Share

Aku Istrimu, tapi Bukan Cintamu
Aku Istrimu, tapi Bukan Cintamu
Penulis: Meriatih Fadilah

01. Sikap Dingin

“Mas mau ke mana?” tanya wanita itu dengan senyuman merekah.

“Apakah aku harus menjawab pertanyaanmu?” tanya balik pria tinggi itu yang telah menjadi suaminya enam bulan yang lalu.

“Aku hanya ingin tahu saja,” jawabnya pelan sambil menatap dari pantulan cermin hias wajah suaminya yang sedang merapikan jas kebanggaannya.

Apakah ini suatu keberuntungan memiliki seorang suami yang tampan dan pintar, mungkin nilainya jika diberi angka dari satu sampai sepuluh adalah sembilan menurutnya.

Wanita itu tersenyum kecil, walaupun senyuman itu tidak ada harganya di mata suaminya, tetapi dia tetap memperlihatkan senyuman itu dengan tulus. Sekilas Ardan meliriknya tetapi setelah itu dia acuh kembali dan meninggalkan Aluna berdiri seperti patung di kamarnya.

Sakit tetapi itu sudah biasa bagi Aluna dan tidak mau membenci sikap suaminya, dia sadar akan hal itu mungkin jika di posisinya pasti akan sama seperti dia.

Dengan melangkah pelan Aluna berusaha mengikuti Ardan walaupun itu tidak mungkin, dia akan tertinggal di belakang.  Ardan yang sudah sampai di ruang keluarga menyapa mereka semua.

“Selamat malam, Ma,” sapa Ardan dan mencium pipi Rini yang sedang asyik menonton televisi.

“Selamat malam, Sayang, malam ini kamu mau ke mana, tampan sekali, ada jamuan makan malam?” tanya Rini tersenyum dan bangga melihat penampilan putra kesayangannya itu.

“Ardan ada acara di kalangan bisnis, hari ini Ardan  akan mendapatkan penghargaan sebagai CEO termuda yang berprestasi dan pastinya akan banyak orang penting di sana,” jelasnya terlihat bahagia.

“Wah selamat ya Mas, dan bolehkah aku ikut?” tanya Aluna menyahut yang sudah sampai di ruang tengah keluarga.

Rini menoleh bersamaan dengan Ardan, mengamati penampilan wanita muda itu dan tersenyum mengejek.

“Apa aku nggak salah dengar Aluna? Kamu sudah tahu jawaban apa yang pantas untukmu!” hardiknya yang terlihat kesal.

“Kita sudah menikah Mas, apakah Mas masih tidak bisa menerimaku apa adanya?” tanya balik Aluna walaupun sudah tahu jawaban apa yang akan dia dengar.

“Ayolah Aluna, jangan bahas itu lagi, kita sama-sama tahu kalau pernikahan ini hanya sementara, kita ini dijodohkan dan aku tidak mencintaimu, bahkan aku merasa tidak berselera untuk menyentuh tubuhmu, kamu tahu kan kenapa?” Jawaban itu sangat menyakitkan di hati Aluna, kedua matanya pun mulai berembun tetapi dia harus menahannya.

“A-apa karena aku ...?” bibirnya kembali bergetar.

“Ya Aluna kamu tidak utuh, cacat walaupun wajahmu cantik tetapi kamu cacat, aku tidak suka melihatnya, aku membencinya sampai  saat ini!”

“Kita menikah hanya untuk Papa, kamu memang istriku tetapi bukan cintaku!”  Pria tampan itu lalu meninggalkannya begitu saja dan tidak ingin berdebat lagi.

Aluna akan kembali diam jika suaminya sudah menyatakan penolakan secara terang-terangan. Dia akan mengurung dirinya di kamar dan berteman  dengan bulir-bulir air matanya. Sudah sering Aluna mendapatkan kata-kata kasar, hinaan ataupun caci maki dari pria yang bergelar suaminya. Haruskah menyalahkan takdir sedangkan dia pun juga tidak tahu takdir akan membuatnya lebih menderita tinggal bersama mereka atau ada suatu harapan kebahagiaan yang akan dia renggut dalam dekapannya? Pikiran Aluna berkecamuk tetapi jawaban itu yang selalu dia dengar hanya satu kata "CACAT".

“Lebih baik kamu di rumah saja Aluna, tidak perlu keluar, sudah cukup cibiran dari orang luar kalau saya mempunyai menantu cacat dan miskin. Seharusnya kamu bersyukur bisa dinikahkan dengan anak saya dari keluarga Batara, kamu itu sudah miskin dan cacat jangan meminta lebih dari kami.”

“Bahkan saya tidak sudi mempunyai cucu dari rahim kamu, Mama takut kalau nasibnya akan sama dengan kamu yang juga cacat permanen.” Ucapannya begitu santai  tetapi sangat menyakitkan di dengar oleh Aluna, tetapi dia harus bersikap tenang untuk  menghadapi orang-orang yang tidak suka dengannya.

“Apakah Mama sudah selesai untuk menghina Aluna?” tanyanya dengan nada bergetar.

“Sudah dan itu sangat puas.” Rini berjalan meninggalkan Aluna, tapi sedetik kemudian dia berbalik. “Mbok Darmi sedang cuti selama dua minggu, jadi kamu pasti tahu ‘kan apa yang harus kamu lakukan di rumah ini?” Rini bersidekap sambil memandang rendah Aluna. Jika kamu mau dianggap sebagai menantu di rumah ini, bersikap seperti menantu pada umumnya yang bisa menyenangkan hati mertuanya. Kamu paham, ‘kan? Buatlah dirimu berguna. Pakai tongkatmu dulu, terlalu mahal untuk membelikanmu lagi kaki palsu, buang-buang uang.

Sana pergi ke dapur! Dan ingat Aluna, jangan sampai meminta pelayan lain untuk membantumu.

Kalau saya tahu mereka membantumu, saya tidak segan untuk menghukum atau memecat mereka. Saya harap kamu pintar dan mengerti apa yang saya katakan.”

“Dasar menantu tak berguna!” hardiknya dan pergi dari tempat itu.

Aluna menghela napas panjang, dia tidak  ingin membantah baginya percuma saja berbicara dengan mertuanya itu yang memang tidak menyukai Aluna sebagai menantunya apalagi karena fisik yang dimiliki oleh wanita cantik itu membuat Bu Rini malu dan jijik untuk diterima  di dalam keluarganya. Aluna harus bisa berbesar hati dan meyakinkan dirinya kalau ini adalah sebuah ujian yang harus dia jalankan tanpa mengeluh walaupun rasa sakit itu selalu akan berakar.

Aluna ingin sekali berjalan normal dengan kaki palsu yang diberikan oleh ayah mertuanya tetapi entah kenapa kaki palsu itu sudah  tidak bisa dipakai lagi sehingga Bu Rini membuangnya.

Pak Ardin sedang keluar kota untuk beberapa bulan sehingga dia jarang ada di rumah. Bu Rini tidak suka bepergian dinas dengan suaminya yang membosankan, karena tidak bisa belanja sepuasnya bersama putri kesayangannya yang bernama Sari.

Rumah tampak sepi, para pelayan sudah kembali ke tempat mereka di belakang. Aluna berjalan menuju dapur yang luas, dan betapa terkejutnya saat melihat begitu banyak pekerjaan di dapur yang belum diselesaikan.

Mereka sengaja melakukan semua ini agar Aluna bekerja di malam hari. Dengan semangat Aluna membersihkan dapur itu tanpa mengeluh, tetapi beberapa menit kemudian tiba-tiba ada yang memeluknya dari belakang.

Aluna terkejut dan berusaha melepaskan pelukan itu sekuat tenaga, tetapi kekuatan begitu besar sehingga Aluna kewalahan menghadapi orang itu.

“Ada apa, Sayang kenapa kamu harus berontak? Kamu tidak bisa menjauh dariku,” hembusan napasnya terasa dekat wajah Aluna, membuatnya ketakutan.

“Lepas!”Aluna berontak berusaha kembali untuk bisa lepas darinya.

“Kenapa kamu kaget? Ayolah Aluna, kamu pasti tidak mendapat jatah dari suamimu, kan? Bagaimana kalau aku saja yang memberikannya? Aku juga kesepian!" hardiknya yang mulai kesal.

“Lebih baik Om pergi dari sini,” teriaknya dan memukul kaki Ardi itu dengan tongkat kakinya dengan kuat. Seketika pelukan itu terlepas dan Ardi mengerang kesakitan.

“Augh ... Kamu keterlaluan Aluna!” teriaknya sambil menahan sakit.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yeni_Lestari87
ini om om minta digeplak pake sendok kayu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status