pula tampil sembarangan. Kemeja putih berlengan pendek dengan aksen renda menghiasi tubuhnya, memberi kesan sederhana tapi tetap anggun. Rok denim panjang membentuk siluet tubuhnya dengan pas, tanpa kesan menggoda. Ia tahu, seseorang seperti Ace bukanlah tipe pria yang mengajak wanita ke tempat murahan seperti warung pinggir jalan. Tapi Felisha juga tidak mau terlihat terlalu berusaha—ia tidak ingin Ace mengira dirinya sedang mencoba menarik perhatian.Dan seperti yang dijanjikan, Ace sudah menunggu.Sebelum Felisha menuruni tangga menuju pekarangan apartemen, sosok pria itu sudah berdiri gagah di samping mobilnya. Tubuh tegap, wajah teduh yang menawan, mengenakan kemeja hitam longgar dan celana dasar cokelat muda. Simpel, tapi tetap terlihat mewah ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status