*** Saat sedang sarapan di meja, aku melihat seorang asisten mendorong kursi roda Pak Candra. Aku langsung berdiri untuk menggantikan asisten itu. “Biar aku saja,” ujarku pada asisten sambil tersenyum. Pak Candra tersenyum padaku. Asisten menggeser satu kursi agar Pak Candra bisa duduk. Aku kembali ke kursi yang tadi. Ini pertama kali aku makan satu meja dengan Pak Candra. Merasa canggung karena belum terbiasa. Semoga saja Pak Candra memiliki karekter seperti ayah, mudah di ajak ngobrol apapun topiknya. "Bagaimana Aksa memperlakukanmu, Delisia?" tanya Pak Candra setelah menelan makan yang ada di mulut. Aku tersenyum, lalu berkata, "Aksa lelaki yang sangat baik. Orangnya asyik, aku mudah akrab dengannya. Dia juga memperlakukan aku dengan sangat lembut." Aku berkata sambil menatap Pak Candra. Itu etika yang diajarkan kedua orangtuaku. Ketika berbicara dengan orang yang dituakan, sebaiknya ditatap agar mereka tahu jika kita mendengarkan ceritanya. Namun, hal itu tidak boleh dilakuka
Aku lalu meminta izin ke Pak Candra, ketika makanan dipiringku telah habis. Sekarang sudah pukul tujuh lewat. Jam delapan aku sudah harus tiba di kampus. Untung saja aku tiba di halte bersamaan dengan datangnya bus. Sehingga tidak perlu menunggu lama, aku sudah menuju kampus. Semoga saja jalanan tidak macet. Biasanya jam segini jalanan kota akan macet. Saat tiba di kampus, aku melihat jam di handpnohe. Tertera di layar, pukul delapan lewat dua menit. Masih ada waktu ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. “Delisia, kamu mau ke mana?” Suara Utami mengehentikan langkahku. Aku menolehkan kepala. Terlihat Utami sedang menggandeng tangan Aksa. Dia tersenyum, membuatnya terlihat sangat manis. Aku sebagai perempuan saja sangat mengagumi kecantikan Utami, apalagi Aksa. Utami berjalan mendekatiku. Masih dengan menggandeng Aksa. Sedangkan lelaki itu, dia hanya melihatku tanpa tersenyum. Seolah aku adalah orang asing yang dia tidak kenal. “Mau ke mana?” Utami kembali bertanya saat sudah
“Maaf, Tam. Hanya saja aku tidak bisa janji. Soalnya, sekarang kan aku juga jadi guru les anak Pak Firman. Bagaimana nanti kalau bertepatan dengan jadwalku mengajar?" Hati penuh harap, semoga alasan itu bisa membatalkan keinginan Utami. Sungguh, aku tidak ingin berada di sana. Aksa akan semakin menuduhku melakukan sesuatu yang tidak pernah aku lakukan. “Bukanya jam mengajarmu sore? Kemarin kamu ke Rumah Pak Firman setelah pulang kuliah. Apa jadwalnya di ubah lagi?” ujar Utami sambil melihatku, wajahnya terpancar raut penasaran. Sepertinya dia sangat ingin aku segera menjawab. “Yang aku ajar ini anak kecil, Tam. Memang benar jadwal mengajarku itu sore. Tetapi, tidak semudah itu mengajar anak kecil. Aku harus melakukan segala cara untuk membujuknya belajar. Jadi tidak bisa pulang cepat. Semalam saja, aku pulangnya sudah larut.” “Jika itu yang menjadi kendala. Kamu tidak perlu khawatir, aku yang akan menemui Pak Firman untuk meminta izin,” ujar Utami dengan wajah ceria. Percakapan ka
Pak Firman kembali mengulang kalimat, menyuruh untuk keluar. Mungkin karena melihatku yang belum melakukan pergerakan. Tidak ingin semakin dipojokan, aku pun manarik napas lalu membereskan buku yang ada di atas meja. Aku tidak mau membuat Pak Firman semakin marah. Aku langsung ke toilet, ingin mencucui muka. Langkah kaki berjalan tergesa-gesa keluar dari ruang kelas. Sepanjang jalan menuju toilet, aku terus menangis. Airmata ini tak tertahan, semuanya berlomba untuk jatuh dari kelopak. Setibanya di toilet, aku meluapkan semua rasa sakit. Kini wajah sudah tak terbentuk. Aku terlihat sangat kusut. Di bagian hijab sekitar wajah, sudah basah karena airmata. Aku berada di dalam toilet sudah hampir tiga puluh menit. Untung saja tidak ada yang masuk. Jika itu terjadi, aku pasti akan malu karena seseorang mendapatiku sedang menangis. Saat keluar dari toilet, aku melihat Utami sedang berdiri sambil menatapku. Aku langsung melangkah terburu untuk memeluknya. Airmata yang sudah terhapus kemba
Hampir satu jam aku dan Utami berada di taman. Aku pun mengajak Utami untuk kembali ke kelas. Kondisiku sudah semakin membaik. Jangan sampai kami telat masuk matakuliah berikutnya. Aku melangkah masuk seperti biasa. Seakan tidak terjadi apa-apa. Namun, aku merasa risih. Karena banyak mata yang menatap. Aku tidak tahu maksud tatapan mereka. Apa merasa iba atau benci? Utami menggenggam tanganku. “jangan hiraukan mereka. Ada aku, Del!” Aku tersenyum dan mengeratkan genggaman. Terimakasih, Ya Allah! Engkau memang maha baik. Di saat banyak orang yang tidak suka denganku, engkau mengirimkan satu sosok yang tetap setia berada di dekatku. Jarum jam yang terus berputar akhirnya menunjuk pukul tiga sore. Kini semua matakuliah telah usai. Sekarang waktunya untuk pulang. Aku memasukan buku yang ada di atas meja ke dalam tas. Utami menghampiriku, dia lalu berucap, “udah siap. Yuk kita jalan!” Aku mengerutkan kening. “Memangnya kita mau ke mana?” tanyaku dengan wajah nampak heran. “Seperti ya
“Kok kamu jadi gini sih, sayang? Dulu kalau aku mau jalan dengan Delis, kamu selalu izinkan. Kok sekarang kayaknya kamu banyak berubah? … Kamu kan tahu, sebelum kita pacaran, aku dan Delis sudah bersahabat.” Aksa hanya diam. Ini sangat berbahaya. Lebih baik Aksa bicara dari pada diam begini. Kalau dia hanya diam, aku tidak bisa menebak isi pikiran Aksa. Aku takut dengan kejutan amarah yang akan dilampiaskan Aksa padaku. “Aku nggak suka kamu kayak gini, Aksa!” ujar Utami. Dia langsung berdiri lalu meninggalkan aku dan Aksa. Untung saja ruang kelas sudah sepi. Sekarang hanya ada aku, Utami dan Aksa. Jika tidak perdebatan antara Aksa dan Utami akan menjadi pandangan banyak mata. Mereka berdua adalah bintang di kampus ini. Orang-orang selalu penasaran dengan berita tentang hubungan mereka. Kalau sudah begini, pastinya Utami tidak akan mengantarku, karena dia akan menyelesaikan masalahnya dengan Aksa terlebih dahulu. Aksa masih berdiri di hadapanku. Dia menatap tajam. Aku memberanikan d
*** Sudah satu minggu aku menjadi guru les Aura. Banyak hal yang telah terlewati. Tak tahu, apakah semua yang terlewati itu bisa kujadikan pengalaman indah, atau justru akan terkenang sebagai kenangan buruk selama hidup. Seminggu lalu, untuk pertama kali aku tidur di rumah Pak Firman. Meskipun sangat terpaksa, aku tetap berusaha tersenyum di depan Aura. Aku kasihan pada anak kecil itu. Melihat wajah polosnya saat tertidur, membuat perasaan sayangku muncul. Banyak yang berubah dari hidup. Aku harus terbiasa dengan kalimat kasar Aksa yang menuduhku sebagai perempuan munafik. Sedangkan Pak Firman, dia masih saja memaksa agar aku mengikuti perintah anehnya. “Kamu melamun, Del?” tanya Utami. Tangannya menyentuh lenganku. “Eh eh, gimana? ... Nggak kokk, aku nggak melamun,” tuturku gelagapan. “Kamu pilih baju yang mana? Dari tadi kita keliling. Belum ada ya baju yang kamu suka?” tanya Utami yang masih melihat-lihat baju. Saat ini kami sedang berada di sebuah butik yang menjual banyak g
Utami diam beberapa detik, saat melihat aku keluar tanpa memakai baju yang dia beri. "Iya, Del. Kita ke pasar saja … Kamu nggak suka ya bajunya?" ujar Utami lembut. Aku pun mengangguk sebagai jawaban. Utami langsung mengambil baju yang ada di tanganku. Dia lalu menarik lengan untuk melangkah bersama. “Kak, maaf kami nggak jadi ambil baju ini. Soalnya kepanjangan, hehe,” ujar Utami pada seorang karyawan dengan raut merasa bersalah. “Maaf ya.” “Oh iya, Kak. Nggak apa-apa.” Karyawan butik menjawab perkataan Utami sambil tersenyum. Mungkin Utami beralasan bajunya kepanjangan karena tidak enak dengan karyawan butik. Kami berada di sini dari tadi. Kalau keluar tanpa membeli rasanya agak malu. Aku pun tersenyum pada karyawan butik. Utami langsung mengandeng tanganku untuk keluar. Kami menuju mobil yang ada di parkiran. “Maaf ya, Tam. Aku jadi tidak enak padamu,” ujarku sebelum Utami melajukan mobil keluar dari halaman parkir mobil. “Harusnya aku yang minta maaf. Aku terus memaksa kamu