Satu jam lebih perjalanan, akhirnya tiba di Desa Toura. Desa yang menjadi tempat aku pulang mencari kenyamanan. Aku tidak perlu lagi ke terminal pemberhentian, karena bus lewat di depan rumah. Terlihat ibu dan ayah sedang duduk bersantai di depan rumah. Mereka belum menyadarari kedatanganku. Saat turun dari bus, ayah dan ibu menatapku tanpa kata. Beberapa detik berlalu, mereka pun berteriak, “Nak, kenapa pulang tidak beritahu ibu!” Ibu sudah berdiri dari duduknya. Begitupun dengan ayah. Aku berjalan mendekati rumah, yang berarti juga mendekati ibu dan ayah. Terlihat senyum haru di wajah mereka. Ya Allah, aku sudah sangat rindu dengan senyuman mereka. Harusnya meskipun sudah menikah, aku bisa meluangkan waktu untuk pulang menjenguk ibu dan ayah. Sebenarnya aku memang ingin, hanya saja ada perasaan tidak enak untuk meminta izin pada Pak Candra. Kalau soal Aksa, aku tak peduli. Dia tidak mungkin menanyakan keberadaanku. “Assalamualaikum!” ujarku dengan kedua tangan langsung menyalim
“Jangan dulu cerita, makan dulu. Delisia baru saja pulang. Dia masih lapar. Biarkan dia makan dulu. Setelah itu ibu bisa tanya-tanya.” Ayah menyeka perkataan ibu yang masih saja bertanya. Aku sudah menyatakan pada ibu seperti yang diucapkan ayah. Hanya saja, mungkin ibu terlalu penasaran. Sehingga hanya dua menit tidak bicara. Bibirnya kembali berkata. “Iya, Ayah,” jawab ibu. Kini kami makan dalam hening. Ibu tidak secerewet tadi lagi. Hingga makan malam usai, ibu pun kembali mengeluarkan pertanyaan yang sama. Untung saja azan berkumandang. Ayah langsung menyuruh untuk meninggalkan meja makan dan melaksanakan salat. Aku berdiri dari kursi sebelum ibu mencegahku. Tergambar jelas, raut wajah ibu nampak penasaran. Aku belum mempersiapkan jawaban untuk segala pertanyaan yang keluar dari bibir ibu. Bagaimana jika nanti ada pertanyaan yang tidak bisa aku jawab? Hal itu hanya akan menimbulkan berbagai macam tanya dalam benak ibu. Baru saja selesai sholat, pintu kamarku terbuka. Ibu suda
“Terus gimana kondisimu, Nak. Apa sudah ada hasil?” Aku mengerutkan alis mendengar pertanyaan ibu. Berpura-pura tidak mengerti dengan maksudnya. “Masa kamu tidak mengerti maksud ibu. Itu loh, Nak, cucu untuk kami.” ujar ibu memperjelas ucapannya. “Belum, Bu. Aku masih dapat haid.” Aku berkata sambil menggelengkan kepala. Semoga saja ibu tidak lanjut bertanya. Sejujurnya, aku tidak suka di tanya tentang hal ini. Kenapa yaa pertanyaan ini menjadi topik yang selalu ditanyakan pada orang-orang yang sudah menikah tetapi belum punya keturunan? Pertanyaan yang selalu membuat risih dan kehilangan kata-kata untuk menjawab. Sebenarnya tidak perlu di tanya terus menerus. Kalau memang Allah sudah berkehendak dan sudah ada, pasti akan di tahu juga. Tidak seorang pun di dunia ini yang hamil dengan pernikahan sah, tetapi orangtuanya tidak tahu. Jangankan punya anak, menyentuh saja tidak pernah. Aku tidak mungkin bisa hamil kalau Aksa belum juga mencintaiku. Oh, tidak! Berarti pernikahan ini hany
Aku di temani oleh kesunyian malam. Biasanya jam delapan malam, di desa ini sudah jarang orang masih keluyuran. Rumah yang berjarak tidak dekat antara satu dengan yang lain membuat kondisi malam terlihat sedikit horor. Lampu yang terpasang di jalan untuk menerangi desa, tidak banyak. Untung saja banyak rumah-rumah yang memasang lampu di teras. Aku berdiri untuk mengambil handphone yang ada di atas meja. Di perjalanan pulang tadi, Utami kembali membalas pesanku. Hanya saja aku tidak ingin membuka. Sesungguhnya saat ini aku sangat malas untuk balas berbalas pesan dengan Utami. Apalagi membahas tentang pertunangannya dengan Aksa. Aksa adalah suamiku. Dia menjadi lelaki asing pertama yang aku cintai. Bagaimana mungkin aku mencarikan baju untuk pertunangannya? Dunia ini sungguh sangat aneh. Sebelum melihat notofikasi lain, aku membaca terlebih dahulu pesan dari Utami. Pesan ini masuk saat aku di dalam bus tadi. Ini juga pesan terakhir yang dikirimkan Utami untukku hari ini. [Kamu mau ng
*** Aku sudah dua hari berada di kampung. Aku sengaja menonaktifkan handphone. Tidak ingin jika nanti Utami menghubungi melalui panggilan biasa. Dia pasti heran, kenapa aku tiba-tiba hilang kabar. Terserah, saat ini aku sedang tidak peduli. Sekarang perasaanku lebih penting untuk dijaga. Jangan sampai hanya karena ingin membuat Utami bahagia, aku rela menyakiti diri. Aku sedang duduk di rumahan kecil yang digunakan oleh ayah saat ingin beristrahat. Di sini, aku bisa melihat jelas pemandangan desa karena lokasi yang berada di ketinggian. Tadi, selesai sholat shubuh, ayah mengajaku untuk ke kebun. Aku langsung menyetujui, karena ingin jalan-jalan, meskipun harus berjalan kaki sangat jauh. Aku ingin menghirup udara segar dan sejenak menjauh dari hiruk pikuk kota. Satu jam lebih perjalanan, kami akhirnya tiba. Jika memakai kendaraan motor pasti akan lebih cepat. Hanya saja, jalan menuju kebun yang bebatuan besar, tidak bisa di lewati oleh motor dan sepeda. Aku ke sini hanya berdua denga
Satu jam lebih perjalanan. Aku dan ayah akhirnya tiba di Rumah. Aku salut dengan ayah yang sepertinya tidak merasakan capek. Padahal perjalanan kami pulang pergi ke kebun sangat jauh dan harus di tempuh dengan kaki. Aku yang usianya masih kepala dua saja, sudah merasakan sangat lelah. Usia ayah sudah lima puluh tahun lebih. Jika melihat umur, harusnya yang capek itu ayah, bukan aku. Mungkin karena ayah sudah terbiasa jalan kaki sejauh ini, jadi tidak merasakan capek. “Kalian sudah datang. Yuk, masuk. Ibu sudah buatkan sarapan.” Sambil berdiri di pintu, ibu berkata saat melihat kami. “Ayah pulang pasar dulu baru makan. Takutnya kesiangan bawa hasil kebun di Pasar,” ujar Ayah setelah minum. Beliau langsung mengangkat kembali karung yang berisi banyak tomat. “Ayah tidak makan dulu? Sedikit saja, untuk pengganjal perut,” tutur ibu mencegah ayah yang sudah ingin berjalan. “Nanti saja, Bu. Kalau ayah ke pasar kesiangan. Takutnya tidak ada penjual yang mau membeli hasil kebun ayah.” Sete
“Iya, Bu. kemarin aku tidak sempat izin ke Utami,” ujarku. Tangan kembali memasukan bubur ayam ke dalam mulut. “Loh kenapa? Pantas saja Utami tidak tahu kalau kamu sudah di sini. Tidak boleh begitu, Nak. Dia kan teman kamu.” Ibu berkata dengan pelan sambil melihatku. “Iya, Bu!” Aku tidak ingin menjawab panjang dan melebar. Ibu bisa saja akan menduga jika kami sedang ada masalah. Meskipun dugaannya benar. Emm, lebih tepatnya aku yang punya masalah bukan Utami. Kalau Utami, dia sekarang justru sedang merasa senang. Karena tidak lama lagi akan bertunangan dengan Aksa. Siapa yang tidak bahagia, jika lelaki yang dicintai mengatakan ingin menjalin hubungan lebih serius? Kini tidak ada lagi percakapan antara aku dan ibu. Aku memilih diam dan ibu hanya melihatku yang sedang makan. Hingga makanan yang ada di piring habis, aku pun minum untuk melepas dahaga. Sekaligus ingin membersihkan sisa makanan yang masih ada di mulut. “Bu, aku keluar dulu ya!” pamitku pada ibu yang masih berada di
Aku duduk di sini kurang lebih satu jam. Aku akhirnya berdiri untuk pulang, tidak ingin membuat ibu panik dan mencariku. Biasanya ketika aku keluar rumah lebih dari satu jam, ibu pasti mencari. Beginilah jika menjadi anak tunggal. Kasih sayang ayah dan ibu hanya berfokus padaku. Kaki kini melangkah. Aku kembali terpesona dengan udara segar yang ada di desa. Jika berjalan di kampus jam begini, wajah sudah akan gosong. Memang sih, aku tak perlu takut dengan kulit yang gosong, karena tidak akan nampak. Kulitku yang gelap akan tetap berwarna sama. Saat membuka pintu rumah, ternyata ibu dan ayah sedang duduk di ruang tamu. Aku juga selalu mengagumi kebersamaan ayah dan ibu. Saat ibu sedang duduk sendiri, biasanya ayah akan menghampiri. Begitu pun sebaliknya. Tetap terlihat mesra meskipun usia pernikahan mereka sudah terbilang lama. “Nak, duduk di sini. Ibu dan ayah ingin bicara.” Ibu berkata lembut sambil melambaikan tangannya. Lalu tangan itu menyentuh tempat duduk. Lewat gerakan tang