"Mas bagaimana ini?" tanya Ratih gelisah.
"Kita harus susul Alya!"
"Tapi ...."
"Ayo Ratih! Kita gak punya waktu!"
***
Nada dering panggilan pada ponsel Alya berbunyi. Alya melirik sekilas, mengangkat telpon tersebut yang ternyata dari Fatih.
"Halo, Fat," ucapnya dengan suara serak sembari melajukan mobil.
"Al, kau baik-baik saja? Suaramu terdengar berbeda."
Alya terisak, ditanya seperti itu justru ia merasa tak baik-baik saja. Air mata yang tadi sudah ia hapus kembali jatuh, apalagi saat mendengar nada suara Fatih yang begitu mengkhawatirkannya.
“Aku memergoki mereka, Fat, dan mereka ….”
Alya tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya. Hanya suara isak tangis dan deru mobil berjalan yang kini terdengar.
“Hei! Tenanglah Alya, aku gak tahu apa yang terjadi padamu sebenarnya, tapi apa kamu sedang menyetir mobil?”
Alya mengangguk tak sadar, Fatih tak bisa melihat anggukan kepalanya.
"Iya, Fat, a--aku .... ” suara Alya tercekat, entah kenapa ia bisa menjadi begitu cengeng saat berhadapan dengan Fatih.
“Menepilah dahulu Al, kamu bisa celaka. Jangan menyetir sambil menangis dan meneleponku. Tenangkan dirimu! Kamu ada di mana sekarang? Aku akan menyusul.”
Alya menghapus air matanya. Ia mengerjap, tetapi masih belum menghentikan laju mobilnya seperti yang Fatih minta. Sejenak, Alya menyadari … ia sudah tak di jalan utama lagi.
Jalanan yang di hadapannya kini tampak sepi dan bahkan banyak pepohonan dan jurang curam di sebelah kirinya. Hari yang sudah malam, serta minimnya pencahayaan di jalan ini, makin membuat daerah ini mencekam. Ditambah, tak tampak satu pun mobil yang lewat.
“A—aku gak tahu ini di mana.” Alya seketika diserang rasa panik. Kekecewaannya, sakit hatinya yang begitu besar membuat Alya bertindak bodoh dengan mengemudi tak tentu arah. Diam-diam, Alya merutuki kebodohannya sendiri.
“Oke, tenang! Jangan matikan handphonemu. Aku akan menyusulmu sekarang. Menepilah lebih dahulu.”
“Tapi … di sini sepi, Fat.” Pikiran Alya mulai kacau. Pasti akan sulit bagi Fatih menemukannya di jalan yang sepi ini.
“Tenanglah! Aku akan segera sampai. Jangan keluar dari mobilmu!”
Alya mengangguk, walau ia lupa kalau Fatih tak bisa melihat anggukan kepalanya. Sekejap, saat melihat spion, ia melihat sebuah mobil melaju sangat cepat ke arahnya.
Brak!
***
"Mas!" Ratih berteriak histeris saat Irfan menabrakkan mobilnya pada mobil Alya yang kini hanya berjarak beberapa meter dari mobil mereka.
Tangannya gemetar saat melihat mobil Alya yang tampak oleng di depan sana. Keduanya mengejar mobil wanita itu tepat setelah Alya meninggalkan hotel Melati.
"Diamlah! Pasang seatbeltmu?"
"Apa yang mau kamu lakukan? Kamu mau menabrakkan mobil Alya lagi?"
"PASANG SEATBELTMU, RATIH!" teriak Irfan dengan suara keras membuat Ratih ketakutan, wajahnya tampak pucat seketika. Ia melirik Irfan yang kini menatap tajam mobil Alya. Nafasnya tampak memburu, hal itu membuat Ratih gelisah.
"Aku tak bisa membiarkannya lolos begitu saja," ucap Irfan lirih namun terdengar jelas di telinga Ratih.
"A--apa maksudmu, Mas?"
"Dia punya bukti, itu awal kehancuran kita. Kalau dia menggugatku ke pengadilan dan mengajukan cerai, aku tak akan mendapatkan apapun. Hartanya tak akan bisa menjadi milikku."
"Lalu ... apa yang mau kamu lakukan, Mas?" tanya Ratih dengan suara bergetar.
"Menghilangkan bukti!"
Irfan melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Ratih memejamkan mata erat, ia tahu pasti apa yang ada di pikiran Irfan saat ini.
***
“Argh!!”
Tubuh Alya terlonjak ke depan. Handphone di tangannya terjatuh ke bawah kakinya. Kejadiannya begitu cepat. Mobilnya oleng, tapi beruntung ia masih bisa menstabilkan mobil yang ia kendarai seketika.
“Al! Alya! Apa yang terjadi?!”
Alya melirik kaca spion, dan melihat pengendara di belakangnya tadi. Samar-samar, Alya mengenali mobil yang barusan menabraknya. Dari gelagatnya, Alya menduga mobil itu ingin kembali menabraknya. Untuk itu, ia menginjak gas dengan segera untuk menghindari mobil yang benafsu menabraknya itu.
“Al, apa kamu mendengarku? Aku mendengar suara tabrakan. Apa kamu baik-baik saja?”
Suara dari handphone Alya terdengar. Wanita itu berusaha meraihnya dengan susah payah. Fatih masih berbicara di sebrang telepon.
“Fat! Fatih!” ucap Alya begitu ia mendapat handphone kembali di tangannya. Tangannya kembali gemetar, bahkan keringat dingin lagi-lagi mengucur deras. “Ada mobil yang berusaha mengejarku. Mereka bernafsu untuk menabrakku. Aku harus bagaimana?”
“Apa kamu bisa mengenali pengemudinya, Al?” tanya Fatih.
Alya kembali melihat ke arah spion tengah, dan meneliti mobil yang tampak arogan menyorotinya dengan lampu yang menyilaukan itu. Alya mencoba memfokuskan pandangannya pada plat nomor, juga bayangan si pengemudi arogan itu di balik kaca hitam.
“A--aku tidak tahu, aku tidak bisa melihatnya."
Alya menambah kecepatan mobilnya, tak peduli jalanan sepi ini akan menyesatkannya. Di pikirannya hanya satu saat ini ... ia harus selamat. Entah apa tujuan mobil di belakangnya itu, tapi satu hal yang pasti. Orang-orang dalam mobil itu berusaha untuk membunuhnya.
“Apa pun yang terjadi, jangan matikan teleponnya, oke? Aku akan menyusulmu. Tunggu aku!” ucap Fatih, setidaknya membuat Alya sedikit tenang karena merasa ada yang menemaninya.
Tadinya Alya pikir ini akan berlangsung mudah. Namun tanda merah di mobil yang merupakan peringatan jika bensinnya akan habis, mulai menyala. Membuatnya seketika merasa putus asa.
“Ayolah, jangan sekarang!” ujar Alya memohon, berharap ada sedikit keajaiban.
“Fat, bagaimana ini? Bensin mobilku habis!”
Mobil yang ia kendarai perlahan mulai berhenti, tepat di sisi jurang. Alya panik, berusaha menstater mobil, tapi tak kunjung menyala.
“Apa yang kamu lihat dari posisimu sekarang, Al?” tanya Fatih yang juga mulai didera kepanikan.
“Ju-jurang,” ujar Alya terbata-bata. Ketakutan mulai menyerangnya.
Di belakangnya, mobil yang sama dengan yang tadi menabrak Alya kembali terlihat melaju dengan kecepatan penuh dan lepas kendali. Entah, kali ini pria itu kembali sengaja, atau justru tak menebak jika Alya tengah berhenti. Hasilnya, tabrakan yang begitu keras tak lagi terhindarkan.
Brak!
Mobil Alya dihantam dengan keras dari belakang, hingga mobil itu berguling dan masuk ke dalam jurang, dengan Alya yang masih terkurung di dalamnya.
Ketika mobil itu berguling, Alya menoleh ke arah samping, tempat mobil yang menabraknya berhenti. Dari sudut ini, dengan bantuan cahaya yang lebih terang karena sorot lampu mobilnya yang tertuju pada si pelaku, Alya dapat melihat lebih jelas sosoknya.
Detik itu juga, waktu seakan melambat untuk Alya. Napasnya terasa sesak kala dia melihat wajah yang begitu familier itu menatapnya penuh dengan aura membunuh. Tidak akan pernah wanita itu duga bahwa orang yang berniat untuk menghabisi nyawanya ... adalah seseorang yang begitu dia kenal.
"Mas Irfan ...."
"A--apa ini Fat?" tukas Alya dengan terbata."Kejutan, untukmu."Alya berbinar, perasaan bahagianya memuncak. Ia menatap Fatih lekat, lantas memeluk laki-laki itu dengan erat."Jadi ini rahasia yang kau katakan padaku?""Hm ....""Karena itu kau ngotot ingin mengajakku kemari dan membujukku yang sedang marah?""Menurutmu?""Kapan kau menyiapkan semua ini?" tanya Alya sembari melerai pelukannya dari Fatih. Tapi lelaki itu menahan pinggangnya membuat keduanya kini mengobrol sembari berpelukan."Sejak pagi, dan karena itu aku tak mau gagal untuk mengajakmu kemari. Jujur saat tadi pagi kau marah padaku, aku sempat bingung harus melakukan apa, Al.""Fat ... ini sangat menakjubkan ...." Alya mengerjap, air matanya perlahan jatuh, Fatih dengan cepat mengusap pipi Alya menggunakan punggung tangannya."Kalau begitu jangan menangis, air matamu membuatku terluka Alya," bisik Fatih lembut tepat di telinga Alya."Ini bukan tangis kesedihan, Fat. Ini tangis bahagia, aku sangat bahagia sampai bisa m
Meski Alya masih merasa sedikit marah, tapi ia terlanjur penasaran dengan hal rahasia yang Fatih ingin katakan padanya. Untuk itu, ia mulai berhias dan menanti kedatangan lelaki itu untuk menjemputnya malam ini."Halo, Ma," ucap Alya sembari tersenyum pada sang Mama yang melakukan panggilan video dari rumah sakit padanya.Kesibukan Alya untuk kembali membuat perusahaan maju membuatnya terkadang tak sempat untuk datang ke rumah sakit guna menjenguk Papa dan Mamanya. Tapi, setiap hari setelah pulang dari kantor ia pasti selalu menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video."Rapi sekali, kamu mau ke mana?" tanya sang Mama dari sebrang telepon."Diajak pergi sama Fatih, Ma. Tapi dia gak bilang mau ke mana.""Dinner, ya?" Alya tak menjawab, ia tersenyum lebar sembari memasang anting-anting di telinga."Mungkin Ma, Fatih gak bilang mau ngapain, dia juga gak bilang mau ke tempat apa. Rahasia katanya.""Mau kasih kejutan buat kamu kayaknya. Dulu Papa kamu juga gitu sama Mama. Main rahasi
Seperti yang Alya harapkan. Setelah keluar dari rumah sakit ia mendapat kabar baik kalau Irfan telah mendapat tambahan masa tahanan setelah menyerangnya beberapa waktu lalu.Rasanya luka yang Alya dapatkan sebanding dengan ganjaran yang lelaki itu perbuat."Saya sudah melakukan sesuai yang Nona mau. Daftar keuangan perusahaan, kinerja karyawan selama Pak Irfan menjabat dan kondisi saham saat ini. Nona bisa memeriksanya lebih dahulu, kalau ada yang kurang saya akan bawakan kembali."Alya mengalihkan pandangannya dari ponsel yang menayangkan berita terkini. Ia menoleh pada berkas yang ia minta pada Refan lalu menatap lelaki berkacamata itu dengan senyum lebar."Terima kasih Refan, kau selalu bisa aku andalkan. Sekarang kembalilah ke ruang kerjamu, nikmati waktu santaimu sebentar agar kau tidak stress karena terus menerima perintah dariku."Tak masalah Nona itu memang pekerjaan saya.""Menurutlah kalau aku sudah memerintahkanmu untuk istirahat! Kau selalu begitu, rajin sekali. Aku yang t
Fatih terkesiap saat merasakan gerakan dari tangan Alya yang berada dalam genggamannya. Ia mendongak dan sesaat tersenyum saat melihat Alya sudah sadar."Fat," panggil Alya kemudian. Fatuh segera mendekat, mengelus rambut wanita itu."Aku di sini Al, ada apa?""Aku haus."Fatih bernafas lega, setidaknya hal yang dikatakan Alya tak mengkhawatirkannya. Ia segera mengambil air mineral kemasan dan mengarahkannya ke mulut Alya."Sudah?"Alya mengangguk. Fatih meletakkan air mineral itu di atas nakas, lantas beralih menatap Alya sembari menggenggam tangan wanita itu kembali."Bagaimana kondisimu?" tanya Fatih sembari menaikkan kepala ranjang Alya agar ia lebih mudah menatap wanita itu.Alya terkekeh. "Menurutmu?""Ya, tidak akan ada orang yang bilang kalau setelah dirinya mendapatkan satu tembakan ia akan merasa baik-baik saja. Kupikir kau juga sama Al.""Begitulah, seperti yang kau lihat. Rasanya lumayan sakit, tapi Fat, apa kau tahu, entah kenapa aku merasa puas setelah mendapatkan tembak
Fatih keluar dari ruang operasi sembari melepas masker miliknya. Terdengar dering ponselnya mulai berbunyi, lelaki yang sedang mencuci tangannya itu bergegas mengeringkan tangan dan mengangkat panggilan tersebut. "Halo," ucap Fatih kemudian. " .... " "Ya, benar itu saya. Untuk reservasi jam tujuh malam." Fatih bergegas melangkah pergi sembari tersenyum lebar. " .... " "Ya, tolong dipastikan semuanya lancar dan sudah sedia saat saya datang nanti." " .... " "Baiklah terima kasih banyak." Panggilan itu terputus, Fatih mengantongi ponsel ke dalam saku. Hari ini ia sangat bahagia, semua rasanya berjalan lancar sesuai dengan keinginannya. Operasinya berjalan lancar dan rencananya juga hari ini sepertinya akan berjalan lancar. Rencana untuk melamar Alya secara romantis, tak seperti di cafe kemarin. Meski Alya berulangkali memberitahukan untuk tak melakukannya, namun Fatih memaksa. Ini lamaran untuk wanita pertamanya, dan ia mau hal ini menjadi sesuatu yang berkesan untuk Alya. Setid
Irfan mengerjap dengan susah payah, bahkan untuk menggerakkan bibirnya saja ia tidak sanggup. Penghuni lapas yang bersamanya benar-benar gila, memukulinya tanpa ampun, tanpa alasan yang berarti mengakibatkan tubuhnya sakit-sakitan seperti ini.Ia tidak tahu apakah hal ini dialami oleh seluruh penghuni sel tahanan yang baru atau tidak, tapi melihat ia terus berteriak meminta tolong sementara tak ada satupun sipir, walau sedang berpatroli sekalipun untuk berhenti dan melihat keadaannya, Irfan yakin ini disengaja.Ia juga berkeyakinan ini adalah ulah Alya yang tak cukup menaruhnya dalam sel penjara tapi juga mengirimnya untuk masuk ke dalam neraka.Bahkan sekarang, tiga orang yang menghuni lapas bersamanya itu tampak baik-baik saja dan makan sarapan dengan damai, meninggalkan ia seorang diri dengan perut perih menahan lapar karena jatah makannya diambil oleh si botak yang mencekiknya kemarin.Tubuhnya bahkan tergeletak di lantai yang dingin karena tak diberikan alas tidur yang memadai.