Setelah pintu mobil mewah bergeser menutup, Pak Sopir melaju pelan. Kulihat Nindi masih mematung di sana. Sepertinya dia sangat kesal. Rencana bulan madunya bersama Dewa tergerus sia-sia.
Sementara Dewa duduk manis mengenakan kacamata hitam sambil memainkan ponsel. Dia fokus pada benda di tangannya tanpa memperhatikan keberadaanku. Kami seperti orang yang tak saling mengenal.
Namun, aku tak peduli. Diriku fokus menikmati suasana kota Bali. Sepanjang jalan yang kami lalui sangat tenang dan lengang. Berbeda jauh dengan suasana di ibukota.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, Pak Sopir membawa kami ke sebuah resort. Pasalnya tempat kami menginap tersebut telah disiapkan oleh Papi. Ya, mertuaku itu memang telah lama bergelut di dunia bisnis kuliner dan mempunyai banyak rekanan di seluruh kota.
Ketika sampai di resort yang berada di daerah Ubud, lelaki berseragam hitam tadi membukakan pintu mobil. Kemudian, aku dan Dewa turun. Tampak di depan sana kami telah disambut oleh owner juga beberapa karyawannya.
Mereka sangat ramah dan sopan. Seragamnya pun menunjukkan identitas kota ini. Kemudian, salah satu karyawan mengalungkan bunga padaku juga Dewa. Aku seketika merasa bak ratu. Kami diperlakukan sangat istimewa. Namun sayang, pernikahanku tak seistimewa perlakuan mereka.
Setelah itu, mereka mengarahkan kami ke tempat di mana kami harus menginap. Suasana resort-nya berbeda dengan resort-resort pada umumnya. Lokasi di pertengahan sawah yang membuat kesan tradional dan alami, tapi menenangkan.
"Jangan bangga kamu. Kamu bisa seperti ini juga karena nikah sama aku," bisik Dewa ketika kami berjalan menuju kamar.
"Enak aja. Kamu juga bisa kayak gini karena nikah sama aku. Coba aja kalo kamu nentang Papi, terus nikahin si Glowing itu. Gak bakalan diperlakukan istimewa gini. Jelek-jelek gini kesayangan Papi sama Mami kamu," balasku tak mau kalah.
"Baguslah kalo kamu sadar diri. Jelek, jorok, bau. Gak ada istimewanya." Dewa mempercepat langkahnya meninggalkanku berjalan di belakang.
"Awas, ya. Sekarang kamu hina aku. Awas kalo sampe jatuh cinta." Aku berteriak dari belakang. Masa bodoh dengan karyawan resort yang mendengar perdebatan kami.
Sontak Dewa menghentikkan langkahnya dan menoleh ke arahku. "Gak bakalan." Kemudian, dia menjulurkan lidahnya dan kembali berjalan meninggalkanku.
Ketika tiba di depan kamar. Karyawan yang mengantar kami telah membukakan pintu. Aku sangat terpukau dengan suasananya. Wangi pengharum ruangan aromatherapy seketika menguar ke indera penciuman. Aku makin merasa tenang dan nyaman. Ternyata mertuaku tak salah memilihkan lokasi.
"Selamat bersenang-senang. Maaf, saya pamit dulu," kata salah satu karyawan sambil menyerahkan kunci.
"Terima kasih, Mas." Tanpa sengaja aku dan Dewa menjawab bersamaan. Setelah itu, kami hendak bersamaan masuk. Namun, sejenak langkahku terhenti, lalu saling pandang.
"Apa, sih. Ikut-ikutan aja terus," omel Dewa. Dia terlihat sangat kesal.
"Kamu yang ikut-ikutan. Orang aku mau masuk, kok."
"Ya udah, kamu duluan." Akhirnya Dewa yang mengalah dan mempersilakanku masuk terlebih dahulu.
Setelah berada di dalam, mataku tak henti memindai seluruh ruangan. Kemudian, aku mengarah ke jendela dan membuka gorden. Lagi-lagi aku disuguhi pemandangan yang menakjubkan. Hamparan padi terbentang luas menyejukkan mata.
"Ah, sial! Rencanaku sama Nindi gagal total!" Terdengar Dewa mendengkus kasar.
Spontan pandanganku mengarah padanya. Kulihat Dewa merebahkan badannya di atas kasur tanpa melepas sepatu dan posisi tangan memegangi kepalanya. Aku hanya diam memperhatikan tingkahnya yang seperti orang frustrasi. Jika kuladeni ucapannya, kami bisa saja berdebat. Percuma.
"Pasti kamu senang, kan, liat rencanaku sama Nindi gagal?" Dewa kembali bersuara.
"Gak salah denger?" Aku perlahan berjalan mendekati Dewa.
Dia masih berbaring menatap langit-langit kamar. Entah apa yang dia pikirkan. Ah, pasti dia sedang memikirkan kekasih hatinya itu.
"Udahlah, terima dengan ikhlas aja pernikahan ini. Daripada kayak gini terus, kamu yang susah."
Spontan Dewa bangun dan langsung berdiri tepat di hadapanku. "Apa kamu bilang? Terima pernikahan ini? Gila. Kamu nyuruh aku nerima pernikahan dengan orang yang aku gak cinta? Kamu itu benar-benar udah gak waras." Dia menyilangkan kedua jari telunjuknya di kening.
Belum sempat kubalas ucapannya, ponselku mendadak berdering. Gegas aku menuju sumber suara dan mengambil benda tersebut dari dalam tas. Sontak mataku melebar ketika melihat Mami melakukan panggilan video.
"Mami, video call."
Dewa langsung membawaku duduk di tepi ranjang. Sejenak kuarahkan pandangan padanya. Namun, dia justru membalas tatapanku sangat tidak bersahabat.
"Jangan GR kamu. Ingat, ini cuma sandiwara. Ikuti permainanku."
"Oke, aku akan ikuti permainanmu." Tanganku langsung menggeser tombol hijau ke atas dan panggilan video dari Mami langsung terhubung.
"Kita udah nyampe resort, Mi. Di sini pemandangannya bagus banget. Owner sama karyawannya juga ramah-ramah," ucapku mengawali percakapan. Kulihat Mami di sana seperti mengamati sesuatu.
"Halo, Mi. Iya, Mi, di sini enak banget." Tiba-tiba Dewa merangkul pundakku. Namun, aku tak bisa berkutik karena kutahu ini bagian dari permainannya.
"Ya ampun, Mami senang banget kalo liat kalian berdua mesra seperti itu," timpal Mami dengan raut wajah semringah.
Dewa seketika merapikan anak rambutku yang berantakan. Dia juga mengusap kepalaku sangat lembut. Ah, dasar. Meski begitu, entah kenapa aku sangat menikmati setiap perlakuan palsunya.
"Ya udah kalo gitu, kalian lanjutin lagi senang-senangnya." Mami langsung mengakhiri panggilan.
Setelah itu, Dewa mendorongku agar menjauh. "Sana! Itu tadi cuma akting. Jangan ke-GR-an kamu."
Aku pun berjalan menjauhinya. "Kamu juga jangan ambil kesempatan dalam kesempitan. Alasan akting padahal mau megang-megang." Aku tak mau kalah. Namun, masih kurasakan tangan kekarnya ketika membelaiku tadi.
Dewa makin melebarkan matanya. "Gak bakalan. Mau kamu kayak apa juga aku gak bakal tertarik. Manusia gak ada istimewanya."
"Ah, sialan! Di ruangan ini gak ada sofa," lanjut Dewa dengan nada setengah emosi.
Mataku ikut memindai ke sekitar. Aku juga baru sadar di ruangan seluas ini tak ada sofa di dalamnya. Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa harus kami tidur dalam satu ranjang? Ah, tidak. Tak akan kubiarkan hal itu terjadi. Bagaimana pun caranya akan kubuat Dewa yang tidur di lantai.
Mendadak aku ingin buang air kecil. Kebetulan badanku juga terasa gerah. Langsung saja kuambil baju handuk dan sekalian mandi.
Ketika di dalam toilet, aku tercengang. "Astaga. Aku halangan. Mana gak bawa pembalut lagi." Aku terus menggerutu.
Usai mandi, aku segera keluar mengenakan baju handuk. Diriku mondar-mandir tak tenang. Ingin meminta tolong pada Dewa, tapi malu. Pasti juga dia tak akan mau jika kumintai pertolongan.
"Kamu kenapa mondar-mandir aja di sana?" Dewa rupanya memperhatikanku.
Aku hanya diam, tak menanggapi ucapannya sepatah kata. Entah kenapa bibirku terasa kelu. Aku sangat malu jika harus mengutarakan apa yang sedang kualami.
Namun, jika aku terus-terusan seperti ini tak akan kutemui jalan keluar. Akhirnya, kutarik napas dalam-dalam dan memberanikan diri untuk memberi tahu Dewa.
"Dewa."
"Hem." Dewa menjawab tanpa sedikit pun menoleh padaku. Dia masih asyik memainkan ponsel sambil duduk di tepi ranjang.
"Kenapa?" lanjutnya lagi. Namun, kali ini dia menoleh ke arahku.
"Aku bisa minta tolong gak?"
Matanya kian melebar. "Minta tolong apa?"
"Aku dapet. Terus aku gak bawa pembalut. Bisa gak kamu tolong beliin aku?"
Mata Dewa makin melotot hingga hampir terlepas dari rongganya. "Pembalut? Astaga! Gak, gak mau. Kamu suruh aja karyawan resort ini." Dia terang-terangan menolak.
"Gak enak, masa orang lain yang beliin aku pembalut?"
"Terus apa bedanya juga sama aku?" timpal Dewa ketus.
"Kamu, kan---" Ucapanku seketika terhenti.
"Apa? Kamu mau bilang aku suamimu? Ingat, ya! Pernikahan ini cuma sementara."
Aku telah kehabisan akal. Akhirnya, kupakai jurus pamungkasku. "Ya udah, kalo gitu aku laporin ke Mami."
Sontak Dewa melompat ke arahku. "Eh, jangan. Jangan. Ya udah aku beliin, tapi tunggu aku mandi dulu." Dia langsung beranjak ke kamar mandi. Seketika aku tertawa puas. Pokoknya akan terus kukerjai dia selama masih memperlakukanku tidak baik. Setelah cukup lama menunggu, Dewa keluar dari kamar mandi. Melihatnya datang, seketika aku bernapas lega karena segera mendapat bala bantuan. "Nyusahin aja, sih, kamu." Dewa menggerutu sambil menyisir rambutnya. Aku hanya diam. Dalam hati juga merasa kasihan harus menyuruhnya seperti itu. Tapi, kalau bukan dia siapa lagi yang menolongku? "Pasti kamu sengaja ngerjain aku, kan?" lanjutnya lagi. Kali ini dia mengambil tas, lalu memasukkan ponsel ke dalamnya. "Ya, daripada aku laporin Mami kalo kamu di sini sama Nindi? Pilih mana?" Dewa sontak menghadap ke arahku. "Dasar, perempuan licik." Dia langsung keluar begitu saja. "Cepetan! Jangan lama-lama!" Aku berteriak dari dalam. Entah dia mendengar atau tidak karena bersamaan dengan pintu yang ter
"Astaga. Untung aja HP-ku gak ikut jatuh." Nindi berteriak dari arah sawah.Aku sontak melongo. Dalam keadaan seperti itu masih sempat memikirkan hartanya. Ah iya, aku lupa. Bagaimana dia tidak kepikiran jika ponselnya jatuh? Ponsel yang kupegang ini senilai puluhan juta. Maklum ponsel terkenal dengan tiga mata kamera bermerek Ipun. Sontak Dewa menatapku, lalu mengalihkan pandangan ke Nindi. Seketika kulihat lelaki di sampingku itu tertawa. Namun, saat itu juga dia segera menutupi. "Astaga, Nindi. Ngapain kamu di sana?" Dewa juga tampak heran. Kulihat Nindi sebagian kakinya telah dipenuhi lumpur. Wajahnya yang cantik seketika terlihat tak bercahaya. Dia sepertinya benar-benar marah. "Jangan banyak tanya. Cepetan bantuin!" tekan Nindi. Dewa mengulurkan tangannya pada Nindi. Wanita itu pun segera naik, tapi kulihat sandalnya tak ada. Astaga. Rasanya aku ingin tertawa sekencang-kencangnya melihat penampilan si Glowing itu. Saat ini bukan lagi Glowing namanya, tapi si Butek. "Pasti k
"Kamu, sih, ngomongin tempat tidur aja sampe ribut. Kedengeran sama Mami, kan? Tambah lagi Mami salah paham." Aku mengomel pada Dewa. Kulihat suamiku itu sedang duduk sambil memegangi ponselnya. Sejenak pandangannya mengarah padaku. "Emang kenapa? Bagus, kan biar Mami gak curiga sama kita." "Iya, deh, terserah kamu." Aku bangkit dan berjalan menuju jendela. Sesaat kulirik ke arah Dewa, dia masih saja asyik dengan benda yang berada di tangannya. Seketika dia senyum-senyum sendirian. Kuduga dia sedang asyik pacaran dengan Nindi. Hatiku rasanya seperti terbakar. Lagi-lagi kukendalikan diri. "Awas, aku mau tidur." Kuusir Dewa dari tempat tidur. Sontak matanya melotot ke arahku. "Udah kubilang kamu yang tidur di bawah." "Gak mau. Laki-laki apaan kamu? Sama perempuan aja gak mau ngalah. Minggir." Kutepuk pundaknya. "Nggak sopan." Dewa makin emosi. "Habisnya kamu diusir secara halus gak mau minggir, ya udah aku kasarin aja sekalian." Perlahan Dewa berdiri. Dia sejenak mematung sambil
Dewa mondar-mandir sambil memegangi perutnya. Berkali-kali pula dia ke kamar mandi. Melihatnya seperti itu sempat terlintas rasa iba padanya. Namun, diriku sudah kehabisan cara agar Dewa tidak terus menerus menyakiti hatiku. Entah mengapa makin hari rasa cintaku padanya semakin tumbuh subur."Ah, kenapa rencanaku setiap mau ketemuan sama Nindi selalu gagal." Dewa mengomel sambil bolak balik kamar mandi."Pasti kamu senang, kan?" Dewa bersuara lantang.Sontak aku menoleh ke arahnya lagi, lalu menunjuk diriku sendiri. "Aku? Apa hubungannya sama aku?" Kupasang wajah datar."Kamu gak suka, kan kalo aku ketemu sama Nindi?" Lelaki berwajah tegas itu menekan kalimatnya.Namun, aku berusaha tenang. "Aku sama sekali gak masalah kalo kamu ketemuan sama Nindi. Tuhan aja yang gak restui hubungan kalian. Buktinya selalu gagal, kan? Niat kamu jelek, sih.""Huh, dasar perempuan nyebelin. Kenapa juga aku dijodohkan sama kamu. Pembawa sial aja." Dewa kali ini bangkit."Pembawa sial? Gak salah, tuh? Ka
"Udah belum? Ambil jepit gitu aja, kok lama banget." Nindi rupanya sudah tak sabar.Namun, aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Kapan lagi kupegang kepala sekaligus menjambak rambut Nindi. Sebenarnya ini merupakan tindakan yang kurang sopan, tapi aku sudah kehabisan akal untuk memberinya pelajaran. Jika kulakukan secara bar-bar, bisa-bisa Dewa semakin ilfeel padaku. Satu-satunya cara, ya secara halus."Bentar lagi, Mbak Cantik. Beneran nih, hairspray-nya kebanyakan. Makanya jepit kecilnya ikut nyelip di dalam. Maaf, ya, Mbak kalau aku agak berantakin rambutnya." Aku berbicara sangat lembut agar Nindi tak mencurigai aksi balas dendamku."Gak papa, Fur. Yang penting jepitnya Nindi diambil. Kamu yang ambil aja susah begitu, apalagi aku? Pasti tambah sakit lagi Nindi. Sayang, sabar dulu, ya, biar Furi ambilin jepit kamu." Dewa berusaha menenangkan kekasihnya itu.Melihatnya bersikap romantis, semakin kutambah tenagaku menjambak rambutnya Nindi hingga wanita itu berteriak dan me
Kemudian, kuputuskan untuk mencari mobil online dan mendatangi sebuah klinik kecantikan di kota ini. Jika melihat penampilan Nindi, rasa minder seketika menyelinap di hati. Pantasan saja Dewa tergila-gila padanya. Sedangkan diriku? Hanyalah wanita rumahan dengan penampilan seadanya. Meskipun wajahku terbilang cantik, tetap saja harus ditunjang dengan perawatan.Setelah tiba di sebuah klinik kecantikan, aku memilih serangkaian perawatan. Mulai dari spa, peeling hingga laser. Aku sudah tak peduli dengan biayanya. Kali ini akan kumanjakan diriku sendiri.Ketika sedang melakukan spa, ponselku berdering. Namun, tak kuhiraukan. Aku lebih menikmati perawatan ketimbang memikirkan ponsel. Palingan telepon dari Dewa. Kurileks-kan diriku sejenak dari bayang-bayang dua manusia tak tahu malu itu. Aku benar-benar ingin menenangkan pikiran.Kurang lebih enam jam, aku menghabiskan waktu di klinik kecantikan. Ketika keluar, ternyata hari telah gelap. Segera kucek ponsel, dua puluh kali panggilan tak t
Segera kulihat aplikasi WhatsApp, tapi tak ada balasan dari Dewa. Pesanku yang terakhir kali kukirim juga belum dia baca, masih centang dua tanpa warna biru. Dia pasti sedang bersenang-senang bersama Nindi. Ya Tuhan, kenapa bisa nasibku semiris ini?Tepat jam setengah delapan waktu setempat, aku kembali ke resort. Setibanya di sana, Dewa belum juga pulang. Ah iya, bagaimana bisa dia masuk kamar sedangkan kuncinya kubawa? Setelah kuletakkan tas di atas meja, aku bergegas ke kamar mandi. Entah kenapa badanku masih terasa gerah. Sepertinya aku ingin merileks-kan badan dengan mandi air hangat.Kunikmati guyuran dari shower. Tiba-tiba bayangan Dewa dan Nindi berkelebat di pikiran. Terlebih lagi foto mesra mereka. Air mataku tak terasa mengalir begitu saja. Aku makin berlama-lama berdiam diri di bawah guyuran air sambil mengeluarkan semua beban yang menghimpit dada.Setelah kurasa hati ini cukup membaik, aku segera mengambil handuk dan membalut badan. Mumpung tak ada Dewa, pikirku. Jadi, a
"Furi, cepetan ganti baju nanti kamu masuk angin." Dewa berteriak.Sekilas kulihat dia asyik di depan lemari, sepertinya sedang memilih pakaian. Berarti dia tidak mengetahui kedatangan Nindi ke sini. Aman. Akan kumainkan rencanaku selanjutnya. Kemudian, kututup pintu sedikit agar Dewa tidak mencurigaiku."Kenapa, Mbak Cantik? Kaget?" Aku makin melebarkan bibir seraya menatapnya intens."Udahlah, Mbak Cantik. Gak usah terlalu berharap sama Dewa. Mau berharap Dewa cerai sama aku? Dewa itu tentara, gak semudah membalikkan telapak tangan. Ada aturan di dalam instansinya. Kalau pun aku gak hamil dan dituduh mandul, pasti bakal ada pemeriksaan yang membuktikan. Mending jalani hidup Mbak Cantik dengan baik dan segera move on," lanjutku gamblang. Aku berbicara sudah tak memakai basa-basi."Jangan mimpi kamu. Istri sementara aja belagu. Sampai kapan pun Dewa akan tetap jadi milikku. Awas, aku mau masuk." Nindi mendorongku sejenak, lalu hendak menyerobot ke kamar.Namun, segera kucegah. "Maaf,