Share

Bab 03

Ada belek, di matamu

Kunyanyikan lagu dengan lirik seperti itu. Dewa spontan membelalakkan mata padaku. Kemudian, dia segera mengarahkan ponsel di hadapannya, lalu membersihkan kedua sudut mata menggunakan jari telunjuknya. Melihatnya seperti itu, aku makin tertawa puas.

"Mana? Gak ada, kok." Dewa kembali menatapku nyalang. 

Aku spontan tertawa lepas. "Tuh, di sebelah kanan pojok." Kutunjuk di mataku sendiri.

Dewa kembali menggerakkan jari telunjuknya ke tempat yang kumaksud. "Mana? Gak ada."

"Emang enak dikerjain."

"Awas, ya." Dewa langsung mengepalkan tangannya.

"Eh, ngomong-ngomong kamu gak sholat?" Aku mengalihkan pembicaraan.

Dewa kembali menatapku tajam. "Udah. Sebelum kamu bangun aku udah bangun duluan."

"Masa? Pasti kamu bohong."

"Tuh, liat aja ada sajadahku di sana." Dewa menunjuk jemuran handuk yang kosong. Memang benar, ada sajadah yang dilipat di atas sana.

"Makanya kalo tidur itu jangan kayak kuda yang mau lari." Kini Dewa gantian yang meledekku.

Aku seketika mengernyitkan dahi. "Gak ada bukti, berarti hoax."

Perlahan Dewa berjalan ke arahku sambil memegang ponsel. Kemudian, dia menyodorkan benda yang ada di tangannya itu. "Nih, buktinya. No hoax, kan?"

Aku sontak terkejut. Ternyata benar Dewa telah mengambil fotoku ketika tidur. Terlebih memalukan lagi pose tidurku yang sangat lucu. Astaga.

"Gak. Aku gak pernah tidur kayak gitu. Itu pasti tadi pas aku bergerak pas kamu foto, makanya hasilnya kayak gitu." Aku terus saja mengelak.

"Emang pose tidurmu aja yang gak karuan. Pokoknya, kamu berani macem-macem sama aku, foto ini akan kusebarkan."

"Haha .... Satu sama, kan?" lanjutnya sambil kembali ke sofa tempatnya semula, masih dengan suara tawa yang makin berderai.

Aku tak bisa berkata-kata. Mampus, ternyata Dewa telah lebih dulu berulah. Awas saja balasan dariku. Aku terus berpikir bagaimana caranya untuk kembali mengerjai Dewa. Lihat saja nanti.

***

Sore ini, aku dan Dewa akan pulang ke rumah orang tuanya. Ketika keluar kamar hotel, ternyata suamiku itu telah berjalan terlebih dahulu tanpa menghiraukanku yang menggeret koper sendirian. Kulihat dia malah asyik melenggang sambil membawa tas ransel yang isinya hanya bajunya saja.

"Tunggu!" teriakku sedikit terengah-engah sambil terus menggeret koper.

"Cepetan. Bawa koper segitu aja gak bisa. Gimana nanti kalo kamu tinggal di asrama terus mau ganti galon? Jangan bilang aku yang bantu, ya. Jadi istri tentara itu harus mandiri, serba bisa." Dewa menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke belakang.

Aku melenguh kesal. Dasar, lelaki arogan. Tak bisakah sedikit saja membantu seorang wanita? Di mana jiwa sosialnya? Aku terus saja menggerutu dalam hati. Mimpi apa bisa punya suami seperti itu. Apes.

"Emang aku pembantu? Kamu mau jadiin istri cuma jadi pembantu?" Kutatap lekat-lekat wajah Dewa ketika tiba di sampingnya.

Namun, Dewa justru membalas tatapanku tak kalah nyalang. Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin dia tersinggung atau marah dengan ucapanku. Masa bodoh, dia sendiri kalau berbicara tak pernah memedulikan perasaanku.

"Jangan lama-lama liatnya, nanti jatuh cinta." Aku meledek dengan sedikit tawa seolah mengejek.

Tanpa merespons ucapanku, Dewa langsung berjalan kembali sambil membenahi tas ransel yang berada di punggungnya.

Gegas kukejar Dewa yang langkahnya tak bisa kuimbangi. Langkahnya yang panjang membuatku ngos-ngosan setengah berlari. Dia berjalan keluar hotel saja sudah seperti jalan longmars.

Ketika sampai di parkiran mobil, kulihat Dewa langsung memasukkan tasnya ke bagasi. Baru saja hendak kumasukkan barangku juga, dia kembali menutup pintu.

"Hei, koperku belum masuk." 

Dewa spontan menatapku. "Makanya kalau mau nginep di hotel semalam aja jangan bawa barang banyak-banyak. Dah kayak orang liburan aja." Dia langsung membukakan pintu, lalu memasukkan koperku.

Setelah masuk ke mobil, Dewa segera melajukan kendaraan menuju rumahnya. Selama perjalanan, kami sama sekali tidak saling bicara. Entah pasangan seperti apa kami ini. Tak berselang lama, ponsel Dewa berdering. Tangan kekarnya sigap meraih benda tersebut yang berada di dasboard.

"Iya, Sayang. Jadi. Aku baru mau pulang, nih. Tunggu aku, ya. Muah." Dewa meletakkan kembali ponselnya ke atas dashboard.

Dia melirik ke arahku sejenak, lalu tersenyum menyeringai. Sepertinya dia memang ingin memamerkan kemesraannya dengan kekasih hatinya.

"Kenapa?" Dewa mengangkat kedua alisnya yang tebal.

Aku mengendikkan bahu sambil mengernyit. "Gak ada. Bangga gitu, bisa pamer kemesraan di depanku? Kamu pikir aku sakit hati? No.

"Baguslah." Dewa berbicara tanpa menoleh sedikit pun ke arahku. Dia terus fokus menyetir.

Tak terasa mobil memasuki pelataran rumah mewah milik orang tua Dewa. Ternyata mami dan papinya Dewa telah menyambut kedatangan kami.

"Gimana, Sayang? Menyenangkan gak?" Mami langsung memelukku, lalu membawaku masuk rumah.

"Tunggu, Mi. Barangku masih ada di dalam mobil." Aku menghentikan langkah sejenak.

"Udah, gampang itu. Nanti biar Dewa yang bawa masuk."

"Wa, jangan lupa koper Furi bawa masuk sekalian." Ibu mertuaku menoleh ke belakang.

Dalam hati aku sangat senang. Rasakan, dari tadi dia jual mahal tak mau membawakan koperku, sekarang tak bisa menolak lagi. Aku seketika tersenyum puas.

"Kok aku, sih, Mi? Biar Mang Dikin aja nanti yang bawa masuk," jawab Dewa sambil asyik menatap ponsel yang berada di genggamannya. Kuduga dia sedang sibuk dengan Nindi.

"Masa barang istrimu dibawakan sama Mang Dikin? Kamu, dong sebagai suaminya." Ibu mertuaku menolak saran dari Dewa.

"Iya, iya. Nanti Dewa yang bawain ke dalam."

Aku makin tertawa puas. Rasain.

Kemudian, aku dan mertuaku berjalan masuk rumah. Beliau membawaku ke ruang makan. Kulihat berbagai hidangan telah tersaji di atas meja. Tampak pula asisten rumah tangga ada yang sedang mengatur buah di keranjang.

"Mau ada acara apa, Mi?" tanyaku penasaran.

Secara bersamaan, Dewa telah datang sambil membawakan koperku. Dia langsung meletakkan di sembarang tempat.

"Gak ada, Sayang. Cuma mau menyambut pengantin baru. Mami pengen kamu makan yang banyak biar ada tenaga buat pertempuran nanti malam. Mami pengen cepet punya cucu."

 

"Uhuk, uhuk." Tiba-tiba Dewa terbatuk.

"Iya, kan, Dewa?" Mami gantian mengarahkan pandangan pada putra tunggalnya yang sedang berdiri mematung. Kemudian, beliau beranjak membantu Bibik yang sedang menyiapkan makanan.

"I-iya, Mi. Pasti nanti Mami bakal punya cucu." Dewa perlahan berjalan ke arahku, lalu merangkul pundakku. "Iya, kan, Sayang." Dewa langsung menginjak kakiku.

Sontak aku kaget. "I-iya, Mi."

Kemudian, Dewa melepaskan rangkulannya sambil berbisik di telingaku. "Aku mau punya anak, tapi bukan sama kamu."

Aku hanya meringis menahan sakit. Untung dia tidak menginjak kakiku menggunakan sepatu PDL. Seketika mataku memindai sekitar. Bersyukur maminya Dewa tak mendengar dan melihat tingkah konyol anaknya.

Ketika Dewa berjalan melewatiku, dengan sengaja kusenggol kakinya hingga membuatnya nyaris terjatuh. 

Sigap aku berpura-pura menolongnya. "Kalau jalan itu hati-hati, Sayang." Spontan aku tertawa lepas, tapi segera kubungkam mulutku sendiri menggunakan telapak tangan.

Dewa langsung menatapku nyalang sambil mengepalkan tangannya di bawah. Namun, aku sudah cukup puas mengerjainya. Ha-ha. Nikmati pembalasanku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status