Home / Lainnya / Aku Jual Diri karena Ibuku / Kamu Harus Kerja, Kata Bapak

Share

Kamu Harus Kerja, Kata Bapak

Author: Kutudollar
last update Last Updated: 2023-11-19 22:00:06

10. Kamu Harus Kerja, Kata Bapak

"Sini!"

Tas Tino yang baru saja kupegang direbut paksa oleh lelaki yang tadi membawa Tino. Dia menatap galak padaku, lantas tersenyum ketika melihat isi tas Tino. Aku hanya memperhatikan lelaki kurus dan sedikit pucat itu hingga dia berbalik dan meninggalkanku.

"Apa dia baik-baik saja?" tanyaku memberanikan diri bersuara. Dia menoleh sesaat, tanpa menjawab, lantas melenggang pergi meninggalkanku.

"Pak—"

"Apa? Aku bapaknya, jadi nggak usah khawatir!"

Lelaki itu lantas menutup pintu dengan keras, meninggalkanju yang masih bengong.

Dia bapak Tino?

Bukankah dia yang kemarin sore kulihat memarahi Tino di halaman rumah ini? Kenapa dia bisa semarah itu pada anaknya sendiri?

Ah, bukankah Bapak di rumah juga sering memarahiku?

Aku lantas melanjutkan perjalanan menuju pulang. Bayangan Pak Doni yang tadi hilang, kini seolah datang meneror. Aku menggeleng. Kembali mengingat bagaimana wajah yang biasanya menyenangkan itu berubah bak monster yang menakutkan. Pak Doni menyeringai, menindih tubuhku, berusaha membuka bajuku, dan ... ya Tuhan, apa yang membuat Pak Doni melakukan itu? Apa yang dia inginkan dariku? Apakah dia akan .... Tidak! Pak Doni orang baik, dia tidak mungkin melakukan itu.

Kuusap air mata dengan cepat ketika hampir sampai rumah. Langkahku terhenti tepat di halaman ketika dari dalam kudengar suara tangisan Ibu dan juga Kaina. Lalu suara ... pukulan? Ya, itu jelas suara pukulan!

Dengan cepat kudorong daun pintu dan ....

"Bunuh saja aku kalau kau belum puas!"

Ibu mengacungkan pisau dapur ke adah Bapak yang terengah-engah di kursi. Di tangannya ada sebuah kayu yang sepertinya patah. Sisa patahannya tergeletak begitu saja di lantai, dekat kaki ibu.

"Bunuh saja aku! Aku sudah tidak kuat hidup begini," ucap Ibu dengan suara bergetar. Tangannya mendekap Kaina yang terus menangis dalam gendongannya.

Mataku berkeliling, mencari keberadaan Kinara. Bocah itu pasti ketakutan. Benar saja, aku menemukan Kinara duduk memeluk lutut di pojok ruang tengah dan bengong. Dia menangis tanpa suara, menonton semua yang dilakukan Bapak pada Ibu.

"Tch, kamu pikir aku tidak capek hidup begini, hah?"

Akhirnya Bapak menatapku. Dia memperhatikanku dari ujung kaki hingga kepala.

"Kau lihat! Anak yang menjadi penyebab kita miskin sudah besar." Aku menelan ludah dan semakin erat meremas tepi rok sekolahku. "Itu artinya kita sudah lama menderita!"

Aku tersentak ketika Bapak menjatuhkan sepotong kayu yang dipegangnya. Disusul suara pisau dapur yang juga dijatuhkan Ibu. Keduanya diam dan menunduk. Kaina pun sudah tidak menangis lagi setelah Ibu menyusuinya.

"Darimana kamu baru pulang?"

Aku menunduk dalam, tak berani menatap Bapak yang kupastikan masih marah.

"Se-sekolah, Pak ...."

"Jam segini sekolah di mana, hah?"

Aku terdiam.

"Sini kamu!"

"Jangan, Pras!"

Ibu menarik kaki Bapak saat lelaki itu menarik tanganku untuk mendekat. Aku yang ketakutan dan gemetar manut saja ketika Bapak memegang kedua bahuku.

"Punya anak segede ini buat apa, hah? Dia harus kerja!"

Bapak dengan kasar menepis tangan Ibu yang terus memegangi kakinya. Aku hanya diam, tidak tahu apa yang mereka bicarakan.

"Tidak! Dia masih kecil!"

Kali ini Ibu bangkit berdiri—masih dengan Kaina di gendongan—dan merebutku dari Bapak.

"Hei, dia sudah besar! Kamu nggak liat tubuhnya?" Bapak membalik tubuhku seolah meminta Ibu melihat sekujur tubuhku.

Aku menatap Ibu, seolah mencari jawaban. Namun Ibu seolah tak mau menatapku. Dia hanya menggeleng dan terus berusaha merebutku dari Bapak.

"Dia sudah waktunya bekerja! Bukan sekolah aja!"

Bapak mendorong Ibu dengan kasar lantas menarik tanganku untuk mengikutinya ke kamar. Aku yang sedikit menahan kaki ditarik lebih kasar agar lebih cepat. Kutatap Ibu, meminta bantuan, tapi dia hanya menunduk dan menangis lagi.

Bapak mendorongku hingga membentur tembok kamar. Dia membuka lemari pakaian dan terlihat sibuk mencari sesuatu.

"Buka bajumu!"

Aku bengong. Bapak terus mencari sesuatu di tumpukkan baju Ibu.

"Ayo, cepat!"

Aku tersentak saat Bapak membentak.

"Lama, ya!"

Bapak mendekatiku dan langsung menarik seragam putih yang masih kukenakan. Beberapa kancingnya terlepas begitu saja, terjatuh di lantai kamar. Bapak memutar tubuhku untuk membuat baju putihku terlepas. Dia juga menarik rok biruku dengan kasar.

"Pakai ini!"

Aku tetap diam, menutupkan kedua tangan di dada, karena kini aku benar-benar tanpa busana—kecuali celana dalam—di depan Bapakku sendiri.

"Cepat!"

Bapak kembali mengulurkan satu stel baju berwarna kuning ke arahku. Kuterima dengan ragu.

"Jangan!"

Ibu tiba-tiba datang dan merebut pakaian itu dari tanganku. Dia menatap tajam pada Bapak dan berdiri tepat di depanku, seolah sebagai tameng.

"Pergi Kaleena!"

Aku diam.

"KALEENA, PERGI!"

Kali ini aku tersentak. Dengan cepat kupunguti seragam yang tercecer di lantai lantas keluar kamar Ibu dan Bapak dengan cepat.

Plak!

Suara jerit kesakitan Ibu terdengar kemudian.

"Apa? Sekarang siapa yang mau kerja? Kamu mau, hah!"

Aku hanya menggigit bibir dan memejamkan mata saat satu pukulan demi pukulan terdengar jelas. Air mataku mengalir tak terbendung lagi.

Tuhan, aku ingin tuli saja!

Kupeluk Kaina yang ditidurkan di lantai, beralaskan kain gendongnya. Kinara yang masih ketakutan berlari mendekatiku. Dia masih menangis, tanpa suara. Dengan erat kupeluk bocah tiga tahun itu dan menciuminya. Aku yakin Kinara juga mendengar suara jerit kesakitan dan tangisan Ibu di dalam sana. Juga suara pukulan demi pukulan yang diberikan Bapak.

****

Hingga hampir sore, Bapak baru keluar kamar. Terlihat dia kesulitan menaikkan celana levis panjangnya dan mengaitkan kembali retsletingnya. Gorden pintu yang terbuka memperlihatkan Ibu yang terkapar tak berdaya di kasur lantai. Perlahan Ibu meraih selimut untuk menutupi tubuhnya yang tanpa sehelai kain pun. Aku mengalihkan tatapan pada Kaina yang baru bangun. Bocah itu merengek, sepertinya dia kehausan.

"Bawa sini!"

Meski tidak terdengar jelas, tapi aku yakin itu suara ibu. Suaranya serak dan bergetar. Kubawa Kaina ke kamar, mendekati Ibu. Kulihat Ibu perlahan bangkit untuk duduk dan meringis menahan sakit. Dia meraih Kaina yang kuberikan.

"Haus, ya, Nak?" tanya Ibu terisak dan mengusap pipi Kaina berkali-kali. Dia juga menciumi wajah adik bayiku bertubi-tubi. Aku menelan ludah dengan tenggorokan sakit menyaksikan itu.

Lihatlah!

Apa yang sudah dilakukan Bapak pada Ibu?

Dari celah jendela kamar yang terbuka aku bisa melihat dengan jelas tubuh Ibu yang penuh memar dan luka. Terutama di bagian punggung. Wajah pucatnya pun tak lepas dari memar kebiruan di pelipis dan mata.

"Apa? Masak sana!" bentak Ibu mengejutkanku.

Aku tersentak, lantas bangkit berdiri meninggalkan Ibu dan Kaina. Kuajak Kinara ke dapur, untuk menemaniku memasak.

Langkahku terhenti di depan pintu saat kulihat Bapak tengah menghadap tembok halaman belakang. Dia tengah menghisap rokoknya.

"Apa?"

Aku menunduk.

Kulihat kaki Bapak yang melangkah mendekatiku. Dia memegang bahuku erat, cenderung mencengkeram.

"Buat apa sekolah kalau kau tidak tahu caranya mencari uang?"

"Ker-kerja apa, Pak ...?"

Bapak mendekatkan wajah ke wajahku. Dia menekan pelipisku dengan jarinya.

"Ini dipake buat mikir!" ucapnya mendorong kepalaku ke samping. "Jangan bodoh kayak Ibumu!"

Sisa rokok sepanjang jari ditempelkan di keningku. Sontak saja aku menjerit kesakitan. Aku segera berlari menuju pemandian, mencuci keningku dengan air, mengurangi panasnya. Sementara Bapak hanya tertawa berderai memasuki rumah.

"Hei, nangis aja kau!"

Aku menatap lorong rumah, di mana Bapak kemudian memasuki kamar. Tak lama kemudian terdengar suara pukulan disertai jerit tertahan Ibu. Aku meraih Kinara, memeluknya erat.

Tuhan, ambil saja pendengaranku!

Ibu terus menjerit kesakitan diiringi suara pukulan Bapak. Samar-samar juga terdengar suara erangan Bapak atau melenguh panjang. Entahlah!

Aku berdiri gemetar saat kulihat Bapak keluar kamar. Segera kututupkan telapak tangan di mata Kinara agar tak melihat kondisi Bapak. Ya, Bapak keluar dengan kondisi celana levisnya yang melorot hingga ke lutut.

"Hei, kau! Besok kerja!"

Aku diam saja hingga kemudian terdengar suara daun pintu yang dibanting dengan kuat. Bapak pergi, entah ke mana kali ini setelah hampir dua hari tidak pulang.

Kepergian Bapak seolah selalu kami nantikan. Setidaknya tidak akan ada jerit kesakitan Ibu atau aku yang harus berdiri gemetar menunggu perlakuan kejamnya.

Aku pernah berpikir, mengapa Ibu begitu tahan dengan Bapak. Bukankah Bapak selalu kasar dan tidak pernah memberi nafkah?

Ah, masalah orang dewasa memang serumit itu!

....

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Dunia Asing

    "Kamu kerja apa?" tanyaku pada Tino yang tengah berganti pakaian. Sebenarnya bukan ganti pakaian, hanya sedang mengenakan jaket kulit usang yang sedikit kebesaran di tubuh kurusnya. Celana jeans panjang belel dan kaus hitam yang berlubang di bagian punggung. "Kerja apa saja yang penting aku bisa makan!" jawabnya membuatku terdiam. "Lama?"Tino mengangguk. "Mungkin tengah malam aku pulang.""Aku?""Kenapa kamu?""Aku bagaimana?" Jujur aku takut jika harus tinggal sendiri di rumah ini. Bukan karena ada makam ibu Tino dan makam Kinara, tapi karena rumah ini memang jauh dari keramaian. Berada di tengah semak belukar yang akan tampak menyeramkan di malam hari. "Kamu takut?"Aku mengangguk cepat. "Terus, kamu mau ke mana?"Aku menggeleng. "Mau kuantar pulang?"Aku diam. Pulang? Apakah aku masih punya tempat untuk pulang?Entahlah!

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malaikat Gondrong

    "Kamu mau bunuh diri?"Aku diam, memeluk Kinara seerat mungkin. "Ayo, kuantar pulang!"Tino mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Aku hanya diam, menatap telapak tangannya, lantas menggeleng. "Kenapa?"Aku menggeleng lagi. Kudengar dia menghela napas panjang dan duduk bersila di depanku. Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat jelas wajahnya. Wajah yang sudah lama tidak kulihat. Lama tak melihatnya, Tino kurus yang dulu dekil dan masih terlihat seperti bocah kurang gizi, kini sedikit berubah. Suaranya lebih besar dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi. Rambutnya dibiarkan panjang seleher dengan bagian depan yang nyaris menutupi mata. Dia yang dulu kukenal pendiam nyatanya banyak bicara juga. Dia bahkan seolah sudah sangat akrab denganku. "Mau pulang nggak?"Aku menggeleng. "Aku tidak punya rumah!""Ehm ....""Terus adik kamu mau diapain? Mau dibiarin jadi bangkai!"

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Setan yang Melahirkan Malaikat

    Aku terduduk lemas di lantai lorong Rumah Sakit. Tubuhku seolah tak bertulang. Hidupku hancur, tak berbentuk. Duniaku mendadak gelap dan hampa. Aku hanya diam saat beberapa petugas Rumah Sakit mendekatiku dan membantuku berdiri. Mereka membopongku memasuki sebuah ruangan dan meletakkanku di ranjang bersprei putih. "Dia pendarahan!"Aku hanya diam. Saat tangan-tangan asing itu memasang berbagai alat dan menusukkan jarum ke tubuhku. Kurasakan perih dan nyeri bersamaan di bawah sana. Mereka melepas pakaianku dan saling berbisik yang tidak bisa kudengar. Lambat laun penglihatanku kabur dan semakin lama semakin gelap. ****"Rumahmu di mana? Biar kami antar!"Aku menggeleng lemah. Rumah? Aku tidak punya!"Orang tuamu?"Aku menggeleng lagi. Apa aku punya orang tua? Punya, hanya saja mereka tidak seperti orang tua. Orang tua mana yang tega menjual dan membiarkan anaknya meregang nya

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Kinara Sayang, Kinara Malang

    Dengan ditemani Kak Nisa aku mencari Kinara. Aku ingin memastikan kondisi adikku itu. Menurut Kak Nisa Kinara mengalami pendarahan parah akibat benturan benda tumpul. Entah apa yang dilakukan Bapak pada adikku itu. Kami sampai di ruang rawat khusus anak-anak. Dengan petunjuk resepsionis kami mencari ranjang tempat Kinara dirawat. Namun kami menemukan hal lain. "Dia bukan Kinara!" ucapku pada Kak Nisa yang juga menatap lekat pada bocah lelaki dengan perban di kepala. Usianya mungkin sekitar lima tahun. Itu jelag bukan Kinara."Maaf, Bu, pasien sebelum ibu yang di sini dipindah ke mana, ya?"Ibu dari bocah itu malah menatap kami dengan tatapan tidak suka dan sedikit curiga. Bukannya menjawab dia malah mendekap anaknya erat-erat seolah takut kami akan mengambilnya. Kak Nisa menarik lenganku, mengajakku menjauh. Hingga kemudian kami bertemu seorang perawat. "Oh, atas nama Kinara, ya?"Aku mengangguk cepat. "Dia suda

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Orang-Orang Sakti

    Aku remuk. Setelah terhempas keras pada tajam dan runcingnya batu tembok kehidupan. Aku pasrah. Andai Tuhan mencabut nyawaku, aku mau. Rasa sakit yang amat sangat seolah tak menginjinkan aku tak merasakannya. Rasa sakit di sekujur tubuh semakin terasa karena aku semakin tersadar. Sadar akan rasa sakit dari orang-orang berhati iblis. Pak DoniBapak kandungku sendiriDan ....Ibu? Ya kenapa baru kusadari jika sebelum kejadian itu Ibu seolah sengaja meninggalkanku sendiri di rumah? Ibu juga berdebat tentang hutang dan orang yang memberinya uang. Apakah yang dia maksud adalah bapak dan Pak Doni?Lalu, bukankah keduanya sudah ditangkap? Atau dipenjara? Lalu mengapa mereka ada di luar? Bebas?Lagi-lagi aku terdampar di tempat yang tidak kukenali. Ruangan bercat putih dengan bau obat yang menyengat. Ada suara berisik dari alat yang entah apa namanya. Tanganku kebas, tak mampu kugerakkan. Begitu juga seluruh tubuh yang ka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Malam Laknat yang Panjang

    Aku termenung di kamar. Berbaring di sebelah nenek yang sudah memejamkan mata. Di sebelahku ada Kinara yang masih sibuk bermain dengan boneka buruknya. Padahal sudah hampir jam sepuluh malam. Pikiranku menerawang. Berbagai kejadian yang menimpaku seolah memenuhi otak. Membuatnya hendak meledak.Pak Doni ....Bapak kandung ....Kak Nisa ....Ibu ....Hingga bapak tiriku. "Jangan, San! Aku mohon!"Aku terkesiap. Suara kursi yang ambruk dan daun pintu yang dibanting terdengar jelas. "Lalu harus bagaimana? Kamu pikir uang hasil ngojek cukup?""Besok aku carikan lagi!""Dia sudah kasih aku uang!"Apa yang Ibu dan Bapak debatkan?"Dia itu anakmu!""Iya. Dia memang anakku dan aku punya hak melakukan apapun ke dia!"Kudengar langkah ibu ke arah kamar tempatku berbaring. Gorden pintu disibak, Ibu muncul di ambang pintu. "Sini kamu!" Aku bangkit dan mendeka

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Tidak Gila

    Aku hanya menatap kosong ke arah meja yang berisi beragam makanan lezat. Bahkan beberapa jenis makanan yang dihidangkan Kak Nisa belum pernah kulihat sebelumnya. Aku tak berminat menyantapnya, melihatnya saja aku tidak bertenaga. Duniaku terasa hampa, tanpa suara sedikit pun. Semua pun mendadak kelam dan gelap. Tidak ada satu pun yang kupikirkan, selain ... aku ingin mati!Dari Kak Nisa dan pembicaraan beberapa orang yang tidak kukenal, aku sudah ditampung di sebuah panti. Entah panti apa dan di mana. "Bapak dan Pak Doni sudah diproses secara hukum. Mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Kamu aman di sini!"Apa aku percaya? Sepertinya tidak!Jika aku aman, mengapa orang-orang baru itu seolah menatapku jijik. Beberapa orang mengarahkan ponsel dan kamera dengan cahaya silau yang sesekali menyala. Mereka juga sibuk berbicara di depan kamera sembari menyorot ke arahku. Apa yang mereka lakukan?"Ada ibumu!" Duniaku

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Aku Bagai Hewan Tak Berharga

    "Kak Nisa?" panggilku pada Kak Nisa yang sudah berlari mendahuluiku. Dia berhenti lantas menoleh padaku, menatapku bingung seolah bertanya, ada apa?Mataku tak beralih dari kaus putih di depanku, kulihat Kak Nisa juga menatapnya. "Itu—""Kalian di sini?"Aku terkejut lantas menoleh ke belakang. Ada Kak Jago dan ....Aku langsung berlari mendekati Kak Nisa yang juga kulihat terkejut. Ya, Kak Jago mendekati kami bersama Pak Doni dan Bapak. Pak Doni sudah mengenakan perban di matanya. Sementara Bapak terlihat terengah-engah seperti baru saja mengejar sesuatu. Keduanya menyeringai ke arahku. Seringai yang tak dilihat oleh Kak Jago. "Leena, kamu dicari bapak sama guru ini!"Aku menggeleng. "Katanya kamu udah berhari-hari nggak sekolah, juga nggak pulang ke rumah!""Nggak!" gumamku dengan tubuh yang semakin gemetar. Kucengkeram ujung baju Kak Nisa, mencari perlindungan. "Nggak! Mereka b

  • Aku Jual Diri karena Ibuku   Iblis Berbentuk Manusia

    Keesokan paginya Bapak kembali menungguku di depan rumah, di atas motor. Tidak ada pertanyaan mengapa aku kemarin pulang lebih dulu. Lelaki kurus itu hanya diam. Kali ini aku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja panjang pemberian Kak Nisa. Aku bahkan menyelipkan sebuah jarum pentul di retsleting celana. Ya, aku harus bisa melindungi diri. Tidak boleh takut dan harus berani menghadapi apa saja yang akan terjadi nanti. Seperti kemarin, sepanjang perjalanan aku dan bapak tiriku hanya diam. Dia fokus ke jalan, aku fokus ke sekitar dan tentu saja pikiranku. Bagaimana kalau Pak Doni datang lagi?Bagaimana kalau Bapak juga di sana?Bagaimana kalau mereka berdua kembali melakukan hal yang tidak-tidak padaku?Ah, andai aku berteriak meminta tolong, adakah yang peduli?"Ibu pikir kamu nggak ke sini lagi?" ucap wanita pemilik rumah makan yang kemudian kutahu bernama Bu Mira. Wanita bertubuh gemuk itu langsung men

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status