Share

Aku Jual Diri karena Ibuku
Aku Jual Diri karena Ibuku
Penulis: Kutudollar

Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk

Bab 1 Aku Penjual Nasi Uduk yang Tidak Pernah Makan Nasi Uduk

Prang ..

"Kamu pikir aku senang kita hidup susah begini, hah? Setiap hari harus kerja pontang panting dan kamu cuma bisa minta duit!"

Aku memeluk erat tas sekolah lusuh di dada. Suara teriakkan yang sangat kukenal membuat langkahku terhenti di depan daun pintu yang sudah buruk dan berlubang. Entah apa lagi yang membuat Bapak marah kali ini.

"Kamu pikir aku juga senang, hah? Mengurus tiga anak seorang diri sedangkan kamu cuma di luar, pulang malam, dan mabuk. Itu yang kamu bilang kerja?"

Plak ....

Terdengar suara jeritan Ibu. Mungkin Bapak menamparnya lagi. Lalu suara barang-barang yang dilempar dan pecah terdengar bersahutan. Semua terdengar sangat genting dan menyayat hati. Belum lagi suara tangis Kaina dan Kinara. Ya, apa yang bisa dilakukan dua balita itu saat Bapak dan Ibu bertengkar selain menangis?

Perlahan aku mendorong daun pintu yang tidak dikunci. Aku terus menunduk, tidak berani menatap Bapak maupun Ibu yang sudah kupastikan tengah menatapku sekarang.

"Kamu lagi! Darimana jam segini baru pulang, hah?" teriak Bapak sembari menarik tas yang kupeluk erat. Benda yang sudah usang dan berusia sama dengan Kaina—tiga tahun—itu lantas robek dan membuat buku-bukuku berhamburan.

Tidak ada yang mampu kuucapkan selain menangis. Kupunguti satu persatu buku lusuh tanpa sampul itu dengan gemetar. Bukannya kasihan, Bapak malah menjambak rambutku dan mendorong tubuh kurusku hingga jatuh ke belakang. Aku menangis.

"Kamu ini yang ngabisin duit! Sekolah terus!"

Buku yang berhasil kukumpulkan dilempar ke wajahku. Aku terpejam.

"Besok nggak usah sekolah!"

Aku menggeleng pelan. Kulihat kaki Bapak yang perlahan menjauhiku. Dia keluar rumah dan menutupkan daun pintu dengan kasar. Tak peduli jika Ibu meriakinya agar tidak pergi. Tetap saja percuma karenabapak tidak menoleh sedikitpun. Apalagi kembali ke rumah. Aku hanya bisa menatap punggung bapak yang semakin menjauhi rumah.

"Cepat, Kaleena! Adikmu rewel ini!"

Aku tersentak dan segera mengumpulkan semua buku dan tas yang sudah robek. Lantas meletakkannya di meja dan bergegas melepas sepatu usangku yang sudah tidak layak pakai lagi.

"Cepat!" teriak ibu sembari menarik kuncir rambutku ke belakang. Aku nyaris jatuh andai tidak segera menuruti saja ke mana dia menarik rambutku.

"Cuci itu! Mau ibu pakai bikin nasi uduk lagi!"

Ibu menyentakkan tubuhku ke lantai dapur, di depan tumpukkan cucian piring dan perabot dapur lainnya.

"Aku ganti baju—"

"Cepat!"

Aku langsung berlari menuju kamar dan dengan cepat mengganti seragam SMP-ku dengan daster yang robek dan berlubang di beberapa bagian. Lantas kembali ke dapur dan melakukan perintah ibu. Sementara wanita kurus dan tinggi itu sibuk menyusui Kinara yang masih berusia empat bulan sembari menidurkan Kaina yang rewel.

"Abis nyuci, siapin api dan daun pisang!"

Aku hanya mengangguk. Tanpa menjawab pun ibu sudah tahu jika aku tidak akan berani membantahnya.

"Leena ...."

Aku menoleh. Suara serak dan samar-samar membuatku menoleh.

"Iya, Nek."

Wanita renta yang berbaring tak berdaya di sofa buruk itu melambaikan tangan berisi cangkir air minum ke arahku. Dengan cepat aku mengambilnya dan mengisinya dengan air minum lagi. Lantas kembali memberikannya. Wanita itu hanya tersenyum dan mengusap punggung tanganku pelan.

Dia adalah nenekku, ibu dari ibu. Usianya sudah tua, entah berapa. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain berbaring dan memanggil nama siapapun ketika membutuhkan bantuan. Butuh air minum, makan, atau bahkan butuh dibersihkan bekasnya buang air kecil atau air besar. Ya, nenekku lumpuh sejak aku berusia lima tahun. Hanya itu yang kuingat. Terkadang dia merangkak sendiri ketika bosan. Turun dari sofa perlahan lantas akan dimarahi ibu karena hanya akan menyusahkan untuk kembali diangkatke sofa.

Selesai mencuci petabotan dapur, aku segera ke dapur belakang rumah dan menghidupkan api. Kulihat ibu sudah keluar dan membawa beras untuk dicuci. Beras yang nanti akan diolah ibu menjadi nasi uduk. Penganan sederhana yang hanya diberi lauk tempe kecap, telur dadar, dan sambel teri. Membayangkannya saja air liurku sudah berhamburan. Apalagi ditambah dengan perutku yang sudah keroncongan sejak bangun tidur.

"Kenapa bengong? Cari daun!" teriak Ibu yang mengejutkanku. Dengan cepat kuraih pisau di dapur dan segera menuju halaman belakang.

Ada banyak daun pisang batu yang tumbuh liar di dekat pembuangan sampah. Aku biasa memungutnya untuk keperluan ibu. Beberapa helai daun kuambil lantas kujemur untuk membuatnya layu. Aku duduk di atas sebuah batu, di bawah rerimbunan pisang sembari menunggu daunku layu.

Tak jauh dari tempatku duduk, terlihat beberapa anak seusiaku yang tengah asyik mengobrol dan menghabiskan jajanan yang mereka beli di jalan ketika pulang. Mereka teman satu sekolahku, atau mungkin satu kelas denganku. Aku tidak pernah memperhatikan mereka, tepatnya tidak berani.

Aku menelan ludah saat salah satu dari mereka menyedot dengan nikmat minuman segar dari sebuah cangkir putih transparan. Entah kenikmatan yang bagaimana yang akan kurasakan ketika cairan putih kekuningan yang dingin itu melewatu tenggorokanku. Perutku lantas riuh menabuh gendang kelaparan ketika mereka dengan nikmat mengunyah bakso bakar atau entah apa.

"Kaleena! Malah ngelamun kau, ya!"

Aku tersentak lantas segera membawa daun-daun yang sudah layu. Rupanya menghayati kenikmatan orang lain membuatku lupa tugas sendiri.

Hingga menjelang sore aku membantu Ibu di dapur. Menyiapkan lauk, menyiapkan keranjang, hingga bolak-balik ke kamar karena Kaina sudah bangun dan terus merengek.

"Kau jual itu! Jangan pulang kalau belum laku!"

Aku mengangguk cepat dan dengan gesit menata sepuluh bungkus nasi uduk dengan lauk seadanya keliling kampung. Kuletakkan tampah berisi penganan itu di atas kepalaku, tanpa alas. Aku akan terus meletakkannya di sana hingga ada yang memanggilku dan membeli barang daganganku.

Tidak ada kendaraan yang membantuku menjajakan dagangan. Hanya kaki dengan sendal jepit butut yang menemani.

"Nasi uduk!" teriakku lantang di jalanan, di depan rumah yang sebagian tertutup rapat. Ya, siapa juga yang mau ada di luar rumah di tengah cuaca yang amat sangat panas ini.

Satu persatu rumah kulalui. Hasilnya nihil. Masih tetap sepuluh bungkus. Tubuhku sudah lelah luar biasa. Perut yang terus keroncongan juga mulai menimbulkam efek yang lain. Perut yang terakhir kuisi kemarin sore, itu pun hanya sisa nasi dingin yang sedikit mengering, semakin melilit. Sepertinya efek kelaparan sudah menjalar ke kepalaku yang mulai pening hebat.

Aku memutuskan berhenti di tepi jalan, di bawah pohon mangga kecil. Kuletakkan barang daganganku di pangkuan sementara aku menyelonjorkan kaki, istirahat. Kutatap jalanan cor semen yang seakan menguap karena panas. Tidak ada satu orang pun yang lewat, kecuali aku.

Aku meringis menaha perut yang semakin melilit. Perihnya sudah tidak tertahankan lagi. Kutatap bungkusan nasi uduk dengan air liur yang melimpah ruah. Aku menelan ludah.

Haruskah?

Setelah berpikir lama, akhirnya godaan perut yang lapar tak bisa kutahan lagi. Kuambil satu bungkus nasi dan kubuka dengan tangan gemetar.

Bagaimana kalau nanti Ibu tanya?

Ah, tapi aku sangat lapar! Bagaimana aku bisa terus berjualan kalau perutku lapar?

Tapi ... Ibu pasti marah besar nanti!

Ah, biarlah kupikir nanti!

Dengan lahap dan tanpa memperhatikan sekitar, kulahap habis nasi uduk dengan lauk seadanya itu. Sedikit sulit menelan karena tidak ada minum. Namun tak apa, yang penting kini aku kenyang. Nasi uduk itu terasa sangat nikmat. Kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ya, meski hampir setiap hari aku menjajakan nasi uduk, nyatanya aku tidak pernah merasakannya sekalipun.

"Ini untuk dijual, bukan dimakan kamu!"

Begitu kata Ibu setiap kali aku menatap penuh nikmat pada nasi uduk yang dibungkus ibu.

Air mataku menetes ketika menatap bekas bungkus nasi uduk yang teronggok begitu saja. Rasa sesal mendadak menghampiri dan kini rasa takut juga menyerang. Bayangan kemarahan Ibu, pukulan, cubitan, cacian, bahkan mungkin aku tidak akan mendapat jatah makan malam.

"Aku cuma lapar, ya, Tuhan ...."

Kurengkuh tampah dengan erat seolah takut kehilangan rejeki lagi karena khilafku. Meski kini aku sudah kenyang, nyatanya ketakutan yang lain justru menghantui.

....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status