Arjun membalik sendok, pertanda bahwa dia sudah selesai makan.
"Geli, jangan ngomong kayak gitu," ungkap Arjun sembari menunjukkan ekspresi geli, membuat kami tertawa.Arjun jarang bicara, tetapi sekali bicara bisa membuat suasana cair. Perlahan kami bangkit dari rasa terpuruk dan bisa tertawa lagi seperti sekarang.Ayah, Bunda dan Kakak. Melupakan mereka adalah hal yang tidak mungkin, setiap malam aku masih memimpikan darah mereka yang memenuhi mobil. Teriakan Arjun dari jalan terdengar jelas. Senyuman terakhir kakak ketika memelukku supaya aku selamat, sangat jelas di ingatan.Insiden itu bagai luka yang menghancurkan segalanya, membuatku sulit melangkah untuk bahagia apalagi tertawa. Janji Kakak untuk mendampingi ketika aku menikah, semuanya tinggal kenangan.Kata Ayah, aku adalah putri kebanggaan keluarga. Aku mau berhijab padahal putri konglomerat lain tidak, selalu tersenyum dan rendah hati.Bunda bilang, hidup adalah anugerah. Bisa bernapas dengan normal harus disyukuri, bisa melihat, mendengar, semuanya harus disyukuri. Tidak boleh mengeluh kepada Allah, karena Allah tahu yang terbaik. Aku pun bersyukur karena hanya kakiku yang pincang, itu pun hanya sebelah kiri setelah sebelah kanan berhasil diobati. Semua organku yang lain masih normal. Aku bersyukur karena masih hidup supaya bisa menjaga Arjun."Kok sekarang Roan tidak pernah datang?" tanya Paman. Dia sudah selesai makan."Dia sibuk Paman, sekarang kan Roan sudah jadi Direktur," jawabku. Hanya menebak.Roan benar-benar berubah sejak kecelakaan, tidak lagi memperhatikan diriku. Seperti menghindar. Sempat aku bertanya apakah dia malu memiliki calon istri pincang?Katanya tidak, dia hanya sibuk karena baru diangkat menjadi direktur. Meskipun begitu aku selalu mendengar kabar bahwa dia dekat dengan wanita lain. Katanya mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekali lagi Roan mengelak. "Kalau kamu ingin memutuskan pertunangan kita, aku ikhlas."Itu adalah ucapanku setahun lalu, wajahnya tetap dingin menatapku. Lalu mengembuskan napas berat."Aku harus gimana supaya kamu percaya?""Nikahi aku," jawabku pasti.Pertunangan kami sudah lama dilaksanakan, sejak orang tuaku masih hidup. Roan dan keluarganya yang mendesak supaya kami bertunangan karena takut aku diambil orang.Jika aku memiliki suami maka tidak lagi membutuhkan Paman menjadi wali, paman bisa bebas dan tidak terikat. Kami bisa dijaga oleh Roan dan punya keluarga kembali. Juga perusahaan bisa diurus Roan, meskipun hampir bangkrut tapi aku percaya kalau di tangan Roan perusahaan keluargaku bisa bangkit lagi."Aku belum bisa menikahimu, tunggu sebentar lagi."Kalimat Roan membuatku terus menunggu. Berharap bahwa hari itu segera datang.Malam itu Paman bercerita banyak hal di meja makan, dari perusahaan sampai calon istri. Kami menghabiskan waktu bersama hingga jam sepuluh malam."Paman sangat menyayangi kalian berdua," ucap Paman.Aku tahu paman menyayangi kami, tetapi malam itu dia tampak berbeda. Seperti punya firasat akan berpisah.Kematian sudah ditakdirkan oleh Allah, aku tahu benar hal itu. Rasa kehilangan dua tahun lalu masih menjadi luka bagi kami. Sekarang, paman menambah luka itu.Keesokan harinya paman ditemukan meninggal, tak jauh dari gedung perusahaan, dianiaya orang tak dikenal. Tubuhnya sudah terbujur kaku ketika aku sampai di lokasi. Ada garis polisi yang menghalangi.Badanku kaku tidak bisa bergerak, semua terasa seperti mimpi. Hanya saja ini terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi belaka.Aku hanya bisa melihat paman yang tergeletak dengan tubuh membiru di tanah dari kejauhan, janji paman tadi malam adalah dusta. Katanya akan menjadi waliku saat menikah nanti, katanya akan melihat Arjun memimpin perusahaan, katanya akan menjaga kami terus.Kenapa sekarang pergi? Kenapa meninggalkan kami? Aku benci dengan pembohong, semua orang berbohong padaku. Mereka pergi tanpa membawaku, mengingkari janji dan berdusta.Aku jatuh ke tanah, bunyi tongkat kruk menghantam batu. Air mataku mengalir deras, tidak peduli lututku yang nyeri. Rasa sesak di dada melebihi segalanya. Tidak peduli juga terhadap orang-orang yang berkerumun di sekitar.Tiba-tiba punggungku disentuh seseorang, wanita paruh baya menunduk. Tante Fera."Yua, kamu tidak perlu khawatir. Tante akan menjaga kamu dan Arjun."Beliau adalah orang jahat, aku tahu betul hal itu. Dari cerita orang sekitar, dulu tunangan Bunda direbut olehnya, apapun milik Bunda pasti berusaha direbut. Pernah menggoda Ayah juga padahal dia sendiri sudah punya anak dan suami.Tante selalu iri dengki terhadap keluarga kami. Saat aku kecil, dia sering memukul. Pasti dia sangat bahagia karena sekarang tidak ada lagi yang menghalanginya menguasai harta kami dan memiliki semua milik bunda.Aku, Yuaira Arshavin Candra. Berjanji akan melindungi Arjun dan perusahaan. Juga akan berusaha menghentikan Tante Fera menjadi wali kami.Seseorang yang aku tunggu mendampingi hidupku, jodoh yang Allah takdirkan hingga membuatku bisa bersabar. Aku percaya Tuhan akan menggantikan kehilangan dengan kebahagiaan. Aku terus berusaha hingga tak kenal lelah berdoa. Menjaga adikku sembari menunggu keluarga baru yang Allah siapkan. Hingga Jexeon datang bagai pahlawan, kupikir dia memang dikirim Allah untuk menjadi bagian dari hidupku. Sejak pertemuan pertama, jantungku berdebar kencang. Kami tak saling kenal, tetapi dia mau menolong dan menjagaku. Selain hatinya digerakkan oleh Allah, tidak ada alasan lain. Kenapa kubilang begitu walaupun Jexeon menawarkan perjanjian pernikahan? Kalau sejak awal niatnya perjanjian pernikahan, maka dia tidak akan menungguku ditolak Roan. Tetapi langsung menawarkan. "Allah menghadirkanmu untuk menyempurnakan hidupku," kataku ketika awal kehamilan. Jexeon yang irit bicara hanya tersenyum, dia menggendongku sembari terus menciumi pipi. "Kau juga," balasnya singkat. Aku melingkarkan tangan di
Aku menjalani hidup dengan penuh perjuangan sejak orang tuaku meninggal, tidak ada lagi Yuaira yang manja dan kekanakan. Setiap hari bagaikan pertarungan hidup dan mati karena orang-orang mengincar harta keluarga kami. Padahal, dulu aku bagaikan tuan putri. Melakukan apapun terserah, membuat masalah hingga masuk kantor polisi pun pernah, orang tuaku akan mengurusnya hingga kadang melimpahkan kesalahan pada orang lain. Bahkan nilai mata pelajaran yang jelek pun Orang tuaku bisa mengatasi. "Dia Evrina Arzety yang akan jadi teman sekolahmu." Ayah memperkenalkan Rin untuk pertama kali, aku tahu Rin adalah pembantu yang dijual ayahnya sendiri ke sini. Kalau tidak salah dia dihargai 10 juta. Bahkan uang jajanku sehari 200 juta. Sungguh Rin tidak lebih mahal dari harga kaos kakiku.Aku dengar Rin adalah anak cerdas yang menjadi juara satu UN SMP se-provinsi Jawa. Saat itu aku pikir ayah membeli barang bagus dengan harga murah untuk membantuku meningkatkan nilai. "Hay Evrina, kita bakal j
"Jadi selama ini kamu membuntutiku?" tanya Jexeon. Mereka duduk berhadapan dengan tangan Yua yang tidak mau lepas, wanita berhijab merah muda memalingkan wajah, enggan menjawab tuduhan sang suami. Yua masih sama, selalu memasang raut wajah imut ketika merasa bersalah. "Aku cuma penasaran ke mana suamiku pergi, siapa tahu main cewek lain." Jexeon mengikuti arah pandangan Yua, bibirnya senyum. Terlihat jelas bahwa Yua cemburu. Padahal selama ini dia tidak ada hubungan dengan wanita manapun. Apalagi Purwati."Kenapa kamu nggak nyamperin dari dulu?" Tangan Jexeon mengambil dagu Yua, memaksa wanita itu membalas tatapannya. Kedua alis Jexeon terangkat, menunggu jawaban. "Aku nggak mau ganggu.""Lalu kenapa tiba-tiba datang, hmm?" Pandangan Yua mengarah ke Purwati lagi, memberi isyarat tanpa mau berucap, menunggu kepekaan Jexeon terhadap perasaannya. Yua tadi berkata padanya bisa menyembunyikan rasa rindu tapi tidak dengan cemburu. Selama perjalanan 3 tahun ini Jexeon tidak dekat deng
Malam ini Jexeon duduk di atas mobil camping sembari makan mie instan. Matanya memandang langit. Bulan sabit dengan bintang di sekitarnya. Terlihat indah menghiasi langit.Sudah 3 tahun dia meninggalkan Yua dan si kembar, besok ia akan kembali ke Jakarta. Memulai hidup baru tanpa masa lalu.Semua masa lalu telah dia singkirkan, termasuk uang haram hasil mencuri. Dia menjual semuanya dan diberikan kepada fakir miskin. Sebagian digunakan menyekolahkan anak-anak kurang mampu. Setahun lalu uangnya habis. Jexeon menjadi sangat miskin.Hidup tanpa uang adalah sesuatu yang tidak mungkin, Jexeon mencari cara menghasilkan uang dengan cara halal dan tanpa merugikan orang lain.Dia juga membuka jasa mengembalikan data perusahaan yang hilang, data yang diretas ataupun membantu KPK dalam menelusuri data para koruptor. Pekerjaan di bidang IT terbilang lancar sebagai sosok misterius. Ia menerima bayaran mahal, lalu dikumpulkan dan diberikan kepada Elgar. Di penthouse sana, Elgar mengelola uang Jexeo
Hidup memang seperti ini, orang-orang datang dan pergi. Perbedaannya hanyalah kesan. Saat masih bersama apakah berkesan sampai tidak sanggup melupakan atau hanya berlalu tanpa ingin dikenang. Aku dan Roan sudah memilih jalan berpisah tanpa harus diingat kembali. Kenangan berupa cincin pertunangan tidak begitu berarti. Pertunangan bukanlah janji suci yang mengikat hati sampai ke akhirat. Roan hanyalah salah satu pria yang pernah hadir sebagai calon suami, tidak lebih dari itu. Perasaanku padanya padam sejak melepas cincin pertunangan di gedung Nathanael.Akhir cerita bersama Roan sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Jexeon. Suamiku itu pergi dan menyuruhku tidak menunggu. Mereka sungguh bersaudara. Bagaimana bisa dua saudara itu sama-sama mencampakkanku? Namun, ada sedikit perbedaan antara Roan dan Jexeon, janji Jexeon padaku disaksikan Tuhan. Cinta di antara kami juga membuahkan dua bayi kembar, anak hasil persatuan raga dengan bumbu cinta. Hubungan kami tidak bisa hanya menjadi ke
Las Vegas adalah kota terpadat di negara bagian Nevada, ibu kota Clark County, Amerika serikat. Ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi kota yang terkenal karena sejumlah resor kasino dan hiburan sejenisnya. Lampu kota Las Vegas bersinar terang, gedung pencakar langit berdiri kokoh. Keindahan kota dapat aku lihat dari lantai 25 apartemen milik Tante Amel. Jendelanya dibuka, membuat angin musim panas masuk ke dalam. Aku memejamkan mata, merasakan angin itu menerpa wajah. Rambutku yang lurus panjang tertiup angin, berkilau indah terkena pantulan lampu. Rambut itu yang setiap malam Jexeon cium karena suka aromanya. Awalnya aku pikir ia yang sudah tobat tidak suka dengan kota ini. Namun, ternyata dia memang tidak berniat datang. Pria itu meninggalkan kami dengan menitipkan surat pada Tante Amel. Berulang kali aku mencoba menghubunginya. Bahkan menanyakan keberadaan Jexeon pada Lazio dan Elgar. Aku kehilangan Jexeon seperti orang yang hilang akal."Teman macam apa kalian tidak tahu