Share

Bab 03

Penulis: Ririn Irma
last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-09 16:27:38

Ada belek, di matamu

Kunyanyikan lagu dengan lirik seperti itu. Dewa spontan membelalakkan mata padaku. Kemudian, dia segera mengarahkan ponsel di hadapannya, lalu membersihkan kedua sudut mata menggunakan jari telunjuknya. Melihatnya seperti itu, aku makin tertawa puas.

"Mana? Gak ada, kok." Dewa kembali menatapku nyalang. 

Aku spontan tertawa lepas. "Tuh, di sebelah kanan pojok." Kutunjuk di mataku sendiri.

Dewa kembali menggerakkan jari telunjuknya ke tempat yang kumaksud. "Mana? Gak ada."

"Emang enak dikerjain."

"Awas, ya." Dewa langsung mengepalkan tangannya.

"Eh, ngomong-ngomong kamu gak sholat?" Aku mengalihkan pembicaraan.

Dewa kembali menatapku tajam. "Udah. Sebelum kamu bangun aku udah bangun duluan."

"Masa? Pasti kamu bohong."

"Tuh, liat aja ada sajadahku di sana." Dewa menunjuk jemuran handuk yang kosong. Memang benar, ada sajadah yang dilipat di atas sana.

"Makanya kalo tidur itu jangan kayak kuda yang mau lari." Kini Dewa gantian yang meledekku.

Aku seketika mengernyitkan dahi. "Gak ada bukti, berarti hoax."

Perlahan Dewa berjalan ke arahku sambil memegang ponsel. Kemudian, dia menyodorkan benda yang ada di tangannya itu. "Nih, buktinya. No hoax, kan?"

Aku sontak terkejut. Ternyata benar Dewa telah mengambil fotoku ketika tidur. Terlebih memalukan lagi pose tidurku yang sangat lucu. Astaga.

"Gak. Aku gak pernah tidur kayak gitu. Itu pasti tadi pas aku bergerak pas kamu foto, makanya hasilnya kayak gitu." Aku terus saja mengelak.

"Emang pose tidurmu aja yang gak karuan. Pokoknya, kamu berani macem-macem sama aku, foto ini akan kusebarkan."

"Haha .... Satu sama, kan?" lanjutnya sambil kembali ke sofa tempatnya semula, masih dengan suara tawa yang makin berderai.

Aku tak bisa berkata-kata. Mampus, ternyata Dewa telah lebih dulu berulah. Awas saja balasan dariku. Aku terus berpikir bagaimana caranya untuk kembali mengerjai Dewa. Lihat saja nanti.

***

Sore ini, aku dan Dewa akan pulang ke rumah orang tuanya. Ketika keluar kamar hotel, ternyata suamiku itu telah berjalan terlebih dahulu tanpa menghiraukanku yang menggeret koper sendirian. Kulihat dia malah asyik melenggang sambil membawa tas ransel yang isinya hanya bajunya saja.

"Tunggu!" teriakku sedikit terengah-engah sambil terus menggeret koper.

"Cepetan. Bawa koper segitu aja gak bisa. Gimana nanti kalo kamu tinggal di asrama terus mau ganti galon? Jangan bilang aku yang bantu, ya. Jadi istri tentara itu harus mandiri, serba bisa." Dewa menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke belakang.

Aku melenguh kesal. Dasar, lelaki arogan. Tak bisakah sedikit saja membantu seorang wanita? Di mana jiwa sosialnya? Aku terus saja menggerutu dalam hati. Mimpi apa bisa punya suami seperti itu. Apes.

"Emang aku pembantu? Kamu mau jadiin istri cuma jadi pembantu?" Kutatap lekat-lekat wajah Dewa ketika tiba di sampingnya.

Namun, Dewa justru membalas tatapanku tak kalah nyalang. Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin dia tersinggung atau marah dengan ucapanku. Masa bodoh, dia sendiri kalau berbicara tak pernah memedulikan perasaanku.

"Jangan lama-lama liatnya, nanti jatuh cinta." Aku meledek dengan sedikit tawa seolah mengejek.

Tanpa merespons ucapanku, Dewa langsung berjalan kembali sambil membenahi tas ransel yang berada di punggungnya.

Gegas kukejar Dewa yang langkahnya tak bisa kuimbangi. Langkahnya yang panjang membuatku ngos-ngosan setengah berlari. Dia berjalan keluar hotel saja sudah seperti jalan longmars.

Ketika sampai di parkiran mobil, kulihat Dewa langsung memasukkan tasnya ke bagasi. Baru saja hendak kumasukkan barangku juga, dia kembali menutup pintu.

"Hei, koperku belum masuk." 

Dewa spontan menatapku. "Makanya kalau mau nginep di hotel semalam aja jangan bawa barang banyak-banyak. Dah kayak orang liburan aja." Dia langsung membukakan pintu, lalu memasukkan koperku.

Setelah masuk ke mobil, Dewa segera melajukan kendaraan menuju rumahnya. Selama perjalanan, kami sama sekali tidak saling bicara. Entah pasangan seperti apa kami ini. Tak berselang lama, ponsel Dewa berdering. Tangan kekarnya sigap meraih benda tersebut yang berada di dasboard.

"Iya, Sayang. Jadi. Aku baru mau pulang, nih. Tunggu aku, ya. Muah." Dewa meletakkan kembali ponselnya ke atas dashboard.

Dia melirik ke arahku sejenak, lalu tersenyum menyeringai. Sepertinya dia memang ingin memamerkan kemesraannya dengan kekasih hatinya.

"Kenapa?" Dewa mengangkat kedua alisnya yang tebal.

Aku mengendikkan bahu sambil mengernyit. "Gak ada. Bangga gitu, bisa pamer kemesraan di depanku? Kamu pikir aku sakit hati? No.

"Baguslah." Dewa berbicara tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Dia terus fokus menyetir.

Tak terasa mobil memasuki pelataran rumah mewah milik orang tua Dewa. Ternyata mami dan papinya Dewa telah menyambut kedatangan kami.

"Gimana, Sayang? Menyenangkan gak?" Mami langsung memelukku, lalu membawaku masuk rumah.

"Tunggu, Mi. Barangku masih ada di dalam mobil." Aku menghentikan langkah sejenak.

"Udah, gampang itu. Nanti biar Dewa yang bawa masuk."

"Wa, jangan lupa koper Furi bawa masuk sekalian." Ibu mertuaku menoleh ke belakang.

Dalam hati aku sangat senang. Rasakan, dari tadi dia jual mahal tak mau membawakan koperku, sekarang tak bisa menolak lagi. Aku seketika tersenyum puas.

"Kok aku, sih, Mi? Biar Mang Dikin aja nanti yang bawa masuk," jawab Dewa sambil asyik menatap ponsel yang berada di genggamannya. Kuduga dia sedang sibuk dengan Nindi.

"Masa barang istrimu dibawakan sama Mang Dikin? Kamu, dong sebagai suaminya." Ibu mertuaku menolak saran dari Dewa.

"Iya, iya. Nanti Dewa yang bawain ke dalam."

Aku makin tertawa puas. Rasain.

Kemudian, aku dan mertuaku berjalan masuk rumah. Beliau membawaku ke ruang makan. Kulihat berbagai hidangan telah tersaji di atas meja. Tampak pula asisten rumah tangga ada yang sedang mengatur buah di keranjang.

"Mau ada acara apa, Mi?" tanyaku penasaran.

Secara bersamaan, Dewa telah datang sambil membawakan koperku. Dia langsung meletakkan di sembarang tempat.

"Gak ada, Sayang. Cuma mau menyambut pengantin baru. Mami pengen kamu makan yang banyak biar ada tenaga buat pertempuran nanti malam. Mami pengen cepet punya cucu."

 

"Uhuk, uhuk." Tiba-tiba Dewa terbatuk.

"Iya, kan, Dewa?" Mami gantian mengarahkan pandangan pada putra tunggalnya yang sedang berdiri mematung. Kemudian, beliau beranjak membantu Bibik yang sedang menyiapkan makanan.

"I-iya, Mi. Pasti nanti Mami bakal punya cucu." Dewa perlahan berjalan ke arahku, lalu merangkul pundakku. "Iya, kan, Sayang." Dewa langsung menginjak kakiku.

Sontak aku kaget. "I-iya, Mi."

Kemudian, Dewa melepaskan rangkulannya sambil berbisik di telingaku. "Aku mau punya anak, tapi bukan sama kamu."

Aku hanya meringis menahan sakit. Untung dia tidak menginjak kakiku menggunakan sepatu PDL. Seketika mataku memindai sekitar. Bersyukur maminya Dewa tak mendengar dan melihat tingkah konyol anaknya.

Ketika Dewa berjalan melewatiku, dengan sengaja kusenggol kakinya hingga membuatnya nyaris terjatuh. 

Sigap aku berpura-pura menolongnya. "Kalau jalan itu hati-hati, Sayang." Spontan aku tertawa lepas, tapi segera kubungkam mulutku sendiri menggunakan telapak tangan.

Dewa langsung menatapku nyalang sambil mengepalkan tangannya di bawah. Namun, aku sudah cukup puas mengerjainya. Ha-ha. Nikmati pembalasanku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 102

    Mataku mendadak terbuka ketika mendengar pengumuman olahraga dari masjid. Sigap aku beringsut seraya mengusap-ngusap mata. Berkali-kali kututup mulut karena menguap. Di saat sedang enak-enaknya istirahat, harus terbangun untuk mengikuti kegiatan. Ah, nikmatnya menjadi istri tentara.Segera kulihat jam di ponsel, ternyata telah memasuki waktu asar. Segera kutunaikan salat empat rakaat tersebut, lalu bersiap-siap pergi ke kompi. Tak lama kemudian, ponselku berdering tanda pesan masuk.[Jangan lupa olahraga di kompi]Isi pesan dari Dewa. Ya, suamiku itu belum pulang kantor karena harus lembur lagi. Maklum, Dewa saat ini sedang BP di Staf Pers sehingga sedikit sibuk mengurusi data personil di batalyon ini.Setelah membaca, segera kukirim pesan balasan. [Oke, ini lagi siap-siap]Kemudian, pesanku hanya dibalas dengan emoticon jempol.Setelah semua beres, aku keluar dan mengenakan sepatu. Tampak tetangga berlalu-lalang di jalan mengenakan seragam olahraga, termasuk tetangga sebelahku. Rupan

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 101

    "Kamu kenapa, sih? Ketawa aja, nanti dikira kita ngapain lagi," kata Dewa sambil menatapku heran."Itu, lho. Aku ingat Bu Dar. Lucu banget, ya, dia." Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Eh, apa iya dia satu kompi dengan kita?"Dewa mengangguk, lalu gantian tertawa. "Kenapa?" "Males aja ketemu dia lagi. Dia pasti bakal resek sama aku. Tau gak, tadi pertemuan dia bertengkar sama Bu Soni gara-gara air minum. Kalau gak ingat dia senior, mungkin udah aku siram pake air Bu Dar," sahutku seraya memberi tahu kejadian saat pertemuan tadi."Gak boleh gitu. Biarin aja dia berkembang. Intinya bukan kita yang duluan." Lagi-lagi Dewa menasihatiku. Ya, suamiku itu tidak suka jika aku ingin membalas perbuatan jahat orang."Eh, si Abang Ganjen tadi ngomong apa aja di luar? Dia gak main mata lagi sama kamu, kan?" Dewa segera mengalihkan pembicaraan.Aku langsung memasang wajah memelas. "Ya ampun, Om Ferdi itu kasian banget. Ternyata dia itu sakit saraf. Kamu juga, sih, kenapa gak kasih tau aku."Wajah De

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 100

    Spontan kutowel lengan tetanggaku itu. "Ah, Bu Soni malah ngeledek saya." Kemudian, aku segera pamit pulang karena teringat Dewa yang sedang makan di rumah."Makasih, ya, Tante Dewa.""Sama-sama, Bu Son." Kemudian, aku keluar dari rumah Bu Soni.Ketika di luar, kusempatkan menoleh ke arah sebelah. Tampak Om Ferdi sedang duduk di teras. Kali ini dia diam, tidak menyapaku lagi. Seketika aku merasa iba. Selama ini telah salah sangka padanya, padahal dia sedang sakit.Aku pun bergegas melompat tembok pembatas antara rumahku dan rumah Bu Soni. Begitu hendak masuk, suara Bu Dar mengejutkanku."Wah, yang ditunjuk jadi pengurus cabang. Gak ada acara makan-makan gitu?" celetuk Bu Dar dari teras rumahnya. Sepertinya dia baru saja pulang.Aku seketika menahan langkah dan berdiri di depan pintu seraya tersenyum ke arah tetangga kepoku itu."Siapa yang mau diangkat jadi pengurus cabang, Bulek?" tanya Om Ferdi."Siapa lagi kalau bukan tetangga kita yang cantik itu." Lagi-lagi Bu Dar menimpali sambi

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 99

    Tepat jam setengah delapan malam, Dewa pun pulang. Kulihat wajahnya tampak berminyak. Pakaian yang pagi tadi dikenakan telah berubah menjadi kusut. Sepertinya suamiku itu benar-benar sibuk di kantor."Udah pulang?" Kusodorkan tangan seraya mendekatkan kening.Dewa seketika menyambar keningku. Kemudian, aku bergegas ke dapur seraya mengambilkannya air minum. Setelah itu, aku kembali memberikan pada suamiku. Dia Kun segera meneguk air minum hingga tandas."Kamu tadi pulang jam berapa?" tanya Dewa sambil memelukku dan menuntun masuk kamar."Pas magrib tadi. Aku udah masak lho.""Masak apa?" Dewa memandangiku lekat."Masak tongseng sapi," jawabku sambil terkekeh."Kok malah ketawa?" Dewa masih memandangku intens."Soalnya gak tau enak apa enggak." Aku bergegas ke dapur dan menyiapkan makan malam.Tak berselang lama, Dewa menghampiriku. Dia membuka tudung saji, sementara tangan kanannya melingkar di pundakku. Kemudian, kuambil piring dan meletakkan nasi serta tongseng.Selajutnya, Dewa dud

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 98

    Segera kuambil ponsel, lalu kubuka semua hasil tangkapan layar yang dikirim Dewa padaku. Melihat gambar tersebut, Winda seketika tampak lemas. Wajahnya yang tadi bengis, kini berubah menjadi seperti mayat hidup. Rasakan!Sesaat kemudian, dia kembali menampilkan wajah bengisnya. "Kurang ajar kamu. Kamu tau rumahku dari mana?"Aku terbahak seketika. "Kamu mau tau? Yang SMS-an kemarin malam itu bukan Dewa, tapi aku."Sontak Winda membalikkan badan menghadap ke arahku. Wajahnya benar-benar merah padam."Kamu mau macem-macem lagi? Apa perlu sekarang aku panggil suamimu?"Namun, wanita tak tahu malu itu justru menantangku. "Semakin kamu seperti ini, semakin aku ganggu suamimu."Mendengar ucapannya barusan, aku lunglai seketika. Tapi, segera kuputar otak untuk menghadapi wanita gatal itu. Mulai kuredam sedikit amarahku. Ya, aku baru sadar, orang seperti Winda sepertinya tidak bisa dikasar. Lagi pula kalau diriku memaksakan ribut di rumah wanita itu, pasti akan menambah masalah baru. Apalagi

  • Aku, Istri Pilihan Orang Tuamu!   Bab 97

    "Ibu-ibu, terima kasih atas kerjasamanya hari ini, ya? Kalau yang mau pulang, silakan pulang. Biar kursi sama bunganya nanti diangkatin sama om bujangan aja." Ibu Ketua kembali bersuara.Aku pun bernapas lega. Setelah berpamitan, aku melangkah keluar. Kemudian, segera kuhubungi Dewa lagi. Beberapa kali bunyi nada sambung, teleponku pun terhubung."Kamu dari mana aja, sih? Aku telepon gak diangkat-angkat. Perasaan tadi aku liat ibu-ibu udah pulang pertemuan. Kamu, kok, belum pulang? Tadi aku ngecek ke rumah, kamu gak ada. Kamu di mana?" cerocos Dewa bak kereta api dari seberang.Sejenak aku berhenti di depan pintu aula. "Woi, ngomong itu pake koma."Namun, Dewa justru meledekku. "Gak mau, kalau koma nanti aku gak bisa liat wajahmu yang cantik lagi."Aku seketika tergelak. Alamak, sejak kapan Dewa bisa menggombal? "Tanda koma. Bukan koma, gak sadarkan diri." Balasku seraya meledeknya kembali."Iya, iya, Sayangku. Kamu sekarang di mana?" Dewa bertanya ulang."Aku masih di aula. Eh, tau g

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status