Share

Bab 02

Langsung saja kurebahkan badan meski otakku tak bisa berpikir tenang. Ke mana Dewa pergi? Lalu, jika di luar dia bertemu dengan salah satu keluarga kami, apa yang akan kukatakan? Ya, keluarga besar kami memang sama-sama menginap di hotel ini. Banyak pertanyaan dan kekhawatiran berkeliaran di pikiran. 

Jarum jam terus berputar, waktu telah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun, Dewa tak kunjung kembali. Dalam hatiku berniat menghubunginya, tapi niat tersebut segera kuurungkan karena mengingat perseteruan yang baru terjadi. Pasti Dewa enggan menerima telepon dariku. Aku cukup tahu diri. Dia memang sama sekali tidak mengharapkanku sebagai istrinya.

Seiring bergesernya waktu, mataku terasa berat. Rasa kantuk seketika menghampiri. Ketika baru saja memejamkan mata, tiba-tiba terdengar pintu terbuka. Ketika kuarahkan pandangan ke sana, ternyata Dewa yang datang.

Perlahan dia berjalan mendekati tempat tidur, lalu menarik bantal di sampingku. Kemudian, kulihat dia menuju sofa dan membaringkan badannya. Ternyata lelaki yang baru saja menghalalkanku itu benar-benar tak ingin menyentuhku.

"Kenapa liat-liat?" ucapnya sinis. Tangannya masih memegang ponsel. 

Aku terdiam. Enggan menanggapi ucapannya yang kupastikan bisa berakhir dengan perdebatan. Segera kubalikkan badan, lalu kembali memejamkan mata.

***

Usai menunaikan salat dua rakaat, Dewa masih tertidur di sofa. Bahkan, ponsel yang semalam kulihat dia pegang kini berada di atas perutnya. Kemudian, aku perlahan berjalan menuju sofa tersebut. Dengan hati-hati kuambil ponsel, lalu meletakkan di meja. Rupanya Dewa menyadari keberadaanku hingga membuatnya bangun dan gelagapan.

"Mau apa kamu?" sergahnya kasar.

"Maaf, aku cuma mau pindahin HP. Gak baik kena radiasi." Aku kembali ke tempatku semula.

"Gak usah sok perhatian. Mau kamu perhatian model gimana juga gak bakal bikin aku luluh. Aku kalau udah gak suka, ya, gak suka. Lagian juga kamu gak bisa gantiin posisi Nindi di hatiku."

Mendengar ucapannya, langkahku seketika terhenti. Perlahan aku menoleh ke belakang. Dewa telah duduk bersandar dengan berbalut selimut.

"Makasih atas ucapanmu. Kalau memang seperti itu maumu, aku harus gimana?" Meski dadaku terasa sesak, aku berusaha berbicara dengan nada seperti biasa.

"Ikuti permainanku sampai tiba waktunya."

Kembali kutelan ludah. Hatiku benar-benar terasa nyeri atas apa yang dikatakan Dewa. Lagi-lagi penyesalan menghampiri. Kenapa harus diriku yang menghadapi semua ini? Ah, semesta sepertinya sangat tidak adil. Nasibku apes telah menikah dengan lelaki arogan yang tak pernah ada cinta di hatinya.

Aku diam dan berjalan kembali. Suasana seketika berubah menjadi hening. Kulihat Dewa terus saja sibuk dengan ponselnya. Kami dalam satu kamar, bahkan dalam ikatan yang sakral, tapi seperti manusia yang tak pernah saling mengenal. Lantas, apa bisa disebut dengan sebuah pernikahan? Hubungan semacam apa ini?

"Jangan khawatir. Aku tetap kasih semua gajiku sama kamu, bahkan bisa kupastikan kamu gak akan kekurangan secara materi." Dewa kembali bersuara.

Lagi-lagi aku terdiam. Dalam hati sangat kesal dengan permainan yang telah dia atur. Untuk apa hidup bergelimangan harta jika harus membina hubungan yang tidak sehat? Aku benar-benar tak habis pikir kenapa Papa sampai bisa menjodohkanku dengan lelaki seperti Dewa.

"Papa cuma ingin yang terbaik buat kamu," kata Papa saat itu.

Aku ingat betul ucapan Papa, tapi sekarang nyatanya apa? Apa ini yang beliau sebut ingin memberikan yang terbaik untukku? Aku sama sekali tidak merasa bahagia. Kebahagiaanku telah direnggut paksa oleh sebuah keegoisan kedua orang tua. Orang tua yang tidak memberikan kesempatan anaknya untuk menentukan jalan hidupnya sendiri.

"Ini ATM gajiku." Dewa tiba-tiba menghampiriku dan menyodorkan ATM.

"Untuk apa ini? Apa ini bisa membeli semua kebahagiaanku? "

Dewa memang berasal dari keluarga berada. Namun, tak seenaknya pula dia merendahkanku. Karena menikah dengannya lah, aku memilih resign dari pekerjaanku sebagai pegawai bank swasta. 

Awalnya aku sangat menghormati Dewa yang berprofesi sebagai abdi negara. Kusadari, sebagai istrinya harus siap mendampingi di mana pun dia bertugas. Namun, kenyataannya justru dialah yang menghancurkan semuanya.

"Jangan banyak omong kamu!" balas Dewa tak kalah sarkas.

"Aku gak butuh ini. Yang kubutuhkan cuma hubungan yang benar-benar sehat. Ingat, kamu sekarang sudah menikah. Ada tanggung jawab yang harus kamu pikul."

Dewa kembali menyeringai. "Tanggung jawab? Aku udah tanggung jawab dengan menyerahkan semua gajiku sama kamu. Apa itu belum cukup? Kalau untuk menyentuh atau mencintaimu, jangan mimpi!"

Kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar. Aku dan Dewa seketika saling berpandangan. Gegas kusuruh Dewa berbaring di tempat tidur karena tak ingin ada seorang pun mengetahui apa yang terjadi dalam pernikahan kami. Setelah itu, aku segera membukakan pintu.

"Mami? Ada apa, Mi?" tanyaku heran ketika melihat maminya Dewa berada di depanku.

"Mami mau pamit pulang duluan. Papa dan mamamu juga." Mata maminya Dewa langsung menerobos ke dalam kamar. Bola matanya bergerak-gerak memindai seluruh ruangan.

Seketika kuhela napas lega. Untung saja Dewa telah berpindah tempat. Aku tak bisa membayangkan jika maminya mengetahui tempat tidur kami terpisah. Namun, keganjilan seketika mengusik pikiran. Jika hanya ingin berpamitan, kenapa tidak menelepon? Ah, sepertinya itu hanya modus beliau saja.

"Ya udah kalau gitu, Mami pulang dulu. Have a nice day, Sayang." Maminya Dewa langsung mengecup pipiku, lalu beranjak pergi.

Selepas itu, aku segera menutup pintu. Begitu melihatku datang, Dewa langsung berpindah tempat. Dia kembali berbaring di sofa sambil memainkan ponselnya.

"Pagi, Sayang. Udah sarapan belum?" ucap Dewa seperti sedang menelepon seseorang tanpa memedulikan perasaanku.

Bisa kupastikan lawan bicaranya itu adalah Nindi. Kemudian, pandangan Dewa sejenak mengarah padaku. Setelah itu, dia kembali asyik menelepon.

Aku tak habis pikir dengan tingkah konyol yang dilakukan Dewa. Seharusnya dia bisa menjaga hati seorang wanita, tapi nyatanya tidak bisa. Lelaki macam apa dia?

"Bener. Aku semalam tidur di sofa. Pokoknya kamu tenang, Sayang. Setelah waktunya tiba, kita akan bersatu."

"Ya udah, Sayang. Jaga diri baik-baik, ya. Muah." Dewa sejenak melirik ke arahku, lalu tersenyum sinis. Kemudian, dia meletakkan ponsel di atas meja.

Seketika kuembuskan napas kasar. Sungguh lelaki tak berperasaan, bisa-bisanya bermesraaan di depanku. Dewa sepertinya sengaja ingin membuatku sakit hati. Lihat saja apa yang akan kulakukan untuk bisa menaklukkan hatinya. Akan kupastikan akulah yang menjadi pemenang dari permainan ini.

"Please, deh, kalau mau pacaran itu mandi dulu," kelakarku sambil menyembunyikan gejolak yang kian tak menentu. Aku tak ingin memperlihatkan rasa cemburuku pada Dewa.

"Orang ganteng itu biar gak mandi juga tetap ganteng."

"Tapi, ada belek di matamu," ejekku sambil menahan tawa.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status