“Apa ini? Apa kau salah minum obat?”
Aku terkejut, tiba-tiba saja Axel mendorong tubuhku. Dia seolah menolakku. Ucapannya tajam membuatku mengernyit. Hampir saja aku lupa, aku tidak pernah sama sekali berbicara atau dekat dengannya. Aku selalu bersikap cuek. Mungkin saja saat ini Axel akan menganggapku gila. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku harus bisa dekat dengannya. Aku hanya menginginkan dia yang menjadi suami masa depanku. Tidak akan ada lagi aku merasakan kemunafikan juga kebohongan Minna dan Nicholas. Aku harus bisa menggaet Axel lebih dulu. “Umm … ma–maaf, maafkan aku. Aku bukan sengaja. Kau masih ingat aku kan? Aku, Regina Meizura Carlton,” ucapku menarik bibirku hingga membentuk sebongkah senyuman terindah tak lupa tanganku terulur dengan manis. Saat ini mungkin saja aku terlihat seperti cegil yang sedang mengejar laki-laki. Axel menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Dia terlihat bingung dan tatapan dinginnya membuatku sedikit merinding. Namun, sekejap berubah saat aku menatap wajah tampannya. Dilihat lebih dekat, Axel benar-benar tampan, hmm … bodohnya aku dulu sampai melewatkan laki-laki dengan wajah pahatan dari surga ini. Sampai aku lupa diri menggelengkan kepala. Menatap wajahnya yang bersinar seperti cahaya bintang. “Hmm!” Axel menjawab singkat dengan melipat kedua tangannya di dada dan menelitiku dari ujung rambut hingga kaki. Dia terlihat tidak suka dengan penampilanku saat ini. “Mmm, aku ada acara makan malam. Jadi, aku sedikit mengubah penampilanku,” ucapku menjawab dehamannya. “Apa perlu segitunya untuk menarik perhatian seseorang. Kau terlihat seperti wanita murahan!” Dengkus Axel kesal dengan jawabanku. Mungkin kalau itu aku yang dulu aku pasti akan memberikan tamparan keras di wajahnya dan sangat membenci ucapan Axel. Tetapi, kali ini berbeda, kata itu terdengar seperti laki-laki yang sedang cemburu dengan wanita yang disukainya pergi kencan dengan orang lain. “Benarkah?” kataku, aku memajukan wajahku dengan berani. Wajahku tersenyum tidak dapat diartikan oleh Axel. Aku berencana tidak akan melepaskan Axel dari genggamanku. Axel terlihat bingung. Dia sadar ada yang berbeda dariku. “Sudahlah!” ucap Axel seraya berbalik akan pergi, namun aku tidak menginginkan itu. “Mau kemana? Aku kan belum selesai mengobrol denganmu. Memangnya kamu nggak penasaran? Aku pergi dengan siapa?” ucapku mungkin terdengar di luar nalar. Aku tidak akan melepaskannya. Ini memang bukan seperti diriku. Aku yang dulu tidak seberani ini. Dulu ditatap pun sudah gemetaran. Aku balik mencengkram tangan Axel, mencegahnya pergi. Kembali Axel mengerutkan kening. “Temani aku, aku ingin membeli sesuatu dan ingin makan malam. Anggap saja ini adalah permintaan maaf dariku. Aku salah. Aku selalu mengabaikanmu. Pokoknya kamu nggak boleh menolaknya!” tukasku tanpa ragu membuat segurat kebimbangan di wajah Axel. Dengan kecepatan yang mungkin saja Axel tidak sadari, aku sudah berhasil menggandeng lengannya. Membawa dia pergi bersamaku. “Kau suka makan apa? Trus hobi apa? Apa kau suka nonton film? Atau jalan-jalan? Katakanlah. Aku ingin mengetahui semuanya!” Aku benar-benar berubah menjadi cegil yang tidak tahu malu. Aku yakin sebelum kematian itu, Axel menangis untukku. Dia benar-benar mencintaiku. Tidak ada jawaban maupun penolakan keras seperti tadi dari Axel. Saat ini dia seperti sedang mempelajari sikapku. Axel mungkin sedang mengira aku sedang bermain tipu daya dengannya. “Apa warna kesukaanmu?” Aku terus saja mengoceh dan berhenti di depan salah satu toko yang memajang beberapa mannequin laki-laki. Axel mengikuti arah suaraku dan tatapanku yang tertuju pada mannequin tersebut. “Bagaimana kalau kita mencoba yang ini,” kataku, aku langsung menarik Axel masuk ke dalam toko tersebut. “Warna biru ini sepertinya cocok untukmu,” tanganku meraih syal rajut berwarna biru dengan motif bunga lili. Tanpa ragu aku berbalik dan mengalungkannya di leher Axel. “Apa kamu suka?” Aku benar-benar gila. Aku bahkan bersikap sangat agresif terhadap Axel. Dia benar-benar melongo melihat sikapku. Tidak ada jawaban maupun penolakannya. Axel hanya menatapku dalam diam. Gelombang matanya mengisyaratkan sesuatu yang dalam, namun dibaliknya tersimpan keraguan. “Aku mau yang ini!” ucapku lagi tanpa aba-aba langsung menarik Axel ke meja kasir dan membayar yang sudah tersemat di lehernya. “Terima kasih!” Aku menggandeng lagi tangan Axel yang tanpa penolakan. Dia benar-benar mengikuti kemana kakiku melangkah. Sampai pada tempat yang dijanjikan oleh Minna dan Nicholas, aku sudah melihat Minna mondar-mandir di depan ruangan yang sudah dipesan. “Ka–kakak … kenapa kakak lama sekali. Kasihan kan kak Nick, dia terus menunggumu dan merasa khawatir,” ucap Minna manja yang berlari ke arahku dan segera menyandarkan lagi kepalanya di lenganku. “Ah, maaf aku telat!” Lagi aku mendorong perlahan kepala Minna dari lenganku. Aku benar-benar tidak mau lagi berdekatan dengan ulet keket pengganggu itu. Namun, setelah aku meneliti, aku mencium parfum Nicholas di tubuh Minna. Sepertinya mereka tadi sudah sangat berdekatan ketika tidak ada diriku. Dan satu fokusku tanpa sengaja aku malah melihat leher Minna dengan kissmark disana. Juga baju Minna terlihat kusut. Kali ini Minna menggunakan baju press body hingga benar-benar menampilkan bentuk lekuk tubuhnya. Minna memang paling jago melakukan perpaduan itu, siapapun yang melihat pasti akan membangkitkan rasa penasaran untuk mencobanya. Hmm … ternyata begini cara kalian melakukannya. Setiap ada kesempatan kalian selalu melakukannya. Aku benar-benar bodoh bahkan dulu tak pernah menyadarinya. “Oya, aku membawa tamu dadakan, nggak apa-apa kan?” Minna baru menyadari saat aku berbicara dan dia melihatku menggandeng tangannya. Bagi Minna itu adalah pemandangan langka apalagi dia tahu aku tidak terlalu suka dekat-dekat Axel. Ya, benar itu dulu karena semua dalam pengaruh dan kendali dari pasangan tidak tahu malu ini. “Oh … tapi, tumben sekali kak Regi membawanya? Bukannya dia selalu bersikap kasar pada kakak? Kakak juga nggak suka dengannya kan?” satu sudut bibir Minna terlihat kecut saat menatap Axel. Jelas Minna menganggap Axel sebagai penghalang semua rencana mereka. “Siapa bilang? Aku nggak merasa seperti itu. Axel, dia cukup ramah dan dia juga cukup penurut. Buktinya dia tidak keberatan aku menariknya kesini. Dan sepertinya nggak salah … kan lebih banyak yang datang bukankah akan lebih seru!” Ucapanku membuat Minna bungkam dan kesal. Dia tidak lagi beradu argumen denganku, namun kedua tangannya mengepal dengan erat. “Ayo kita masuk Kak, kak Nick sudah lama sekali menunggu kakak,” Minna mengalihkan suasana dan menuntut langkah kami. Duar duar! Aku tidak terkejut seperti saat ini. Ketika aku membuka pintu, aku melihat papaku, Nicholas dan ibu tiri yang selalu digadang-gadang papa berada disana. Mereka mempersiapkan kejutan untuk dengan tiupan alat pesta ulang tahun dengan hiasan kertas yang langsung bertaburan di atas kepalaku. Lalu dihadapanku berdiri Nicholas membawa buket bunga untuk menyambut kedatanganku.“Ada apa tanda tanya kenapa seharian ini kau sulit dihubungi?” Nick sedang berada dalam panggilan Minna.Sejak pagi siang dan sore Nick coba menghubunginya, Minna terus menghindar.Selain ada alasan lain karena ibunya sedang mengikuti sang ayah. Minna juga tidak ingin dijadikan bulan-bulanan oleh Nicholas.Dia tidak mau jadi alat pelampiasan saat Nicholas marah. “Aku sedang sibuk dengan mama, jadi untuk sementara waktu sebaiknya kita tidak bertemu dulu,” kata Minna menghindar.Dia sedang mencari cara untuk membalas dendam pengkhianatan ayahnya. Bagaimanapun ibunya tidak boleh menderita. Mina ingin ayahnya juga mendapatkan pembalasan setimpal. Hal itu sedang dia pikirkan, dan benar-benar dia akan melakukannya. “Pokoknya aku tidak mau tahu, besok pagi kita harus bertemu. Aku benar-benar kehilangan kontak dengan kakakmu itu!” Suara Nicholas terdengar frustasi dan dia berpikir harus mencari cara agar bisa menemuiku. “Apa kau lupa, kemarin kau sudah tahu. Karena kau tidak berhasil m
“Dasar, laki-laki kaku dan dingin. Dia tadi beneran menembakku?” bisik Rena dalam hati. Di dalam mobil dia masih sedikit terbayang dengan kejadian tadi.Rick mengamati. Anaknya sudah dalam pangkuan Rena dan tertidur.“Ah, maaf, tadi saya tidak menjawab telepon Tuan,” kata Rena, dia merasa tidak enak hati karena mengabaikan panggilan telepon dari Rick.“Em, tidak masalah. Yang terpenting saat ini kau sudah setuju untuk mengasuh Belinda,” ucap Rick penuh makna.Meski sedang fokus menyetir, dia melirik ke arah Rena. “Tadi itu …,” Rena sedikit ragu untuk mengatakan, tapi dia sadar tidak boleh mengabaikan perasaan Billy setelah dia mengungkapkan. “Aku mengerti. Tapi, jika memang dia keberatan, beritahu aku secepatnya!” Sepertinya tidak perlu dijelaskan, Rick sudah memahami posisi gadis itu. “Em, dia tidak masalah. Dia bukan orang yang berpikir sempit dengan melarangku bekerja,” kata Rena, dia berbicara seolah sudah memiliki hubungan yang lama dengan Billy.Setidaknya Rena harus memberi
Rena menghampiri dan menggandeng tanganku.“Jadi, apa alasanmu? Hah?!” Aku penasaran ingin langsung mendengar ceritanya.Axel dan Billy mengikuti dari belakang. Juga menyimak pembicaraan kami.“Sepertinya, aku akan berhenti bekerja dari cafe,” kata Rena mulai bercerita.“Seriusan!”“Iya, aku juga nggak nyangka. Tuan Rick menawarkan aku pekerjaan sebagai pengasuh. Kerjanya fleksibel. Aku juga masih bisa kuliah. Tempat tinggal dan makan sudah di tanggung. Aku hanya perlu merawat dan menjaga Belinda!” Cetus Rena penuh antusias.“Benarkah?!”Aku mungkin saja tidak percaya kalau tidak mendengar langsung dari mulut Rena.“Um, bahkan dengan gaji double!” tambah Rena dengan wajah berseri-seri.Aku yakin dibandingkan dengan bantuan ku yang cuma-cuma menawarkan dia tempat tinggal. Rena akan merasa tidak terbebani dengan hal ini.Meskipun aku juga belum tahu alasan sebenarnya si Rick itu memberikan pekerjaan. Anggap saja, dia memang benar-benar membutuhkan pengasuh untuk anaknya.“Aku ikut senan
“Aunty Renata, kenapa Aunty nggak mau ke rumah kami saja,” kata Belinda masih menggenggam tangan Rena.Sepertinya dia enggan berpisah. Sang ayah hanya diam-diam memperhatikan. Dia tidak banyak bicara saat ini.“Em, Aunty nggak punya alasan untuk main ke rumah kamu, sayang. Memangnya kamu mau menerima Aunty jadi pengasuh kamu kalau Aunty sedang nggak bekerja,” jawaban tersebut meluncur mulus dari mulut Rena.Dia memang sedang berpikir mencari pekerjaan lain yang bisa dijadikan tempat tinggal. Rena merasa tidak ingin terlalu membebani ku.“Daddy dengar kan? Lebih baik Aunty diterima saja jadi pengasuhku,” Belinda menoleh sang ayah dan memegang tangannya.Rick menatap wajah Renata.“Ah, umm, bukan maksudnya seperti itu. Saya memang sedang butuh pekerjaan tambahan selain di kafe. Apalagi pekerjaan itu bisa menampung saya tinggal,” meski sedikit ragu. Renata tetap mengutarakan maksudnya.“Aku nggak keberatan. Asalkan anakku suka. Dan sepertinya anakku memang menyukaimu,” tukas Rick menatap
“Aku nggak akan membiarkan semuanya itu terjadi, Ma! Wanita murahan dan anaknya itu harus mendapatkan hukuman yang setimpal. Mama tidak perlu khawatir, aku akan selalu ada bersama mama,” kata Minna memberikan dukungan pada ibunya. “Kita tidak bisa memantau papamu. Tapi, mama sudah tahu tempat tinggalnya. Jadi, kita hanya perlu menyergap ke sana dan memberikan wanita itu hukuman yang setimpal!” Tambah Marta dan disetujui oleh Minna.“Tapi, dibandingkan dengan itu sekarang, aku sedang mencemaskan Nick. Hari ini dia belum menghubungiku, aku yakin dia masih mengharap Kakak bodohku itu!”Mina mengeluarkan unek-uneknya. Dia merasa sudah tidak tahan oleh Nicholas. “Mama tidak menyangka kalau Nick seperti itu. Bisa-bisanya dia menutupi sikap kasar dan arogannya. Kalau mama tahu dia seperti itu, sejak dulu kalian dekat Mama akan melarangnya,” Martha tampak menyesali hubungan Nicholas dan anaknya. “Aku juga nggak ngerti kenapa dia bisa berubah seperti itu. Alasannya hanya karena Kakak bodohk
“Temanmu? Maksudmu ….”Axel memicingkan mata dan sedikit melirik ke Billy.“Menurut siapa lagi. Tentu saja, teman kesayangan ku, Rena. Hari ini dia nggak sengaja ketemu laki-laki yang kemarin itu,” kataku persis seperti para perempuan yang suka bergosip.Telinga Billy semakin meninggi. Keningnya berkerut dan tangannya mengepal secara spontan.“Bagaimana bisa?” Axel mengikuti gerakan ku yang mengambil belanjaan yang dibeli Rena tadi.“Lalu kenapa kamu jadi memutuskan keluar rumah? Bukannya tadi kamu bilang,” cetus Axel.“Iya ini nggak ada rencana, sayang,” tanganku mengapit lengan Axel dan membawanya berjalan.“Aku nggak terlalu suka suasana di rumah. Mama dan Minna terus mengganggu. Mereka terus-terusan menyuruhku meminta maaf pada Nick dan kembali padanya!” Ucapan ku kecut.“Sepertinya aku harus membuat dia menghilang dari hidupmu baru kamu bisa tenang!” geram Axel saat mendengar ucapanku.“Sebenarnya aku pikir dia akan menjauh. Tapi, seperti ini dia masih saja bertingkah seperti ora