Keputusan sudah bulat. Darren akan kembali ke tanah air bersama Thalita. Dua koper besar siap masuk bagasi mobil, tetapi Darren terus menatap ke arah bengkel. Tempat itulah yang mempertemukannya dengan Thalita. Saat itu Thalita datang mengantar temannya untuk memperbaiki motor. Diamnya Thalita justru menarik perhatian Darren daripada temannya yang terkesan ganjen, menurutnya. Modus teman Thalita yang datang setiap hari dengan dalih motor atau mobilnya yang rusak justru menumbuhkan benih-benih cinta antara Darren dan Thalita. Kisah cinta pun terjalin. Namun, kisah itu akan berakhir di tempat yang sama pula, pikir Darren.
"Mau ke mana?" tanya Bagas saat melihat Thalita membuka pintu mobil.
"Ck! Mau samperin Kak Ge!"
Suara sepatu yang beradu dengan lantai memecah lamunan Darren.
"Kak, ada apa?" tanya Thalita.
Darren menoleh, lalu mengembuskan napas kasar. "Tempat ini menjadi kenangan terindah sekaligus memilukan buat Kakak."
Thalita mengernyit. "Maksudnya?"
Darren tersenyum, kemudian berkata, "Ah, tidak penting, kok. Maaf, menunggu lama. Yuk, berangkat."
"Bang, aku pulang. Maaf, gak sempet beres-beres," pamit Darren kepada keponakan Reyhan.
"Oke, gak masalah. Hati-hati di jalan."
Darren menuju mobil meninggalkan Thalita yang tengah terpaku menatapnya. Penyataan Darren rupanya membuat tanya dalam benak Thalita.
"Maaf, Tuan, Nyonya, lama menunggu," kata Darren ketika duduk di kursi depan.
Bagas berdecih, sedangkan Angelina tersenyum ramah.
Melihat Thalita bergeming, Darren memberikan isyarat agar Thalita segera menaiki mobil. Gadis itu pun mengangguk dan mengikuti perintah.
Mobil pun melesat menuju bandara.
***
Setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu, akhirnya pesawat milik Sadewo berhasil mendarat di tanah air. Di bandara, para pengawal Sadewo dan mobil mewah milik Bagas siap membawa mereka pulang. Akan tetapi, lain halnya dengan Darren. Bagas sungguh tidak mengizinkan jika Darren menaiki mobilnya.
Sikap Bagas sungguh Thalita tidak menyukai. Ia menghubungi sopir pribadinya agar segera menjemput.
"Sayang, biar aku antar saja," kata Bagas.
Thalita berdecih. "Maaf, lebih baik aku menunggu sopir atau naik taksi saja daripada pulang dengan orang sombong seperti Anda, Tuan!"
Bagas tidak memedulikan ocehan Thalita. "Sudah dini hari. Udara pun tidak bersahabat. Naiklah!"
Angelina yang tahu betul sifat Thalita, tentu saja memberi penjelasan kepada Bagas agar membiarkan mereka pulang dengan sopir keluarga Abimanyu saja.
Thalita tersenyum penuh kemenangan dan Bagas pun pergi setelah berpamitan kepada Angelina.
Darren hanya bisa menatap kepergian Bagas. Antara tidak enak hati dan senang, itu yang ada di benaknya.
"Maaf, Nyonya, semuanya jadi kacau gar--"
"Dengan perginya dia, justru aku senang, Kak," ungkap Thalita memotong ucapan Darren.
Angelina menatap Thalita. Terlihat jelas dari raut wajahnya yang meminta penjelasan kepada putrinya itu. Namun, Thalita hanya mengangkat kedua bahunya pertanda acuh.
Tiga puluh menit berlalu. Akhirnya mobil milik keluarga Abimanyu tiba.
"Ayok, Kak. Biar sopir yang antar sampe rumah Kakak," ajak Thalita.
"Terima kasih. Kakak naik taksi saja. Tuh, kebetulan melaju ke arah sini."
"Tapi, Kak--"
"Maaf, Kakak pulang, ya," pamit Darren. "Permisi, Nyonya," lanjutnya kepada Angelina.
Thalita menatap kepergian Darren sampai taksi itu tidak terlihat lagi dari pandangannya.
***
Tepat pukul enam pagi, Darren tiba di kampung halaman. Kepulangannya sengaja tidak ia beritahukan terlebih dahulu kepada Rossi.
Tok tok tok!
Darren mengetuk pintu, kemudian berbalik membelakangi agar menjadi kejutan, pikirnya.
Tidak berselang lama, terdengar pintu terbuka.
"Maaf, mencari siapa, ya?"
Hening. Darren bergeming.
Rossi, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu mendekati Darren dan ...
"Kejutan!" seru Darren, sambil berbalik.
Tidak percaya sekaligus senang, itu yang Rossi rasakan. Matanya berkaca sampai akhirnya bulir bening berhasil menetes.
"Ya, Tuhan, Ge!" Rossi memeluk putra semata wayangnya erat.
Rossi menuntun putranya untuk masuk dan menyuruhnya istirahat, sedangkan dirinya pergi ke dapur untuk membuat menu sarapan kesukaan Darren.
Sarapan sudah terhidang.
"Ibu tadinya mau ke mana sudah rapi?"
"Mau ke rumah pak RT, Nak. Beliau meminta Ibu untuk menjaga toko kelontong miliknya," jawab Rossi sambil menuangkan nasi di atas piring.
Darren menghela napas. "Mulai hari ini, Ibu tidak usah bekerja lagi. Titik!"
Rossi hanya pasrah dan akan mengabulkan keinginan Darren. Kembalinya Darren membuat suasana sarapan pagi itu menjadi hangat. Mereka menikmati kebersamaan dengan menceritakan keseharian Darren di luar negeri, pun dengan Rossi di rumah. Tangis bahagia dan tawa menghiasi perbincangan mereka.
"Pacarmu orang Indonesia juga?"
"Iya, Bu," jawab Darren, kemudian menceritakan siapa Thalita.
Darren melihat ekspresi Rossi yang tidak senang. "Ibu keberatan?"
Rossi membuang napas kasar dan menjawab, "Kalo bisa, lebih baik kamu pacaran atau bahkan nanti menikah dengan orang biasa-biasa saja, Nak."
"Kenapa memangnya?"
Rossi menghentikan suapannya. "Kita harus sadar diri. Ibu tidak mau siapapun menghinamu. Mengerti, kan, maksud Ibu? Terus, biasanya orang kaya itu sudah dijodohkan dengan keluarga orang kaya lagi, Ge."
Darren mengangguk sebagai jawaban. Apa yang dikatakan Rossi ia benarkan karena faktanya memang demikian.
"Tapi, kalo ternyata jodoh Ge dengan anak orang kaya, gimana, tuh?"
Rossi menyipit. "Apa jangan-jangan pacarmu itu sudah dijodohkan juga?"
"Tentu saja tidak, Bu," kilah Darren.
Rossi tersenyum. "Kalo soal jodoh, ya, itu lain cerita, Ge. Siapapun nanti jodohmu, Ibu do'akan agar kamu bahagia."
Keduanya tersenyum dan kembali menikmati sarapan. Setelah usai, Darren memilih beristirahat kembali di kamar.
***
Di kediaman Abimanyu, Thalita tengah menikmati sarapan. Gadis itu sungguh merindukan masakan rumahan sampai-sampai melahapnya rakus.
"Pelan-pelan, Sayang."
"Eh, Papa. Makan, Pa," kata Thalita dengan mulut penuh dengan nasi.
Abimanyu mengusap pucuk kepala sang putri. "Iya. Sekali lagi, maaf, ya, Papa gak bisa hadir di acara wisudamu."
Thalita hanya mengangkat ibu jari sebagai jawaban sampai akhirnya ritual sarapan selesai ia jalankan.
"Kapan siap masuk kantor?" tanya Abimanyu.
Mendengar pertanyaan Abimanyu, Thalita teringat kepada Darren. Kekasihnya itu pastilah membutuhkan pekerjaan.
"Aku akan masuk kantor Papa, tapi dengan satu syarat."
"Syarat? Apa itu?"
Thalita menjawab jika Abimanyu harus menerima Darren dan menempatkannya di bagian yang menjanjikan, tentunya sesuai dengan pendidikan Darren
"Siapa Darren?" tanya Abimanyu memastikan.
"Dia ad--"
"Besok lusa suruh temanmu itu ke kantor. Kebetulan aku butuh staf."
Thalita menoleh, melihat siapa yang memotong ucapannya. Siapa lagi kalau bukan Bagas.
"Tidak! Aku mau dia bekerja di kantor Papa!" cetus Thalita, sambil memalingkan muka.
Bagas menatap Abimanyu. Ia menggeleng pertanda Abimanyu harus menolak permintaan Thalita. Bagas sangat yakin jika Darren dan Thalita berada dalam satu kantor, maka hubungannya akan kacau.
"Begini, Sayang. Di kantor Papa tidak ada lowongan untuk posisi yang kamu inginkan. Ada juga OB, mau?"
Thalita mendengkus, lalu menggeleng. Perhatiannya kembali kepada Bagas.
"Ngapain pagi-pagi ke sini?"
Bagas menjawab ingin memastikan jika Thalita dan Angelina sampai rumah dengan selamat.
"Lebay!" cetus Thalita, lalu berpamitan untuk beristirahat.
***
Hawa panas berhasil membangunkan Darren dari tidur. Maklum, kamarnya sempit dan tidak ber-AC, tetapi nyaman untuk ditinggali. Pria berkulit putih itu beranjak dan membuka lebar daun jendela. Tangannya merogoh ponsel yang ia simpan di saku celana.
"Astaga! Banyak sekali pesan masuk," gumamnya.
Thalita, siapa lagi kalau bukan dirinya yang mengirim pesan, karena tidak ada lagi nomor ponsel wanita selain ibunya.
Ponsel berbunyi.
"Hal--"
"Kakak! Kemana aja, sih? Telepon gak diangkat, pesan gak dibales. Kakak udah bosan sama aku? Kakak udah gak sayang lagi sama aku? Aku cemas, Kak. Kakak udah sampe rumah belom? Sekarang di mana? Halo!!
Darren tersenyum. Mendengar Thalita bicara panjang lebar tanpa koma, ternyata pria itu menyimpan ponselnya di atas meja.
"Iya, halo. Udah ngomongnya?" tanya Darren, saat ponselnya kembali dalam genggaman.
"Kakak udah di rumah. Maaf, Kakak ketiduran dan HP kakak silent," lanjut Darren.
Thalita merasa bersyukur karena Darren dalam keadaan baik-baik saja walaupun tadi ia sempat merasa kesal setengah mati. Thalita memberi tahu mengenai pekerjaan yang Bagas tawarkan.
"Maaf, untuk sekarang di kantor papaku belum ada lowongan. Padahal, kalau ada kita bisa terus bareng, Kak."
Darren terdiam. Sejujurnya, memanglah ia butuh pekerjaan. Akan tetapi, untuk saat itu dirinya ingin menghabiskan waktu dengan Rossi. Memang, niat dan tekad Darren sedari awal menerima beasiswa ke luar negeri adalah untuk mengadu nasib setelahnya. Ya, ia berharap dengan mengenyam pendidikan tinggi, dirinya akan mendapatkan pekerjaan layak dan dapat mengangkat perekonomian keluarga.
"Kak, kok, diem? Gimana?"
"Maaf, akan Kakak pikirkan dulu."
Thalita mendesak agar Darren menerima tawaran itu. Selagi ada kesempatan, katanya.
"Kak, sebenarnya aku juga tidak mau Kakak bekerja di sana, tapi ..."
"Kenapa?"
Thalita menjawab jika dirinya ingin meminta bantuan Darren untuk mengawasi Bagas. Ia perlu bukti jika Bagas memanglah bermain perempuan, tepatnya dengan sang sekretaris. Desas-desus Bagas memang sudah lama Thalita dengar bahkan ia melihat sendiri Bagas sering pergi dengan banyak wanita, hanya saja Bagas selalu mengelak.
"Aku akan sering ke kantor Bagas, kok. Papa meminta agar aku belajar bisnis kepadanya."
Pekerjaan yang akan menguras emosi, pikir Darren. Bagaimana tidak? Ia akan bergelut dengan rasa cemburu. Rasa kesal dan cemburu kemarin saja belum sepenuhnya hilang.
"Please, Kak. Bantu aku terlepas dari Bagas. Aku ingin papa membuka matanya lebar-lebar kalau Bagas adalah cowok brengsek!"
"Oke, nanti Kakak kabari."
Panggilan telepon pun mereka sudahi. Darren bergegas menemui Rossi.
"Bu, di--"
Darren terpaku melihat Rossi yang sedang berkutat dengan adonan kue sambil sibuk menerima panggilan telepon.
"Iya, Bu, siap. Nanti saya antar."
Menuang adonan ke dalam loyang, mengangkat kue yang sudah matang dalam oven membuat peluh menetes. Hati Darren merasa sakit saat Rossi mengusap tetesan itu.
"Eh, Nak, ke sini. Ayok, cicipi brownies buatan Ibu," titah Rossi, saat melihat Darren berdiri di bibir pintu.
Darren tersenyum, lalu menghampiri.
Rossi mengatakan, dua hari sebelum kepulangan Darren, dirinya membuat kue untuk ia jual yang sebelumnya dipromosikan kepada para tetangga. Rasanya yang enak membuat Rossi kewalahan menerima pesanan.
"Bu ..."
Rossi tersenyum. "Tidak apa-apa, Nak. Ini semua Ibu lakukan untuk kita. Jangan sampai orang lain memandang sebelah mata. Udah hidup miskin, malas kerja pula. Lebih baik kamu bantu Ibu."
Darren mengangguk. Tangannya dengan cekatan mengeluarkan kue dalam cetakan dan memasukannya kedalam dus. Di sela kesibukan, Darren mengatakan jika dirinya mendapat tawaran pekerjaan.
"Wah, di mana, Nak?"
"Lumayan jauh. Di Jakarta, Bu."
Rossi menghentikan aktivitasnya. "Ja-Jakarta? Apa di perusahaan besar?"
"Iya, sepertinya perusahaan besar, Bu. Ibu keberatan?"
Rossi menggeleng. "Semoga diterima. Kalaupun tidak, jangan berkecil hati. Masih banyak perusahaan lain yang membutuhkan tenaga dan pikiranmu."
Akhirnya Darren memutuskan untuk menerima tawaran dari Thalita. Ia berjanji akan membahagiakan Rossi. Memberikan rumah yang megah dan tidak akan membiarkan Rossi mengeluarkan setetes keringat hanya untuk sesuap nasi. Pun dirinya akan berusaha mengenyampingkan perasaannya kepada Thalita. Ia akan membantu gadis itu semampunya walaupun suatu saat nanti Bagas'lah yang akan menjadi pendamping Thalita.
"Kalian bisa pegang janjiku, wahai wanita-wanitaku. Aku akan lakukan apa pun asalkan kalian bahagia." Batin Darren.
Berkemeja putih dan celana panjang hitam. Darren turun dari taksi yang terparkir di loby sebuah gedung. Matanya menyusuri sekeliling dengan tatapan penuh kagum. Ya, Darren tiba di sebuah perusahaan besar yang Thalita tunjukkan. Rasa grogi menyelimuti tatkala langkahnya tiba di meja resepsionis."Pagi, Mbak," sapa Darren.Senyum ramah dan balasan sapaan pun Darren dapatkan dari sang resepsionis. "Ada yang bisa saya bantu, Tuan?""Bisa bertemu dengan Tuan Bagas?""Sudah membuat janji?""Tentu.""Anda Darren Gerald?""Iya, Mbak.""Silakan langsung saja. Tuan Bagas sudah menunggu." Sang resepsionis menunjukkan arah ruangan Bagas, dimana anak pemilik perusahaan itu berada di lantai tujuh.Tiba di lantai tujuh, Darren disuguhkan dengan banyaknya pelamar. Duduk menunggu panggilan untuk interview tentu saja pengalaman kali pertama baginya. Meskipun Thalita menjamin dirinya akan diterima, tetap saja Darren merasa grogi. Setelah sekian lama menunggu, tiba saatnya Darren masuk ke dalam ruangan
Memakai jas dan dasi, duduk di kursi empuk, serta mendapatkan gaji yang cukup besar, memanglah impian Darren sedari dulu. Kini, impian itu terwujud. Ia akan menggunakan kesempatan sebaik mungkin, walaupun ada misi tertentu dibalik itu. Dihari kedua, semangatnya kian bertambah karena Thalita akan datang. Pagi itu Darren sedang mematut di depan cermin sambil merapikan rambut. "Ganteng juga," gumamnya, kemudian ia terkekeh-kekeh. "Kayaknya lebih cocok jadi manager, deh, daripada asisten," celetuknya lagi. Ponsel berdering mengalihkan perhatiannya. "Ibu!" ucapnya saat tahu siapa yang menelepon. "Halo, Bu.""Kamu di mana, Nak? Kenapa tidak pulang?"Darren meminta maaf karena belum mengabari Rossi perihal pekerjaannya. Semalam, dirinya kerja lembur dan mencari tempat kos hingga larut."Syukurlah, Nak. Maaf, Ibu juga baru menghubungimu. Ibu sibuk menerima pesanan. Oh, ya, kamu kerja di kantor?""Iya, Bu. Tepatnya di PT. Aji Sadewo Grup, perusahaan terbesar yang ada di ibu kota. Ibu sena
Sepulang Thalita dari kosan hingga malam menjelang, Darren hanya diam. Ia tidak rela jika Thalita jatuh ke tangan pria seperti Bagas. Namun, apalah daya? Secara karir dan harta ia kalah saing.Mata sipit itu melihat jam di dinding. Sudah jam dua dini hari. Darren memaksakan diri untuk tidur. Tepat pukul tujuh pagi, Darren terbangun dan bersiap untuk ke kantor. ***Tiba di kantor, Darren dikejutkan dengan hadirnya Helena. Gadis itu sedang duduk cantik di kursi kebesaran Darren. "Sedang apa kau di sini, Nona?""Menunggu kamu, Tampan," jawabnya santai sambil memutar kursi yang ia duduki ke kiri dan kanan. Darren bersikap acuh. Ia menyimpan tasnya di atas meja, menggulung kemejanya sebatas sikut, kemudian membawa tablet serta laptop dan duduk di sofa. Penampilan Darren seperti itu justru membuat Helena semakin jatuh hati. "Sebaiknya jauhi Thalita!" seru Helena, membuat Darren melihat ke arahnya. Darren menghela napas. "Jika maksud kedatangan Anda ke sini hanya untuk mengatakan itu,
Jam kerja kantor sudah usai. Pun dengan data pengeluaran sudah selesai Darren cek. Sementara, ia mengesampingkan perkara tersebut karena itu menyangkut masalah Bagas. Penting baginya adalah perkara Thalita. Sore itu langit tampak gelap karena awan hitam bergelayut manja di sana. Tidak lama kemudian, angin kencang membawa bulir-bulir air hujan menabrak jendela kaca dimana Darren tengah berdiri. Mau tidak mau membuat dirinya tertahan di kantor. Pria itu bergeming, menatap lekat setiap tetesan hujan yang turun seolah-olah merenungi nasib percintaannya yang akan berujung tangis. "Tidak! Hujan adalah rezeki yang Tuhan turunkan. Tak patut aku samakan dengan nasibku," gumamnya. Hujan sudah reda, Darren pun meninggalkan kantor. ***Kaki jenjang Darren menapaki gang sempit, melewati kubangan-kubangan kecil di sekitar. Langkahnya kian cepat karena langit kembali menurunkan hujan. Tiba di kosan, Darren bergegas membuka pakaiannya yang basah. Ponsel yang ia simpan di atas meja berdentang p
Pagi menjelang. Tepat pukul 07:30 WIB, Darren sudah tiba di loby kantor. Perusahaan yang bergerak dalam bidang properti itu banyak dipenuhi karangan bunga serta karpet merah menjadi alas di tangga depan. "Pagi, Mbak," sapa Darren kepada resepsionis. "Mau ada acara apa?""Loh, memangnya Tuan Bagas tidak memberitahu Anda?".Darren mengernyit. "Tidak. Ada apa memangnya?""Penyambutan Tuan Sadewo, pemilik perusahaan ini. Setelah dua tahun di negeri orang mengurus bisnis, hari ini beliau kembali."Darren mengangguk-anggukkan kepalanya. "Oh. Jadi, selama beliau tidak ada, siapa yang memegang kendali?""Tentu saja orang kepercayaannya.""Kenapa tidak putranya?"Sang resepsionis hanya mengangkat kedua pundaknya tertanda tidak tahu. "Mari, kita berbaris, Tuan."Semua petinggi berjajar dari mulai tangga masuk sampai ke dalam loby. Selang beberapa menit, mobil hitam nan mewah datang. Dialah Sadewo dan Bagas. "Selamat datang kembali, Tuan.""Lama tidak berjumpa, Tuan.""Apa kabar, Tuan?"Berb
Sepeninggal Marisa, Sadewo memberondong Bagas dengan berbagai pertanyaan mengenai dokumen. Walhasil, jawaban Bagas tidak sesuai dengan hasil revisi. "Kapan kau bekerja dengan serius, hah?!" bentak Sadewo. "Lihatlah asistenmu! Dia lebih pintar darimu bahkan dialah yang lebih cocok menjadi seorang manager!"Bagas bergeming. Rahangnya mengeras sambil menatap tajam ke arah Darren. Hal yang paling Bagas benci sedari kecil kembali menyapa. Dimana Sadewo selalu membandingkan dirinya dengan orang lain. Tanpa kata, Bagas berlalu. Pun dengan Darren yang berpamitan untuk kembali bekerja.Menuruni beberapa anak tangga dan melewati lorong menuju ruangan. Dari kejauhan, Darren melihat pria yang mengaku berhubungan dengan Marisa itu masuk ke dalam ruangan Bagas. Langkah Darren terhenti saat melewati ruangan itu. Terdengar suara pecahan kaca. Mungkin Bagas melempar barang, pikirnya. Lagi, pintu yang tidak tertutup rapat membuat Darren dengan leluasa menguping. "Darren sialan! Awas saja kau!" teria
Darren dan Sadewo sudah kembali ke kantor. Baru saja masuk ruangan, ponsel Sadewo berdering. Rupanya Abimanyu menghubungi perihal foto tak senonoh itu. Abimanyu mengatakan jika Bagas berhasil meyakinkan dirinya. "Bagas datang ke sana?" tanya Sadewo. "Iya, tadi dia ke sini dengan pacarnya Marisa," jawab Abimanyu. "Putramu berhasil membuktikan jika dirinya tidak bersalah. Jadi, perjodohan tetap berlanjut," sambung Abimanyu. "Tentu. Semoga ke depannya tidak ada lagi masalah.""Sepertinya kita harus hati-hati dengan pemuda bernama Darren."Mendengar nama Darren membuat Sadewo mengernyit. "Darren?""Iya. Asisten Bagas."Abimanyu juga mengatakan bahwa Bagas mencurigai Darren. Sikap Thalita berubah setelah putrinya itu mengenal Darren sewaktu kuliah di luar negeri. Abimanyu meyakini jika Darren akan merusak hubungan Bagas dan Thalita."Bisa jadi si Darren itu mendekati putriku karena harta.""Tidak mungkin," sanggah Sadewo."Aku lihat anak itu baik, bahkan aku mempercayakan dia untuk mem
Tiba saatnya Darren pergi ke Surabaya. Dua koper besar sudah siap ia bawa. Satu yang membuatnya bernapas lega, yakni seminggu lalu Rossi sudah menempati kios yang sudah lengkap dengan peralatan dan perlengkapan kiriman darinya berikut lima orang karyawan. Koper sudah masuk bagasi mobil. Ya, Sadewo memberinya fasilitas berupa satu unit mobil sebagai inventaris untuk Darren pakai selama di Surabaya. Darren menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Kedua tangannya menggenggam stir. "Semoga perjalanannya lancar."Ponsel berdering. Gegas ia meraih benda pipih itu yang disimpan di dasbor.Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat nama yang tampak di layar. "Halo, Sayang, ada apa?""Sudah mau berangkat?""Iya, ini tinggal jalan.""Hati-hati di jalan. Kalau sudah sampe, kasih kabar.""Siap, Tuan Putri.""Satu lagi, emm ...,""Apa?""Di sana, Kakak harus jaga mata, jaga hati."Darren kembali meyakinkan bahwa cintanya hanya untuk Thalita setelah Rossi.Percakapan usai. Saatnya Darren