Ada belek, di matamu
Kunyanyikan lagu dengan lirik seperti itu. Dewa spontan membelalakkan mata padaku. Kemudian, dia segera mengarahkan ponsel di hadapannya, lalu membersihkan kedua sudut mata menggunakan jari telunjuknya. Melihatnya seperti itu, aku makin tertawa puas.
"Mana? Gak ada, kok." Dewa kembali menatapku nyalang.
Aku spontan tertawa lepas. "Tuh, di sebelah kanan pojok." Kutunjuk di mataku sendiri.
Dewa kembali menggerakkan jari telunjuknya ke tempat yang kumaksud. "Mana? Gak ada."
"Emang enak dikerjain."
"Awas, ya." Dewa langsung mengepalkan tangannya.
"Eh, ngomong-ngomong kamu gak sholat?" Aku mengalihkan pembicaraan.
Dewa kembali menatapku tajam. "Udah. Sebelum kamu bangun aku udah bangun duluan."
"Masa? Pasti kamu bohong."
"Tuh, liat aja ada sajadahku di sana." Dewa menunjuk jemuran handuk yang kosong. Memang benar, ada sajadah yang dilipat di atas sana.
"Makanya kalo tidur itu jangan kayak kuda yang mau lari." Kini Dewa gantian yang meledekku.
Aku seketika mengernyitkan dahi. "Gak ada bukti, berarti hoax."
Perlahan Dewa berjalan ke arahku sambil memegang ponsel. Kemudian, dia menyodorkan benda yang ada di tangannya itu. "Nih, buktinya. No hoax, kan?"
Aku sontak terkejut. Ternyata benar Dewa telah mengambil fotoku ketika tidur. Terlebih memalukan lagi pose tidurku yang sangat lucu. Astaga.
"Gak. Aku gak pernah tidur kayak gitu. Itu pasti tadi pas aku bergerak pas kamu foto, makanya hasilnya kayak gitu." Aku terus saja mengelak.
"Emang pose tidurmu aja yang gak karuan. Pokoknya, kamu berani macem-macem sama aku, foto ini akan kusebarkan."
"Haha .... Satu sama, kan?" lanjutnya sambil kembali ke sofa tempatnya semula, masih dengan suara tawa yang makin berderai.
Aku tak bisa berkata-kata. Mampus, ternyata Dewa telah lebih dulu berulah. Awas saja balasan dariku. Aku terus berpikir bagaimana caranya untuk kembali mengerjai Dewa. Lihat saja nanti.
***
Sore ini, aku dan Dewa akan pulang ke rumah orang tuanya. Ketika keluar kamar hotel, ternyata suamiku itu telah berjalan terlebih dahulu tanpa menghiraukanku yang menggeret koper sendirian. Kulihat dia malah asyik melenggang sambil membawa tas ransel yang isinya hanya bajunya saja.
"Tunggu!" teriakku sedikit terengah-engah sambil terus menggeret koper.
"Cepetan. Bawa koper segitu aja gak bisa. Gimana nanti kalo kamu tinggal di asrama terus mau ganti galon? Jangan bilang aku yang bantu, ya. Jadi istri tentara itu harus mandiri, serba bisa." Dewa menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke belakang.
Aku melenguh kesal. Dasar, lelaki arogan. Tak bisakah sedikit saja membantu seorang wanita? Di mana jiwa sosialnya? Aku terus saja menggerutu dalam hati. Mimpi apa bisa punya suami seperti itu. Apes.
"Emang aku pembantu? Kamu mau jadiin istri cuma jadi pembantu?" Kutatap lekat-lekat wajah Dewa ketika tiba di sampingnya.
Namun, Dewa justru membalas tatapanku tak kalah nyalang. Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin dia tersinggung atau marah dengan ucapanku. Masa bodoh, dia sendiri kalau berbicara tak pernah memedulikan perasaanku.
"Jangan lama-lama liatnya, nanti jatuh cinta." Aku meledek dengan sedikit tawa seolah mengejek.
Tanpa merespons ucapanku, Dewa langsung berjalan kembali sambil membenahi tas ransel yang berada di punggungnya.
Gegas kukejar Dewa yang langkahnya tak bisa kuimbangi. Langkahnya yang panjang membuatku ngos-ngosan setengah berlari. Dia berjalan keluar hotel saja sudah seperti jalan longmars.
Ketika sampai di parkiran mobil, kulihat Dewa langsung memasukkan tasnya ke bagasi. Baru saja hendak kumasukkan barangku juga, dia kembali menutup pintu.
"Hei, koperku belum masuk."
Dewa spontan menatapku. "Makanya kalau mau nginep di hotel semalam aja jangan bawa barang banyak-banyak. Dah kayak orang liburan aja." Dia langsung membukakan pintu, lalu memasukkan koperku.
Setelah masuk ke mobil, Dewa segera melajukan kendaraan menuju rumahnya. Selama perjalanan, kami sama sekali tidak saling bicara. Entah pasangan seperti apa kami ini. Tak berselang lama, ponsel Dewa berdering. Tangan kekarnya sigap meraih benda tersebut yang berada di dasboard.
"Iya, Sayang. Jadi. Aku baru mau pulang, nih. Tunggu aku, ya. Muah." Dewa meletakkan kembali ponselnya ke atas dashboard.
Dia melirik ke arahku sejenak, lalu tersenyum menyeringai. Sepertinya dia memang ingin memamerkan kemesraannya dengan kekasih hatinya.
"Kenapa?" Dewa mengangkat kedua alisnya yang tebal.
Aku mengendikkan bahu sambil mengernyit. "Gak ada. Bangga gitu, bisa pamer kemesraan di depanku? Kamu pikir aku sakit hati? No."
"Baguslah." Dewa berbicara tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Dia terus fokus menyetir.
Tak terasa mobil memasuki pelataran rumah mewah milik orang tua Dewa. Ternyata mami dan papinya Dewa telah menyambut kedatangan kami.
"Gimana, Sayang? Menyenangkan gak?" Mami langsung memelukku, lalu membawaku masuk rumah.
"Tunggu, Mi. Barangku masih ada di dalam mobil." Aku menghentikan langkah sejenak.
"Udah, gampang itu. Nanti biar Dewa yang bawa masuk."
"Wa, jangan lupa koper Furi bawa masuk sekalian." Ibu mertuaku menoleh ke belakang.
Dalam hati aku sangat senang. Rasakan, dari tadi dia jual mahal tak mau membawakan koperku, sekarang tak bisa menolak lagi. Aku seketika tersenyum puas.
"Kok aku, sih, Mi? Biar Mang Dikin aja nanti yang bawa masuk," jawab Dewa sambil asyik menatap ponsel yang berada di genggamannya. Kuduga dia sedang sibuk dengan Nindi.
"Masa barang istrimu dibawakan sama Mang Dikin? Kamu, dong sebagai suaminya." Ibu mertuaku menolak saran dari Dewa.
"Iya, iya. Nanti Dewa yang bawain ke dalam."
Aku makin tertawa puas. Rasain.
Kemudian, aku dan mertuaku berjalan masuk rumah. Beliau membawaku ke ruang makan. Kulihat berbagai hidangan telah tersaji di atas meja. Tampak pula asisten rumah tangga ada yang sedang mengatur buah di keranjang.
"Mau ada acara apa, Mi?" tanyaku penasaran.
Secara bersamaan, Dewa telah datang sambil membawakan koperku. Dia langsung meletakkan di sembarang tempat.
"Gak ada, Sayang. Cuma mau menyambut pengantin baru. Mami pengen kamu makan yang banyak biar ada tenaga buat pertempuran nanti malam. Mami pengen cepet punya cucu."
"Iya, kan, Dewa?" Mami gantian mengarahkan pandangan pada putra tunggalnya yang sedang berdiri mematung. Kemudian, beliau beranjak membantu Bibik yang sedang menyiapkan makanan.
"I-iya, Mi. Pasti nanti Mami bakal punya cucu." Dewa perlahan berjalan ke arahku, lalu merangkul pundakku. "Iya, kan, Sayang." Dewa langsung menginjak kakiku.
Sontak aku kaget. "I-iya, Mi."
Kemudian, Dewa melepaskan rangkulannya sambil berbisik di telingaku. "Aku mau punya anak, tapi bukan sama kamu."
Aku hanya meringis menahan sakit. Untung dia tidak menginjak kakiku menggunakan sepatu PDL. Seketika mataku memindai sekitar. Bersyukur maminya Dewa tak mendengar dan melihat tingkah konyol anaknya.
Ketika Dewa berjalan melewatiku, dengan sengaja kusenggol kakinya hingga membuatnya nyaris terjatuh.
Sigap aku berpura-pura menolongnya. "Kalau jalan itu hati-hati, Sayang." Spontan aku tertawa lepas, tapi segera kubungkam mulutku sendiri menggunakan telapak tangan.
Dewa langsung menatapku nyalang sambil mengepalkan tangannya di bawah. Namun, aku sudah cukup puas mengerjainya. Ha-ha. Nikmati pembalasanku.
Setelah Dewa berlalu, tiba-tiba terdengar suara seperti orang menendang meja. Ketika aku menoleh, ternyata dia yang tersandung meja guci. Untung saja bukan gucinya yang jatuh. Melihatnya mengaduh kesakitan, aku makin mentertawakannya. "Seneng banget liat orang sakit," omelnya pelan sambil melirik ke arahku dengan ekor matanya. Kemudian, dia bergegas pergi. "Furi, tolong bantuin Mami." Suara maminya Dewa sontak mengalihkan perhatianku. Gegas aku menghampiri beliau. "Ini, tolong aturin di sini." Beliau menyodorkan piring ceper dan keranjang buah. Setelah itu, Mami beranjak pergi. Katanya beliau ingin mengecek Papi di luar. Usai mengatur puding dan buah, mataku perlahan mengarah ke wastafel. Di sana banyak piring kotor yang menumpuk. Aku langsung menuju tempat pencucian piring tersebut. Baru mencuci satu piring, Bik Marni datang tergopoh-gopoh. Kulihat beliau sangat panik. Kemudian, Bik Marni langsung mengambil alih benda yang kupegang. "Udah, Non, gak usah cuci piring. Biar Bibik a
"Sakit tau!" Dewa langsung membungkam mulutku. "Jangan berisik, nanti Mami dengar." Kemudian, dia melepaskan tangannya. "Iya, tapi sakit banget." Aku meringis kesakitan sambil memegangi lengan. "Halah, manja. Cuma dicubit gitu aja sakit." Dewa bangkit dan menuju sofa di ujung kamar. Dia kembali asyik dengan ponselnya. "Dasar manusia jahat, gak punya perasaan," timpalku geram. Dewa tak menanggapi omelanku, dia justru asyik dengan ponsel. Kuduga dia sedang bermesraan dengan kekasih hatinya. Melihatnya seperti itu, aku makin kesal. "Kenapa nasibku apes banget." Aku meremas-remas bantal. "Salah siapa juga mau dijodohkan. Perempuan aneh." Tiba-tiba Dewa menyolot. Kemudian, dia menghampiriku. Bantal yang kuremas dia ambil, lalu menarik selimut yang terbentang di ujung ranjang. Setelah itu, kulihat dia berbaring di sofa dan masih asyik dengan ponselnya. Tak lama kemudian, dia bergegas bangun. Tampak sedang merogoh saku celananya. Kulihat dia mengeluarkan amplop berwarna putih dan lang
Setelah melakukan penerbangan kurang lebih satu jam lima puluh lima menit, kami tiba di Bandar Udara Ngurah Rai, Bali. Ketika turun dari pesawat, Dewa justru menggandeng Nindi. Mereka sama sekali tak memedulikanku. Dalam hatiku sangat sakit, tapi tak ingin menampakkan pada mereka. Akan kuhadapi permainan mereka dengan cara halus. Ketika menunggu bagasi, hatiku terasa seperti teriris. Dewa malah asyik bermesraan dengan Nindi. Mereka tidak tanggung-tanggung berswafoto bersama. Untung saja tak ada orang yang melihat kekonyolan mereka. Jika sempat ada teman kantor Dewa yang mengetahui, entah apa yang akan terjadi. Terlebih lagi Mami dan Papi. Mereka pasti sangat kecewa karena putra kesayangannya telah mengkhianati jodoh pilihan orang tua. Memandangi dua manusia layaknya sedang dimabuk asmara itu, di dalam sini terasa diremas-remas. Wanita mana yang terima melihat dengan matanya sendiri suaminya bersama wanita lain. Meski kutahu Dewa tak pernah menaruh rasa padaku, hatiku tetap sakit kare
Setelah pintu mobil mewah bergeser menutup, Pak Sopir melaju pelan. Kulihat Nindi masih mematung di sana. Sepertinya dia sangat kesal. Rencana bulan madunya bersama Dewa tergerus sia-sia. Sementara Dewa duduk manis mengenakan kacamata hitam sambil memainkan ponsel. Dia fokus pada benda di tangannya tanpa memperhatikan keberadaanku. Kami seperti orang yang tak saling mengenal. Namun, aku tak peduli. Diriku fokus menikmati suasana kota Bali. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat tenang dan lengang. Berbeda jauh dengan suasana di ibukota. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, Pak Sopir membawa kami ke sebuah resort. Pasalnya tempat kami menginap tersebut telah disiapkan oleh Papi. Ya, mertuaku itu memang telah lama bergelut di dunia bisnis kuliner dan mempunyai banyak rekanan di seluruh kota. Ketika sampai di resort yang berada di daerah Ubud, lelaki berseragam hitam tadi membukakan pintu mobil. Kemudian, aku dan Dewa turun. Tampak di depan sana kami telah disambut oleh o
Sontak Dewa melompat ke arahku. "Eh, jangan. Jangan. Ya udah aku beliin, tapi tunggu aku mandi dulu." Dia langsung beranjak ke kamar mandi. Seketika aku tertawa puas. Pokoknya akan terus kukerjai dia selama masih memperlakukanku tidak baik. Setelah cukup lama menunggu, Dewa keluar dari kamar mandi. Melihatnya datang, seketika aku bernapas lega karena segera mendapat bala bantuan. "Nyusahin aja, sih, kamu." Dewa menggerutu sambil menyisir rambutnya. Aku hanya diam. Dalam hati juga merasa kasihan harus menyuruhnya seperti itu. Tapi, kalau bukan dia siapa lagi yang menolongku? "Pasti kamu sengaja ngerjain aku, kan?" lanjutnya lagi. Kali ini dia mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya. "Ya, daripada aku laporin Mami kalo kamu di sini sama Nindi? Pilih mana?" Dewa sontak menghadap ke arahku. "Dasar, perempuan licik." Dia langsung keluar begitu saja. "Cepetan! Jangan lama-lama!" Aku berteriak dari dalam. Entah dia mendengar atau tidak karena bersamaan dengan pintu yang ter
"Astaga. Untung aja HP-ku gak ikut jatuh." Nindi berteriak dari arah sawah.Aku sontak melongo. Dalam keadaan seperti itu masih sempat memikirkan hartanya. Ah iya, aku lupa. Bagaimana dia tidak kepikiran jika ponselnya jatuh? Ponsel yang kupegang ini senilai puluhan juta. Maklum ponsel terkenal dengan tiga mata kamera bermerek Ipun. Sontak Dewa menatapku, lalu mengalihkan pandangan ke Nindi. Seketika kulihat lelaki di sampingku itu tertawa. Namun, saat itu juga dia segera menutupi. "Astaga, Nindi. Ngapain kamu di sana?" Dewa juga tampak heran. Kulihat Nindi sebagian kakinya telah dipenuhi lumpur. Wajahnya yang cantik seketika terlihat tak bercahaya. Dia sepertinya benar-benar marah. "Jangan banyak tanya. Cepetan bantuin!" tekan Nindi. Dewa mengulurkan tangannya pada Nindi. Wanita itu pun segera naik, tapi kulihat sandalnya tak ada. Astaga. Rasanya aku ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat penampilan si Glowing itu. Saat ini bukan lagi Glowing namanya, tapi si Butek. "Pasti k
"Kamu, sih, ngomongin tempat tidur aja sampe ribut. Kedengeran sama Mami, kan? Tambah lagi Mami salah paham." Aku mengomel pada Dewa. Kulihat suamiku itu sedang duduk sambil memegangi ponselnya. Sejenak pandangannya mengarah padaku. "Emang kenapa? Bagus, kan biar Mami gak curiga sama kita." "Iya, deh, terserah kamu." Aku bangkit dan berjalan menuju jendela. Sesaat kulirik ke arah Dewa, dia masih saja asyik dengan benda yang berada di tangannya. Seketika dia senyum-senyum sendirian. Kuduga dia sedang asyik pacaran dengan Nindi. Hatiku rasanya seperti terbakar. Lagi-lagi kukendalikan diri. "Awas, aku mau tidur." Kuusir Dewa dari tempat tidur. Sontak matanya melotot ke arahku. "Udah kubilang kamu yang tidur di bawah." "Gak mau. Laki-laki apaan kamu? Sama perempuan aja gak mau ngalah. Minggir." Kutepuk pundaknya. "Nggak sopan." Dewa makin emosi. "Habisnya kamu diusir secara halus gak mau minggir, ya udah aku kasarin aja sekalian." Perlahan Dewa berdiri. Dia sejenak mematung sambil
Dewa mondar-mandir sambil memegangi perutnya. Berkali-kali pula dia ke kamar mandi. Melihatnya seperti itu sempat terlintas rasa iba padanya. Namun, diriku sudah kehabisan cara agar Dewa tidak terus menerus menyakiti hatiku. Entah mengapa makin hari rasa cintaku padanya semakin tumbuh subur."Ah, kenapa rencanaku setiap mau ketemuan sama Nindi selalu gagal." Dewa mengomel sambil bolak balik kamar mandi."Pasti kamu senang, kan?" Dewa bersuara lantang.Sontak aku menoleh ke arahnya lagi, lalu menunjuk diriku sendiri. "Aku? Apa hubungannya sama aku?" Kupasang wajah datar."Kamu gak suka, kan kalo aku ketemu sama Nindi?" Lelaki berwajah tegas itu menekan kalimatnya.Namun, aku berusaha tenang. "Aku sama sekali gak masalah kalo kamu ketemuan sama Nindi. Tuhan aja yang gak restui hubungan kalian. Buktinya selalu gagal, kan? Niat kamu jelek, sih.""Huh, dasar perempuan nyebelin. Kenapa juga aku dijodohkan sama kamu. Pembawa sial aja." Dewa kali ini bangkit."Pembawa sial? Gak salah, tuh? Ka