BRAKK!!
Pintu dibanting dengan keras oleh Hari hingga membuat Ghea yang tidak sengaja tertidur di sofa ruang tamu saat menunggu suaminya pulang menjadi tersentak. "Kamu baru pulang, Mas?" tanya Ghea dengan suara serak. Ghea menatap jam dinding yang sudah menunjuk ke angka dua dini hari. Bergantian menatap suaminya yang baru pulang dengan berjalan sempoyongan. "Kamu mabuk lagi, Mas?" cecar Ghea sambil menghampiri Hari untuk membantunya berjalan karena takut suaminya terjatuh. Bukannya berterima kasih karena sudah dipedulikan oleh Ghea, Hari justru marah-marah dan merasa Ghea mengganggunya. Bukan hanya marah, Hari bahkan dengan ringannya melayangkan tangan melukai wajah Ghea. "Aahh!" ringis Ghea merasa sudut bibirnya mengeluarkan cairan merah. "A-aku hanya ingin membantumu, Mas," ucap Ghea dengan suara terbata. Ini bukan kali pertama Ghea mendapatkan kekerasan fisik dari suaminya. Setiap kali Hari mabuk, atau sedang tidak enak hatinya, Ghea selalu menjadi pelampiasan atas emosinya. Hari berjalan mendekat ke arah Ghea yang tadi tersungkur setelah dipukul olehnya. Mencengkram kerah baju tidur yang dipakai Ghea hingga terasa sesak untuk bernapas. "Jangan campuri urusanku! Apalagi kalau kamu sampai berani melarang-larang aku melakukan apa yang aku mau," desisnya mengancam Ghea. Ghea hanya bisa mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Hari baru melepaskan cengkramannya setelah melihat wajah merah istrinya yang hampir kehabisan napas. Ghea terbatuk hebat setelah bebas dari cengkraman suaminya. Menatap punggung suaminya yang berjalan meninggalkannya menuju kamar mereka dengan langkah gontai. Ghea hanya bisa menangis tanpa suara dan mengusap kasar air mata yang membasahi wajah. "Kenapa ini semua harus terjadi padaku? Apa salahku, Mas? Padahal aku sudah berusaha untuk mencintaimu dengan tulus dan menjadi istri yang baik. Tapi kamu tidak pernah menganggapku seperti istri yang seharusnya. Kenapa kamu menikahiku jika hanya ingin menyakitiku seperti ini, Mas?" Ghea terus menangis dengan kepalanya yang ramai mengenang masa indah sebelum kejadian tragis menimpa keluarganya. Ghea adalah putri tunggal dari Keluarga Gautama yang merupakan pemilik perusahaan farmasi Gauta Farma. Perusahaan yang bergerak di bidang kesehatan, utamanya industri barang konsumsi yaitu jenis obat-obatan. Kejadian naas harus dilalui Keluarga Gautama saat mereka akan mendatangi dan merayakan acara kelulusan S2 Ghea yang akan mendapatkan gelar Magister Manajemen Farmacy (M.Pharm.) di salah satu kampus terbaik di Indonesia. Sebuah kecelakaan lalu lintas karena rem blong membuat kedua orang tua Ghea yang seharusnya mendatangi gedung tempat Ghea wisuda, justru lebih dulu dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi fatal keduanya. Ghea sendiri hanya bisa dibuat resah karena acara wisuda yang seharusnya menyenangkan berubah hampa tanpa kehadiran kedua orang tua yang ditunggu sejak tadi. Ghea belum mengetahui kabar tragis yang dialami kedua orang tuanya. Pihak kampus sengaja menunda informasi tersebut karena Ghea merupakan salah satu mahasiswa pasca sarjana berprestasi yang akan dipanggil ke podium untuk dipamerkan sebagai teladan. Ghea baru tahu tentang kecelakaan yang dialami oleh orang tuanya setelah acara wisuda selesai. Kebahagiaan Ghea seketika sirna melihat kedua orang tuanya berada di meja operasi mempertahankan nyawa. Sayangnya, Ghea harus berbesar hati mendapatkan kabar buruk jika Gautama — papanya Ghea harus meninggal di meja operasi. Kemudian untuk mamanya sendiri, harus menjadi pasien vegetatif setelah menjalani operasi. "Tidak! Papa…. Mama…. Ghea masih butuh kalian…"Di saat Ghea dalam kondisi terpuruk, Keluarga Hardana yang merupakan rekan kerja sekaligus sahabat dari orang tuanya lah yang paling banyak mendampingi. Bahkan mereka juga langsung melamar Ghea untuk menikah dengan anak sulung mereka yang bernama Hari Hardana, dengan alasan sudah dijodohkan sejak lama oleh mereka para orang tua. "Menikahlah dengan Hari, Ghe! Kamu tidak mungkin melewati masa sulit ini sendirian. Papamu pasti mau kamu ada yang menjaga setelah kepergiannya. Dan keluarga kami jelas yang selama ini paling dekat dengan keluargamu. Bukankah selama ini kami para orang tua sudah sering membicarakan perjodohan antara kamu dengan Hari?"Ghea yang sedang terpuruk tidak punya alasan untuk menolak saat dikatakan bisa jadi itu adalah keinginan terakhir dari kedua tuanya. Tanpa Ghea tahu, jika tujuan dari pernikahannya itu hanyalah demi keuntungan bisnis untuk mereka semata. Ghea mengusap air matanya dengan kasar. Tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan yang akan melemahkan dirinya. Masih ada sang mama yang harus diperjuangkan kesembuhannya. Keluarga Hardana berjanji padanya akan membawa mamanya berobat ke Singapura hingga sembuh, jika mau menikah dengan Hari Hardana. Untuk itulah Ghea menerima pinangan dari Keluarga Hardana meski sebenarnya Ghea merasa belum siap untuk menikah. Tapi sekali lagi hanya demi mamanya. Ghea bertekad untuk mengabdi kepada Keluarga Hardana supaya mamanya tetap baik-baik saja dan kemudian kembali ke pelukannya. Sekalipun itu artinya Ghea juga harus bersabar dengan sifat temperamental suaminya. "Aku gak boleh lemah. Aku harus bertahan demi mama. Aku yakin kerasnya hati Mas Hari pasti akan luluh juga jika aku terus memberinya perhatian dan kasih sayang yang tulus. Ya. Aku yakin aku hanya butuh waktu lebih lama untuk meluluhkan hati Mas Hari."Ghea bangun dari tempatnya bersimpuh. Kemudian berjalan menuju kamar dimana suaminya sudah terbaring dengan sangat berantakan. Bajunya belum diganti dan sepatunya pun tidak dilepas dahulu saat naik ke ranjang. Hari sudah terlelap dengan tubuh tengkurap di atas kasur.Ghea dengan telaten mengurus suaminya yang tadi sudah memukulnya karena sedang mabuk. Melepaskan alas kaki dan hendak mengganti baju setelah badannya pun dibersihkan dengan kain dan air hangat di ember kecil. Tapi belum sampai Ghea mengganti baju suaminya dengan yang bersih, Hari sudah terbangun dan muntah-muntah. Ghea dibuat kembali membersihkan dan Hari hanya memperhatikannya dalam diam karena kepalanya masih terasa berdenyut hebat. "Kenapa kamu menangis, Ghe? Kamu gak ikhlas mengurus suami sendiri?" gumam Hari dengan suara yang agak samar. Sebenarnya Ghea sudah tidak menangis lagi. Tapi karena sebelum masuk ke kamar sempat menangis sejadinya saat mengingat kedua orang tuanya, membuat kedua mata Ghea masih merah hingga sekarang. Dan itu tidak luput dari pandangan Hari saat Ghea membantunya memakai piyama tidur setelah membersihkan bekas muntahannya. "Aku tidak menangis, Mas," jawab Ghea masih dengan suara serak tanpa menghentikan gerakan tangan yang sedang mengancingkan piyama sang suami. "Matamu merah." "Itu karena kamu tadi memukul dan mencekik ku, Mas. Ingat kan?" "Maaf. Aku tidak bisa mengendalikan diri saat aku sedang mabuk. Lain kali jangan menegurku saat aku sedang mabuk." "Tapi ini sudah ketujuh kalinya kamu seperti ini dalam sebulan pernikahan kita, Mas. Apa sebenarnya kamu terpaksa menikahi denganku?""Maaf." Kata itu yang selalu muncul dari belah bibir Hari setelah melukai hati dan fisik istrinya. Seakan dengan satu kata ajaib itu semuanya terlupakan begitu saja. Belum lagi kebiasaan Hari yang akan menambah alasan berupa menyalahkan Ghea sebagai pemicu amarahnya. "Aku gak akan sampai main tangan kalau kamu gak ganggu dan ikut campur dengan urusanku di luar rumah." "Aku ikut campur apa sih, Mas? Aku hanya bertanya karena kamu lagi-lagi pulang dini hari dalam kondisi mabuk seperti ini. Apa aku salah sebagai istri peduli dan menanyakan kegiatan suami-" Hari mencengkeram rahang Ghea sampai istrinya itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Baru saja dia meminta maaf, tapi tangannya sudah kembali menyapa, yang sayangnya bukan dengan kelembutan dan kasih sayang. Tapi sebaliknya, selalu dengan kekerasan yang meninggalkan bekas memar di setiap tempat yang disentuh olehnya. Hari sama sekali tidak terganggu dengan ringis kesakitan Ghea yang meminta dilepaskan dengan tatapan memohon.Saat
"Pakai baju dan perhiasan itu untuk acara jamuan makan malam bersama kolega bisnisku nanti malam. Kamu akan aku jemput jam 7 malam," ujar Hari sebelum pergi ke kantor sambil meletakkan paper bag berisi gaun malam dan satu set perhiasan yang hanya diberikan di saat ada pertemuan penting seperti ini. Hari memang iblis bertopeng malaikat. Di depan orang lain, dia akan menunjukkan istrinya sebagai kebanggaan. Memujanya seakan dirinya adalah pria paling beruntung yang dipilih menjadi pendamping seorang Putri Gautama. Hari selalu memuji dan menunjukkan kecantikan Ghea di depan banyak orang. Dia juga akan bersikap romantis dan perhatian jika sedang melakukan pencitraan. Padahal saat di rumah atau saat hanya berdua dengan istrinya, dia tidak akan segan-segan menyakiti fisik maupun psikis istrinya. Ghea hanya bisa mengambil napas panjang saat harus kembali dibuat muak dengan pencitraan yang akan dilakukan suaminya. Sandiwara dengan senyum bahagia harus menghiasi wajahnya nanti malam. Ghea s
"Pasang senyummu lebar-lebar. Jangan sampai ada yang menganggap kamu tidak bahagia hidup denganku!" Ghea hanya diam menyimak bisikan suaminya saat mereka akan masuk ke dalam hall hotel tempat jamuan para pengusaha dilaksanakan. Hari mengalungkan lengan di pinggang supaya Ghea bisa menggandengnya dengan mesra selama mereka berada di pesta. Sekilas, Ghea dan Hari akan terlihat seperti pasangan pasutri yang serasi dan berbahagia. Si cantik dan si tampan yang sama-sama bersinar dengan prestasi dan kecerdasannya. Meskipun Ghea tidak bekerja setelah lulus S2, tapi kepandaian dan keahliannya cukup di kenal di dunia kesehatan. Bahkan tidak jarang tawaran pekerjaan diterima Ghea meski selalu berakhir penolakan secara halus karena Hari melarangnya bekerja. Kepada pihak rumah sakit yang menawarkan pekerjaan kepada istrinya, Hari biasanya menolak dengan alasan tidak ingin istrinya kelelahan karena mereka ingin segera diberikan momongan meski belum lama menikah. Padahal Hari hanya tidak ingin
"Aku beneran disuruh resign?" tanya Frans mulai pucat mendengar candaan Abimanyu yang sama sekali tidak terdengar lucu baginya. Bagaimana akan terasa lucu jika tampang Abimanyu saat mengatakan dua kalimat tersebut terlihat begitu kaku dan lurus tanpa ada senyum sedikitpun? "Emang aku tadi nyuruh resign?" "Sial!" umpat Frans dengan dengkusan yang khas. Dia sudah terpancing dengan permainan kata-kata dari pemilik rumah sakit terbesar di negaranya. Jelas-jelas Abimanyu tidak menyuruh, hanya mempersilakan jika Frans memang berkeinginan untuk resign. Jika Frans tidak ingin, maka seharusnya dia tidak perlu kepikiran apalagi takut kehilangan pekerjaan. Jika tidak sedang berada di acara formal, sudah pasti Frans akan menendang bokong Abimanyu atau bahkan memukul kepalanya. Sayangnya meski seakrab itu dengan sang direktur rumah sakit, tapi Frans tidak mungkin melakukan itu di depan umum. Lagi-lagi tingkah mereka mengundang tawa yang lain. Hanya Ghea yang tidak merasa senang karena harapa
"Kamu gak apa-apa kan, Ghe?" tanya Frans terlihat khawatir ketika sudah puas memarahi pelayan yang dengan cerobohnya menumpahkan minuman kepada Ghea. "Aku gak apa-apa, Kak. Cuma basah sedikit, ini akan kering dengan cepat, jangan khawatir dan jangan memarahi pelayannya lagi. Aku yakin dia gak sengaja." "Beruntung kamu karena Ibu Ghea terlalu baik," gumam Frans masih kesal kepada si pelayan. Pelayan wanita yang melakukan kesalahan sudah berulang kali meminta maaf dan Ghea sampai tidak tega mendengarnya dimarahi oleh Frans. "Sudah, Kak. Biarkan dia kembali bekerja. Aku yakin setelah ini dia akan bekerja dengan lebih hati-hati, bukankah begitu, Mbak?" "Benar, Bu. Sekali lagi saya mohon maaf," cicitnya sambil menundukkan kepala, sama sekali tidak berani mengangkat wajah. Mereka pun membiarkan pelayan wanita kembali ke tempatnya untuk melanjutkan pekerjaan tanpa memperpanjang masalah. Abimanyu hanya diam memperhatikan dengan pikiran yang sudah terganggu sejak melihat bekas luka di bet
Abimanyu membawa Keiza ke tempat jamuan. Awalnya gadis itu tidak berminat ikut ke jamuan orang dewasa yang mungkin akan menjemukan baginya karena pembahasan yang pasti hanya berputar di masalah bisnis dan sejenisnya.Sayangnya di rumah sedang sepi karena ditinggalkan kedua orang tuanya yang sedang honeymoon ke Maladewa, untuk yang kesekian kalinya. Sehingga membuat Keiza memilih untuk menyusul kakaknya juga. "Halo, Cantik! Aduh adik gemes tumben-tumbenan mau ikut ke jamuan makan malam?" goda Eldi yang sudah bergabung di tempat Frans dan Abimanyu tadi duduk.Eldi si Dokter Bedah sekaligus penanggung jawab IGD Medica Center memang paling suka menggoda adiknya Abimanyu. Keiza sendiri juga suka menanggapinya dengan menistakan Eldi layaknya kakak sendiri. "Iya dong. Kan adik gemes mau ketemu sama Om Eldi," kekeh Keiza menuai gelak tawa puas di bibir Frans yang mendengarnya. "Sembarangan! Suka gak ada rem ya itu bibir kalau udah nistain aku!
Seperti dugaan Ghea di awal, suaminya kembali pulang dini hari dalam kondisi setengah sadar karena mabuk. Bahkan sejak membuka pintu kamar, Hari sudah meracau sendiri dengan suara yang samar dan sesekali menabrak pegangan sofa karena penglihatannya yang kabur. Ghea sudah ingin beranjak dan membantu, tapi lekas diurungkan karena ingat kejadian terakhir yang membuatnya kembali menjadi pelampiasan emosi suaminya. 'Abaikan saja, Ghea! Anggap saja kamu gak lihat dia pulang. Biar saja dia anggap kamu sudah tidur. Itu lebih baik daripada bertingkah bodoh hanya untuk memperlihatkan diri yang tidak dihargai suamimu itu,' batin Ghea dalam hatinya. Ghea kembali memejamkan mata tanpa mengubah posisi tidur. Langkah suaminya terdengar semakin dekat. Suara random yang keluar dari mulutnya juga makin terdengar jelas. Meski apa yang dikatakan oleh Hari sama sekali tidak dimengerti oleh Ghea. "Huhh, cewek gak ada guna ini sudah tidur ternyata! Baguslah, daripad
Hari merasa gamang. Dia seperti ingat jika semalam sudah berbicara terlalu banyak tentang rahasia kejahatannya. Tapi Hari tidak bisa mengingat dengan jelas, apakah itu sungguhan diucapkan lidahnya, atau hanya dalam mimpi dan khayalannya saja. Untuk itu, Hari memilih bertanya langsung pada yang bersangkutan. Meskipun saat melihat sikap Ghea yang masih baik padanya, Hari merasa Ghea masih tidak tahu apa-apa tentang kejadian dibalik kematian orang tuanya. Apalagi jawaban dari yang ditanya memang mendukung asumsinya. "Semalam? Bukankah aku sudah bilang kalau semalam aku tidur nyenyak sampai tidak tahu kapan kamu pulang. Dan aku pun baru bangun beberapa saat yang lalu dan tidak mendengar kamu berkata apapun, selain dengkuran halus." Hari terlihat lega. Kemudian menerima minuman yang diulurkan istrinya dan meminta Ghea untuk melepaskan sepatu yang masih membungkus telapak kakinya. Ghea mendengus dalam hati namun tetap melakukan tugasnya. Hari pun me