Share

Kartu As-mu Ada Padaku!

Berkemeja putih dan celana panjang hitam. Darren turun dari taksi yang terparkir di loby sebuah gedung. Matanya menyusuri sekeliling dengan tatapan penuh kagum. Ya, Darren tiba di sebuah perusahaan besar yang Thalita tunjukkan. Rasa grogi menyelimuti tatkala langkahnya tiba di meja resepsionis.

"Pagi, Mbak," sapa Darren.

Senyum ramah dan balasan sapaan pun Darren dapatkan dari sang resepsionis. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Bisa bertemu dengan Tuan Bagas?"

"Sudah membuat janji?"

"Tentu."

"Anda Darren Gerald?"

"Iya, Mbak."

"Silakan langsung saja. Tuan Bagas sudah menunggu." Sang resepsionis menunjukkan arah ruangan Bagas, dimana anak pemilik perusahaan itu berada di lantai tujuh.

Tiba di lantai tujuh, Darren disuguhkan dengan banyaknya pelamar. Duduk menunggu panggilan untuk interview tentu saja pengalaman kali pertama baginya. Meskipun Thalita menjamin dirinya akan diterima, tetap saja Darren merasa grogi. 

Setelah sekian lama menunggu, tiba saatnya Darren masuk ke dalam ruangan bertuliskan 'Manager Marketing'.

"Selamat pagi, Tuan Bagas," sapa Darren. 

"Hemm, duduk!" titah Bagas sambil menunjuk kursi di hadapannya. 

Seorang wanita berpakaian layaknya sekretaris menyerahkan dokumen milik Darren kepada Bagas. 

"Tinggalkan kami!" titah Bagas kepada wanita itu. 

Sang wanita mengangguk dan meninggalkan ruangan.

Bagas beranjak dan duduk di tepi meja tepat di samping Darren. 

"Darren Gerald," ucap Bagas saat membuka dokumen milik Darren, lalu memasukannya kembali. 

"Kau tau, kan, aku adalah pacarnya Thalita? Ups! Bukan pacar, melainkan calon suami."

Darren mengangguk. "Tau!"

"Bagus! Jadi, aku pastikan jangan pernah dekati Thalita. Mengerti?"

Darren tersenyum masam. "Sangat dimengerti. Lalu, apa ini interview untuk masuk ke perusahaan ini?"

Bagas tertawa. "Hahh! Pertanyaan yang bagus. Tapi, sepertinya cukup. Hanya peringatan itu saja yang dari kemarin ingin aku sampaikan kepadamu."

"Tidak mengecek dokumen milikku?" 

Bagas berdecih. "Aku percaya kepada Thalita. Tidak mungkin dia mempromosikan orang bodoh ke perusahaan ini."

"Jadi?"

"Kau diterima dan berada di bawahku. Lebih tepatnya kau adalah asistenku."

Darren tersenyum. Mendapat jabatan itu tentu saja akan memudahkan jalannya untuk mengawasi Bagas. 

"Cih! Kau senang? Jangan besar kepala dulu. Bagaimanapun juga aku tidak senang dengan kehadiranmu di sini. Ini hanya karena Thalita."

Darren tidak memedulikan bagaimana sikap Bagas terhadapnya, karena yang terpenting adalah jalannya sudah terbuka lebar. 

"Kapan mulai bekerja?"

Bagas beranjak dan bertepuk tangan. "Woow! Itu pertanyaan yang aku suka. Kau bekerja mulai hari ini."

Brugh! 

Bagas menyimpan tumpukan dokumen tepat di hadapan Darren. Ia memerintahkan agar Darren mengeceknya dengan teliti dan harus selesai dalam kurun waktu tiga hari sebelum pemilik perusahaan kembali dari luar negeri.

"Meskipun kau lebih tua diriku, aku tetap bosmu! Kau harus hafal Pasal 1 dan Pasal 2. Pasal 1, bos tidak pernah salah dan Pasal 2, jika bos salah ... kembali lagi ke Pasal 1. Mengerti?!"

Darren hanya mengangguk. Terlalu malas baginya untuk beradu argumen.

***

Darren menempati ruang kerjanya yang tak jauh dari ruang Bagas.

Tok tok tok! 

"Masuk!" titah Darren. 

"Pagi," sapa seorang wanita cantik. 

"Pagi, Nona, eh ... Bu," balas Darren canggung. 

Wanita itu tersenyum. "Namaku Marisa. Sepertinya kita seumuran. Panggil saja Ica."

"Oh, baiklah. Salam kenal, Nona Ica."

Marisa diperintahkan oleh Bagas untuk mengajari Darren dalam mengecek dokumen.

"Kau yang sabar, ya, punya bos seperti Bagas. Sudah ada dua orang yang menjadi asistennya, tetapi memilih ke luar karena sikapnya yang seenak hati," ujar Marisa. 

Darren tersenyum samar.

"Maklum saja, pacarku itu putra dari pemilik perusahaan ini," lanjut Marisa. 

Darren menyipit. "Pacar?"

Marisa membekap mulutnya. "E-eh, ma-maksudku--"

"Tidak apa-apa, Nona. Bukankah wajar bos berpacaran dengan karyawannya? Apalagi kau sangat cantik."

Marisa tersipu mendapatkan pujian dari Darren. Wanita itu meminta agar Darren merahasiakan tentang hubungannya dengan Bagas.

"Kau pura-pura tidak tau, ya. Bagas sangat mewanti-wanti agar tidak ada satu orang pun yang tau."

Dalam hati Darren bersorak. Ia bisa menggali informasi dari Marisa. 

"Tenang saja. Aku bisa menjaga rahasia."

Marisa mulai mengajari Darren. Bukan hanya itu, Marisa memberitahu tentang schedule Bagas setiap harinya. 

"Kau bisa lihat semuanya di sini," kata Marisa sambil memperlihatkan sebuah tablet. "Kau juga bisa mencatat apa saja di sini," sambungnya. 

Tidak butuh waktu lama Marisa mengajarkan Darren. Pun Marisa mengatakan jika Darren pasti mampu menyelesaikan dalam waktu yang Bagas beri. 

"Jika sudah selesai atau ada yang perlu kau tanyakan, bisa menemuiku di ruangan Bagas atau di ruangan presdir."

"Baiklah. Tapi, kenapa Anda bekerja didua tempat, Nona?"

Marisa menarik napas dalam dan mengeluarkan kasar. "Sebetulnya aku sekretaris Tuan Sadewo. Setelah putranya lulus kuliah, Bagas dipaksa untuk belajar bisnis. Walhasil, yaahh ... kerjanya ngasal. Sesuka hati."

"Pantas jabatannya tidak langsung jadi CEO," ucap Darren. 

"Masih tahap belajar jadi pemimpin saja ancur, apalagi langsung diposisi itu," terang Marisa. 

Darren mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi, Nona juga keren. Bisa pacaran dengan anak bos."

Marisa terkekeh-kekeh. "Zaman sekarang kalo bukan karena duit mana mau. Sudah, ah, malah bahas masalahku."

Marisa meninggalkan ruangan Darren. Pun dengan Darren yang fokus dengan pekerjaan dihari pertamanya.

Jam berputar terasa sangat cepat menurut Darren. Waktunya makan siang.

***

Darren yang mudah bergaul membuat suasana di kantin tidaklah canggung. Terlebih lagi, banyak kaum hawa yang ingin duduk menikmati makan siang bersamanya.  Tanpa Darren ketahui, di meja pojok sana ada seorang gadis yang menatapnya kagum. Tidak membuang kesempatan, gadis itu menghampiri. Seketika para staf yang duduk bersama Darren menarik diri. 

"Eh, ada apa?" tanya Darren heran. 

"Hati-hati!" bisik salah seorang staf. 

Darren menyipit ketika wanita itu mendekat. Bukannya senang, justru Darren merasa risih. Bagaimana tidak? Wanita itu memakai rok di atas lutut dengan atasan kemeja yang ketat memperlihatkan dua gundukan benda kenyal nan sintal. Ditambah, riasan wajah yang tebal. 

"Boleh duduk di sini?" tanyanya. 

"Silakan, Nona. Tempat ini untuk semua karyawan di sini," ujar Darren dingin. 

"Kenalin, gue Helena. Putri dari pemilik perusahaan ini." Wanita itu mengulurkan tangan. 

Darren terus saja menyuapkan nasi sampai habis, kemudian berkata, "Salam kenal, Nona. Maaf, saya sudah selesai. Permisi."

Helena menatap kepergian Darren diiringi senyum yang sinis. "Wow, menarik! Kau akan menjadi milikku, Tampan."

***

Darren memilih kembali ke ruangan meskipun masih jam istirahat. Langkahnya terhenti saat mendengar  suara benda yang terjatuh di ruangan Bagas. Pria itu mengendap, mendekatkan diri ke arah pintu. Jelas Darren bisa mendengar karena pintu tidak tertutup rapat. Pun dengan leluasa bisa melihat apa yang terjadi di dalam. 

"Emmm ... aaahh!" desah seorang perempuan. 

"Lebih cepat lagi, Sayang! Aaahh ... aku suka," ucap seorang laki-laki. 

Darren terbelalak. Antara percaya dan tidak dengan apa yang ia lihat. Dirinya yakin jika dua orang itu adalah Bagas dan Marisa. Mereka tengah bercinta, dimana Marisa yang memegang kendali. Darren segera merogoh ponsel yang ada di saku celana dan dengan hati-hati membidikkan kamera. Posisi Marisa yang duduk di pangkuan menghadap lawannya tentu saja membuat Darren leluasa. Tampak jelas punggung Marisa yang putih dan mulus dengan tangan sang pria mengusap-usap lembut punggung itu.

"Cih! Menjijikan!" gumam Darren. Gegas ia meninggalkan tempat itu dan memasuki ruangannya.

"Kartu As-mu ada padaku, Bagas. Tidak akan aku biarkan Thalita jatuh ke tanganmu! Aku akan pertahankan Thalita! Terserah kau mau bilang aku perebut pacar orang atau apa pun. Thalita tidak pantas denganmu!"

Darren menghubungi Thalita.

"Ha--"

"Simpan foto itu baik-baik. Jangan menghubungi atau mengirim pesan sebelum Kakak yang menghubungimu terlebih dulu," terang Darren memotong ucapan Thalita. 

Darren mematikan sambungan sepihak, kemudian mengirim foto tadi. Jemarinya dengan lincah menghapus foto, pesan terkirim dan panggilan ke luar, serta menyeting layar agar tidak terkunci. 

"Kita lihat, apa tebakanku benar?" ucap Darren, lalu menghidupkan lampu ruangannya. 

Darren melihat jam dinding. Sisa lima belas menit lagi waktu istirahat. Ponsel disimpan di meja, kemudian duduk bersandar pada kursi berbantal lengan. Pun dengan kaki yang ia naikkan ke atas meja. 

Mata pun terpejam. Tidak berselang lama, terdengar suara pintu terbuka. Darren sedikit membuka matanya. Ia melihat seseorang mengendap masuk, melangkah ke arahnya. Dialah Bagas. Ia melihat jika pria itu dengan hati-hati mengambil ponsel miliknya. Matanya fokus dan jemarinya lincah mengusap layar.

Setelah beberapa menit, Darren pura-pura menggeliat dan membuka mata. "Eh, Bos. Loh, kenapa ponselku ada di tanganmu?"

Bagas gelagapan. "Oh, a-aku hanya melihat ponselmu saja. Dan ternyata tidak kau kunci. Pake, dong, kata sandi atau pola. Nanti dilihat orang bagaimana?"

"Contohnya Anda, begitu?"

Bagas mendengkus. "Ingat Pasal 1 dan 2! Aku hanya ingin bertanya, kenapa belum waktunya masuk kau sudah menyalakan lampu? Peraturan di sini, jika belum jam masuk dilarang menyalakan lampu."

"Oh," ucap Darren acuh. "Maaf, aku tidak biasa tidur dalam gelap," lanjutnya. 

Darren berdiri hendak pergi. 

"Tunggu!" titah Bagas. 

Sambil memasukan kedua tangan ke dalam saku celana, Darren mengembuskan napas kasar. "Ada apa?"

"Emm ... apa sebelum kau masuk melihat ke ruanganku terlebih dulu?"

Darren menyipit. "Ke ruangan Bos? Tidak. Memangnya kenapa?"

"Ah, tidak!" Bagas berlalu pergi. 

"Satu yang aku tau!" seru Darren, membuat langkah Bagas terhenti, lalu menoleh. 

"Apa?"

"Lampu ruangan Anda menyala."

Bagas hanya ber-oh saja, kemudian meneruskan langkah. 

Darren menatap kepergian Bagas. Bibirnya menyunggingkan senyum puas. Ternyata dugaannya benar. Bagas pasti menyadari hal itu karena melihat lampu ruangan Darren sudah menyala. Bukan Darren tidak tahu akan peraturan, melainkan sengaja melanggar.

Bagas kembali ke ruangan. 

"Gimana, Sayang?" tanya Marisa cemas. 

Bagas mengangkat kedua bahunya.

"Tenang saja, dia tidak tau apa pun. Lain kali, tutup pintu dan kunci!"

Marisa hanya mengangguk sebagai jawaban. 

***

Di kediaman Abimanyu, Thalita mondar-mandir sambil menggenggam ponsel erat. Bukan cemburu, melainkan rasa benci dan jijik terhadap Bagas. Ingin rasanya saat itu juga ia perlihatkan foto itu kepada Abimanyu, tetapi dirinya tidak mau gegabah. 

"Kakak, ayok, dong, telepon aku," gumam Thalita. 

Sepuluh menit, dua puluh menit, dan tepat dimenit ketiga puluh, Darren menghubunginya.

"Hal--"

"Halo, Kak, gimana ini? Apa aku langsung beritahu papa?" tanya Thalita antusias memotong ucapan Darren. 

"Astaga! Kebiasaan, deh, nyamber aja kayak bensin."

"Hehe ... maaf, Kak. Lalu gimana, nih?"

Darren menyarankan agar Thalita bersabar. Ia akan mengumpulkan bukti lain dimana foto terfokus kepada wajah Bagas, jika ada kesempatan. 

"Tunggu waktu yang tepat," kata Darren."

"Oke. Oh, ya, besok aku ke Kantor Bagas. Tunggu aku, ya?"

"Oke, Tuan Putri. Hamba akan menunggu."

Sambungan telepon terputus. 

Tok tok tok! 

"Sayang, boleh Papa masuk?"

Thalita menyimpan ponselnya di atas nakas. 

"Iya, Pa, masuk aja."

Abimanyu duduk di tepi ranjang. Pun ia meminta Thalita duduk di sampingnya. 

"Ada apa, Pa? Papa merasa sakit? Di mana? Apa perlu Lita pijat?"

Abimanyu menggeleng dengan senyum mengiringi. "Tidak, Nak. Papa hanya ingin bicara denganmu saja."

Thalita mengernyit. "Tentang?"

Abimanyu mengatakan jika Thalita harus meresmikan hubungannya dengan Bagas.

"Papa sudah tua. Sering sakit-sakitan juga. Kamu lihat, kan, tadi pagi mamamu yang malah sibuk pergi ke kantor menggantikan Papa?"

"Untuk belajar bisnis, Lita siap, Pa. Jika nanti Lita sudah bisa terjun langsung, Papa sama mama cukup diam di rumah saja. Tapi, untuk meresmikan hubungan, tidak. Bukankah sudah jelas dahulu Bagas menolak?"

Abimanyu berucap jika nanti dirinya akan berbicara kembali kepada Bagas. 

"Tidak, Pa!"

Namun, bukanlah Abimanyu jika tidak memaksakan keinginannya. Segala cara akan ia lakukan agar Thalita tetap bersama Bagas. 

"Ada sesuatu yang ingin Lita tunjukan kepada Papa, tapi nanti. Jadi, untuk sekarang biarkan Lita fokus untuk belajar bisnis dulu."

Abimanyu memberi Thalita waktu dua bulan. Tentu saja keputusan itu disambut gembira oleh Thalita, karena selama dua bulan itu ia akan mengumpulkan bukti jika ternyata Bagas yang Abimanyu banggakan tidak seperti yang ada dalam bayangan. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tony
lucu dannbagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status