Alya menatap arloji di tangan kirinya sembari menatap hotel di depannya kini. Setelah kemarin ia melihat isi perpesanan milik Irfan. Ia menyadap aplikasi perpesanan laki-laki itu.
Pagi tadi Irfan berpamitan ke luar kota padanya. Namun, tanpa laki-laki itu sadari, sejak kepergian Irfan, Alya sudah mengikutinya sampai ke hotel ini.
Irfan tak pernah pergi ke luar kota. Ia menginap bersama Ratih di salah satu hotel dekat perkampungan, agak jauh dari rumah mereka namun masih satu kota. Alya tahu itu rencana Irfan, agak tak diketahui olehnya.
Melihat isi pesan mereka tadi, membuatnya mual dan hampir tidak sanggup untuk menyetir. Alya menemukan fakta bahwa keduanya akan berada di hotel bersama pada malam hari setelah mengetahui keduanya pergi ke beberapa tempat satu harian ini. Bahkan Irfan dan Ratih pergi ke tempat yang tak pernah Alya datangi bersama laki-laki itu.
Ia mengatur nafas sembari mengeratkan pegangan pada kemudi. Perasaan gelisah, sedih dan kecewa meliputi dirinya. Ia menunggu lama sembari memendam rasa sakitnya untuk hal ini.
Memergoki mereka, mengambil bukti yang kuat untuk menggugat cerai Irfan di pengadilan. Alya sudah mengumpulkan banyak foto. Juga meyakinkan dugaannya, kalau Irfan memang telah selingkuh dengan Ratih.
Beberapa saat kemudian, mobil Irfan masuk ke dalam hotel. Matanya memejam saat melihat Ratih duduk di samping Irfan. Rasa sakit seperti ditusuk ribuan jarum sangat membuatnya kacau.
Pandangannya nanar menatap Ratih dan Irfan yang berangkulan mesra masuk ke dalam hotel seolah tak ada yang memperhatikan mereka.
Alya tak bisa menunggu, memikirkan apa yang dilakukan sahabat dan suaminya membuatnya murka. Ia memutar kemudi masuk ke pekarangan hotel.
Langkah lebarnya, menuntun ia menuju meja resepsionis. Seorang wanita dengan sanggul di kepala, ramah menyambutnya.
"Selamat malam, Ibu, ada yang bisa saya bantu?"
"Kamar atas nama Irfan Hartono."
"Ya?" tanya sang resepsionis itu dengan bingung.
"Lelaki itu, menginap di sini, kan?"
"Ah." Resepsionis mengangguk. "Benar, Ibu, kalau begitu apa yang bis--"
"Berikan kunci cadangan kamar lelaki itu pada saya!"
"Maaf?"
"Kamu gak dengar? Saya bilang, berikan kunci cadangan kamar lelaki itu pada saya!"
"Maaf Ibu, tapi itu melanggar ketentuan aturan di hotel kami. Setiap tamu memiliki privasi, kalau boleh tahu Ibu ini siap--"
"Saya istrinya! Cepat berikan!"
"Ya?"
"Kamu mempermainkan saya? Saya istri lelaki itu dan dia sedang bersama seorang wanita di dalam sana. Kamu mau saya tuntut ke manager kamu?"
"Ah, maaf, Bu, ini kuncinya!" Resepsionis tersebut menyerahkan kunci pada Alya dengan gelgapan, yang langsung di sambut wanita itu dengan cepat.
Sang resepsionis menggaruk rambutnya yang tak gatal. Ia tak mengerti apa yang baru saja ia alami tadi. Seseorang dengan nama Irfan telah memesan kamar dengan istrinya. Lalu seorang wanita lain datang mengaku sebagai istri dari lelaki itu.
Rumit, tapi ia tidak mau memperpanjang masalah. Itu urusan pribadi mereka, ia hanya bekerja melayani para tamu yang membutuhkan kamar saja.
Alya beranjak dengan langkah cepat menuju lift. Begitu lift terbuka Alya melangkah dengan cepat menuju kamar nomor 1012. Nomor yang tertera pada kunci yang ia pegang.
Ia mengatur nafas begitu sampai di depan kamar tersebut, berusaha menetralkan debar jantungnya yang menggila dan tangannya yang gemetar. Memikirkan apa yang dilakukan Ratih dan Irfan di dalam sana membuat pikirannya kacau.
Tangannya terulur membuka kunci pada kamar hotel, berdirinya hampir tidak seimbang saat melihat apa yang disuguhkan depan matanya saat ini.
Dua orang terdekatnya sedang bergumul di balik selimut tanpa tahu Alya sedang memperhatikan mereka. Hal itu membuat mata Alya memanas seketika, namun ia tak mau menghilangkan kesempatan. Ia harus bertindak cepat di saat seperti ini dan menghilangkan perasaan sedihnya.
Alya mengacak tas dengan gemetar yang tersampir di pundak tanpa melepas pandangan dari objek di hadapan. Diraihnya ponsel dengan mode kamera yang sudah aktif, berniat mengambil gambar.
Cekrek!
Bunyi kamera dan flashlight yang menyala dari ponsel Alya menyadarkan mereka. Keduanya sontak menoleh. Pergulatan mesra itu tiba-tiba saja terlepas.
“Alya!” panggil Mas Irfan padanya. Ah, Alya bahkan lebih suka memanggil Irfan dengan sebutan laki-laki biadab sekarang.
“Al….” Ratih sahabatnya mematung. Ia merapikan rambutnya yang berantakan.
“Bagus!” Alya menatap keduanya dengan nanar. Irfan, suaminya dan Ratih, sahabatnya. “Harusnya aku percaya pada Fatih sejak awal,” ucapnya lirih dengan pandangan terluka sebelum kembali berbalik.
Ingin rasanya ia mengamuk, menampar atau menjambak rambut keduanya. Menumpahkan amarahnya pada dua orang berperilaku bejat itu. Namun sekarang bukanlah pilihan tepat. Ia wanita terpelajar, punya cara lebih elegan untuk menyelesaikan masalah ini.
“Al!” Tangan Alya dicekal, membuat langkahnya tertahan. Irfan menghadang jalannya. Alya menepiskan tangan lelaki itu seketika. Rasanya, kini sentuhan lelaki itu begitu menjijikkan.
“I—ini gak seperti yang kamu kira!” ucap Irfan padanya. Pandangan Alya mengarah pada kancing baju pria itu yang hampir terbuka seluruhnya.
Alya berdecih, mengalihkan pandangan dengan perih. Ia menyilangkan tangan di depan dada. Amarah jelas sekali terpancar dari wajahnya. Ia memutar bola mata, jengah.
"Lalu, menurut Mas, apa yang harusnya aku perkirakan? Sahabatku dan suamiku berduaan di hotel, Apa yang seharusnya aku perkirakan, hah?!" Alya berteriak keras, membuat Irfan dan Ratih terdiam seketika.
Alya tertawa hambar. “Selamat, Mas. Kamu berhasil menghancurkan rumah tanggamu sendiri,” kata Alya dengan tegas.
Irfan mendekat, kembali mencoba meraih tangannya, tetapi langsung ditepis oleh Alya. “Al, dengar dulu penjelasanku,” pintanya dengan begitu memohon.
“Tunggulah surat cerai dariku, Mas.”
"Tidak, Al! Alya!”
Alya berjalan cepat keluar dari hotel, tak memedulikan Irfan yang terus mengekorinya sambil meneriakkan namanya seperti orang kesetanan. Hotel melati yang terlihat gulita itu tak menyulitkan Alya menemukan jalan keluar ke parkiran mobilnya.
Alya bergegas masuk ke mobilnya, sebelum Irfan kembali berhasil menjangkaunya. Alya melempar ponselnya ke jok samping. Setelahnya, ia terduduk dengan lemas, menelungkupkan wajah di atas kemudi. Tangisnya langsung pecah seketika.
Suara ketukan kaca mobil kemudian terdengar, disusul permohonan Irfan yang rupanya tak lelah mengejarnya hingga ke parkiran.
“Al, kita bisa bicarain ini baik-baik. Buka pintu mobilnya, Al,” katanya dengan suara keras.
Alya menoleh, sedikit kaget dengan ketukan yang dilakukan Irfan. Tak ingin berlama-lama di sini, Alya segera menyalakan mobilnya dan menancap gas menjauhi hotel melati tempat sang suami mengkhianatinya. Pengkhianatan adalah hal yang tak pernah Alya bayangkan akan terjadi dalam hidupnya.
Hal yang selalu disangkalnya jika Fatih mengatakan tentang ini. Hal yang tak pernah ia percayai dari perkataan sahabat lelakinya itu. Hal yang membuatnya menyesal, kenapa baru sekarang.
"Maaf Fatih, maaf karena tidak mempercayaimu," ucapnya lirih.
Apa laki-laki itu tak sadar kalau bukan karena Alya, Irfan bukan siapa-siapa. Kemewahan yang lelaki itu miliki saat ini berasal dari kekayaan Alya. Termasuk posisi yang tengah dijabat lelaki itu di perusahaannya, itu juga karena Alya.
Bisa apa Irfan kalau Alya menceraikannya? Pria itu tak ubahnya seperti gelandangan miskin yang berkeliaran di jalanan. Alya duduk tegak di kursinya. Ia menghapus air mata dengan kasar. Tak ada waktu untuk bersedih sekarang.
"Mas bagaimana ini?" tanya Ratih gelisah. "Kita harus susul Alya!" "Tapi ...." "Ayo Ratih! Kita gak punya waktu!" *** Nada dering panggilan pada ponsel Alya berbunyi. Alya melirik sekilas, mengangkat telpon tersebut yang ternyata dari Fatih. "Halo, Fat," ucapnya dengan suara serak sembari melajukan mobil. "Al, kau baik-baik saja? Suaramu terdengar berbeda." Alya terisak, ditanya seperti itu justru ia merasa tak baik-baik saja. Air mata yang tadi sudah ia hapus kembali jatuh, apalagi saat mendengar nada suara Fatih yang begitu mengkhawatirkannya. “Aku memergoki mereka, Fat, dan mereka ….” Alya tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Hanya suara isak tangis dan deru mobil berjalan yang kini terdengar. “Hei! Tenanglah Alya, aku gak tahu apa yang terjadi padamu sebenarnya, tapi apa kamu sedang menyetir mobil?” Alya mengangguk tak sadar, Fatih tak bisa melihat anggukan kepalanya. "Iya, Fat, a--aku .... ” suara Alya tercekat, entah kenapa ia bisa menjadi begitu cengeng saat
Fatih terpaku, suara teriakan dan tabrakan antara lempengan besi itu terdengar memilukan di telinganya. Matanya menatap nanar pada panggilan yang tiba-tiba saja terputus di tangannya. "Al!" panggil Farih lirih, tentu saja tak akan ada jawaban. Detik itu juga ia berlari secepat yang ia bisa, menyusuri lorong rumah sakit tak peduli beberapa orang terus memperhatikannya dengan bingung. Hanya satu yang ada di pikiran Fatih saat ini. Ia ingin menemukan Alya, dalam kondisi selamat, apapun yang terjadi. *** "Mas ...," panggil Ratih dengan tubuh bergetar hebat. Pandangannya nanar menatap mobil Alya yang berguling di hadapannya. Ia menutup telinganya dengan kuat saat mendengar suara jeritan mengerikan dari sana. "A--aku berhasil!" tukas Irfan yang tadinya menunduk kini menodngak menatap jurang di hadapannya. Laki-laki terkekeh pelan kemudian tertawa dengan keras hingga membuat Ratih menoleh perlahan. Wanita itu ketakutan melihat tingkah Irfan. "Mas kamu sudah gila?" "Hahaha, aku sudah m
Irfan masuk ke dalam rumah yang kini sunyi, segera melepaskan baju dan sepatunya. Naik ke atas kamar dan berbaring di sana sembari menunggu. Kemungkinan berada di sana untuk beberapa saat sembari menunggu. Ting ... Tong .... Bel rumahnya berbunyi, bergema di kamarnya. Irfan membuka mata, menekan tombol audio. "Pak Irfan, ada yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap seorang satpam. Irfan menghela nafas, menetralkan debar jantungnya yang menggila. Ia memejam sejenak sebelum menjawab. "Siapa?" "Dua orang polisi." Irfan memejam, ia mengatur nafas untuk memberikan alasan serta jawaban yang sudah ia latih dalam pikirannya sejak tadi. "Baiklah, suruh mereka masuk!" *** "Ada apa gerangan Bapak datang kemari?" tanya Irfan pada dua polisi di hadapannya. "Begini, kami ingin mengabarkan sesuatu. Alya Putri Bratawijaya, benarkah alamatnya di sini?" Irfan memicing, berusaha memasang mimik curiga. "Ya, betul, ada apa, ya, Pak?" "Istri Bapak telah mengalami kecelakaan tunggal dan mobil
Brata terkena serangan jantung, harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Itu informasi yang Irfan dengar dari sang dokter sesaat setelah keluar dari ruangan Brata. Kini Irfan duduk sembari menenangkan Sri yang sedari tadi terus menangis sembari terus mengucapkan kata-kata yang terdengar tak jelas di telinga Irfan karena ia sedang fokus pada hal lain. "Mama khawatir, Fan, Alya kecelakaan dan belum ditemukan sementara Papanya tiba-tiba terkena serangan jantung. Mama takut Papa kenapa-kenapa." "Sabar, Ma! Papa pasti akan cepat sadar, kok," ucapnya berusaha menenangkan sembari menepuk pelan punggung Sri. Meski begitu matanya nampak awas melihat lorong yang kemungkinan akan dilewati Fatih. Ia sangat penasaran dengan pasien luka bakar yang dibawa oleh laki-laki itu tadi. Mengingat Alya yang tiba-tiba saja menghilang sementara mobilnya meledak dan terbakar, bisa jadi .... "Ma, bagaimana kalau Irfan belikan Mama minum? Mama butuh air mineral untuk menenangkan diri. Mama tunggu
Fatih tak bisa mempercayai berita ini. Segera ia berlari menuju saluran tv terdekat yang ada di rumah sakit. Tepat setelah ia menemukan remote. Ia mengganti siaran yang sedang viral. Pergantian pemimpin perusahaan Grup Brata. Seketika tubuhnya lemas tak bertenaga saat melihat wajah Irfan muncul di sana. Terlihat sangat senang saat diwawancari. Seharusnya kalau Alya sadar sekarang bukan Irfan yang menjadi pengganti pemimpin grup Brata. Meski Fatih belum tahu apa yang terjadi tapi ia sedikit banyak tahu dan menyimpulkan sendiri kalau kecelakaan yang Alya alami setelah ia memergoki Irfan dan Ratih telah selingkuh. Ia tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Bagaimana seseorang yang berkhianat dan seharusnya sudah pergi dari hidup Alya malah mendapat posisi bagus dan semakin memuncak sementara Alya yang merupakan korban harus menderita dalam kesakitan. Luka bakar yang dialami wanita itu cukup parah dan merusak sel-sel jaringan kulitnya. Meski sadar dari komanya nanti, Fatih tidak bisa me
Refan tertunduk dalam setelah keluar dari ruangan Irfan. Tangannya gemetar hebat dengan amarah memuncak saat perkataan Irfan terngiang di kepalanya. "Dia pikir aku gila jabatan?" tukas Refan dalam hati seraya mengepalkan tangannya. "Bahkan aku rela keluar dari perusahaan ini jika harus berada di sebelah orang berhati busuk seperti dirinya!" Refan berjalan dengan langkah menghentak. Luapan amarah membuatnya berperilaku demikian. Beberapa karyawan yang hendak menyapa memilih menyingkir karena melihat wajah masamnya. Sesampainya ia ke dalam lift, Refan mengeluarkan ponsel, menampilkan walpapernya sedang berfoto bersama keluarga Brata dan Alya ada di sampingnya. Keluarga Brata berjasa dalam hidupnya. Kalau bukan karena Brata Wijaya yang penuh kasih sayang itu mengangkatnya menjadi anak, ia tak akan mungkin bisa hidup sampai sekarang. Menjalani hidup sekarang di panti tanpa orang tua dan siksaan setiap hari, membuat ia menyerah bahkan hampir mati. Ia juga harus bekerja tanpa bisa seko
"Belum ada kabar tentangnya?" tanya Irfan sembari menggoyang-goyangkan gelas berisi minuman di tangan. Lelaki dengan pakaian serba hitam yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk itu mengangguk. "Dia tak bertingkah mencurigakan, Tuan. Hanya pergi dari rumah, bekerja di rumah sakit, melayani pasien, lalu pulang ke rumahnya kembali." "Apakah kau tidak melihatnya mampir ke suatu tempat? Atau yang lain?" "Tidak Tuan, Dokter itu menjalani harinya seperti hari-hari sebelumnya. Saya selalu mengikutinya ke mana pun, tak satu kalipun lepas dari pengawasan." Irfan mengernyit, merasa sedikit aneh. Kecurigaannya agak sia-sia sepertinya. Melalui kabar ini ia tak punya alasan untuk mencurigai Fatih. Jadi, pasien dengan luka bakar itu bukan Alya? "Baiklah, kau boleh pergi. Kabari aku jika kau menemukan sesuatu yang mencurigakan." "Baik Tuan." Lelaki berpakaian serba hitam itu mengangguk, pamit dari hadapannya dan berjalan keluar dari ruangan. Sesaat sebelum keluar lelaki itu berpapasan deng
"Singapura katamu?" ucap Irfan dengan mata menyipit. Ia mengerjap, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Orang suruhan yang ia minta untuk mengikuti Fatih mengabarkan, kalau lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu telah berangkat menuju bandara dan akan landing satu jam lagi menuju Singapura. Hal yang tak pernah Irfan bayangkan. Tapi, benaknya terus berpikir macam-macam hal. Alya dan Fatih begitu dekat, lantas hanya dalam beberapa hari sejak kepergian Alya, lelaki itu memutuskan untuk pergi ke Singapura. "Apakah dia pergi sendirian?" tanya Irfan. "Ya, tidak ada yang pergi bersamanya. Menurut informasi yang kami dapat, Dokter Fatih pergi untuk meneruskan pendidikan S2 nya di sana." Irfan terdiam sesaat, ditatapnya Refan yang menunggu dengan tenang tak jauh darinya. Apakah lelaki itu tahu? Secara Refan juga dekat dengannya. Tapi melihat jasad Alya telah ditemukan seperti ini dan Fatih yang tiba-tiba saja pergi tanpa ia tahu alasannya membuat Irfan merasa kalau ia tak bisa lagi m