Share

Kamu Harus Kerja, Kata Bapak

10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak

"Sini!"

Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku.

"Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku.

"Pak—"

"Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"

Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong.

Dia bapak Tino?

Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?

Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?

Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak Doni menyeringai, menindih tubuhku, berusaha membuka bajuku, dan ... ya Tuhan, apa yang membuat Pak Doni melakukan itu? Apa yang dia inginkan dariku? Apakah dia akan .... Tidak! Pak Doni orang baik, dia tidak mungkin melakukan itu.

Kuusap air mata dengan cepat ketika hampir sampai rumah. Langkahku terhenti tepat di halaman ketika dari dalam kudengar suara tangisan Ibu dan juga Kaina. Lalu suara ... pukulan? Ya, itu jelas suara pukulan!

Dengan cepat kudorong daun pintu dan ....

"Bunuh saja aku kalau kau belum puas!"

Ibu mengacungkan pisau dapur ke adah Bapak yang terengah-engah di kursi. Di tangannya ada sebuah kayu yang sepertinya patah. Sisa patahannya tergeletak begitu saja di lantai, dekat kaki ibu.

"Bunuh saja aku! Aku sudah tidak kuat hidup begini," ucap Ibu dengan suara bergetar. Tangannya mendekap Kaina yang terus menangis dalam gendongannya.

Mataku berkeliling, mencari keberadaan Kinara. Bocah itu pasti ketakutan. Benar saja, aku menemukan Kinara duduk memeluk lutut di pojok ruang tengah dan bengong. Dia menangis tanpa suara, menonton semua yang dilakukan Bapak pada Ibu.

"Tch, kamu pikir aku tidak capek hidup begini, hah?"

Akhirnya Bapak menatapku. Dia memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.

"Kau lihat! Anak yang menjadi penyebab kita miskin sudah besar." Aku menelan ludah dan semakin erat meremas tepi rok sekolahku. "Itu artinya kita sudah lama menderita!"

Aku tersentak ketika Bapak menjatuhkan sepotong kayu yang dipegangnya. Disusul suara pisau dapur yang juga dijatuhkan Ibu. Keduanya diam dan menunduk. Kaina pun sudah tidak menangis lagi setelah Ibu menyusuinya.

"Darimana kamu baru pulang?"

Aku menunduk dalam, tak berani menatap Bapak yang kupastikan masih marah.

"Se-sekolah, Pak ...."

"Jam segini sekolah di mana, hah?"

Aku terdiam.

"Sini kamu!"

"Jangan, Pras!"

Ibu menarik kaki Bapak saat lelaki itu menarik tanganku untuk mendekat. Aku yang ketakutan dan gemetar manut saja ketika Bapak memegang kedua bahuku.

"Punya anak segede ini buat apa, hah? Dia harus kerja!"

Bapak dengan kasar menepis tangan Ibu yang terus memegangi kakinya. Aku hanya diam, tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

"Tidak! Dia masih kecil!"

Kali ini Ibu bangkit berdiri—masih dengan Kaina di gendongan—dan merebutku dari Bapak.

"Hei, dia sudah besar! Kamu nggak liat tubuhnya?" Bapak membalik tubuhku seolah meminta Ibu melihat sekujur tubuhku.

Aku menatap Ibu, seolah mencari jawaban. Namun Ibu seolah tak mau menatapku. Dia hanya menggeleng dan terus berusaha merebutku dari Bapak.

"Dia sudah waktunya bekerja! Bukan sekolah aja!"

Bapak mendorong Ibu dengan kasar lantas menarik tanganku untuk mengikutinya ke kamar. Aku yang sedikit menahan kaki ditarik lebih kasar agar lebih cepat. Kutatap Ibu, meminta bantuan, tapi dia hanya menunduk dan menangis lagi.

Bapak mendorongku hingga membentur tembok kamar. Dia membuka lemari pakaian dan terlihat sibuk mencari sesuatu.

"Buka bajumu!"

Aku bengong. Bapak terus mencari sesuatu di tumpukkan baju Ibu.

"Ayo, cepat!"

Aku tersentak saat Bapak membentak.

"Lama, ya!"

Bapak mendekatiku dan langsung menarik seragam putih yang masih kukenakan. Beberapa kancingnya terlepas begitu saja, terjatuh di lantai kamar. Bapak memutar tubuhku untuk membuat baju putihku terlepas. Dia juga menarik rok biruku dengan kasar.

"Pakai ini!"

Aku tetap diam, menutupkan kedua tangan di dada, karena kini aku benar-benar tanpa busana—kecuali celana dalam—di depan Bapakku sendiri.

"Cepat!"

Bapak kembali mengulurkan satu stel baju berwarna kuning ke arahku. Kuterima dengan ragu.

"Jangan!"

Ibu tiba-tiba datang dan merebut pakaian itu dari tanganku. Dia menatap tajam pada Bapak dan berdiri tepat di depanku, seolah sebagai tameng.

"Pergi Kaleena!"

Aku diam.

"KALEENA, PERGI!"

Kali ini aku tersentak. Dengan cepat kupunguti seragam yang tercecer di lantai lantas keluar kamar Ibu dan Bapak dengan cepat.

Plak!

Suara jerit kesakitan Ibu terdengar kemudian.

"Apa? Sekarang siapa yang mau kerja? Kamu mau, hah!"

Aku hanya menggigit bibir dan memejamkan mata saat satu pukulan demi pukulan terdengar jelas. Air mataku mengalir tak terbendung lagi.

Tuhan, aku ingin tuli saja!

Kupeluk Kaina yang ditidurkan di lantai, beralaskan kain gendongnya. Kinara yang masih ketakutan berlari mendekatiku. Dia masih menangis, tanpa suara. Dengan erat kupeluk bocah tiga tahun itu dan menciuminya. Aku yakin Kinara juga mendengar suara jerit kesakitan dan tangisan Ibu di dalam sana. Juga suara pukulan demi pukulan yang diberikan Bapak.

****

Hingga hampir sore, Bapak baru keluar kamar. Terlihat dia kesulitan menaikkan celana levis panjangnya dan mengaitkan kembali retsletingnya. Gorden pintu yang terbuka memperlihatkan Ibu yang terkapar tak berdaya di kasur lantai. Perlahan Ibu meraih selimut untuk menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai kain pun. Aku mengalihkan tatapan pada Kaina yang baru bangun. Bocah itu merengek, sepertinya dia kehausan.

"Bawa sini!"

Meski tidak terdengar jelas, tapi aku yakin itu suara ibu. Suaranya serak dan bergetar. Kubawa Kaina ke kamar, mendekati Ibu. Kulihat Ibu perlahan bangkit untuk duduk dan meringis menahan sakit. Dia meraih Kaina yang kuberikan.

"Haus, ya, Nak?" tanya Ibu terisak dan mengusap pipi Kaina berkali-kali. Dia juga menciumi wajah adik bayiku bertubi-tubi. Aku menelan ludah dengan tenggorokan sakit menyaksikan itu.

Lihatlah!

Apa yang sudah dilakukan Bapak pada Ibu?

Dari celah jendela kamar yang terbuka aku bisa melihat dengan jelas tubuh Ibu yang penuh memar dan luka. Terutama di bagian punggung. Wajah pucatnya pun tak lepas dari memar kebiruan di pelipis dan mata.

"Apa? Masak sana!" bentak Ibu mengejutkanku.

Aku tersentak, lantas bangkit berdiri meninggalkan Ibu dan Kaina. Kuajak Kinara ke dapur, untuk menemaniku memasak.

Langkahku terhenti di depan pintu saat kulihat Bapak tengah menghadap tembok halaman belakang. Dia tengah menghisap rokoknya.

"Apa?"

Aku menunduk.

Kulihat kaki Bapak yang melangkah mendekatiku. Dia memegang bahuku erat, cenderung mencengkeram.

"Buat apa sekolah kalau kau tidak tahu caranya mencari uang?"

"Ker-kerja apa, Pak ...?"

Bapak mendekatkan wajah ke wajahku. Dia menekan pelipisku dengan jarinya.

"Ini dipake buat mikir!" ucapnya mendorong kepalaku ke samping. "Jangan bodoh kayak Ibumu!"

Sisa rokok sepanjang jari ditempelkan di keningku. Sontak saja aku menjerit kesakitan. Aku segera berlari menuju pemandian, mencuci keningku dengan air, mengurangi panasnya. Sementara Bapak hanya tertawa berderai memasuki rumah.

"Hei, nangis aja kau!"

Aku menatap lorong rumah, di mana Bapak kemudian memasuki kamar. Tak lama kemudian terdengar suara pukulan disertai jerit tertahan Ibu. Aku meraih Kinara, memeluknya erat.

Tuhan, ambil saja pendengaranku!

Ibu terus menjerit kesakitan diiringi suara pukulan Bapak. Samar-samar juga terdengar suara erangan Bapak atau melenguh panjang. Entahlah!

Aku berdiri gemetar saat kulihat Bapak keluar kamar. Segera kututupkan telapak tangan di mata Kinara agar tak melihat kondisi Bapak. Ya, Bapak keluar dengan kondisi celana levisnya yang melorot hingga ke lutut.

"Hei, kau! Besok kerja!"

Aku diam saja hingga kemudian terdengar suara daun pintu yang dibanting dengan kuat. Bapak pergi, entah ke mana kali ini setelah hampir dua hari tidak pulang.

Kepergian Bapak seolah selalu kami nantikan. Setidaknya tidak akan ada jerit kesakitan Ibu atau aku yang harus berdiri gemetar menunggu perlakuan kejamnya.

Aku pernah berpikir, mengapa Ibu begitu tahan dengan Bapak. Bukankah Bapak selalu kasar dan tidak pernah memberi nafkah?

Ah, masalah orang dewasa memang serumit itu!

....

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status