Share

Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!
Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!
Penulis: Ririn Irma

Bab 01

"Sabar, Sayang. Pernikahan ini gak akan lama, kok. Kamu tenang aja, aku sama dia itu gak cinta. Ini semua cuma terpaksa. Sampai kapan pun cintaku hanya buat kamu," ucap Dewa sambil menempelkan ponsel ke telinganya. Dia duduk di sofa yang berada di kamar hotel, masih dengan balutan jas hitam yang melekat di badan dengan posisi menyilangkan kaki kanannya.

Entah Dewa sedang berbicara dengan siapa, tapi jika kutangkap dari pembicaraannya, lelaki yang baru saja menikahiku itu sepertinya mengobrol dengan seorang wanita. Sakit? Ya, sakit bukan main. Di hari pertama pernikahan seharusnya dilalui dengan penuh cinta, tapi tidak denganku. Ah, iya, aku lupa. Bagaimana kami bisa seperti Romi dan Juli? Pernikahan ini saja terjadi karena sebuah perjodohan.

Entah apa motif dari perjodohan ini, yang jelas aku dipaksa untuk menerima pinangan dari pihak keluarga Dewa. Tak ada kuasa untuk menolak ketika Papa mengancamku tak akan menganggapku sebagai anak jika tidak mau menuruti permintaannya. Saat itu rasanya aku ingin kabur dari rumah, tapi apa daya. Pernikahan telah di depan mata, bahkan berkas pengajuan nikah kantor pun hampir semuanya Papa yang membantu menguruskan.

Meski begitu, aku akan berusaha menjadi seorang istri yang baik. Diriku telah berdamai dengan keadaan dan berusaha mencintai Dewa. Bagiku perjodohan ini bagian dari perjalanan takdir yang Tuhan gariskan. Namun, sepertinya tidak dengan pemikiran Dewa. Dia masih saja asyik berbincang di telepon dengan lawan bicaranya tanpa sedikit pun menghiraukan keberadaanku, sedangkan aku hanya memandanginya dari ranjang yang dihias indah dan bertabur bunga. 

"Cup, cup. Jangan nangis, dong, Sayang. Percaya sama aku, pernikahan ini gak akan berlangsung lama. Pernikahan ini cuma pura-pura. Aku gak akan menyentuhnya, jadi kami gak akan punya anak. Dengan begitu gampang kuceraikan dia."

Ucapan Dewa yang kedua itu berhasil membuatku tertohok. Ternyata dia mempunyai rencana busuk. Perlahan kuremas baju tidur satin berwarna putih dengan sangat kuat. Hatiku benar-benar hancur. Mengapa dia menikahi jika hanya ingin menceraikanku? 

"Ehem." Aku sengaja terbatuk, ingin melihat respons Dewa.

Namun, dia justru asyik melanjutkan obrolannya setelah sekilas melirik ke arahku dengan tatapan sinis. Beberapa saat, Dewa mengakhiri panggilannya dan meletakkan ponsel di atas meja.

"Kenapa? Kamu mau nguping pembicaraanku?" Dewa berjalan pelan ke tempatku berada, lalu dia duduk di samping. Mendadak kedua tangannya memegang bahuku.

Jantungku seketika berirama tak beraturan. Aku sangat takut jika Dewa berbuat sesuatu. Namun, lelaki di sampingku itu langsung merebahkan badanku. Napasnya sangat memburu dan tatapannya tak lepas menyorotku. Tajam.

"Kamu mau apa?" Aku berusaha melepaskan kedua tangannya sambil memandanginya yang telah berada di atas badanku. Wajahnya terlihat sangat garang.

"Tenang! Aku gak akan menidurimu. Ingat! Pernikahan ini cuma sementara. Aku itu terpaksa nikah sama kamu." Dewa langsung menarik badannya seperti semula sambil mengacungkan jari telunjuknya.

Sementara diriku masih dalam posisi tertidur. Kemudian, aku perlahan bangun. Kulihat wajah Dewa lekat-lekat. Namun, dia justru balik menatapku sangar.

"Tapi, ingat! Jangan sampai orang tua kita tau tentang hal ini." Dewa menempelkan jari telunjuk tepat di keningku, lalu sedikit menekannya.

"Kenapa kamu mau menikahiku kalau cuma terpaksa? Kenapa gak kamu tolak aja waktu awal perjodohan kita?" Aku memberanikan diri berbicara seperti itu.

Dewa langsung mengacak rambutnya. "Udahlah, gak usah bahas itu lagi. Intinya aku terima perjodohan ini karena paksaan Papi dan Mami. Kamu juga kenapa mau nikah sama aku? Apa udah gak ada laki-laki lain yang mau sama kamu? Apa kamu gak laku? Hah?" Dia balik menyerangku dengan banyak pertanyaan.

"Mungkin aku ini satu-satunya laki-laki bego yang mau nikah sama kamu. Kamu itu sama sekali gak ada istimewanya. Beda jauh dengan Nindi. Dia cantik, penampilannya jauh lebih menarik. Lah, kamu apa?" Dia masih saja menyerocos sambil menatapku nyalang.

Entah apa isi kepala Dewa. Dia ternyata menilai seseorang hanya sebatas rupa. Lagi pula wajahku tak jelek-jelek amat jika dibandingkan dengan gadis-gadis cantik di kota ini. Apa karena papaku yang bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan milik orang tuanya? Namun, sangat tidak pantas dia berbicara seperti itu padaku.

Dewa langsung melenggang kembali ke sofa tanpa memedulikanku. Kuperhatikan tangannya sigap meraih benda pipih persegi panjang di atas meja. Tatapannya begitu fokus menatap ke arah benda tersebut sambil sesekali menyunggingkan senyuman. Kuduga dia sedang asyik chatting-an dengan wanita yang disebutnya tadi.

Aku sangat geram dengan sikap Dewa, benar-benar tak menyangka akan menjalani pernikahan yang begitu konyol. Jika kutahu akan terjadi seperti ini, aku tak mau menikah dengannya. Mending tidak diakui sebagai anak daripada harus menanggung siksa batin.

Pandanganku seketika mengarah pada benda bulat yang bertengger di dinding. Ternyata waktu telah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Meski badanku terasa lelah karena sejak pagi melangsungkan akad nikah dan malam dilanjutkan dengan resepsi yang sangat meriah di Ballroom hotel ini, mataku sulit terpejam. Ingatan tentang pesta tadi kembali menyeruak di pikiran. Tawa dan raut bahagia dari wajah Dewa saat di pelaminan tadi rupanya hanya kamuflase belaka. Dia sangat lihai bersandiwara. 

"Permisi, aku mau ganti baju. Tolong tutup mata atau menyingkir dari kamar ini." Tiba-tiba Dewa berdiri.

Kuarahkan pandangan padanya. "Kenapa aku harus keluar? Ada kamar mandi di sana, silahkan ganti di sana saja." Aku menunjuk kamar mandi yang berada di sudut ruangan.

"Sial apa aku nikah sama perempuan macam kamu." Dewa langsung berjalan dengan sengaja menyenggol kakiku.

Ketika Dewa berada di kamar mandi, kudengar suara ponsel miliknya berdering. Karena penasaran, aku memberanikan diri melihat siapa penelepon tersebut. Setelah kucek, ternyata dari kontak yang diberi nama "Honey."

"Halo. Maaf ini siapa?"

Kuberanikan diri menerima panggilan dari kontak tersebut. Aku bertanya dengan suara pelan sambil celingukan memperhatikan ke arah kamar mandi. Mungkin diriku sangat lancang, tapi tak ada satu pun istri yang terima jika suaminya masih berhubungan dengan wanita lain.

"Oh, kamu istrinya Dewa, ya?" jawab seorang wanita di seberang.

"Iya, kamu siapanya? Apa kamu gak tau kalau Dewa sekarang udah nikah?"

Namun, wanita di seberang makin menyolot. "Kamu yang gak tau kalau Dewa itu cintanya cuma sama aku. Kamu yang udah rebut Dewa dariku."

Aku hanya melenguh, sama sekali tak merasa menjadi perebut kekasih orang. Jika Dewa telah memutuskan untuk menikahiku, berarti dia telah memilihku, bukan? Ya, meski kutahu itu karena terpaksa, tetap saja aku istri yang sah di mata hukum dan agama.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki. Spontan kumatikan sambungan telepon. Benar, Dewa telah berjalan dari arah kamar mandi sambil menenteng baju yang dikenakannya tadi. Dia telah berganti dengan celana borju pendek dan kaus Polo berwarna putih. Gegas kukembalikan ponsel ke tempat semula.

"Ngapain kamu di situ?" Dewa menatapku nyalang.

"Tadi ada telepon," jawabku santai.

"Terus? Kamu mau apa dengan HP-ku? Mau ngecek-ngecek? Jangan pernah sentuh barang milikku lagi."

"Tapi, aku sekarang ini istrimu! Aku berhak atas apa yang kamu miliki. Apa kamu lupa kalau kita udah sah sebagai suami-istri?" Aku tetap tak mau kalah, berusaha mengingatkan dirinya tentang takdir yang telah terjadi dalam kehidupan kami.

Sontak Dewa tersenyum menyeringai. "Istri? Kamu itu cuma istriku sementara. Jadi, gak berhak ngatur-ngatur hidupku. Aku, Dewa Antaka, gak level punya istri macam kamu. Jelas?" Spontan dia mendorong badanku hingga ambruk di sofa.

"Jalani saja hidup masing-masing. Jangan mimpi aku akan mencintaimu," lanjutnya lagi dengan sigap meraih ponsel yang berada di atas meja. Kemudian, Dewa beranjak meninggalkanku di kamar.

Sembari memperhatikan punggung Dewa yang perlahan menghilang dari pandangan, penyesalan seketika bersarang di hati. Sepertinya aku telah salah mengambil langkah, tidak seharusnya kuladeni telepon dari wanita tadi karena hanya membuang waktu. Meski dalam istana pernikahan ini aku hanyalah ratu tanpa mahkota, akan tetap kubalas keangkuhan Dewa dengan elegan. 

"Terus? Kamu mau apa dengan HP-ku? Mau ngecek-ngecek? Jangan pernah sentuh barang milikku lagi."

"Tapi, aku sekarang ini istrimu! Aku berhak atas apa yang kamu miliki. Apa kamu lupa kalau kita udah sah sebagai suami-istri?" Aku tetap tak mau kalah, berusaha mengingatkan dirinya tentang takdir yang telah terjadi dalam kehidupan kami.

Sontak Dewa tersenyum menyeringai. "Istri? Kamu itu cuma istriku sementara. Jadi, gak berhak ngatur-ngatur hidupku. Aku, Dewa Antaka, gak level punya istri macam kamu. Jelas?" Spontan dia mendorong badanku hingga ambruk di sofa.

"Jalani saja hidup masing-masing. Jangan mimpi aku akan mencintaimu," lanjutnya lagi dengan sigap meraih ponsel yang berada di atas meja. Kemudian, Dewa beranjak meninggalkanku di kamar.

Sembari memperhatikan punggung Dewa yang perlahan menghilang dari pandangan, penyesalan seketika bersarang di hati. Sepertinya aku telah salah mengambil langkah, tidak seharusnya kuladeni telepon dari wanita tadi karena hanya membuang waktu. Meski dalam istana pernikahan ini aku hanyalah ratu tanpa mahkota, akan tetap kubalas keangkuhan Dewa dengan elegan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status