Clarissa berjalan dengan tertatih. Kakinya terasa begitu sangat lemas, dengan tubuh yang terasa sakit dan remuk. Clarissa berusaha tetap berjalan membawa tubuh lelahnya. Berada di posisi seperti ini membuatnya hanya bisa menangis meratapi takdir hidup.
"Haruskah aku marah dengan takdir yang terasa begitu sangat kejam untuk ku. Apakah aku tidak berhak memiliki kebahagiaan seperti orang kebanyakan. Hidup sendiri tanpa mengetahui dimana keberadaan kedua orang tua aku saja terasa sudah begitu sangat berat. Aku datang ke sini dengan harapan bisa mencari keberadaan ibu yang katanya akan pergi ke Jakarta. Namun bukanya bertemu dengan ibu, aku harus mengalami nasib tragis seperti ini. ?" Clarissa tidak ada henti-hentinya menangis dan bertanya kepada diri sendiri.
Clarissa merasakan dirinya yang sudah tidak mampu lagi berjalan. Tubuhnya terasa amat lemas hingga Clarissa memutuskan untuk duduk di pinggir jalan. Duduk di tepi jalan seperti ini sambil memandang ke arah jalan yang padat dengan Mobil-mobil yang berjalan seperti semut yang berderettan. Clarissa menatap mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Kondisi jalan padat membuat mobil itu tidak bisa melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Clarissa memejamkan matanya dan menutup wajahnya dengan sebelah telapak tangannya. “Apakah mati jalan terbaik,” pikir Clarissa yang sudah sangat putus asa. "Aku yakin bila aku mati tidak akan ada yang menangis." Air mata semakin membanjiri pipi gadis malang itu, saat harus menerima kenyataan pahit dalam hidupnya. Hidup sebatang kara membuatnya nyawa ini tidak berharga. Hidup ini terasa begitu sangat pahit baginya. Bila tubuhnya dihantam mobil, tubuhnya akan terkapar di aspal. Tanpa ada yang perduli. Bagaimana bila dirinya tidak mati, bagaimana bila dirinya cacat seumur hidup. Pikirkan-pikiran itu membuat dirinya merasa takut dan ngeri saat membayangkan penderita selanjutnya yang akan dihadapinya. Pada akhirnya Clarissa membatalkan niatnya untuk bunuh diri.
Cukup lama gadis itu duduk di pinggir jalan menghilangkan rasa lemas di tubuhnya. "Sudahlah, semua ini sudah takdir yang harus aku terima. Aku harus kuat demi diri sendiri," ucap Clarissa yang kembali berjalan dengan langkah yang begitu sangat berat.
Ia berjalan di jalan yang sepi dengan penerangan yang tidak memadai. Namun tidak membuat dirinya merasa takut. Tubuh yang lunglai, rasa sakit di sekujur tubuh, dan rasa perih di bagian kewanitaan nya tidak menghentikan langkah kakinya. Clarissa berjalan terus menerus di kegelapan malam. Yang ada di dalam pikirannya hanya ingin secepatnya bisa sampai ke rumah kontrakannya dan merebahkan tubuhnya di sana. Air matanya terus mengalir.
Clarissa sampai di depan pintu rumah yang sudah jelek. Ia menyewa rumah papan yang sangat Reyot namun setidaknya ia sangat bersyukur bisa menyewa rumah ini. Walaupun kondisinya jelek dan sudah sangat rusak namun masih bisa tidur nyenyak saat malam, tidak kepanasan di siang hari. Di sini hanya rumah ini satu-satunya yang kondisinya sangat jelek.
Clarissa masuk ke dalam rumahnya. Di rumah ini hanya ada karpet plastik di ruang tamu. karpet yang selalu dipakainya untuk alas duduk ketika makan dan juga berbaring di saat siang hari Bisa masuk ke dalam kamarna
Clarissa merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia menagis sejadi-jadinya. Ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi dan menyiram tubuhnya dengan air. Cukup lama Clarissa berada di dalam kamar mandi mengosok sekujur tubuhnya dengan sangat keras dan berharap semua penderitaannya akan hilang.
Clarissa keluar dari dalam kamar mandi, dan mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Clarissa memakai baju tidurnya. Ia melihat wajahnya di depan pantulan cermin kecil yang berada di atas meja kecil yang dibuatnya sendiri. Pipinya merah bekas telapak tangan pria yang memperkosanya. Ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia merasa tubuhnya begitu sangat sakit, tangan pria itu memegang pergelangan tangannya dengan sangat kuat sehingga meninggalkan bekas biru di pergelangan tangannya.
“Ibu, Risa sendiri. Risa harus mengadu dengan siapa? Apa ibu sudah melupakan Risa?” ucap Clarrissa yang masih menangis dengan sejadi-jadinya sehingga membuat ia lelah dan tertidur.
***
"Sa, pulang jam berapa semalam?" tanya Sinta saat melihat Clarissa yang baru masuk ke gedung kantor.
Clarissa sedikit tersenyum dan menganggukkan kepalanya memandang sahabatnya. Ingin rasanya ia menangis dan memeluk sahabatnya itu. Saat ini ia sangat membutuhkan teman untuk mengadu namun hal itu sudah pasti tidak mungkin di lakukannya. Apa yang terjadi bila perusahaan sebesar ini geger dengan berita yang disampaikannya. Bisa saja dirinya akan diseret masuk ke penjara dengan alasan pencemaran nama baik.
"Aku tanya pulang jam berapa kamu malah menganggukkan kepala," ucap Sinta yang tidak puas melihat jawaban sahabatnya.
"Semalam aku pulang jam 8, ucap Clarissa berbohong.
"Tenang aja hari ini kita akan kerja sama-sama dan kalau kamu mau pulang duluan tidak apa-apa," ucap Sinta.
Wajah Clarissa memucat saat mendengar ucapan Sinta. Dengan cepat Clarissa menggelengkan kepalanya. "Apapun yang terjadi kita pulang sama-sama," ucap Clarissa yang berusaha menahan tangisnya. Clarissa tidak ingin Sinta mengalami nasib yang sama sepertinya. Bekerja di ruangan yang begitu sangat besar sendirian sehingga diperkosa.
Sinta tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Sejak tadi aku ngomong kamu cuma iya-iya tidak-tidak ngangguk-ngangguk Kenapa sih?" tanya Sinta yang melihat Clarissa.
"Sakit gigi," jawab Clarissa memberi alasan.
"Ya sayang, padahal kita baru saja gajian dan rencananya ingin makan di kantin," ucap Sinta yang sudah memajukan bibirnya.
"Aku sakit gigi bukan puasa," ucap Clarissa.
Sinta tertawa saat mendengar ucapan temannya.
Saat ini kedua gadis itu membersihkan ruangan di lantai 10. Clarissa berdiri di depan lift tanpa melanjutkan kaki ku untuk melangkah.
"Ayo," ucapnya Sinta yang menatap aneh ke arah Clarissa.
"Aku bersihkan ruangan di sebelahnya saja," ucap Clarissa.
"Jangan, kerja nggak enak kalau sendiri," ucap Sinta yang menarik tangan Clarissa dan membawa Clarissa masuk ke dalam ruangan tersebut.
Sinta memandang lantai yang ada bekas darah yang sudah dilap namun tetap masih ada darah yang menempel. "Ini darah apa?" tanyanya memandang Clarissa.
Clarissa menggelengkan kepalanya, kakinya terasa lemas, keringat bercucuran di pelipis keningnya. Berada di ruangan ini membuat tangannya terasa dingin. Clarissa tidak bisa menyembunyikan rasa ketakutannya.
"Ini juga banyak kancing baju berserakan," ucap Sinta yang terlihat memikirkan sesuatu.
Clarissa masih diam tanpa berbicara apa-apa. Apa yang terjadi semalam masih terekam dalam ingatannya. Ingin rasanya Clarrissa menangis saat ini ketika dirinya benar-benar tidak tahan dan tidak sanggup berada di ruangan ini.
"Risa, kamu kenapa?" Ucap Sinta saat memandang wajah Clarissa yang begitu amat pucat.
Clarissa menggeleng kepalanya. "Perut aku mules aku mau ke WC," ucap Clarissa.
Sinta diam dan menganggukkan kepalanya. "Iya sudah cepat," ucap Sinta yang membersihkan meja kaja yang besar itu. Sinta memandang Clarissa yang berlari keluar dari dalam ruangan. "Tadi sakit gigi sekarang sakit perut aneh," ucap Sinta yang melanjutkan pekerjaannya.
****
Angin berhembus menyejukkan kulitnya. Rambut panjang sebahu menari-nari mengikuti arah kemana angin membawanya. Clarissa tersenyum dan memeluk tangan yang melingkar di pinggangnya."Apa nggak dingin,” Fathir bertanya Ketika melihat istrinya yang sudah lama berdiri di balkon teras kamarnya.Clarissa tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “dingin sih, tapi anginnya enak, sejuk Risa suka. Risa nggak pernah bayangin kalau Risa bakalan datang ke sini," Clarissa berbicara dengan memutar sedikit kepalanya ke belakang dan memandang wajah suaminya yang berdiri di belakangnya. Dari atas lantai 25 ini Clarissa bisa yang menatap keindahan kota Tokyo di malam hari.Fathir tersenyum dan mencium bibir istrinya."Abang kalau mau cium kasih aba-aba kenapa.""Kalau kasih aba-aba itu nggak seru.” Fathir mengulum senyumnya. Pria tiga anak Itu menatap wajah istrinya yang begitu sangat cantik. "Sebenarnya sudah lama pengen ajak adek berlibu
Clarissa memandang suaminya. Ada rasa khawatir ketika dirinya akan bertemu dengan Farah mantan istri suaminya."Bang." Clarissa memegang tangan suaminya.“Iya,” jawab Fathir.“Risa masih belum siap untuk ketemu sama Mbak Farah,” keluh Carissa.Fathir tersenyum dan mengusap pipi istrinya, “dia datang ke sini niatnya untuk memperkenalkan calon suaminya, dan juga untuk melihat Devan dan Sheren, jadi niatnya baik. Bila orang datang dengan niat yang baik, maka kita harus menerimanya." Fathir meyakinkan istrinya. Pria itu mengusap pipi istrinya dan mengecup kening istrinya.“Nanti Abang jangan tinggalin Risa ya,” pinta Clarissa. Hingga saat ini Clarissa masih tidak berani terhadap istri mantan suaminya. Apa yang telah dilakukan oleh mantan istri suaminya itu masih teringat jelas dalam ingatannya.“Iya dek Abang nggak akan ninggalin,” Fathir tersenyum dan mencium bibir istrinya.&ld
"Bang jangan gangguin, Risa lagi kasih Azkah susu," kata Clarissa yang merasa geli ketika suaminya mencium tengkuk lehernya."Kalau Azkah sudah selesai minum susu dan tidur, satu kali lagi ya Dek,"pintar Fathir.Clarissa memutar kepalanya dan memandang wajah suaminya.Fathir tersenyum dan memajukan bibirnya ke depan. Pria itu mencium bibir istrinya. "Ya sayang," ucap Fathir yang sedikit mengecup bibir istrinya."Sejak tadi rambut Risa nggak ada kering-keringnya," kata Clarissa yang sedang dalam kondisi berbaring menyusui bayi.“Iya sama Dek,” ucap Fathir.“Sama apanya.”“Rambut Abang juga gak ada kering-keringnya.” Jawab pria yang memegang punggung istrinya dari belakang.“Abang rambutnya pendek. Gitu siap mandi 5 menit dah kering,” ucap Clarissa.Fathir hanya tersenyum saat mendengar ucapan istrinya. "Dek, kemarin 40 hari cuti dek. Sekarang tu rasanya beda, enak. Gak
Farah duduk di meja kerjanya. Saat ini dirinya memeriksa laporan penjualan butik miliknya. Butik yang didirikannya 10 bulan yang lalu. Farah juga mengurusi pemesanan secara online.Farah menghentikan pekerjaannya dan menutup layar komputernya. Farah melihat foto-foto kedua anaknya seperti ini, air matanya menetes seketika. Setelah perpisahannya dengan mantan suaminya, Farah belum pernah bertemu dengan kedua anaknya. Rasa rindunya begitu sangat kuat, namun Farah malu untuk menatap wajah kedua anaknya. Menyandang nama sebagai ibu yang tidak baik, begitu membuatnya tidak berani untuk mendekati kedua anaknya.“Andainya aku berjumpa dengan mereka , apakah mereka akan berlari memeluk ku?" Farah bertanya di dalam hatinya. “Maafkan mami, Mami malu menatap wajah kalian. Sekarang kalian pasti begitu sangat bahagia. Berkumpul sama opa dan Oma. Kalian sudah memiliki mama baru, yang sepertinya dia sangat menyayangi kalian,” ucap Farah yang mengusap air matan
Fathir masuk ke dalam kamarnya. Pria itu melihat istrinya yang sedang tidur bersama dengan anak ketiganya. Sudah 2 hari ini istrinya sudah pulang ke rumah.Fathir tersenyum memandang wajah istrinya yang saat ini tertidur dengan sangat nyenyak. Pria itu mencium kening istrinya dengan sangat lembut kemudian mencium pipi dan bibir istrinya. “Enak kali tidurnya sampai nggak tahu,” ucap Fathir yang sedikit menarik hidup istrinya. Istrinya tidak bergerak sama sekali meskipun dirinya sudah dekat seperti ini.Fathir merangkak naik ke atas tempat tidur. Pria itu memandang wajah putranya yang begitu sangat tampan. “Ini tidurnya pasti sama enaknya sama mamanya. Atau jangan-jangan lagi lomba tidur." Fathir berbicara dengan suara yang sangat kecil. "Pipinya lembut sekali." Fathir mencium lembut bibir putranya.Fathir tersenyum ketika putranya bergerak. Pria itu mencium pipi putranya dan membuka jas yang saat ini di pakainya. Fathir menggendong putranya dan
Clarissa berbaring di atas tempat tidur kamar rawatnya. Senang sangat hati Clarissa setelah proses persalinannya berjalan dengan sangat lancar. Saat ini kamar yang ditempatinya sudah penuh dengan keluarganya. Adik-adiknya, anak-anaknya, Papa mertua, Mama mertua kemudian juga Ibu serta papa sambungnya. Clarissa tersenyum saat melihat wajah ibu dan juga mama mertuanya yang sedang asik mengendong cucunya.Clarissa tertawa ketika melihat tingkah Sheren yang begitu sangat lucu. Sheren menarik tangan Omanya agar dirinya bisa mencium Adik bayinya tersebut."Sejak tadi dicium-cium Sheren dan Devan, tapi tetap aja gak bangun-bangun," Clarissa memandang putranya yang tidur dengan sangat lelap."Jadi aku sekarang sudah di panggil Om," tanya DikoClarissa tersenyum dan menganggukkan kepalanya."Ciko yang umurnya nya 6 tahun juga?" Tanya Diko.“Iya,” jawab Rini."Oh aku berharap dia tidak cepat menikah nanti agar aku tidak