Share

Bab 7. Rizwan Sakit

Tak lama setelah aku pulang kerja teedengar deru mobil Mas Rizwan, saat ini memang waktunya Mas Rizwan pulang kerja. Kudengar suara sepatunya begitu kentara saat memasuki rumah kontrakan kami. Namun aku sendiri tidak tahu mengapa, perasaanku padanya terasa hambar. Entah rasa cintaku padanya kini perlahan mulai menghilang, bukan karena nafkah saja namun perhatiannya padaku kini sudah tidak ada lagi. Ditambah rencana perjodohannya dengan wanita bernama Shilla membuatku semakin muak.

"Assalamu alaikum," kudengar salam dari Mas Rizwan saat berada di ambang pintu. Aku segera berdiri dan ikut menyambut suamiku meski hati terasa begitu berat.

"Waalaikum salam," jawaban salam dari ibu mertuaku. Kulihat sikap Ibu mertua begitu berbeda seakan ingin sesuatu kepada Mas Rizwan.

"Rizwan, belikan Ibu makanan, Ibu belum makan!" Ibu mertua mertua bagai anak kecil meminta Rizwan membelikan makanan. Sungguh tak tahu malu sekali melihat anaknya baru saja pulang kerja sudah minta dibelikan makan malam.

"Maaf, Bu. Uang Rizwan sudah mepet sekali. Kok, cepet banget uang Ibu habis padahal lima hari yang lalu Rizwan memberi uang ke Ibu lima juta lima ratus," jawab Mas Rizwan dengan nada kesal.

Aku terperangah mendengar jika Ibu mertua mendapatkan jatah lebih besar dariku. Nominal yang begitu besar ternyata diberikan kepada Ibunya, itupun tidak sampai satu bulan akan meminta jatah lagi kepada Mas Rizwan.Aku melihat wajahnya begitu pucat dan tidak seperti biasanya. Bahkan kedua matanya begitu sayu seperti orang kelelahan.

"Anu, emmmm, ya uang segitu mah cepet habis, belum bayar arisan dan lain-lain," tukas ibu mertua yang terlihat gugup namun tetap saja berkilah supaya mendapatkan uang tambahan dari Mas Rizwan.

"Rizwan tidak punya uang, Bu." ucap Mas Rizwan dengan raut wajah yang tidak memiliki rasa semangat sama sekali. Mas Rizwan duduk di kursi sembari memijid pelipisnya. Aku rasa dugaanku benar jika dirinya sedang sakit.

"Halah, bilang aja kamu pelit! lemari es juga kosong melompong gitu. Enggak bisa ambil stok makanan deh," ibu mertua terkejut saat membuka isi lemari es kami. Ya, memang jarang sekali terisi bahan makanan karena aku sudah tahu sikap mertua jika kerumah pasti akan membawa stok bahan makanan yang sudah sangat minim.

Semua membuatku tidak heran atau terkejut sama sekali karena Mas Rizwan membebaskan Ibunya keluar masuk rumah kontrakan kami. Bahkan kunci cadangan pun diberikan pada Ibu mertua.

"Beneran, Bu. Rizwan lagi tidak punya uang. Uang Rizwan juga dipinjam Mbak Rina, padahal tiap bulan Rizwan udah beri satu juta lima ratus buat Mbak Rina," jawab Mas Rizwan, aku bahkan baru tahu jika Mbak Rina masih mengganggu nafkah suamiku dan nominalnya sama besarnya dengan yang diberikan padaku. Dan Mbak Rina ternyata melakukan hal yang sama dengan Ibunya meminta atau meminjam uang meskipun sudah diberi jatah masing-masing.

"Cari pinjaman sana, biar ibu enggak kekurangan!" ibu mertua seenaknya memerintah mencarikan pinjaman. Kulihat Mas Rizwan semakin frustasi dengan sikap Ibunya yang semena-mena padanya bahkan lebih mirip sapi perah.

"Bu, Rizwan lagi tidak enak badan, ibu bisa tidak sementara diam dulu."

Sumpah, aku ingin tertawa saat melihat Mas Rizwan untuk pertama kalinya berkata lebih keras dari pada biasanya. Biasanya Mas Rizwan akan memberikan apapun yang diminta Ibunya tanpa memikirkan kebutuhan aku yang istri sahnya. Bukan aku suka melihat Mas Rizwan ribut dengan Ibunya namun sikap tegasnya kali ini yang membuatku sangat terkejut.

"Kamu membentak Ibu!" aku tak habis pikir ketika Ibu mertua bersiap akan pura-pura menangis namun tak ada air mata yang hendak keluar.

"Maafkan Rizwan, Bu!" akhirnya Mas Rizwan meminta maaf juga kepada Ibunya setelah melihat Ibunya pasang muka sedih. Aku hanya mencebik sambil melihat tayangan yang akan disandiwarakan Ibu mertua. Ibu mertua kini duduk di samping Mas Rizwan sembari mengusap bahunya.

"Bu, boleh Rizwan minta bikinkan minuman jahe?" ucap Mas Rizwan pada ibunya akan tetapi ibu mertua terlihat malah bersungut-sungut padahal sang anak sedang sakit dan hanya meminta dibuatkan jahe.

"Apa, minta bikinkan minuman jahe?" Aku dan Mas Rizwan bahkan tersentak kaget mendengar ucapan Ibu mertua. Aku tak menyangka jika Ibu mertua akan bersikap seperti itu kepada suamiku.

Ibu mertua yang tadinya duduk di samping Mas Rizwan kini berdiri tegak seakan ingin menjauhi Mas Rizwan yang sedang sakit sembari berkata, "Minta saja sama istrimu itu. Ibu mau pulang percuma kesini tidak dapat apa-apa!" ucap Ibu mertua dan berlalu. Segera kucegah kepergiannya, enak sekali mengabaikan Mas Rizwan di saat sakit seperti ini.

Aku merentangkan tanganku di depan pintu saat mereka berdua akan keluar, "Eitttttsss! mau kemana, Bu? Anaknya sakit kok ditinggal. Lagian aku juga sudah bilang di awal kalau ada apa-apa langsung saja ke Ibu, karena aku tidak ikut makan hasil kerja Mas Rizwan. Kalau Mas Rizwan sakit, Ibu dan Mbak Rina dong yang merawat," aku berkacak pinggang didepan mereka bertiga tanpa ingin membantu beban Mas Rizwan saat ini, semua sengaja kubuat mereka agar menyadari perbuatannya.

"Kamu kebangetan Lai, durhaka kamu sama suami," Mbak Rina ikut-ikutan menimpali saat aku mencegahnya keluar dari rumah. Ingin sekali aku menarik mulut Mbak Rina karena ucapannya yang suka membolak balikkan fakta.

"Durhaka mana dengan suami yang tidak memberi nafkah istrinya demi kakak dan Ibunya? hitung-hitung impas lah. Adiknya sakit minta dibikinkan jahe hangat malah kayak gitu. Masa mau enaknya doang, Mbak," saat mendengar ucapanku, terlihat wajah Mbak Rina bersungut dan rahangnya mengeras. Aku hampir saja kehabisan kesabaran kepada mereka berdua.

"Tidak bisa dong! ini tanggung jawabmu!" ibu mertua juga tak mau mengalah, ingin enaknya saja. Sekilas kulirik ekspresi Mas Rizwan melihat sikap Ibunya saat dirinya sedang sakit dan ternyata ada raut wajah kekecewaan.

"Mas Rizwan saja lupa sama kewajibannya. Sudahlah cepat bikinkan, nanti kalau Mas Rizwan tidak sembuh-sembuh malah tidak bisa kerja dan gajinya dipotong. Ibu dan Mbak Rina mau jatah bulanannya di potong? Kalau aku mah santai karena aku sudah bekerja," ucapku sambil berlalu meninggalkan mereka di ruang tamu. Kubiarkan dua wanita berpikir sejenak. Mungkin otaknya akan nyambung jika disuruh berfikir setelah sekian lama tidak dipakai berfikir.

"Rin, segera bikinkan Rizwan minuman jahe hangat dari pada Rizwan tidak sembuh-sembuh," tukas mertua sambil berkacak pinggang.

Terlihat ibu mertua begitu khawatir juga jika gaji Rizwan dipotong. Aku terkekeh mendengar ucapan Ibu mertua yang akhirnya meminta Mbak Rina membuat jahe hangat untuk Mas Rizwan.

"Kenapa sih, kalian ribut sekali kalau aku minta jahe hangat, apa karena aku tidak punya uang sehingga Ibu dan Mbak Rina seperti ini? Hampir seluruh gajiku aku berikan kepada kalian berdua. Tapi saat aku sakit kenapa seperti tidak ada yang mau merawatku?" ucapan Mas Rizwan terlihat lebih keras karena kesal.

Sepertinya termakan omonganku yang kubuat memanas-manasi kakak dan Ibunya. Ternyata ucapanku berhasil juga sehingga Mas Rizwan kini mengucapkan ucapan yang lebih keras dari biasanya.

"Bu, bukan begitu Rizwan, Ibu tidak suka bau jahe," ibu mertua berkilah lagi, aku tidak percaya sama sekali dengan ucapan Ibu mertua, memang sudah menjadi kebiasaanya beliau tidak suka di dapur. "Biar Rina saja, Bu, yang membuatkan jahe untuk Rizwan. Rina juga tidak mau jatah Rina dipotong!" Mbak Rina kemudian masuk ke dapurku tanpa permisi.

Aku mengintip di balik pintu kamarku dan melihat Mbak Rina mulai membuat jahe hangat untuk Mas Rizwan.

"Ini, Riz jahenya, segera diminum dan cepat sembuh. Jangan sampai bolos kerja!" tukas Mbak Rina sebelum meninggalkan rumah kontrakan kami. Aku geleng-geleng kepala melihat sikap Mbak Rina memberi peringatan kepada Mas Rizwan yang sedang sakit.

Bener - bener ipar somplak, adiknya sakit masih mikirin uang jatah bulanannya supaya tidak dipotong. Ini lagi adiknya, mau banget dimanfaatin Kakaknya.

"Iya sudah, Ibu dan Rina pulang dulu, besok Ibu kesini lagi ada perlu sama kamu. Ini penting," tukas ibu mertua sebelum pergi meninggalkan rumah kontrakan kami.

"Baiklah kalau begitu, Bu. Besok Rizwan cuti sehari biar badan Rizwan kembali sehat," jawab Mas Rizwan berharap dirinya bisa kembali sehat dengan cuti satu hari namun entah ada sesuatu yang direncanakan untuk Mas Rizwan. Mungkin saja perjodohan dengan sosok wanita bernama Shilla akan segera dilangsungkan.

"Baiklah, besok Ibu mau kedatangan tamu spesial," ucap ibu mertua. Aku yang mendengarnya dari kamar membuat hatiku sakit namun tetap kutahan supaya tak berubah menjadi emosi yang tinggi.

"Siapa, Bu?" tanya Mas Rizwan ingin tahu. Aku bersiap menguping pembicaraan Ibu mertua dengan suamiku.

"Besok kamu akan tahu siapa," jawab ibu mertua.

Aku bergegas kembali keluar kamar dan bergabung kembali dengan mereka. "Shilla kah, Bu?" sengaja ku sebut namanya di depan mas Rizwan. Aku sudah tahu rencana ibu dan mbak Rina di depan mataku sendiri.

"Kamu nguping ya?" tanya mbak Rina penuh selidik.

"Enggak nguping mbak, Mbak Rina tadi telpon suaranya kedengeran sampai depan jadinya aku dengar. Telingaku masih normal, Mbak!" sediki kubuat suaraku agak ngegas.

"Oh! jadi kamu sudah tahu tamu Ibu besok?" aku mengangguk saat Mas Rizwan bertanya.

"Ibumu mau menjodohkanmu sama Shilla karena Shilla orang kaya jadi bisa memberikan apa yang diinginkan Ibu dan Mbak Rina nanti," ucapku pada Mas Rizwan. Dia sepertinya mulai kebingungan mencerna ucapanku sehingga dengan tiba-tiba Ibu mertua mengambil alih penjelasan mengenai rencana besok.

"Hmm, gini Rizwan, baktimu masih sama Ibu jadi kamu harus nurut dong jika kamu Ibu jodohkan sama Shilla. Keluarga Shilla sekelas sama kita beda sama istrimu yang orang miskin. Tinggalnya saja dulu di panti asuhan," ucapan ibu mertua terdengar merendahkanku. Tak masalah saat ini aku direndahkan, suatu saat aku bisa membuatnya tak bisa lagi merendahkan aku.

"Dengan Shilla? Apa Ibu yakin Shilla bisa menerimaku?" Aku berharap dia menolaknya dan berubah memperbaiki hubungan rumah tanggaku dengannya. Semoga saja harapanku menjadi kenyataan.

"Lalu bagaimana dengan Laila?" Mas Rizwan bertanya keadaanku dan melihat ke arahku. Meski sakit namun aku tetap berusaha bersabar. Ternyata harapanku meleset sempurna, dia tidak memikirkan perasaanku sama sekali.

"Ya ceraikan saja, kalau tidak mau ya harus bersedia dimadu. Lagian mau hidup di mana kalau tidak dikontrakan kamu!" ibu mertua terlihat masih memandang rendah diriku dan beranggapan jika aku akan menempel pada Mas Rizwan.

"Terima sajalah Mas, perintah Ibumu loh. Nanti dikira anak durhaka lagi. Cuma ceraikan aku sekarang kalau kamu setuju dengan perjodohan ini," ucapku santai tanpa ingin menitikkan air mata sedikitpun. Kutahan semua rasa sakit ini demi harga diriku yang semakin diinjak-injak. Hanya harga diri yang sanggup aku lindungi.

"Laila saja setuju, Riz. Kamu bisa kabulkan keinginannya saat ini juga untuk menceraikannya," timpal Mbak Rina dengan sok anggun dengan mengibaskan rambutnya di depanku memberikan tanda kemenangannya di depanku.

"Biar kupikir besok, aku sakit dan ingin istirahat," Mas Rizwan berlalu meninggalkan mereka berdua.

"Ya sudah Ibu tunggu keputusanmu besok!" ucap ibu mertua saat akan meninggalkan rumah kami tanpa berpamitan, akupun dianggap seperti patung yang tidak berguna.

"Dan kamu Laila! siap - siap aja kamu akan jadi janda," aku tak takut dengan ancaman menjadi janda sekalipun.

"Yuk, Rin! kita pulang, ibu males di sini gak ada apapun yang bisa dimakan," tukas ibu mertua. Mbak Rina dan ibu mertua akhirnya pulang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
dasar ipar dan mertua domplak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status