"Ya udah, aku ke depan dulu, ya?" pamitku seraya melangkah keluar.Ketika di teras, Bu Soni mengambil alih Zara dari gendonganku. Kemudian, seorang wanita mengendarai motor melintas di depan. Begitu melihatku, wanita tersebut berhenti."Bu Soni, siapa yang nempatin rumah itu?" tanyanya sambil mengarahkan pandangan pada tetangga sebelah."Om Dewa, Bu Dar," balas Bu Soni setengah berteriak.Sontak wanita pemilik nama Bu Dar itu menepikan motor dan berjalan menuju pekarangan rumah. "Oh, Om Dewa yang dulu pacarnya selebgram itu, ya? Denger-denger gak jadi nikah, kan? Duh, sayang banget, ya. Padahal serasi lho. Omnya ganteng, mbaknya juga cantik."Bu Soni seketika melirikku, seperti ada rasa tak enak hati. "Ya, namanya juga jodoh, Bu. Mau dikejar sampe mana juga kalau gak jodoh ya percuma. Ya kan, Tante?"Aku hanya tersenyum tipis. Rupanya orang di asrama telah mengetahui hubungan Dewa dan Nindi. Namun, aku tidak terlalu mengambil pusing. Toh, sekarang yang menjadi istri sahnya adalah aku.
Aku berpura-pura menelepon Mama. Beberapa saat kemudian, kukembalikan ponsel pada Dewa. Suamiku itu mematung sambil menatapku heran."Kok cepat?""Gak diangkat sama Mama. Mungkin lagi sibuk," jawabku santai.Jika tadi kuputar otak mencari cara mendapatkan nomor telepon mencurigakan itu, sekarang justru aku sedang memikirkan bagaimana caranya agar bisa berkomunikasi dengan si pemilik nomor itu. Ah, iya, nanti kalau sudah sampai rumah Mami akan kuhubungi."Aku bantu apa lagi nih?" ucapku kemudian untuk mencairkan suasana agar Dewa tak mencurigaiku."Gak ada, udah beres semuanya, Yang. Oh iya, masih ada sampah di serokan. Bisa minta tolong buang di sampah belakang gak?" Dewa berbicara sembari memeras alat pel yang terakhir.Aku gegas mengambil serokan sampah dan membuangnya. Sejenak mataku mengitari sekeliling. Ternyata halaman belakang di rumah dinas ini lumayan luas. Antara halaman rumahku dengan tetangga hanya disekat dengan pagar yang terbuat dari kayu. Di sebelah juga kulihat ada be
Setelah berada di mobil, mulai kutanyakan satu per satu mengenai sikap aneh Bu Dar padaku. "Bu Dar tadi kenapa sih ngeliatin aku kayak gitu?"Dewa langsung memasang wajah heran sebelum menyalakan mesin mobil. "Aneh gimana?""Sinis banget. Kayak gak suka gitu sama aku.""Perasaanmu aja kali. Gak usah diambil hati orang-orang kayak gitu. Kamu sendiri nanti yang pusing mikirnya," jawab Dewa menenangkan.Aku sejak terdiam. Ada benarnya juga apa yang dikatakan. Namun, sebagai manusia normal, aku juga ada perasaan tak enak. "Atau mungkin dia merasa tersaingi dengan kecantikanmu," lanjut Dewa diikuti kekehan.Aku pun ikut terkekeh. "Ah, ada-ada aja."Kemudian, Dewa melajukan mobil membelah jalanan. Selama perjalanan, segera kusimpan nomor telepon mencurigakan itu di ponselku. Seketika muncul ide untuk menghubungi nomor tersebut. Mumpung ada waktu, pikirku.Setelah itu, segera kukirimi pesan. Aku sengaja menggunakan pesan biasa, bukan aplikasi WhatsApp agar nomor tersebut tak bisa menemukan
"Ada apa ini?" tanyaku bingung.Dewa hanya tersenyum manis padaku. Begitu juga dengan dua wanita itu. Salah satu dari mereka kemudian menyerahkan sesuatu pada Dewa."Maaf, ya, Mbak. Pas mbaknya angkat telepon dari saya, saya matikan. Habisnya sudah dipesan sama Pak Dewa buat rahasiain semuanya. Nomor yang sering hubungi Pak Dewa itu nomor saya. Nomor yang Mbak SMS tadi juga itu saya," ucap wanita berbadan tambun menggunakan dres selutut seraya tersenyum.Aku seketika salah tingkah. Apalagi ketika Dewa melihatku seperti terkejut. Ah, kedokku terbongkar. Kan, jadi malu."Udah kuduga. Makanya aku sengaja kasih nomormu sama mbaknya buat antisipasi. Aku udah curiga tadi. Habisnya kamu itu melebihi tim intel," sahut Dewa sambil tertawa."Maaf ya, Mbak." Wanita itu mengatupkan tangannya seraya tersenyum.Namun, aku masih penasaran. "Tapi, maksudnya apa ini?" Kulihat Dewa senyum-senyum padaku."Udah ya, Pak. Tugas kami selesai. Permisi." Dua wanita itu gegas meninggalkanku dan Dewa.Aku kemba
"Kamu gak mau tidur sama aku? Kamu dosa, lho. Kamu itu statusnya istriku, dosa besar kalau gak layani aku." Dewa kembali bersuara.Aku terkekeh. "Dosa? Kamu juga dosa. Kalau kita tidur bareng lebih dosa."Mata Dewa seketika membeliak. "Kok bisa? Aturan dari mana itu?"Segera kutarik tangannya dan mendudukkan di sampingku. "Denger, ya. Jadi suami itu besar tanggung jawabnya. Harus jaga ucapan juga. Kamu gak ingat? Dari awal kita nikah, kamu udah ada rencana ceraikan aku, bahkan diomongkan secara terang-terangan. Itu kalau dalam ajaran agama, secara gak langsung udah jatuh talak. Ngerti gak?""Terus kita harus gimana? Tapi, ucapan dan niat itu kan gak beneran." Dewa masih bersikukuh membela diri."Meski gak beneran. Makanya itu sebagai suami harus jaga ucapan. Beda sama istri, seribu kali si istri minta cerai gak akan pengaruh. Tapi, kalau suami sekali aja ngucap kata pisah, udah jatuh talak. Kalau kamu mau, gimana kalau kita bangun nikah? Istilahnya kita perbaiki dan ijab qabul ulang b
Suara di ponselku seketika berhenti berdering. Sepertinya Dewa telah mengakhiri panggilannya. Namun, lelaki yang masih mematung di samping pintu itu belum mengembalikan padaku. Cekatan aku berlari ke arah Dewa. Sayangnya terdapat kardus dan kantong plastik, juga beberapa potong tali rafia berserakan di lantai menghalangi langkahku. Alhasil kakiku terantuk ujung lemari yang masih diletakkan di ruang tamu. "Sini aku ganti dulu namanya." Kujulurkan tangan sembari berjalan pincang menahan kesakitan akibat tersandung tadi.Dewa sejenak menatapku, tapi tangannya masih memegangi ponsel. Dia enggan memberikan benda itu padaku. "Makanya kalau jalan hati-hati.""Udah hati-hati. Lemarinya aja yang mau dicium sama kakiku," elakku masih menengadahkan tangan. Sesekali aku meringis lantaran masih merasakan sakit pada ujung jari jempol kaki kananku.Kepala lelaki mengenakan kaus warna biru dongker itu mendongak. "Cium? Kamu kali yang nyium lemarinya. Kelamaan gak dibelai, ya?" Matanya mengerling seb
Aku berjalan gontai menuju sumber suara. Tampak rombongan om-om tentara telah berdiri di depan pintu."Maaf, Bu. Tadi kami diperintahkan buat kurve di rumah Danru Dewa." Salah satu dari mereka berucap."Oh, tunggu Om. Saya panggilkan suami dulu."Aku membalikkan badan. Ketika hendak melangkah, Dewa sudah berada di depanku. Dia segera menghampiri om-om berkaus loreng di luar tadi.Setelah kudengar dari obrolan mereka, rupanya Dewa yang meminta bala bantuan dari kompinya. Ternyata rombongan tadi para tamtama remaja, mereka itu baru selesai pendidikan dan mendapat penempatan di batalyon ini. Kemudian, beberapa tamtama remaja masuk rumah dan cekatan membantu mengangkat perabotan, serta mengaturnya atas intruksi dari suamiku.Melihat om-om tamtama remaja yang kurve di rumah, seketika ada rasa iba. Aku berniat membelikan mereka makanan dan juga minum."Aku keluar bentar beli makanan sekalian minum buat om-om itu, ya," pamitku seraya berbisik di telinga Dewa.Suamiku itu segera menyerahkan
Perlahan kulajukan mobil. Ketika melintas di depan rumah Bu Soni, kubunyikan klakson. Namun,dua tetanggaku itu bergeming, tampak sedang serius mengobrol. Entah apa yang dibicarakan mereka, aku sudah tak peduli lagi. Bisa terbebas dari Bu Dar saja sudah senang karena jujur aku malas berurusan dengan orang seperti itu.Mobil terus kulajukan hingga di ujung batalyon, tapi tak kutemui koperasi. Aku juga telah berkeliling, tetap tak kutemukan tempat yang kucari itu. Mana ponselku tertinggal di rumah. Ah, apes lagi. Spontan kupukul stir kemudi hingga menyenggol klakson. Mataku seketika terbuka lebar ketika melihat ibu-ibu di depan sana sedang berkumpul di depan rumah, kebetulan halamannya terdapat pohon mangga. Dan mereka duduk ramai-ramai di sana seperti sedang rujakan.Saat itu juga kumpulan ibu-ibu itu menoleh bersamaan ke arah mobilku. Ya ampun, pasti mereka heran dan mengira pengemudi mobil ini sombong. Kututup rapat kaca agar kumpulan ibu tersebut tak melihat batang hidungku, lalu ku