"Kamu nggak seharusnya memperlakukan aku seperti itu, Mas!" raung Lidya disela isak tangisnya. "Harusnya kamu pulang bersamaku, bukannya malah meniduri perempuan itu. Aku sakit hati, Mas! Kamu pilih kasih!"Dana menjengah, tak sedikitpun ada keinginan mendebat Lidya. Dia membiarkan istri tuanya terus meracau, mengeluarkan semua unek-uneknya. Biar dia puas. Kalau dipikir-pikir, Lidya ini lucu juga. Dia sendiri yang menawarkan pernikahan, dia sendiri yang punya ide gila ini, dia yang maksa-maksa agar Dana menuruti. Kenapa sekarang wanita ini merasa tersakiti? Jangan-jangan Lidya ini menderita Multiple personality disorder, Suatu gangguan yang ditandai dengan adanya dua atau lebih status kepribadian yang berbeda. Dan itu ada pada Lidya. Disisi lain Lidya begitu menggebu-gebu ingin punya keturunan dari wanita lain, tapi disisi lain dia merasa tersakiti karena kehadiran perempuan lain itu. "Apa sih, kelebihan Puspita, Mas? Nggak ada, dia itu nggak ada apa-apanya dibanding aku! Aku lebih
"Lho, Pak Dana kok balik lagi kesini?" Puspita terkejut melihat Dana datang menjelang tengah malam. Dan lebih terkejut lagi, laki-laki datang membawa koper besar. Bukannya dia tidak suka atau keberatan, tapi peristiwa beberapa jam yang lalu masih menyisakan trauma di hati Puspita. Takut Lidya ngamuk lagi, takut warga berdatangan lagi. Sungguh Puspita malu luar biasa. Apalagi cercaan Ibu-ibu komplek, yang menuntut penjelasan atas peristiwa yang terjadi. Dengan alasan biar tidak terjadi huru-hara lagi. "Kenapa? Nggak boleh?" ketus Dana. Hatinya sedikit kecewa mendapat reaksi tak terduga dari Puspita, padahal dia berharap Puspita langsung memeluk menyambut kedatangannya. Saat ini Dana butuh pelukan, butuh tempat berbagi segala keresahan yang membelenggu hatinya saat ini. "Nggak boleh, gimana? Ini kan, rumah Bapak dan Nyonya Lidya. Saya hanya pinjam, terserah Pak Dana mau datang kapan saja," balas Puspita dengan wajah cemberut. Dana tak mempedulikan istrinya yang tengah merajuk itu,
"Pak! Pak Dana!" Puspita mengguncang pelan kaki suaminya. Sudah beberapa hari ini, pekerjaan Dana hanya makan tidur dan sibuk dengan ponsel dan laptopnya, tidak pernah ngantor. Membuat Puspita jadi bingung. "Pak .... Bangun, dong ....!" Ingin sekali Puspita menyeret Dana turun dari tempat tidur, kemudian melemparnya ke jalan. Tapi sayangnya dia sama sekali tak punya keberanian, salah-salah dia yang dilempar Dana ke jalan. "Oah ...." Dana menguap lebar, bukannya bangun dia malah menarik tubuh Puspita, hingga menimpa tubuhnya. "Paaak .... ! Apaan, sih?" pekik Puspita manja. "Ck! Diam kamu, Puspita!" Dana memeluk tubuh itu seolah guling. "Ih, Pak! Bangun! Ini sudah siang, Pak Dana nggak kerja!" Puspita masih berusaha melepaskan pelukan suaminya. "Kamu mau aku kerja?" Dana bertanya sambil menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Puspita, membuat wanita itu kegelian. "Iya, Pak! Cepat mandi sana!" "Oke, aku kerja sekarang." Diluar dugaan, Dana justru menyerang Puspita. "Paak!" Dana
Sementara itu, di kantor Dana terjadi kepanikan. Banyak pekerjaan jadi terbengkalai, karena menunggu keputusan sang Bos, yang beberapa hari tidak menampakkan batang hidungnya tanpa kabar berita. Entah di mana keberadaan laki-laki itu, staf kantor tak ada yang tahu. Termasuk Dian asisten pribadi Dana, yang dikenal paling dekat dengan sang Bos. "Masih belum bisa dihubungi?" tanya Priambodo, direktur pemasaran di perusahaan itu, kepada Dian. Gadis itu menggeleng pelan, mendung nampak menggantung di wajah gadis itu. "Sudah telfon Bu Lidya?" tanya Priambodo lagi. "Saya nggak berani, Pak. Nanti malah Bu Lidya marah-marah ke saya," balas Dian dengan wajah ditekuk. Sebagai asisten pribadi Dana, Dian sudah hatam watak Nyonya besar itu. Temperamen suka melampiaskan kemarahan pada bawahan, bahkan untuk masalah pribadi sekalipun. "Terus gimana? Hari ini ada meeting dengan klien penting, sudah dua kali ditunda. Kalau kali ini meetingnya ditunda lagi, bisa dipastikan kita bakal kehilangan klie
Amarah Lidya sedang berada di puncaknya, karena Dana dan Puspita kabur. Hingga siapa saja menjadi pelampiasan amarahnya. Bahkan barang pajangan di rumah itu, tak luput menjadi sasaran kemarahan Lidya. "Ronii .... !" Suara Lidya menggema di seluruh ruangan. Pemilik nama yang disebut, lari tergopoh-gopoh menghampiri sangat Nyonya, sebelum amarah wanita semakin memuncak. "Siap, Nyonya! Ada yang bisa saya bantu?" ucap Roni sambil menunduk sopan. "Dimana Mas Dana berada?" tanya Lidya dengan tatapan mengintimidasi. "Mohon maaf, Nyonya. Saya tidak tahu keberadaan Pak Dana," jawab Roni takut-takut. Sopir pribadi Dana itu masih belum berani mengangkat kepala. "Kamu jangan coba-coba menyembunyikan Mas Dana dari saya, ya! Kamu itu sopirnya, kamu selalu mengantar dia kemana-mana, masak nggak tahu di mana Mas Dana!" Roni selalu bersama Dana, kemanapun laki-laki itu pergi. Rasanya tidak masuk akal kalau sampai dia tidak tahu dimana bosnya berada? Begitu pikir Lidya. Padahal malam itu Dana me
Dana bernafas lega, ketika mendapati Raska yang datang malam ini. Dana sudah deg-degan tadi. Takut yang datang orang suruhan Lidya."Masuk!" ucap Dana dengan wajah ditekuk. Dia merasa kesal, baru saja sampai Raska sudah datang mengganggunya. Ada apa lagi ini, bukankah tadi siang mereka sudah bertemu? Yang menjemput Dana dengan mobil duoble cabin seperti yang diceritakan Bu Ria pada Lidya, adalah Raska. Apa Raska tidak tahu, kalau kakaknya ini pengantin baru. Yang lagi seneng-senengnya berduaan! "Maaf, Mas. Aku nggak bermaksud mengganggu, tapi ada hal penting yang harus Mas Dana tahu," ucap adik kandung Dana itu. Dia jadi merasa tidak enak, melihat wajah kakaknya yang ditekuk itu. Dana melirik sekilas Raska, sebelum kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa. "Duduk!" Raska mengambil duduk tepat di seberang Raska. "Hendro baru saja memberi kabar, kalau Mario sudah mulai bergerak," lapor Raska to the poin. Untuk menyampaikan kabar sepenting ini, tak perlu basa-basi. Sebelum meninggalkan
"Pak Dana mau makan, apa? Biar saya belikan bahannya, mumpung dagangannya masih terlihat banyak itu! Kita nggak bisa ngandelin Raska, Pak. Baru dua minggu di sini, dia sudah mleho begitu. Dia capek pasti, makanya nggak datang lagi," cerocos Puspita panjang lebar. "Terserah, kamu masak apa pasti saya makan, Ta," jawab Dana malas-malasan. Percuma mencegah Puspita keluar, wanita itu keras kepala. Dana hanya bisa berdoa, semoga tidak terjadi apa-apa. "Beneran! Awas kalau protes!" Ancam Puspita sebelum meninggalkan rumah. Dua minggu tidak keluar rumah, membuat Puspita begitu senang, meski hanya belanja sayur di depan rumah. "Mbak Puspita, mau belanja apa?" Tanya salah seorang wanita yang ikut belanja di sana. Puspita sedikit kaget, kok wanita itu tahu namanya? Selama tinggal di sini, ini pertama kali Puspita keluar, dan seingatnya. Baik Dana atau Raska belum laporan ke aparat setempat. "Iya, Bu," jawab Puspita sopan. "Belanja yang banyak, Mbak Puspita. Mumpung sayurnya masih banyak
"Gimana keadaan suami saya, Dok?" Lidya langsung menemui dokter yang menangani Dana, begitu sampai rumah sakit. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit tadi, hatinya tidak tenang begitu mendengar kabar Dana sudah sadar dari koma. Bukannya tidak bahagia mendengar kabar bahagia itu, bukan. Ada hal yang paling Lidya takutkan kalau suaminya sadar, dia ngamuk padanya. Atau Dana sadar tapi gegar otak, dan tak bisa melakukannya aktivitas seperti biasa. "Pak Dana sepertinya mengalami amnesia, Bu. Untuk mengetahui parah atau enggaknya, atau apa jenis amnesia yang diderita pasien, butuh pemeriksaan lebih lanjut.""Jadi, saya harus bagaimana, Dok?" Tentu Lidya tak mau salah langkah, bisa-bisa semua rencananya berantakan. "Kita tunggu Pak Dana bisa diajak komunikasi dengan lancar, untuk sementara jangan dipaksa mengingat sesuatu dulu. Biarkan saja seperti ini, seingat dia saja." Lidya mengangguk paham, setengah mati dia berusaha agar terlihat biasa saja di depan sang dokter. Dadanya hampir mel