Share

Bab 2 : Menangkap Basah

Alya menatap arloji di tangan kirinya sembari menatap hotel di depannya kini. Setelah kemarin ia melihat isi perpesanan milik Irfan. Ia menyadap aplikasi perpesanan laki-laki itu. 

Pagi tadi Irfan berpamitan ke luar kota padanya. Namun, tanpa laki-laki itu sadari, sejak kepergian Irfan, Alya sudah mengikutinya sampai ke hotel ini.

Irfan tak pernah pergi ke luar kota. Ia menginap bersama Ratih di salah satu hotel dekat perkampungan, agak jauh dari rumah mereka namun masih satu kota. Alya tahu itu rencana Irfan, agak tak diketahui olehnya.

Melihat isi pesan mereka tadi, membuatnya mual dan hampir tidak sanggup untuk menyetir. Alya menemukan fakta bahwa keduanya akan berada di hotel bersama pada malam hari setelah mengetahui keduanya pergi ke beberapa tempat satu harian ini. Bahkan Irfan dan Ratih pergi ke tempat yang tak pernah Alya datangi bersama laki-laki itu.

Ia mengatur nafas sembari mengeratkan pegangan pada kemudi. Perasaan gelisah, sedih dan kecewa meliputi dirinya. Ia menunggu lama sembari memendam rasa sakitnya untuk hal ini. 

Memergoki mereka, mengambil bukti yang kuat untuk menggugat cerai Irfan di pengadilan. Alya sudah mengumpulkan banyak foto. Juga meyakinkan dugaannya, kalau Irfan memang telah selingkuh dengan Ratih.

Beberapa saat kemudian, mobil Irfan masuk ke dalam hotel. Matanya memejam saat melihat Ratih duduk di samping Irfan. Rasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum sangat membuatnya kacau.

Pandangannya nanar menatap Ratih dan Irfan yang berangkulan mesra masuk ke dalam hotel seolah tak ada yang memperhatikan mereka.

Alya tak bisa menunggu, memikirkan apa  yang dilakukan sahabat dan suaminya membuatnya murka. Ia memutar kemudi masuk ke pekarangan hotel.

Langkah lebarnya, menuntun ia menuju meja resepsionis. Seorang wanita dengan sanggul di kepala, ramah menyambutnya.

"Selamat malam, Ibu, ada yang bisa saya bantu?"

"Kamar atas nama Irfan Hartono."

"Ya?" tanya sang resepsionis itu dengan bingung.

"Lelaki itu, menginap di sini, kan?" 

"Ah." Resepsionis mengangguk. "Benar, Ibu, kalau begitu apa yang bis--"

"Berikan kunci cadangan kamar lelaki itu pada saya!"

"Maaf?" 

"Kamu gak dengar? Saya bilang, berikan kunci cadangan kamar lelaki itu pada saya!"

"Maaf Ibu, tapi itu melanggar ketentuan aturan di hotel kami. Setiap tamu memiliki privasi, kalau boleh tahu Ibu ini siap--"

"Saya istrinya! Cepat berikan!"

"Ya?"

"Kamu mempermainkan saya? Saya istri lelaki itu dan dia sedang bersama seorang wanita di dalam sana. Kamu mau saya tuntut ke manager kamu?"

"Ah, maaf, Bu, ini kuncinya!" Resepsionis tersebut menyerahkan kunci pada Alya dengan gelgapan, yang langsung di sambut wanita itu dengan cepat.

Sang resepsionis menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia tak mengerti apa yang baru saja ia alami tadi. Seseorang dengan nama Irfan telah memesan kamar dengan istrinya. Lalu seorang wanita lain datang mengaku sebagai istri dari lelaki itu.

Rumit, tapi ia tidak mau memperpanjang masalah. Itu urusan pribadi mereka, ia hanya bekerja melayani para tamu yang membutuhkan kamar saja.

Alya beranjak dengan langkah cepat menuju lift. Begitu lift terbuka Alya melangkah dengan cepat menuju kamar nomor 1012. Nomor yang tertera pada kunci yang ia pegang.

Ia mengatur nafas begitu sampai di depan kamar tersebut, berusaha menetralkan debar jantungnya yang menggila dan tangannya yang gemetar. Memikirkan apa yang dilakukan Ratih dan Irfan di dalam sana membuat pikirannya kacau.

Tangannya terulur membuka kunci pada kamar hotel, berdirinya hampir tidak seimbang saat melihat apa yang disuguhkan depan matanya saat ini.

Dua orang terdekatnya sedang bergumul di balik selimut tanpa tahu Alya sedang memperhatikan mereka. Hal itu membuat mata Alya memanas seketika, namun ia tak mau menghilangkan kesempatan. Ia harus bertindak cepat di saat seperti ini dan menghilangkan perasaan sedihnya.

Alya mengacak tas dengan gemetar yang tersampir di pundak tanpa melepas pandangan dari objek di hadapan. Diraihnya ponsel dengan mode kamera yang sudah aktif, berniat mengambil gambar. 

Cekrek!

Bunyi kamera dan flashlight yang menyala dari ponsel Alya menyadarkan mereka. Keduanya sontak menoleh. Pergulatan mesra itu tiba-tiba saja terlepas.

“Alya!” panggil Mas Irfan padanya. Ah, Alya bahkan lebih suka memanggil Irfan dengan sebutan laki-laki biadab sekarang.

“Al….” Ratih sahabatnya mematung. Ia merapikan rambutnya yang berantakan.

“Bagus!” Alya menatap keduanya dengan nanar. Irfan, suaminya dan Ratih, sahabatnya. “Harusnya aku percaya pada Fatih sejak awal,” ucapnya lirih dengan pandangan terluka sebelum kembali berbalik. 

Ingin rasanya ia mengamuk, menampar atau menjambak rambut keduanya. Menumpahkan amarahnya pada dua orang berperilaku bejat itu. Namun sekarang bukanlah pilihan tepat. Ia wanita terpelajar, punya cara lebih elegan untuk menyelesaikan masalah ini.

“Al!” Tangan Alya dicekal, membuat langkahnya tertahan. Irfan menghadang jalannya. Alya menepiskan tangan lelaki itu seketika. Rasanya, kini sentuhan lelaki itu begitu menjijikkan. 

“I—ini gak seperti yang kamu kira!” ucap Irfan padanya. Pandangan Alya mengarah pada kancing baju pria itu yang hampir terbuka seluruhnya.

Alya berdecih, mengalihkan pandangan dengan perih. Ia menyilangkan tangan di depan dada. Amarah jelas sekali terpancar dari wajahnya. Ia memutar bola mata, jengah. 

"Lalu, menurut Mas, apa yang harusnya aku perkirakan? Sahabatku dan suamiku berduaan di hotel, Apa yang seharusnya aku perkirakan, hah?!" Alya berteriak keras, membuat Irfan dan Ratih terdiam seketika.

Alya tertawa hambar. “Selamat, Mas. Kamu berhasil menghancurkan rumah tanggamu sendiri,” kata Alya dengan tegas.

Irfan mendekat, kembali mencoba meraih tangannya, tetapi langsung ditepis oleh Alya. “Al, dengar dulu penjelasanku,” pintanya dengan begitu memohon.

“Tunggulah surat cerai dariku, Mas.”

"Tidak, Al! Alya!”

Alya berjalan cepat keluar dari hotel, tak memedulikan Irfan yang terus mengekorinya sambil meneriakkan namanya seperti orang kesetanan. Hotel melati yang terlihat gulita itu tak menyulitkan Alya menemukan jalan keluar ke parkiran mobilnya.

Alya bergegas masuk ke mobilnya, sebelum Irfan kembali berhasil menjangkaunya. Alya melempar ponselnya ke jok samping. Setelahnya, ia terduduk dengan lemas, menelungkupkan wajah di atas kemudi. Tangisnya langsung pecah seketika.

Suara ketukan kaca mobil kemudian terdengar, disusul permohonan Irfan yang rupanya tak lelah mengejarnya hingga ke parkiran.

“Al, kita bisa bicarain ini baik-baik. Buka pintu mobilnya, Al,” katanya dengan suara keras.

Alya menoleh, sedikit kaget dengan ketukan yang dilakukan Irfan. Tak ingin berlama-lama di sini, Alya segera menyalakan mobilnya dan menancap gas menjauhi hotel melati tempat sang suami mengkhianatinya. Pengkhianatan adalah hal yang tak pernah Alya bayangkan akan terjadi dalam hidupnya.

Hal yang selalu disangkalnya jika Fatih mengatakan tentang ini. Hal yang tak pernah ia percayai dari perkataan sahabat lelakinya itu. Hal yang membuatnya menyesal, kenapa baru sekarang.

"Maaf Fatih, maaf karena tidak mempercayaimu," ucapnya lirih.

Apa laki-laki itu tak sadar kalau bukan karena Alya, Irfan bukan siapa-siapa. Kemewahan yang lelaki itu miliki saat ini berasal dari kekayaan Alya. Termasuk posisi yang tengah dijabat lelaki itu di perusahaannya, itu juga karena Alya.

Bisa apa Irfan kalau Alya menceraikannya? Pria itu tak ubahnya seperti gelandangan miskin yang berkeliaran di jalanan. Alya duduk tegak di kursinya. Ia menghapus air mata dengan kasar. Tak ada waktu untuk bersedih sekarang. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status