“Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Nona Besar? Sepertinya ini bukan rencana yang dia inginkan?”
Axel berkata saat kami sudah berada di dalam mobil dan dia menurunkanku di kursi penumpang dengan perlahan juga hati-hati. Tatapannya tetap lekat seolah menanti jawaban pasti dariku. “Sshh … hmmm … bisakah kita membahasnya nanti saja,” ucapku masih mengibas panas yang terasa di kaki. Axel hanya melirik, tapi tetap saja dia lebih tidak tega melihatku seperti itu. “Billy, apa kau siput? Kenapa lama sekali jalannya?” Nada bariton Axel keluar lagi dan aku ikut menatap kearah suaranya. “Aku nggak tau kalau kamu benar-benar perhatian banget padaku. Kenapa dulu kamu nggak pernah bilang sih?” ucapku hampir tak terdengar karena bergerutu. “Memangnya kamu kasih aku kesempatan!” jawab Axel. Dia terlihat tidak malu atau ragu mengungkapkan perasaannya. Padahal setahuku dulu Axel selalu bersikap ketus saat berbicara denganku. Atau aku saja yang tidak pernah peka dan menyadari semua ketulusan Axel. “Jadi kalau sekarang aku kasih kesempatan, kamu mau mengambilnya?” Wuaahhh … aku benar-benar cegil gak tau malu. Bisa tanpa ada ayakan terus saja mengompori Axel. “Tuan sudah sampai!” Billy berkata memotong tatapan penuh arti kami. Axel bergegas keluar dan berputar membuka pintuku. Dia dengan cekatan tanpa menunggu persetujuan langsung mengangkat tubuhku ala pengantin baru. Aku hanya bisa menatap kembali. Perlahan namun pasti jantungku hampir sulit dikendalikan. Omaygot … dia benar-benar ganteng banget sih. Aku benar-benar bodoh sampai bisa menikah dengan Nicholas dulu. Mataku benar-benar buta sampai nggak bisa melihat kebaikan juga ketulusannya saat itu. Dengan penuh percaya diri, aku pun nggak meminta izin Axel saat meletakkan kepalaku di dadanya. “Tolong periksa dan pastikan lukanya tidak membekas, Roger!” ucap Axel menurunkan aku pada kamar entah kapan juga dia memesannya tahu-tahu aku sudah berada di dalamnya. Dan seorang laki-laki dengan tampang ketus menyambut kedatangan kami. “Kau gila, Xel, kau suruh aku batalkan operasi hanya untuk menangani orang yang ketumpahan sup saja!” cerca nya kesal, namun tangannya dengan segera menangani lukaku. Aku tidak tahu siapa dia. Sepertinya orang ini tidak ada dalam masa laluku. Dulu kan aku dibawa Nicholas ke rumah sakit sambil menangis dan hanya dokter umum yang menangani lukaku. “Tutup mulutmu atau aku akan hentikan semua dukunganku pada rumah sakit ini,” dengkus Axel masih dengan pose melipat kedua tangannya. “Kau gila? Ancaman macam apa itu? Hanya demi wanita yang tidak mau membalas perasaanmu ini kau tega melakukan itu padaku. Cih, dasar otak tidak berguna. Mau saja kau dimanfaatkan. Dia ini hanya akan jadi bencana saja buatmu, Xel!” Sahutan menjadi lebih ketus. Roger terlihat tidak suka padaku. Padahal aku sama sekali merasa tidak punya masalah dengannya. “Diam! Tutup mulutmu, Roger, atau pisau bedah ini akan merobek mulut tidak tahu dirimu itu!” Axel mode on devil. Aku benar-benar tidak menyangka di kehidupanku yang sekarang aku bisa menyaksikan suasana lain yang kujalani dengan Minna juga Nicholas. Mereka selalu berada disisiku. Bersikap baik dan terlihat memanjakanku, padahal mereka sedang mengikat diriku seperti boneka yang mudah mereka mainkan. Roger tidak berani beradu argumen lagi dengan Axel. Dia segera membalut lukaku dan memastikan obat untuk kaki agar tidak membekas. “Oleskan tiga kali sehari dan pastikan habiskan salep juga obat yang diresepkan. Untungnya ini tidak terlalu dalam jadi aku rasa ini tidak akan menimbulkan bekas,” Roger menjelaskan sambil menatap mataku. Dia terlihat masih tidak percaya padaku. Lirikannya sudah membuatku mengerti. “Tolong jangan salah paham. Aku bukan nggak mau membalas perasaan Axel padaku. Aku kan memang nggak tahu kalau Axel suka denganku. Dia nggak pernah bilang apa-apa kok, jadi aku harusnya nggak salah dong,” entah kenapa aku merasa harus memberikan penjelasan pada Roger. Dia itu sok tahu banget sih. “Kalau dia mau aku balas perasaannya, bukannya dia juga harus mengungkap perasaannya padaku, kan?” Aku yang tidak bisa berhenti kini menoleh pada Axel seolah menyalahkannya juga. Roger menelan ludahnya, dia tidak menyangka kalau aku akan berbicara seperti itu. “Hah, kau gila, Xel? Ini yang kau bilang wanita pendiam dan polos? Cih, aku rasa matamu sudah berlapis belek puluhan tahun sampai kau tidak bisa membedakan wanita pendiam dan mulut iblis,” jawab Roger semakin ketus setelah mendengar ucapanku. Axel tidak berkomentar. “Apa kamu masih lapar?” ucap Axel seketika membuat Roger geleng-geleng dan menghempaskan nafas kasarnya. “Pergilah dan jangan ganggu pekerjaanku lagi. Kalian berdua ternyata sama saja. Kepala batu,” cetus Roger kemudian beranjak dari duduk dan meninggalkan kami. Karena aku menjawab pertanyaan Axel dengan anggukan kepala seolah tidak peduli lagi dengan siapapun. “Apa boleh aku memakan apapun yang aku inginkan? Selama ini aku hanya makan apa yang diatur oleh Minna dan Nicholas juga keluargaku,” ucapku yang sekarang sudah mengalungkan tanganku di leher Axel lagi. “Uhm!” Jawabnya. “Aku mau ice cream strawberry dan kentang goreng,” sahutku penuh antusias. “Apa itu berarti kau memberikanku kesempatan?” ucap Axel, sesaat dia menghentikan langkahnya dan menatapku, dia benar-benar menantikan aku menjawabnya. “Aku akan memberikanmu kesempatan asalkan malam ini kamu memberiku sesuatu yang paling berharga darimu,” ucapku, Axel menautkan keningnya. Dan dia benar-benar merasa aku sudah banyak berubah. Axel tidak menjawab ku, dia malah melanjutkan langkahnya. Ya ampun … kok dia diam aja sih?? Akh jangan-jangan dia berubah pikiran dan menolakku. Dia malah ilfil gara-gara aku yang kepedean banget. Padahal kan aku bersikap seperti ini hanya ingin dia tahu kalau aku mau berubah dan aku hanya ingin dia yang jadi masa depanku. Tapi … kalau dia benar-benar menolakku, aku harus bagaimana? Masa aku harus tetap menikah dengan Nicholas sih? Ahh!! Ga mau pokoknya aku nggak mau. Itu gak boleh terjadi. Meskipun langit runtuh dan bumi terbelah, aku hanya ingin Axel yang menjadi bagian dariku. Bagaimanapun caranya, aku harus mendapatkan hati Axel. Meskipun aku harus menggoda atau merayunya mati-matian, aku harus bersama Axel. Aku nggak mau lagi mati sia-sia. “Billy, kita cari ice cream dan kentang goreng,” kata Axel setelah kami sudah ada lagi di dalam mobil dan Axel tidak membahas apapun lagi. “Baik, Tuan!” Jawab Billy hanya melirik dari kaca spion yang melihat gerak-gerikku. Billy merasa tuannya seolah menutup mata dengan apa yang aku lakukan. Aku langsung berinisiatif mendekat dengannya dan meraih lengannya. Axel tetap diam dan tanpa reaksi. Tatapannya seolah berubah dingin. “Aku maunya kamu yang membelikan langsung. Aku gak mau dia yang membelikan, aku takut nanti dia meracuniku!” ucapku dengan manja di lengan Axel sambil melirik ke arah Billy yang menyetir terus mengawasiku. Sontak mobil mengerem mendadak. Bruk! “Agh!” jeritku. Karena Billy mengerem mendadak tubuhku ikut tidak stabil hingga membuat dahiku terbentur kursi depan.“Ada apa tanda tanya kenapa seharian ini kau sulit dihubungi?” Nick sedang berada dalam panggilan Minna.Sejak pagi siang dan sore Nick coba menghubunginya, Minna terus menghindar.Selain ada alasan lain karena ibunya sedang mengikuti sang ayah. Minna juga tidak ingin dijadikan bulan-bulanan oleh Nicholas.Dia tidak mau jadi alat pelampiasan saat Nicholas marah. “Aku sedang sibuk dengan mama, jadi untuk sementara waktu sebaiknya kita tidak bertemu dulu,” kata Minna menghindar.Dia sedang mencari cara untuk membalas dendam pengkhianatan ayahnya. Bagaimanapun ibunya tidak boleh menderita. Mina ingin ayahnya juga mendapatkan pembalasan setimpal. Hal itu sedang dia pikirkan, dan benar-benar dia akan melakukannya. “Pokoknya aku tidak mau tahu, besok pagi kita harus bertemu. Aku benar-benar kehilangan kontak dengan kakakmu itu!” Suara Nicholas terdengar frustasi dan dia berpikir harus mencari cara agar bisa menemuiku. “Apa kau lupa, kemarin kau sudah tahu. Karena kau tidak berhasil m
“Dasar, laki-laki kaku dan dingin. Dia tadi beneran menembakku?” bisik Rena dalam hati. Di dalam mobil dia masih sedikit terbayang dengan kejadian tadi.Rick mengamati. Anaknya sudah dalam pangkuan Rena dan tertidur.“Ah, maaf, tadi saya tidak menjawab telepon Tuan,” kata Rena, dia merasa tidak enak hati karena mengabaikan panggilan telepon dari Rick.“Em, tidak masalah. Yang terpenting saat ini kau sudah setuju untuk mengasuh Belinda,” ucap Rick penuh makna.Meski sedang fokus menyetir, dia melirik ke arah Rena. “Tadi itu …,” Rena sedikit ragu untuk mengatakan, tapi dia sadar tidak boleh mengabaikan perasaan Billy setelah dia mengungkapkan. “Aku mengerti. Tapi, jika memang dia keberatan, beritahu aku secepatnya!” Sepertinya tidak perlu dijelaskan, Rick sudah memahami posisi gadis itu. “Em, dia tidak masalah. Dia bukan orang yang berpikir sempit dengan melarangku bekerja,” kata Rena, dia berbicara seolah sudah memiliki hubungan yang lama dengan Billy.Setidaknya Rena harus memberi
Rena menghampiri dan menggandeng tanganku.“Jadi, apa alasanmu? Hah?!” Aku penasaran ingin langsung mendengar ceritanya.Axel dan Billy mengikuti dari belakang. Juga menyimak pembicaraan kami.“Sepertinya, aku akan berhenti bekerja dari cafe,” kata Rena mulai bercerita.“Seriusan!”“Iya, aku juga nggak nyangka. Tuan Rick menawarkan aku pekerjaan sebagai pengasuh. Kerjanya fleksibel. Aku juga masih bisa kuliah. Tempat tinggal dan makan sudah di tanggung. Aku hanya perlu merawat dan menjaga Belinda!” Cetus Rena penuh antusias.“Benarkah?!”Aku mungkin saja tidak percaya kalau tidak mendengar langsung dari mulut Rena.“Um, bahkan dengan gaji double!” tambah Rena dengan wajah berseri-seri.Aku yakin dibandingkan dengan bantuan ku yang cuma-cuma menawarkan dia tempat tinggal. Rena akan merasa tidak terbebani dengan hal ini.Meskipun aku juga belum tahu alasan sebenarnya si Rick itu memberikan pekerjaan. Anggap saja, dia memang benar-benar membutuhkan pengasuh untuk anaknya.“Aku ikut senan
“Aunty Renata, kenapa Aunty nggak mau ke rumah kami saja,” kata Belinda masih menggenggam tangan Rena.Sepertinya dia enggan berpisah. Sang ayah hanya diam-diam memperhatikan. Dia tidak banyak bicara saat ini.“Em, Aunty nggak punya alasan untuk main ke rumah kamu, sayang. Memangnya kamu mau menerima Aunty jadi pengasuh kamu kalau Aunty sedang nggak bekerja,” jawaban tersebut meluncur mulus dari mulut Rena.Dia memang sedang berpikir mencari pekerjaan lain yang bisa dijadikan tempat tinggal. Rena merasa tidak ingin terlalu membebani ku.“Daddy dengar kan? Lebih baik Aunty diterima saja jadi pengasuhku,” Belinda menoleh sang ayah dan memegang tangannya.Rick menatap wajah Renata.“Ah, umm, bukan maksudnya seperti itu. Saya memang sedang butuh pekerjaan tambahan selain di kafe. Apalagi pekerjaan itu bisa menampung saya tinggal,” meski sedikit ragu. Renata tetap mengutarakan maksudnya.“Aku nggak keberatan. Asalkan anakku suka. Dan sepertinya anakku memang menyukaimu,” tukas Rick menatap
“Aku nggak akan membiarkan semuanya itu terjadi, Ma! Wanita murahan dan anaknya itu harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Mama tidak perlu khawatir, aku akan selalu ada bersama mama,” kata Minna memberikan dukungan pada ibunya. “Kita tidak bisa memantau papamu. Tapi, mama sudah tahu tempat tinggalnya. Jadi, kita hanya perlu menyergap ke sana dan memberikan wanita itu hukuman yang setimpal!” Tambah Marta dan disetujui oleh Minna.“Tapi, dibandingkan dengan itu sekarang, aku sedang mencemaskan Nick. Hari ini dia belum menghubungiku, aku yakin dia masih mengharap Kakak bodohku itu!”Mina mengeluarkan unek-uneknya. Dia merasa sudah tidak tahan oleh Nicholas. “Mama tidak menyangka kalau Nick seperti itu. Bisa-bisanya dia menutupi sikap kasar dan arogannya. Kalau mama tahu dia seperti itu, sejak dulu kalian dekat Mama akan melarangnya,” Martha tampak menyesali hubungan Nicholas dan anaknya. “Aku juga nggak ngerti kenapa dia bisa berubah seperti itu. Alasannya hanya karena Kakak bodohk
“Temanmu? Maksudmu ….”Axel memicingkan mata dan sedikit melirik ke Billy.“Menurut siapa lagi. Tentu saja, teman kesayangan ku, Rena. Hari ini dia nggak sengaja ketemu laki-laki yang kemarin itu,” kataku persis seperti para perempuan yang suka bergosip.Telinga Billy semakin meninggi. Keningnya berkerut dan tangannya mengepal secara spontan.“Bagaimana bisa?” Axel mengikuti gerakan ku yang mengambil belanjaan yang dibeli Rena tadi.“Lalu kenapa kamu jadi memutuskan keluar rumah? Bukannya tadi kamu bilang,” cetus Axel.“Iya ini nggak ada rencana, sayang,” tanganku mengapit lengan Axel dan membawanya berjalan.“Aku nggak terlalu suka suasana di rumah. Mama dan Minna terus mengganggu. Mereka terus-terusan menyuruhku meminta maaf pada Nick dan kembali padanya!” Ucapan ku kecut.“Sepertinya aku harus membuat dia menghilang dari hidupmu baru kamu bisa tenang!” geram Axel saat mendengar ucapanku.“Sebenarnya aku pikir dia akan menjauh. Tapi, seperti ini dia masih saja bertingkah seperti ora