Share

5. Terlihat aneh

Clarissa berjalan dengan tertatih. Kakinya terasa begitu sangat lemas, dengan tubuh yang terasa sakit dan remuk. Clarissa berusaha tetap berjalan membawa tubuh lelahnya. Berada di posisi seperti ini membuatnya hanya bisa menangis meratapi takdir hidup.

"Haruskah aku marah dengan takdir yang terasa begitu sangat kejam untuk ku. Apakah aku tidak berhak memiliki kebahagiaan seperti orang kebanyakan. Hidup sendiri tanpa mengetahui dimana keberadaan kedua orang tua aku saja terasa sudah begitu sangat berat. Aku datang ke sini dengan harapan bisa mencari keberadaan ibu yang katanya akan pergi ke Jakarta. Namun bukanya bertemu dengan ibu, aku harus mengalami nasib tragis seperti ini. ?" Clarissa tidak ada henti-hentinya menangis dan bertanya kepada diri sendiri.

Clarissa merasakan dirinya yang sudah tidak mampu lagi berjalan. Tubuhnya terasa amat lemas hingga Clarissa memutuskan untuk duduk di pinggir jalan. Duduk di tepi jalan seperti ini sambil memandang ke arah jalan yang padat dengan Mobil-mobil yang berjalan seperti semut yang berderettan.  Clarissa menatap mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Kondisi jalan padat membuat mobil itu tidak bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Clarissa memejamkan matanya dan menutup wajahnya dengan sebelah telapak tangannya. “Apakah mati jalan terbaik,” pikir Clarissa yang sudah sangat putus asa. "Aku yakin bila aku mati tidak akan ada yang menangis." Air mata semakin membanjiri pipi gadis malang itu, saat harus menerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Hidup sebatang kara membuatnya nyawa ini tidak berharga. Hidup ini terasa begitu sangat pahit baginya. Bila tubuhnya  dihantam mobil, tubuhnya akan terkapar di aspal. Tanpa ada yang perduli. Bagaimana bila dirinya tidak mati, bagaimana bila dirinya cacat seumur hidup. Pikirkan-pikiran itu membuat dirinya merasa takut dan ngeri saat membayangkan penderita selanjutnya yang akan dihadapinya. Pada akhirnya Clarissa membatalkan niatnya untuk bunuh diri.

Cukup lama gadis itu duduk di pinggir jalan menghilangkan rasa lemas di tubuhnya. "Sudahlah, semua ini sudah takdir yang harus aku terima. Aku harus kuat demi diri sendiri," ucap Clarissa yang kembali berjalan dengan langkah yang begitu sangat berat.

Ia berjalan di jalan yang sepi dengan penerangan yang tidak memadai. Namun tidak membuat dirinya merasa takut. Tubuh yang lunglai, rasa sakit di sekujur tubuh, dan rasa perih di bagian kewanitaan nya tidak menghentikan langkah kakinya. Clarissa berjalan terus menerus di kegelapan malam. Yang ada di dalam pikirannya hanya ingin secepatnya bisa sampai ke rumah kontrakannya dan merebahkan tubuhnya di sana. Air matanya terus mengalir.

Clarissa sampai di depan pintu rumah yang sudah jelek. Ia menyewa rumah papan yang sangat Reyot namun setidaknya ia sangat bersyukur bisa menyewa rumah ini. Walaupun kondisinya jelek dan sudah sangat rusak namun masih bisa tidur nyenyak saat malam, tidak kepanasan di siang hari. Di sini hanya rumah ini satu-satunya yang kondisinya sangat jelek.

Clarissa masuk ke dalam rumahnya. Di rumah ini hanya ada karpet plastik di ruang tamu. karpet yang selalu dipakainya untuk alas duduk ketika makan dan juga berbaring di saat siang hari Bisa masuk ke dalam kamarna

Clarissa merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menagis sejadi-jadinya. Ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan menyiram tubuhnya dengan air. Cukup lama Clarissa berada di dalam kamar mandi mengosok sekujur tubuhnya dengan sangat keras dan berharap semua penderitaannya akan hilang.

Clarissa keluar dari dalam kamar mandi, dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Clarissa memakai baju tidurnya. Ia melihat wajahnya di depan pantulan cermin kecil yang berada di atas meja kecil yang dibuatnya sendiri.   Pipinya merah bekas telapak tangan pria yang memperkosanya. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia merasa tubuhnya begitu sangat sakit, tangan pria itu  memegang pergelangan tangannya dengan sangat kuat sehingga meninggalkan bekas biru di pergelangan tangannya.

“Ibu, Risa sendiri. Risa harus mengadu dengan siapa? Apa ibu sudah melupakan Risa?” ucap Clarrissa yang masih menangis dengan sejadi-jadinya sehingga membuat ia lelah dan tertidur.

***

"Sa, pulang jam berapa semalam?" tanya Sinta saat melihat Clarissa yang baru masuk ke gedung kantor.

Clarissa sedikit tersenyum dan menganggukkan kepalanya memandang sahabatnya.  Ingin rasanya ia menangis dan memeluk sahabatnya itu. Saat ini ia sangat membutuhkan teman untuk mengadu namun hal itu sudah pasti tidak mungkin di lakukannya. Apa yang terjadi bila perusahaan sebesar ini geger dengan berita yang disampaikannya.  Bisa saja dirinya akan diseret masuk ke penjara dengan alasan pencemaran nama baik. 

"Aku tanya pulang jam berapa kamu malah menganggukkan kepala," ucap Sinta yang tidak puas melihat jawaban sahabatnya.

"Semalam aku pulang jam 8, ucap Clarissa berbohong.

"Tenang aja hari ini kita akan kerja sama-sama dan kalau kamu mau pulang duluan tidak apa-apa," ucap Sinta.

Wajah Clarissa memucat saat mendengar ucapan Sinta. Dengan cepat Clarissa menggelengkan kepalanya.   "Apapun yang terjadi kita pulang sama-sama," ucap Clarissa yang berusaha menahan tangisnya. Clarissa tidak ingin Sinta mengalami nasib yang sama sepertinya. Bekerja di ruangan yang begitu sangat besar sendirian sehingga diperkosa.

Sinta tersenyum dan menganggukkan kepalanya.

"Sejak tadi aku ngomong kamu cuma iya-iya tidak-tidak ngangguk-ngangguk Kenapa sih?" tanya Sinta yang melihat Clarissa.

"Sakit gigi," jawab Clarissa memberi alasan.

"Ya sayang,  padahal kita baru saja gajian dan rencananya ingin makan di kantin," ucap Sinta yang sudah memajukan bibirnya.

"Aku sakit gigi bukan puasa,"  ucap Clarissa.

Sinta tertawa saat mendengar ucapan temannya.

Saat ini kedua gadis itu membersihkan ruangan di lantai 10.  Clarissa berdiri di depan lift tanpa melanjutkan kaki ku untuk melangkah.

"Ayo," ucapnya Sinta yang menatap aneh ke arah Clarissa.

"Aku bersihkan ruangan di sebelahnya saja," ucap Clarissa.

"Jangan, kerja nggak enak kalau sendiri," ucap Sinta yang menarik tangan Clarissa dan membawa Clarissa masuk ke dalam ruangan tersebut.

Sinta memandang lantai yang ada bekas darah yang sudah dilap namun tetap masih ada darah yang menempel. "Ini darah apa?" tanyanya memandang Clarissa.

Clarissa menggelengkan kepalanya, kakinya terasa lemas, keringat  bercucuran di pelipis keningnya. Berada di ruangan ini membuat tangannya terasa dingin. Clarissa tidak bisa menyembunyikan rasa ketakutannya.

"Ini juga banyak kancing baju berserakan," ucap Sinta yang terlihat memikirkan sesuatu.

Clarissa masih diam tanpa berbicara apa-apa. Apa yang terjadi semalam masih terekam dalam ingatannya. Ingin rasanya Clarrissa menangis saat ini ketika dirinya benar-benar tidak tahan dan tidak sanggup berada di ruangan ini.

"Risa, kamu kenapa?" Ucap Sinta saat memandang wajah Clarissa yang begitu amat pucat.

Clarissa menggeleng kepalanya. "Perut aku mules aku mau ke WC," ucap Clarissa.

Sinta diam dan menganggukkan kepalanya. "Iya sudah cepat," ucap Sinta yang membersihkan meja kaja yang besar itu. Sinta memandang Clarissa yang berlari keluar dari dalam ruangan. "Tadi sakit gigi sekarang sakit perut aneh," ucap Sinta yang melanjutkan pekerjaannya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status