Memakai jas dan dasi, duduk di kursi empuk, serta mendapatkan gaji yang cukup besar, memanglah impian Darren sedari dulu. Kini, impian itu terwujud. Ia akan menggunakan kesempatan sebaik mungkin, walaupun ada misi tertentu dibalik itu. Dihari kedua, semangatnya kian bertambah karena Thalita akan datang.
Pagi itu Darren sedang mematut di depan cermin sambil merapikan rambut.
"Ganteng juga," gumamnya, kemudian ia terkekeh-kekeh. "Kayaknya lebih cocok jadi manager, deh, daripada asisten," celetuknya lagi.
Ponsel berdering mengalihkan perhatiannya.
"Ibu!" ucapnya saat tahu siapa yang menelepon.
"Halo, Bu."
"Kamu di mana, Nak? Kenapa tidak pulang?"
Darren meminta maaf karena belum mengabari Rossi perihal pekerjaannya. Semalam, dirinya kerja lembur dan mencari tempat kos hingga larut.
"Syukurlah, Nak. Maaf, Ibu juga baru menghubungimu. Ibu sibuk menerima pesanan. Oh, ya, kamu kerja di kantor?"
"Iya, Bu. Tepatnya di PT. Aji Sadewo Grup, perusahaan terbesar yang ada di ibu kota. Ibu senang, kan?"
Hening.
"Bu, halo ... kenapa diam?"
"Oh, maaf, Nak. Sudah dulu, ya, di depan ada orang. Ingat selalu Tuhan-mu dan berhati-hatilah."
Sambungan telepon terputus sepihak. Darren menatap layar ponsel yang sudah menghitam.
"Ibu kenapa? Hah! Sudah, lah, waktunya aku berangkat," gumam Darren.
***
Hanya berjalan kaki sekitar dua puluh menit, akhirnya Darren tiba di kantor. Pria itu sengaja memilih tempat kos yang dekat dengan tempat kerjanya.
"Pagi, Mbak," sapanya kepada resepsionis.
"Pagi, Tuan," balas sang resepsionis diiringi senyum.
Sikap ramah Darren kepada para karyawan di sana membuat suasana menjadi hangat. Sungguh berbeda dengan sikap Bagas.
Tiba di ruangan, hal yang pertama Darren lakukan adalah mengecek schedule Bagas.
"Hari ini dan beberapa hari ke depan tidak ada pekerjaan yang berarti untuknya. Tapi, kenapa dia malas mengecek dokumen penting itu?" gumam Darren.
Jemarinya terus menggeser layar tablet. Darren menyipit ketika melihat file dokumen bertuliskan 'false data'. Rasa penasaran Darren membuat dirinya membuka file tersebut. Senyum penuh kemenangan tampak jelas menyelimuti Darren.
Darren menggeleng. "Betapa sialnya dirimu, Bagas. Semua kebusukanmu aku tau."
Darren menyimpan tablet itu di atas meja dan fokus mengecek dokumen. Mengejutkan, Darren menemukan dua dokumen tentang kepemilikan perusahaan serta laporan keuangan. Satu per satu ia cek dengan seksama. Darren menarik napas dalam dan mengeluarkan kasar. Pria itu yakin jika dua dokumen tersebut tidak sengaja Bagas simpan dalam tumpukan dokumen lain.
Brak!
Pintu terbuka dengan kencang.
"Astaga!" ucap Darren sambil melihat ke arah pintu. Rupanya Bagas berlari menghampiri.
"Pagi, Bos," lanjut Darren menyapa.
Napas Bagas tersengal. "Apa kau melihat dua dokumen map merah?"
"Itu?" tanya Darren sambil menunjuk map.
Tangan Bagas secepat kilat menyambar map itu. "Kau sudah mengeceknya?"
"Belum. Baru mau aku cek, tapi Bos keburu datang."
"Ini biar aku yang cek. Kau lanjutkan yang lain saja."
Bagas berlalu. Lagi, Darren hanya menatap heran kepergian Bagas. Ia tidak habis pikir dengan perilaku bosnya itu. Baru saja dua hari bekerja, sudah dua kejutan yang ia dapatkan. Tidak ingin ikut campur terlalu jauh tentang hal itu, tetapi entah mengapa ada yang mengganjal di hatinya.
***
Di ruang Manager Marketing, tampak Marisa tengah menunggu Bagas dengan dua gelas kopi susu yang ia hidangkan di meja.
Brak!
Marisa menoleh. Ia memperhatikan tingkah Bagas yang tergesa-gesa memasukan map berwarna merah ke dalam brankas.
"Ada apa?" tanya Marisa.
"Tidak!"
Marisa tidak memedulikan dengan apa yang Bagas lakukan.
"Minumlah dulu. Masih pagi mukamu sudah tegang seperti itu."
Bagas duduk di samping Marisa. "Ada apa pagi-pagi sudah ke ruanganku?"
"Jangan berlaga bodoh! Mana bayaranku!"
Bagas menyesap kopi, kemudian tersenyum. Tangannya merangkul pundak Marisa, lalu berkata, "Tenanglah, sekarang juga aku transfer. Berapa?"
"Ck! Tentu saja sesuai kesepakatan. Kau tidak akan jatuh miskin, kan?!"
Bagas merogoh ponselnya di dalam saku jas. Tangannya dengan lincah menari di atas layar. Setelah transaksi usai, pria itu mengirim bukti transaksi kepada Marisa.
"Silakan cek saldo Anda, Nona."
Marisa sumringah melihat nominal yang tertera pada layar. Tak segan wanita itu menawarkan kembali tubuhnya.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu mengagetkan keduanya. Marisa bergegas merapikan pakaian serta rambutnya, begitu juga dengan Bagas.
"Masuk!" titah Bagas.
"Hai, selamat pagi!"
Bagas tersenyum melihat siapa yang datang. "Wow! Surprise! Kok, datang gak ngabarin dulu, sih, Sayang?"
Dialah Thalita. Ia menatap Marisa, kemudian tersenyum. "Memangnya kenapa? Aku disuruh papa untuk belajar bagaimana mengelola perusahaan."
Bagas berdalih jika dirinya akan menghadiri rapat penting. Pernyataan Bagas tentu saja membuat dirinya senang.
"Kalau begitu antar aku ke ruangan Kak Ge!"
"Ge?" tanya Marisa heran.
"Darren," kata Bagas menimpali.
Tanpa diminta Marisa bersedia mengantar Thalita ke ruangan Darren. Pun Bagas berpesan agar Marisa kembali ke ruangannya.
***
Marisa mengetuk pintu dan masuk saat Darren mempersilakan.
"Ada tamu untuk Anda," kata Marisa.
"Oh, silakan, suruh saja masuk," ucap Darren.
Marisa meninggalkan ruangan Darren saat Thalita masuk.
"Pagi menjelang siang, Pak Asmen."
Darren yang fokus mengecek dokumen, mendongak melihat ke arah suara.
"Akhirnya datang juga," kata Darren sambil berdiri menyambut.
Thalita memeluk Darren erat. "Aku kangen Kakak."
Darren membalas pelukan dan berkata, "Sama. Tapi, tolong jaga sikap. Ingat, misi belum selesai."
Thalita melerai pelukan dan duduk di sofa dengan bibir cemberut. Gadis itu menceritakan keinginan Abimanyu.
"Tapi, aku tidak mungkin juga menunjukan foto itu sekarang, Kak. Papa sedang sakit."
"Sabar. Nanti juga ada kesempatan. Oh, iya, kau tau, kan, siapa yang mengantarmu tadi?"
"Tau."
"Tidak cemburu?"
Thalita memukul lengan Darren pelan. "Ish! Jelas saja tidak. Aku cemburu kalau ada wanita lain dekat dengan Kakak."
Darren tersenyum menanggapi.
"Oh, ya, Kakak tidak ikut rapat?"
"Rapat?" Darren beranjak untuk memastikan schedule hari itu. Siapa tahu dirinya salah lihat.
"Tidak ada rapat hari ini." Darren memberikan tablet agar Thalita mengecek sendiri.
Thalita tersenyum masam, kemudian beranjak dan berdiri di balik jendela dimana pemandangan langsung ke area parkir.
"Bagas beralasan ada rapat?" sambung Darren bertanya.
Thalita hanya bergumam sebagai jawaban.
"Kak, sini!" pinta Thalita. "Lihatlah! Mereka mau rapat di hotel sepertinya," lanjut Thalita menebak.
Rupanya Thalita melihat Bagas dan Marisa sedang berjalan menuju area parkir. Mereka menaiki mobil Bagas. Darren dengan gesit mengarahkan ponselnya. Kamera itu menangkap ketika Bagas membukakan pintu untuk Marisa. Di manapun seorang bos tidak akan membukakan pintu untuk sekretarisnya terkecuali mereka ada hubungan spesial, pikir Darren.
"Kalian sedang melihat apa?"
Thalita dan Darren menoleh ke arah suara.
"Helena," ucap Thalita.
Mata Helena berbinar tatkala melihat Darren. Langkahnya dibuat gemulai agar menarik perhatian Darren.
"Tampan, kita bertemu lagi," ucap Helena sambil bergelayut manja pada lengan Darren.
Melihat hal demikian tentu membuat Thalita cemburu. Namun, harus ia tahan.
"Lepas!" sarkas Darren.
Helena terkesiap dengan perlakuan Darren. Menurutnya baru pertama kali laki-laki berbuat seperti itu.
"Astaga! Sombongnya," ujar Helena sambil mencolek dagu Darren.
"Ada perlu apa kamu ke sini?" tanya Thalita.
Helena menghela napas. "Sampe lupa ada Kakak ipar di sini. Kakak ipar sendiri sedang apa di sini? Tidak takut Kak Bagas marah? Gak ingat kalau dia pencemburu berat?"
Thalita berdecih dengan tangan ia lipat di dada. "Ada perlu dengan Tuan ini?"
Helena menghampiri Thalita, kemudian berbisik. "Kalian sudah saling kenal?"
"Dia sahabatku," jawab Thalita dingin.
Mendengar hal itu membuat Helena senang. Helena akan menggunakan kesempatan itu untuk mendekati Darren melalui Thalita.
"Hah! Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu." Helena tersenyum riang, lalu meninggalkan ruangan Darren.
Darren dan Thalita hanya menatap kepergian Helena yang menurut mereka tidak jelas. Pasangan kekasih itu saling memandang dan mengangkat kedua bahu mereka.
"Orang aneh!" ucap Darren.
Darren melanjutkan pekerjaannya ditemani oleh Thalita. Darren yang baru saja bekerja dua hari, mampu mengajari Thalita hingga tak terasa semua dokumen selesai dicek.
"Kadar semangatku bertambah karena kau ada di sini," ucap Darren, membuat Thalita tersipu.
Jam istirahat tiba. Darren memutuskan untuk memesan makan siang dan menikmatinya bersama Thalita di ruangan. Tawa dan canda menyertai keduanya. Tak ayal, suasana hangat nan romantis pun terjalin. Tanpa Darren dan Thalita sadari, ada seseorang yang menyaksikan keakraban keduanya.
"Cih! Mereka sampai tidak menyadari suara ketukan pintu dan kehadiranku di sana," kata orang itu ketika ke luar dari ruangan Darren.
Ritual makan siang sudah selesai. Saatnya Darren kembali berkutat dengan pekerjaannya. Bukan lagi mengecek dokumen, melainkan mencari tahu seluk-beluk tentang PT. Aji Sadewo Grup termasuk perusahaan milik Abimanyu melalui laman internet.
"Hampir sore. Tidak pulang?"
Thalita hanya menggeleng. Tidak ada yang dilakukan gadis itu selain duduk sambil menopang dagu dengan mata terus menatap lelaki pujaannya itu.
"Kak, bawa aku pergi!"
Darren menatap wajah Thalita dengan kening mengerut. "Maksudnya?"
"Kita kawin lari."
Darren mengembuskan napas kasar dan mengatakan agar Thalita jangan berpikir dan bertingkah yang macam-macam. Mendengar hal itu membuat Thalita cemberut.
Kedua ponsel mereka berbunyi pertanda sebuah pesan masuk.
"Kau pulang saja. Aku tidak akan kembali ke kantor." Pesan Bagas kepada Darren.
"Langsung pulang. Jangan ke mana-mana dulu. Apalagi dengan temanmu itu. Jika melanggar, aku akan marah besar." Pesan Bagas kepada Thalita.
Keduanya menunjukkan pesan masing-masing.
"Pulanglah," kata Darren.
"Tidak! Siapa dia? Aku tidak peduli. Aku ingin tau tempat tinggal Kakak sekarang."
Thalita terus memaksa. Darren pun tidak bisa menolak.
"Baiklah. Tapi, menuju kosanku tidak bisa masuk mobil. Tidak apa jalan kaki?" tanya Darren memastikan.
"Tidak masalah. Ayok!"
Tepat jam empat sore Darren dan Thalita meninggalkan kantor.
***
Tiba di kosan, Darren mempersilakan Thalita masuk. Keduanya duduk di lantai beralaskan tikar dengan pintu dibiarkan terbuka.
"Kakak ambilkan minum dulu," kata Darren, kemudian berlalu.
Derrt Derrt Derrt!
Ponsel Thalita berdering.
"Papa? Ada apa?" gumam Thalita saat melihat nama si penelepon.
"Halo, Pa. Ada apa?"
"Kamu di mana?"
Thalita tergagap. "Di-di ... emm ... baru saja ke luar dari kantor Bagas, Pa."
Abimanyu mengatakan jika esok malam harus menghadiri undangan makan malam bersama keluarga Sadewo.
"Bukankah Om Sadewo masih di luar negeri?"
"Besok pulang. Dan malamnya kita akan mengadakan acara penyambutan. Sekalian besok Papa akan bahas kamu dan Bagas."
Thalita bergeming. Ia bingung harus berbuat apa.
"Ini minumnya," ucap Darren. "Loh, Sayang kenapa?" lanjutnya, sambil menatap heran.
Terdengar jelas oleh Darren jika lawan bicara Thalita meminta jawaban gadis di hadapannya itu.
Thalita mematikan sambungan telepon. "Tidak!"
Tanpa pikir panjang, Thalita mengirimkan foto mesum Bagas dan Marisa kepada Abimanyu serta mengirim pesan.
"Lita harap Papa batalkan perjodohan itu. Lihatlah, calon menantu yang Papa banggakan tidak jauh dari lelaki hidung belang!" Isi pesannya.
Darren yang tidak mengerti dengan sikap Thalita pun meminta penjelasan. Namun, bukannya menjawab, Thalia balik bertanya.
"Kakak cinta padaku, kan?"
"Iya."
"Buktikan kalau Kakak cinta sama aku!" Thalia membuka kemejanya.
Darren menahan tangan Thalita agar tidak membuka seluruh atasannya. "Astaga! Apa yang kau lakukan?!"
"Ayok, kita lakukan! Dengan begitu papa pasti akan menikahkan aku dengan Kakak!"
"Dengar, Kakak tidak akan merusak wanita yang Kakak cintai!"
Darren menenangkan Thalita. Adu mulut pun terjadi. Namun, Thalita tetap ingin membuka kemejanya hingga terkesan Darren yang memaksa Thalita untuk membuka. Tanpa mereka ketahui seseorang yang membuntuti mereka sedari tadi mengambil beberapa gambar.
"Thalita!" bentak Darren, sambil mengguncang pundak sang gadis.
Thalita menangis sambil memeluk Darren.
"Aku tidak mau menikah dengan Bagas. Bawa aku pergi!"
Darren membiarkan Thalita menangis sepuasnya. Setelah Thalita tenang dan kembali merapikan kemejanya, ia meminta penjelasan. Sang wanita pun menceritakan kabar apa yang sudah ia dapat. Darren bergeming. Pikirannya berkecamuk. Haruskah ia mempertahankan Thalita?
Pagi itu matahari bersinar terik. Saatnya si bayi berjemur setelah mandi. Rossi dengan penuh kehati-hatian menggendong sang cucu sambil menimang agar bayi itu tenang. "Jangan biarkan matanya langsung terkena sinar matahari, ya, Nak," kata Rossi. "Iya, Bu. Nanti Lita beli kain penutup matanya, kok."Dirasa cukup, mereka membawa sang bayi ke kamar. Setelah selesai memakai baju dan disusui, bayi itu pun tertidur. Thalita yang tidak tega meninggalkan bayinya sendiri di kamar selama ia sarapan, akhirnya membawa ayunan rotan. "Pulas sekali tidurnya," ucap Darren sembari melihat bayinya. "Iya, kita berisik juga dia tidak merasa terganggu," kata Sadewo. "Enak mungkin. Udah anget, udah mimik pula," kata Thalita. Darren menarik kursi di samping Thalita. "Papanya juga kalo di kasih mimik tidurnya pulasss."Thalita menyikut lengan Darren. "Apa, sih, Yang?" Darren berlaga polos. Thalita tersenyum diiringi mata yang melotot. Rossi dan Sadewo hanya terkekeh-kekeh. "Bisa habis jatah susu Th
Setiap harinya, dengan sabar dan telaten Thalita memompa ASI-nya. Setiap hari pula sang suami akan mengantarkan ASI itu ke rumah sakit. Hampir satu bulan mereka melakukan itu. Seperti pagi itu, Darren siap mengantarkan ASI untuk sang bayi. "Kakak, aku ikut!" teriak Thalita saat Darren baru saja membuka pintu mobil. "Sayang, tunggu saja di rumah," ucap Darren. Darren mengernyit melihat tas bayi yang dibawa oleh Thalita. "Apa itu?""Baju bayi'lah. Kan, hari ini putriku pulang."Darren tersenyum. "Kata siapa, hem?"Thalita menunjuk dadanya dan berkata, "Hati seorang Ibu mengatakan bahwa hari ini juga dia pulang."Tidak ingin merusak suasana hati sang istri, akhirnya Darren memperbolehkan Thalita ikut. Darren tidak memungkiri bahwasanya naluri seorang ibu itu selalu benar. Oleh karena itu Darren memutuskan untuk menggunakan jasa sopir dan mengganti mobil sport miliknya dengan mobil keluarga. Di perjalanan, tak hentinya Thalita mengukir senyum sambil memeluk Darren. "Seneng banget, si
Suka dan duka Thalita lewati selama menjalani kehamilan. Pun dengan Darren. Pria itu dibuat pusing bukan kepalang saat memenuhi keinginan istrinya itu. Bagaimana tidak? Terkadang, pada malam hari Thalita meminta Darren untuk memanjat pohon mangga dan memetiknya tanpa sepengatahuan pemiliknya. Menurut Thalita itulah seninya dan menjadi kebanggaan ketika memakannya. Namun, tanpa sepengetahuan Thalita pula, pada siang harinya Darren bicara kepada sang pemilik bahkan membayarnya. Entah mau jadi apa anaknya nanti. Pencuri? Darren selalu membuang jauh-jauh pikiran itu. Belum lagi cerita di siang hari. Tepat matahari sedang terik-teriknya, Thalita meminta Darren ke luar kantor mengenakan mantel tebal. Ditambah harus membeli atau membuat makanan yang menurut Darren tidak masuk akal. Meskipun demikian, Darren tetap merasa bahagia dan tetap mengabulkan permintaan sang istri. Itu cerita Darren lima bulan lalu. Kini, usia kehamilan Thalita menginjak delapan bulan. Hanya saja, Thalita bersikeras
Darren duduk tepat di samping Thalita. Ia terlihat cemas. "Bagaimana, Dok?"Dokter itu tersenyum. "Selamat, istri Tuan sedang mengandung."Darren tersenyum. Matanya berkaca, kemudian kembali bertanya, "Benarkah?""Iya. Untuk memastikan berapa usia kandungannya, lebih baik segera lakukan USG."Darren menatap orang tuanya bergantian. "Sebentar lagi Ge jadi seorang ayah."Keduanya mengangguk sambil tersenyum. "Selamat, Nak," ucap Sadewo. Rossi mendekati sang putra. "Selamat, Sayang."Dokter itu pamit. Sadewo pun mengantar. Rossi duduk di tepi ranjang. Matanya tak lepas dari wajah sang menantu. Dulu, wajah itu yang ia benci. Dulu, wajah itu yang ingin Rossi singkirkan dari hadapan Darren. Ternyata Rossi salah, wajah cantik itu yang memberi kebahagiaan kepada putranya. Bukan tak beralasan. Dahulu, Rossi tidak ingin Darren bermasalah dengan keluarga kaya yang tak lain adalah Sadewo dan Abimanyu dan berujung mengenaskan seperti dirinya. Ternyata takdir berkata lain, wanita muda yang lema
Hari-hari Darren dan Thalita lalui selalu bersama. Keduanya kompak dalam melakukan segala hal. Di kantor mereka akan bersikap profesional sebagaimana atasan dan bawahan. Tidak terasa satu tahun sudah usia pernikahan Darren dan Thalita.Malam itu, mereka menikmati makan malam nan romantis di sebuah restoran untuk merayakan anniversary. Tukar kado pun terjadi antara mereka. Namun, ada sesuatu yang membuat Thalita murung. "Sayang, ada apa?""Ah, tidak ada apa-apa, Kak."Melihat bulir bening yang menetes membuat Darren dengan sigap berpindah duduk dan memeluk. "Sayang, ada apa? Jangan buat Kakak khawatir."Thalita menarik napasnya dalam. Ia mengatakan jika dirinya ingin segera hamil. Akan tetapi, setelah satu tahun pernikahan dirinya tak kunjung hamil. Padahal, segala obat medis dan tradisional sudah dicobanya. Hasil cek dokter pun menyatakan jika kandungan Thalita baik-baik saja. "Apa dokter itu berbohong?""Hey, Sayang, lihat Kakak." Darren membingkai wajah Thalita. "Sayang, kita h
Berkumpul bersama keluarga setelah beraktivitas mampu mengurangi rasa lelah. Berbagi cerita diselingi dengan canda dan tawa rupanya keluarga Sadewo dan keluarga lakukan malam itu. "Bagaimana hasil cek ke dokter?" tanya Rossi. Darren melihat ke arah Thalita. Diraihnya tangan sang istri, menciumnya, lalu menceritakan apa yang dokter anjurkan. "Ikuti saja saran dokter. Buat rileks. Ingat, jangan banyak pikiran karena itu akan mengganggu kesehatan. Kalian nikmati saja waktu berdua," ujar Rossi. "Iya, nikmati saja dulu," timpal Sadewo. "Iya, Yah, Bu. Lita akan turuti semua saran dokter," kata Thalita. Pun Thalita mengutarakan tentang keinginannya untuk menjadi sekretaris Darren. "Ya, bagus itu," kata Sadewo. Rossi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau itu mau Nak Lita, Ibu, sih, tidak keberatan. Bagus malah. Ibu justru akan khawatir kalau sekretaris Ge itu wanita lain."Mendapat dukungan dari mertua membuat Thalita merasa menang. Wanita itu menatap suaminya sambil menaikturunkan al