Share

Bab 2. Hubungan Abusive

"Maaf." 

Kata itu yang selalu muncul dari belah bibir Hari setelah melukai hati dan fisik istrinya. Seakan dengan satu kata ajaib itu semuanya terlupakan begitu saja. Belum lagi kebiasaan Hari yang akan menambah alasan berupa menyalahkan Ghea sebagai pemicu amarahnya. 

"Aku gak akan sampai main tangan kalau kamu gak ganggu dan ikut campur dengan urusanku di luar rumah." 

"Aku ikut campur apa sih, Mas? Aku hanya bertanya karena kamu lagi-lagi pulang dini hari dalam kondisi mabuk seperti ini. Apa aku salah sebagai istri peduli dan menanyakan kegiatan suami-" 

Hari mencengkeram rahang Ghea sampai istrinya itu tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Baru saja dia meminta maaf, tapi tangannya sudah kembali menyapa, yang sayangnya bukan dengan kelembutan dan kasih sayang. 

Tapi sebaliknya, selalu dengan kekerasan yang meninggalkan bekas memar di setiap tempat yang disentuh olehnya. Hari sama sekali tidak terganggu dengan ringis kesakitan Ghea yang meminta dilepaskan dengan tatapan memohon.

Saat ini suaminya justru terlihat seperti seorang psikopat yang justru senang melihat Ghea merintih. 

"Kamu memang tidak bisa dikasih tau pakai mulut ya? Kalau aku bilang buat tidak mengganggu dan ikut campur, jadi lebih baik kamu diam. Atau kamu lebih suka dipaksa diam dengan cara seperti ini? Hem?" desis Hari dengan seringai mengerikan. 

Ghea berusaha menggelengkan kepalanya supaya sang suami mau melepaskan tangan dari wajahnya. Air mata kembali meleleh tanpa diminta sebagai respon rasa sakit yang dirasakan anggota tubuhnya. 

Ghea hanya berharap rahangnya baik-baik saja dan tidak ada pergeseran pada rahang yang dicengkeram. Ghea berusaha mendorong Hari dengan kedua tangannya tapi tidak kekuatannya tidak berarti apa-apa. Hari justru semakin semangat mengeratkan cengkeraman setiap Ghea melakukan perlawanan.

"Semakin kamu memberontak, maka semakin senang aku mengekangmu, Ghe!"

Mendengar peringatan tegas dari suaminya membuat Ghea akhirnya memilih melemaskan badan dan tidak lagi melawan. Tidak lama setelah itu, Hari baru melepaskan tangannya dari rahang Ghea. 

"Sudah, tidurlah. Aku pun ingin kembali tidur."

Hari mendorong Ghea hingga istrinya itu berjalan mundur beberapa langkah dari sisi samping ranjang yang diduduki Hari. Hari sudah hampir menaikkan kedua kakinya ke atas ranjang dan kembali berbaring jika tidak kembali mendengar suara mengusik dari Ghea. 

Dasarnya Ghea masih keras kepala, baru sebentar lepas dari tangan suaminya, dia sudah kembali ingin membuat masalah dengan suaminya itu. 

"Kalau kamu gak cinta sama aku dan menikah karena terpaksa, lebih baik kau ceraikan aku saja, Mas!" 

Kali ini Ghea sudah bersiap untuk menghindar jika Hari kembali akan melakukan kekerasan padanya. 

Tapi yang ada, suaminya itu justru menertawakannya seakan permintaan cerainya hanyalah sebuah lelucon semata. Ghea sampai memicingkan mata saat melihat suaminya tertawa mengejek kepadanya. 

'Apa yang lucu?' batin Ghea sangat kesal. 

Ghea menunggu suaminya berhenti tertawa dengan sendirinya. Kedua tangannya mengepal untuk menahan kekesalan karena merasa disepelekan. 

Selama ini Ghea memang berusaha memahami suaminya. Tapi setelah sebulan tidak ada respon positif sesuai harapannya, Ghea berpikir jika mungkin lebih baik untuk berpisah dan dirinya hidup sendiri sekalipun harus mengurus mamanya seorang diri. 

Itu jauh lebih baik daripada punya keluarga baru tapi hanya pajangan semata. Apalagi sikap suaminya tidak pernah bisa baik kepadanya. Setidaknya itu yang ada di pikiran Ghea saat ini.

"Kamu mau kita cerai?" ulang Hari setelah tawanya mereda. 

Ghea mengangguk dengan yakin. "Jika kamu tidak bisa bersikap baik padaku. Aku pikir menjadi janda tidak akan jadi masalah," tandas Ghea masih dengan sikap percaya diri. 

"Dan rela tidak bisa bertemu dengan mamamu selamanya?" 

Ghea membulatkan kedua bola matanya. 

"Apa maksudmu?" 

"Nasib mamamu ada di tanganku, Ghe. Kalau kamu mau lepas dari genggamanku, maka itu sama halnya kamu siap kehilangan mamamu untuk selamanya," desis Hari memperingatkan. 

Ghea kembali mengepalkan kedua tangannya. Amarah untuk suaminya semakin besar. 

'Bisa-bisanya dia mengancamku dengan menjadikan mama sebagai alasan.' 

Karena diselimuti dengan amarah, Ghea dengan berani maju beberapa langkah hingga kini kembali berhadapan dengan suaminya dalam jarak yang sangat dekat. Ghea juga berani mengacungkan jari telunjuknya di wajah dingin suaminya. Meluapkan amarah yang sudah membara pada Hari.

"Aku gak nyangka kalau kamu se-abusive itu, Mas! Sebenarnya tujuan kamu menikahiku apa? Bukankah kalian sudah mendapatkan seluruh harta keluargaku? Aku tidak akan mengambilnya lagi asal kalian melepaskan aku dan mamaku." 

Hari kembali menyeringai. Melihat keberanian Ghea melawannya membuatnya bersemangat. Hari menarik rambut belakang Ghea hingga kepalanya menengadah ke atas. Mendekatkan bibirnya ke telinga Ghea dan membisikkan sesuatu dengan desisan penuh ancaman. 

"Sayangnya aku masih butuh kamu menjadi istriku. Jadi, jangan harap kamu bisa bercerai denganku atau kamu akan melihat mamamu mati di depan matamu sendiri." 

Kemudian Hari melepas jambakannya dan kembali naik ke peraduan. Menyamankan diri di dalam selimut yang ditariknya hingga atas dada. Kemudian memejamkan mata seakan di dekatnya tidak ada siapa-siapa sehingga bisa tidur dengan tenang. 

Ghea melihat Hari yang memejamkan mata dalam damai dengan hati bergemuruh. Ingin rasanya mengambil bantal di sebelah pria itu kemudian menikamnya hingga habis napas. Dengan begitu dia bisa terbebas dari pria itu untuk selamanya. 

Sayangnya, Ghea masih teringat akan dosa besar saat menghilangkan nyawa seseorang dengan sengaja. Apalagi kedua orang tuanya pasti akan kecewa jika Ghea sampai benar-benar melakukannya. 

'Papa yang di Surga, tolong katakan padaku apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku jelas tidak punya kekuatan apapun saat ini untuk melawannya. Aku yang begitu bodoh terlalu percaya pada mereka sampai menyerahkan harta mama papa untuk dikelola oleh mereka. Sekarang, aku bahkan tidak punya apa-apa selain diriku sendiri. Dan mama, aku menyesal sekali mempercayakan mama pada mereka. Maafkan aku, Ma! Maafkan kebodohanku!'

Pagi harinya, Hari bersikap biasa kepada Ghea seakan tidak terjadi apa-apa semalam tadi. Ghea sendiri memilih diam karena suaranya hanya akan membuat luka di atas tubuhnya semakin bertambah. 

Sebulan menikah dengan Hari sudah cukup membuat Ghea hafal dengan kelakuan suaminya yang ringan tangan. Kesalahan kecil yang dibuat Ghea hanya akan membuat tangan dan kakinya berbicara. 

Kemudian mulutnya meminta maaf tapi juga masih menyalahkan Ghea sebagai penyebabnya. Ghea tahu Hari tidak pernah sungguh-sungguh saat meminta maaf. Karena setelah itu, Hari sama sekali tidak ada rasa canggung untuk mengulangi kekasarannya. Seakan dia tidak merasa salah sedikitpun. 

"Baiklah, sepertinya aku harus main cantik untuk melawan Mas Hari. Aku gak boleh ceroboh dan gegabah hingga menjadikanku seperti samsak tinju hidup baginya. Ya. Aku harus lebih tangguh lagi dalam menghadapinya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status