Aku tetap melangkah, meskipun kini sudah tidak beriringan lagi dengan Aksa. Saat tiba di mobil, aku merasa sedikit tidak nyaman, karena duduk bersampingan dengan Aksa. Dia sedang sibuk dengan handphone di tangannya, tidak peduli dengan keberadaanku.
Beberapa menit dalam perjalanan, tidak ada yang memulai percakapan. Aku dan Aksa masih diam. Aku merasa bingung, melihat sikap Aksa yang berbeda. Apa kalimat yang akan aku katakan padanya? Haruskah menyapanya? Tetapi kata menyapa yang seperti apa, untuk orang yang berpura-pura tidak mengenal seperti ini? Aksa yang aku kenal selama kuliah tidak begini. Meskipun bukan tipe lelaki yang tidak suka bercerita, dia cukup ramah.
Tanganku kembali berkeringat. Aksa belum juga berbicara. Aku coba memberanikan diri, menoleh untuk melihat Aksa yang menatap lurus ke depan. Bibirku bergerak untuk berkata, "aku tidak tahu, jika yang dijodohkan denganku adalah kamu."
Beberapa menit menunggu, Aksa masih memandang ke depan tanpa berucap. Dia seakan tidak mendengar perkataanku. Apa ini karakter asli Aksa yang selama ini tidak diketahui orang lain? Atau mungkin dia begini karena tidak suka dengan perjodohan ini? Tetapi kan kami sudah menikah, harusnya Aksa bisa menerima. Seperti aku yang juga ikhlas menerimanya. Pernikahan ini sudah terjadi.
Aku dan Aksa telah tiba di kediaman rumah Pak Candra. Rumah megah berwarna kuning emas mendominasi seluruh ruangan. Ada pula foto Pak Candra dan istrinya yang menghiasi dinding , terletak tepat di depan pintu masuk. Sesekali melangkah pelan, terkagum dengan indahnya rumah yang sebentar lagi aku tempati.
Tiga orang asisten rumah berjalan di belakangku. Mereka mengangkat barang bawaan. Tidak banyak, hanya ada dua koper berisi pakaian dan satu kardus berisi buku-buku kuliah. Aku seperti seorang ratu yang berjalan tanpa memegang apapun.
Aku terus mengikuti langkah Aksa, hingga tiba di sebuah kamar yang ukurannya sangat besar. Di sisi kanan terdapat lemari besar berwarna silver muda. Di bagian tengah terdapat ranjang tidur dengan perpaduan warna peach dan cream yang tampak elegan. Aku terus memandang kagum ruangan, sambil berjalan pelan. Tanpa disadari, aku hanya sendiri dalam ruangan.
“Mereka tadi ke mana?” ujarku lirih, sambil melihat ke kiri dan kanan. Aku terlalu serius mengagumi kamar ini, hingga tidak sadar jika semua orang telah keluar dan pintu telah tertutup.
Aksa sudah pergi tanpa izin. Padahal dia belum mengajakku berbicara. Meskipun hanya berupa sapaan atau ungkapan basa-basi. Semua asisten rumah mungkin saja hanya masuk, menyimpan barang, dan langsung keluar.
Aku melangkahkan kaki, ingin mengatur barang dalam lemari. Namun saat membuka, terdapat kertas putih dengan tulisan tinta merah tepat depan mata. Aku mengambil dan mulai membacanya...
KONTRAK PERNIKAHAN!
Tidak ada interaksi diantara kita kecuali di hadapan ayahku dan orangtua kamu. Tidak melakukan hak dan kewajiban suami istri. Tidak menceritakan status kita kepada siapa pun, pernikahan ini adalah rahasia. Jika Utami tahu tentang pernikahan kita, hari itu juga aku akan menceraikan kamu. Tidak mencampuri urusan masing-masing.Tidak tidur dalam satu kamar. Pernikahan ini hanya bertahan selama tiga tahun.
Tanda-tangani kertas perjanjian ini. Tepat di bagian paling bawah yang terdapat nama kamu. Kalau kamu tidak setuju dengan kontrak pernikahan ini. Terserah! Aku tidak akan meminta kamu untuk setuju, karena aku akan tetap menceraikan kamu setelah tiga tahun pernikahan!
Aku melipat kertas putih yang ada di tangan. Enam point yang menyambut kedatanganku di Rumah megah ini. Kamar ini terlalu besar jika aku tempati sendiri. Tetapi apa daya, aku dipaksa oleh keadaan untuk tidur sendiri di sini.
Aku melangkah untuk duduk depan cermin. Melepas kaca mata yang bertengger, membebaskan rambut dari hijab yang menutupi, membuka pengikat dan membiarkan lurus terurai. Mata terpejam, merasakan hembusan angin menusuk tubuh. Aku ingin sejenak tidak melihat dunia. Sungguh miris goresan takdir, belum cukup sehari menjadi seorang istri, aku sudah dikagetkan dengan kontrak pernikahan yang dibuat oleh Aksa. “Aku tahu, pernikahan ini harusnya tidak terjadi. Kamu adalah kekasih sahabatku. Pasti berat untuk kamu, mengucap ijab kabul tadi. Tetapi, aku juga tidak bisa melakukan apapun. Semua ini sudah terjadi,” lirihku sambil melihat pantulan diri di depan cermin. Napas mulai terasa berat, mata pun berkaca. Sebentar lagi akan ada rintik bening jatuh dari kelopak, aku tidak bisa mencegah. Tangan memukul-mukul dada, berusaha agar tidak terisak. "Mengapa ini harus terjadi padaku? Bagaimana kalau Utami tahu, aku menikah dengan Aksa? Dia pasti akan marah padaku. Padahal selama ini hanya dia yang mau
“Iya, Tam. Aku dengar. Besok aku nggak bisa. Nanti saja ya,” ujarku dengan lembut. Tangan sudah berhenti menyuap nasi ke dalam mulut. Rasanya, masakan ini tidak enak lagi dilidah. “Yaaa, gimana dong. Aku pergi ke Mall dengan siapa kalau gitu. Ayolah, Del! Mau ya temani aku. Kalau kamu punya kerjaan, nanti aku bantu kerjain. Mau yaaa!” Suara Utami nampak sedih. Aku kembali terdiam beberapa detik untuk berpikir. Tidak ingin membuat Utami terus merayu, bibir pun kembali berbicara, “baiklah, besok kita ketemuan di kampus.” “Yeee, akhirnya. Ehh tapi, besok kan tanggal merah, Del. Kamu mau ngapain di kampus?” tanya Utami. Tidak mungkin aku mengatakan sejujurnya pada Utami, kalau aku tidak lagi tinggal di kosan. Pikiran berusaha mencari ide. Alasan apa yang akan aku buat. Selama ini aku belum pernah berbohong, karena tidak terbiasa. “Sengaja, aku ingin tunggu kamu di kampus saja. Kasian kamu, kalau harus menjemput di Kosan. Jarak dari rumah kamu ke kosanku jauh, Utami. Aku tidak tega,”
“Syukurlah, Nak. Ibu senang dengarnya. Kalau kamu bahagia seperti ini, ibu juga bahagia. Kemarin ibu bilang ke ayahmu, bagaimana kalau kamu tidak suka dengan anak Pak Candra? Tetapi, ayahmu selalu meyakinkan ibu, kalau Pak Candra itu baik, pasti anaknya juga baik … Ibu masih tidak menyangka, sekarang kamu sudah menikah. Kalau ada apa-apa, kamu harus tetap hubungi ibu dan ayah. Dan kalau ada waktu libur, kamu harus pulang ke kampung. Ayah dan ibu pasti rindu.” “Iya, Bu. Itu pasti.” “Kalau begitu, sudah dulu ya. Ibu sudah mengantuk. Mau tidur. Kamu jaga kesehatan. Jangan lupa, surga istri itu ada di suami. Jangan buat suamimu murka, kalau kamu punya salah harus cepat minta maaf. Bahkan, kalau kamu tidak merasa salah, tetapi suamimu marah, kamu juga harus minta maaf. Jadi istri yang patuh dan layani suamimu dengan baik. Ibu tidur dulu, nanti lagi kita telponan. Okey, Delisa, anak kesayangan ibu.” “Iya, Bu.” Satu kata cukup untuk ibu tahu jika aku menyetujui ucapannya. Nasehat yang san
Detik jam terus berputar, bulan telah bersembunyi dibalik bumi. Matahari tanpa malu memperlihatkan cahaya. Kini aku dan Utami sedang berada di Mall. Sebenarnya aku sudah sedikit lelah, dari tadi keliling-keliling mencari baju, tetapi Utami belum juga menjatuhkan pilihan. Aku sudah tahu sejak awal, resiko menemani Utami belanja adalah begini, sangat jarang cepat pulang. Dia biasa mencari baju berjam-jam. Memasuki toko yang sama sampai dua tiga kali, lalu keluar lagi tanpa menjatuhkan pilihan ke satu pun baju. Lelahnya kaki, tidak membuat bibir mengeluh. Takut Utami akan menganggap, aku tidak ikhlas menemani. Padahal, aku sungguh ikhlas. Tetapi harusnya dia mengerti jika orang yang menemaninya juga butuh mengistrahatkan kaki. “Del, ini bagus nggak?” tanya Utami, sambil memegang baju. “Bagus!” ujarku sambil tersenyum. “Kayaknya nggak, deh. Aku sudah punya baju yang mirip dengan baju ini.” Utami berkata lalu menaruh baju di tangannya ke tempat asalnya. “Kalau gitu kita cari di tempat
Aku sangat kaget. Jadi, semalam Aksa tidak pulang ke rumah. Aku pikir dia sudah pulang saat larut malam, sengaja pulang larut karena tidak ingin bertemu denganku. Ternyata dugaanku salah. Mungkin dia nginap di apartemen karena dia tidak ingin bertemu denganku. “Tapi kamu jangan berpikiran macam-macam ya. Kami itu tidur di kamar berbeda. Kebetulan di Apartemen Aksa ada dua kamar. Jadi aku bisa tidur di kamar yang satunya. Lagi pula Aksa bukan lelaki yang begitu kok,” ujar Utami setelah menelan makanan dalam mulut, “Del, tumben kamu tidak menyuruhku untuk berhenti pacaran. Biasanya setiap hari looo, kamu berisik ngelarang aku pacaran dan berdua-duaan dengan Aksa.” Ternyata Utami menyadari satu kebiasaan yang sudah aku hentikan. Bibir membentuk garis senyum. “Kamu sudah besar, Utami. Sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik. Kalau menurutmu berpacaran itu baik, ya silahkan. Aku tidak bisa ngelarang kamu terus,” tuturku dengan lembut. “Akhirnyaaa, sahabatku sadar. Asal tidak
*** Sudah tiga hari aku berada di rumah megah ini. Tetapi, belum pernah bertemu dengan Aksa. Apa dia sangat benci denganku, sampai melihat wajahku pun dia tak ingin? Mungkinkah dia mengira jika pernikahan ini terjadi karena keinginan orangtuaku? Ah, tidak boleh berpikir begitu. Semua ini terjadi, karena Aksa belum terbiasa dengan kehadiranku. Aku masih berada di balkon kamar. Menatap halaman luas di dekat kolam renang. Aku mengagumi desain rumah ini. Terlihat elegan dan indah di pandang.Tepat di taman yang terdapat banyak bunga, ada seorang asisten rumah yang sedang menyiram tanaman. Mungkin dia bertugas untuk menyiram tanaman setiap pagi karena sudah tiga hari aku melihatnya melakukan aktivitas itu. Tok! Tok! “Non Delisia!” Aku langsung berdiri ketika mendengar suara memanggil. Saat membuka pintu, terlihat seorang asisten sedang berdiri sambil tersenyum. “Ini apa, Bi? Kenapa repot-repot di bawa ke sini. Aku kan bisa turun cari makan sendiri,” tuturku. Lalu mengambil makanan yang
Terdengar napas berat ibu di telingaku. Alisku pun mengerut. “Alhamdulillah, sayang. Beberapa hari ini, ibu hanya pikirkan kamu. Takut pilihan ayah dan ibu itu salah. Ibu senang dengar kamu sangat bahagia sekarang. Ibu terharu, Nak. Semoga pernikahan kamu langgeng sampai maut memisahkan. Jangan lupa, cepat kasih ibu cucu-cucu yang menggemaskan.” “Aamiin. Oh iya, Bu. Teleponnya aku matikan dulu ya. Soalnya Aku mau keluar. Nanti kita lanjutkan lagi ya,” ujarku dengan nada bicara yang tenang. Sungguh, kini air mata sudah berkumpul dikelopak. Sebentar lagi akan jatuh. Aku tidak ingin ibu mendengar suara yang serak. Setelah mendapatkan persetujuan dari ibu, aku langsung mematikan telepon. Kedua tangan menutup wajah yang menangis tersedu. Dada sangat sesak menahan sakit. Sampai kapan aku terus berbohong? Mustahil aku bisa jujur ke ibu, jika Aksa tidak memperlakukan aku istimewa dan dia sangat membenciku karena perjodohan ini. Sesekali aku menghapus air mata yang membasahi pipi. Menarik
“Ayah senang kamu bisa meniru sifat ayah ke ibumu. Jadi suami itu harus baik pada istri. Karena, jika perasaan istri terluka sedikit saja, hidupmu tidak akan tenang. Rezeki itu tergantung ridho istrimu. Kalau istrimu selalu bahagia dan merasa senang, maka kamu akan mudah menjalani hidup. Kamu harus dengar baik-baik semua nasehat ayah. Tapi, jangan hanya di dengar, kamu juga harus lakukan,” ucap Pak Candra dengan senyum diwajahnya. Aku melihat wajah Aksa. Dia nampak biasa saja. Aku sangat merasa canggung berada di antara mereka. Aksa yang aku kenal, namun seperti orang asing saat ini. Sedangkan Pak Candra, aku belum terlalu mengenalnya. Aku tidak bisa menjadi perempuan yang sok akrab. Sangat sulit buatku bisa dekat dengan orang yang baru. Apalagi harus berbicara basa-basi. Dalam pikiran, aku membayangkan jika lawan bicaraku tidak suka dengan topik pembahasan yang sedang aku ucapkan. Rasanya itu sunggu memalukan dan tidak enak di hati. Ya, aku adalah tipe perempuan yang tidak enakan.