Langsung saja kurebahkan badan meski otakku tak bisa berpikir tenang. Ke mana Dewa pergi? Lalu, jika di luar dia bertemu dengan salah satu keluarga kami, apa yang akan kukatakan? Ya, keluarga besar kami memang sama-sama menginap di hotel ini. Banyak pertanyaan dan kekhawatiran berkeliaran di pikiran.
Jarum jam terus berputar, waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, Dewa tak kunjung kembali. Dalam hatiku berniat menghubunginya, tapi niat tersebut segera kuurungkan karena mengingat perseteruan yang baru terjadi. Pasti Dewa enggan menerima telepon dariku. Aku cukup tahu diri. Dia memang sama sekali tidak mengharapkanku sebagai istrinya.
Seiring bergesernya waktu, mataku terasa berat. Rasa kantuk seketika menghampiri. Ketika baru saja memejamkan mata, tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Ketika kuarahkan pandangan ke sana, ternyata Dewa yang datang.
Perlahan dia berjalan mendekati tempat tidur, lalu menarik bantal di sampingku. Kemudian, kulihat dia menuju sofa dan membaringkan badannya. Ternyata lelaki yang baru saja menghalalkanku itu benar-benar tak ingin menyentuhku.
"Kenapa liat-liat?" ucapnya sinis. Tangannya masih memegang ponsel.
Aku terdiam. Enggan menanggapi ucapannya yang kupastikan bisa berakhir dengan perdebatan. Segera kubalikkan badan, lalu kembali memejamkan mata.
***
"Mau apa kamu?" sergahnya kasar.
"Maaf, aku cuma mau pindahin HP. Gak baik kena radiasi." Aku kembali ke tempatku semula.
"Gak usah sok perhatian. Mau kamu perhatian model gimana juga gak bakal bikin aku luluh. Aku kalau udah gak suka, ya, gak suka. Lagian juga kamu gak bisa gantiin posisi Nindi di hatiku."
Mendengar ucapannya, langkahku seketika terhenti. Perlahan aku menoleh ke belakang. Dewa telah duduk bersandar dengan berbalut selimut.
"Makasih atas ucapanmu. Kalau memang seperti itu maumu, aku harus gimana?" Meski dadaku terasa sesak, aku berusaha berbicara dengan nada seperti biasa.
"Ikuti permainanku sampai tiba waktunya."
Kembali kutelan ludah. Hatiku benar-benar terasa nyeri atas apa yang dikatakan Dewa. Lagi-lagi penyesalan menghampiri. Kenapa harus diriku yang menghadapi semua ini? Ah, semesta sepertinya sangat tidak adil. Nasibku apes telah menikah dengan lelaki arogan yang tak pernah ada cinta di hatinya.
Aku diam dan berjalan kembali. Suasana seketika berubah menjadi hening. Kulihat Dewa terus saja sibuk dengan ponselnya. Kami dalam satu kamar, bahkan dalam ikatan yang sakral, tapi seperti manusia yang tak pernah saling mengenal. Lantas, apa bisa disebut dengan sebuah pernikahan? Hubungan semacam apa ini?
"Jangan khawatir. Aku tetap kasih semua gajiku sama kamu, bahkan bisa kupastikan kamu gak akan kekurangan secara materi." Dewa kembali bersuara.
Lagi-lagi aku terdiam. Dalam hati sangat kesal dengan permainan yang telah dia atur. Untuk apa hidup bergelimangan harta jika harus membina hubungan yang tidak sehat? Aku benar-benar tak habis pikir kenapa Papa sampai bisa menjodohkanku dengan lelaki seperti Dewa.
"Papa cuma ingin yang terbaik buat kamu," kata Papa saat itu.
Aku ingat betul ucapan Papa, tapi sekarang nyatanya apa? Apa ini yang beliau sebut ingin memberikan yang terbaik untukku? Aku sama sekali tidak merasa bahagia. Kebahagiaanku telah direnggut paksa oleh sebuah keegoisan kedua orang tua. Orang tua yang tidak memberikan kesempatan anaknya untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.
"Ini ATM gajiku." Dewa tiba-tiba menghampiriku dan menyodorkan ATM.
"Untuk apa ini? Apa ini bisa membeli semua kebahagiaanku? "
Dewa memang berasal dari keluarga berada. Namun, tak seenaknya pula dia merendahkanku. Karena menikah dengannya lah, aku memilih resign dari pekerjaanku sebagai pegawai bank swasta.
Awalnya aku sangat menghormati Dewa yang berprofesi sebagai abdi negara. Kusadari, sebagai istrinya harus siap mendampingi di mana pun dia bertugas. Namun, kenyataannya justru dialah yang menghancurkan semuanya.
"Jangan banyak omong kamu!" balas Dewa tak kalah sarkas.
"Aku gak butuh ini. Yang kubutuhkan cuma hubungan yang benar-benar sehat. Ingat, kamu sekarang sudah menikah. Ada tanggung jawab yang harus kamu pikul."
Dewa kembali menyeringai. "Tanggung jawab? Aku udah tanggung jawab dengan menyerahkan semua gajiku sama kamu. Apa itu belum cukup? Kalau untuk menyentuh atau mencintaimu, jangan mimpi!"
Kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku dan Dewa seketika saling berpandangan. Gegas kusuruh Dewa berbaring di tempat tidur karena tak ingin ada seorang pun mengetahui apa yang terjadi dalam pernikahan kami. Setelah itu, aku segera membukakan pintu.
"Mami? Ada apa, Mi?" tanyaku heran ketika melihat maminya Dewa berada di depanku.
"Mami mau pamit pulang duluan. Papa dan mamamu juga." Mata maminya Dewa langsung menerobos ke dalam kamar. Bola matanya bergerak-gerak memindai seluruh ruangan.
Seketika kuhela napas lega. Untung saja Dewa telah berpindah tempat. Aku tak bisa membayangkan jika maminya mengetahui tempat tidur kami terpisah. Namun, keganjilan seketika mengusik pikiran. Jika hanya ingin berpamitan, kenapa tidak menelepon? Ah, sepertinya itu hanya modus beliau saja.
"Ya udah kalau gitu, Mami pulang dulu. Have a nice day, Sayang." Maminya Dewa langsung mengecup pipiku, lalu beranjak pergi.
Selepas itu, aku segera menutup pintu. Begitu melihatku datang, Dewa langsung berpindah tempat. Dia kembali berbaring di sofa sambil memainkan ponselnya.
"Pagi, Sayang. Udah sarapan belum?" ucap Dewa seperti sedang menelepon seseorang tanpa memedulikan perasaanku.
Bisa kupastikan lawan bicaranya itu adalah Nindi. Kemudian, pandangan Dewa sejenak mengarah padaku. Setelah itu, dia kembali asyik menelepon.
Aku tak habis pikir dengan tingkah konyol yang dilakukan Dewa. Seharusnya dia bisa menjaga hati seorang wanita, tapi nyatanya tidak bisa. Lelaki macam apa dia?
"Bener. Aku semalam tidur di sofa. Pokoknya kamu tenang, Sayang. Setelah waktunya tiba, kita akan bersatu."
"Ya udah, Sayang. Jaga diri baik-baik, ya. Muah." Dewa sejenak melirik ke arahku, lalu tersenyum sinis. Kemudian, dia meletakkan ponsel di atas meja.
Seketika kuembuskan napas kasar. Sungguh lelaki tak berperasaan, bisa-bisanya bermesraaan di depanku. Dewa sepertinya sengaja ingin membuatku sakit hati. Lihat saja apa yang akan kulakukan untuk bisa menaklukkan hatinya. Akan kupastikan akulah yang menjadi pemenang dari permainan ini.
"Please, deh, kalau mau pacaran itu mandi dulu," kelakarku sambil menyembunyikan gejolak yang kian tak menentu. Aku tak ingin memperlihatkan rasa cemburuku pada Dewa.
"Orang ganteng itu biar gak mandi juga tetap ganteng."
"Tapi, ada belek di matamu," ejekku sambil menahan tawa.
Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan
"Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De
Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi
Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud
Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi
"Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g