Wajah imut menggemaskan membuat pria tampan itu tidak bosan memandangnya. Baru kali ini Ardan bisa melihat putri kandungnya terlelap dalam mimpi. Dia pun tak menyangka jika telah dianugerahi dengan buah hati yang cantik dan sholehah. Seketika lamunannya tersadar bagaimana dia bisa sampai disini, apakah hati Aluna sudah mencair karena mau mengizinkan putrinya bersama ayah kandungnya sendiri?“Anaya? Dia di sini juga? Apa Dena sudah meminta izin untuk membawanya ke sini?” tanya Ardan kembali terkejut.“Nggak Pi, soalnya hari Tante Luna tidak masuk mengajar dia sibuk dengan orderan, kata Naya sih. Tadinya juga Naya nggak dijemput makanya Dena bawa saja ke sini,” jelasnya.“Jadi Tante Luna tidak tahu dong kalau Anaya ada di sini?”“Iya Pi.”“Gawat ini Dena, kenapa kamu tidak beritahu Tante Luna, kamu kan bisa menghubunginya?” Ardan begitu panik karena Aluna akan marah besar dan akan menuduh kalau Ardan lah yang merencanakan semuanya. “Papi lupa ya ponsel Dena kan sama Papi dan sekarang
Naya bangun dan melihat Ardan sedang menutup matanya. “Apakah Abi sangat kelelahan sehingga di jam seperti ini masih bisa beristirahat?” gumamnya dalam hati sambil menatap kearah Ardan. Naya beranjak dari tempat duduknya dengan perlahan-lahan lalu sampai lah dia di sofa tempat Ardan duduk dengan posisi sang masih sama. Muncul dalam pikirannya untuk bisa meringankan masalah yang dihadapi olehnya. Gadis kecil itu pun berinisiatif untuk memijat kening Ardan dengan tangan kecilnya. Ardan pun belum menyadari siapa yang telah membuatnya sedikit rileks. Dia beranggapan kalau itu adalah tangan Aluna. Ardan pun mengingat masa lalu saat tanpa disuruh Aluna langsung memijat kening Ardan begitu lembut. Awalnya menolak karena menjaga gengsi tapi lama kelamaan pijatan itu semakin terasa enak dan membuat Ardan tertidur. “Luna?” panggilnya seketika dan mengagetkan Naya yang sedang memijit keningnya. Mata Ardan melotot seperti hampir keluar dari tempatnya. “Na—naya?” Ardan masih tidak percaya
“Mas mau ke mana?” tanya wanita itu dengan senyuman merekah.“Apakah aku harus menjawab pertanyaanmu?” tanya balik pria tinggi itu yang telah menjadi suaminya enam bulan yang lalu.“Aku hanya ingin tahu saja,” jawabnya pelan sambil menatap dari pantulan cermin hias wajah suaminya yang sedang merapikan jas kebanggaannya.Apakah ini suatu keberuntungan memiliki seorang suami yang tampan dan pintar, mungkin nilainya jika diberi angka dari satu sampai sepuluh adalah sembilan menurutnya.Wanita itu tersenyum kecil, walaupun senyuman itu tidak ada harganya di mata suaminya, tetapi dia tetap memperlihatkan senyuman itu dengan tulus. Sekilas Ardan meliriknya tetapi setelah itu dia acuh kembali dan meninggalkan Aluna berdiri seperti patung di kamarnya.Sakit tetapi itu sudah biasa bagi Aluna dan tidak mau membenci sikap suaminya, dia sadar akan hal itu mungkin jika di posisinya pasti akan sama seperti dia.Dengan melangkah pelan Aluna berusaha mengikuti Ardan walaupun itu tidak mungkin, dia a
Aluna masih mencengkeram kuat tongkat kakinya walaupun tubuhnya terlihat sedikit bergetar, napas yang masih naik turun tetapi pertarungan dengan pria mata keranjang itu tidak membuatnya lemah dan takut, berusaha melindungi harga dirinya yang ingin direnggut paksa oleh pria itu.“Aku memang Om nya Ardan tetapi usia kami terpaut tidak jauh dan wajahku tidak jauh berbeda dengan suamimu itu, seharusnya Mas Ardin menikahkan aku dengan kamu saja, ya walaupun kamu cacat seperti ini tetapi cukup menjadi pemuas di ranjang hangatku, iya kan?” goda Ardi yang terus-menerus walaupun masih memegang kakinya yang sakit.“Maaf Om jangan ganggu, aku masih banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, sekarang Om pergi dari sini dan jangan sampai Raina melihat Om ada di sini!"“Raina sudah tidur, Sayang, dan tidak ada orang di rumah selain kita dan Mbak Rini, mungkin dia sudah tidur sambil mendengarkan musik di telinganya, lagian para pelayan sudah pergi semua jadi bagaimana kalau kita bermain sebentar?
“Oh ya Pa, di sekolah nanti ada acara, Raina ditunjuk membacakan karangan Raina di depan orang banyak, papa bisa hadirkan?” tanya Raina setelah mereka selesai sarapan.“Raina, Papa ada meeting, sama Oma atau Tante Sari, saja ya?” bujuk Ardi tanpa melihat ke wajah putrinya sendiri.“Maaf Raina sayang Oma ada urusan penting sama Tante Sari, kamu ditemani sama Mbak Sarah saja ya, Mbok Darmi pulang kampung selama dua Minggu. Dan kamu Aluna tetap di rumah saja jangan pergi ke mana-mana, Mama nggak mau kalau keluarga kita menjadi bahan topik perbincangan di luar sana karena mempunyai menantu cacat seperti kamu!” ancam Bu Rini ketus.Ardan diam saja tidak membela istrinya yang selalu di hina oleh ibunya sendiri.“Oh ya Ma, Delia akan datang dari luar negeri dan Ardan akan menjemputnya di bandara, dan bolehkah Delia menginap sementara di sini, kebetulan rumahnya sedang renovasi dan dia tidak biasa tinggal di hotel terlalu lama,” jelas Ardan mengalihkan pembicaraan.“Apa! Delia pulang? Boleh
"Halo, iya Mas ada apa?""Mama sudah memberikan tugas untukmu kan?""Iya Mas, sudah ini lagi mau menyiapkan bahannya dulu.""Dengarkan baik-baik Aluna, Delia adalah tunanganku, dan aku akan segera menikahinya. Pilihan kamu ada satu bertahan dengan siap di madu atau kita bercerai, segera kamu pikirkan baik-baik, kamu pasti tidak mungkin memilih bercerai karena jika papa sampai tahu dia akan mengalami serangan jantung, jadi aku mohon jika Papa sampai tahu kalau aku menikah lagi kamu yang harus menjawabnya kalau kamu setuju untuk di madu, aku tidak perlu mengulanginya lagi kan?."Belum juga Aluna menjawabnya, sambungan telepon itu terputus secara sepihak tanpa mengetahui setuju atau tidak. Matanya memerah dan terduduk kembali setelah mendapat kabar yang sangat menyakitkan hatinya.“Ada apa lagi Neng?” tanya Mbok Asih penasaran.“Nggak ada Mbok, Aluna mau ke kamar mandi dulu.”“Perlu Sarah bantu Neng?” “Nggak usah Mbak Sarah, aku bisa sendiri kok,” jawabnya pelan dan melangkah menuju
“Saya memang suka berpenampilan seperti ini Bu, apakah Ibu keberatan?” “Dan mengenai kaki saya, tidak perlu mencari tahu kenapa dan apa, karena kita di sini untuk menghadiri acara anak-anak kita, apakah Ibu keberatan?” tanya Aluna dengan sikap tenangnya.“Sudah cacat sombong pula,” sahutnya dan bergegas pergi dari hadapan Aluna.“Loh Aluna kamu di sini?” tanya seorang wanita paruh baya itu yang dia kenal.“Siapa dia Jeng?” tanya Ibunya Vivi penasaran.“Ini bukan mamanya Raina, tetapi menantunya Bu Rini keluarga Batara pengusaha properti itu loh, kan yang bangun sekolah ini adalah Bapak Ardin Bagas Batara dan dia menantunya yang cacat itu,” celetuk Bu Yeni salah satu tetangga mereka.“Kamu memang diizinkan keluar, bukannya kamu nggak boleh keluar ya, jangan-jangan kamu pergi begitu saja dari rumah itu?” sindir Bu Yeni kembali memojokkan Aluna.Namun, Aluna masih bersikap tenang menghadapi Bu Yeni yang hampir sama tabiatnya dengan mertuanya itu.“Saya memang bukan ibunya Raina, tet
“Sayang ada apa? Kenapa kamu melihat dia seperti mau marah gitu?” tanya Ardan sambil merangkul pinggang ramping Delia. Aluna melihatnya, bohong kalau dia tidak cemburu, tapi apalah daya Ardan lebih menyukai wanita seksi itu daripada istrinya yang cacat.“Oh enggak apa-apa, Sayang.” Delia mendaratkan satu ciuman di pipi suaminya membuat Aluna semakin tidak tahan dengan kelakuan mereka.Akan tetapi dia tidak mau bertindak gegabah, sebisa mungkin menahan hati agar bersikap tenang.Wanita cantik itu tetap melayani tamu yang datang. Tamu kehormatan bagi mereka sehingga semuanya sangat bahagia menyambutnya. Gelak tawa masih terdengar sampai balik pintu dapur. Dengan kaki pincang Aluna masih tetap mengatur hidangan itu agar terlihat rapi di meja makan. Dia tidak ingin membuat Ardan kecewa. “Sayang, bagaimana kalau kita makan dulu, Tante sudah menyiapkan makanan kesukaanmu, pasti kamu akan ketagihan deh,” ucap Bu Rini bersemangat. “Tante tahu aja kalau perut Delia lapar.” Delia dan lainnya