Fatih terpaku, suara teriakan dan tabrakan antara lempengan besi itu terdengar memilukan di telinganya. Matanya menatap nanar pada panggilan yang tiba-tiba saja terputus di tangannya.
"Al!" panggil Farih lirih, tentu saja tak akan ada jawaban.
Detik itu juga ia berlari secepat yang ia bisa, menyusuri lorong rumah sakit tak peduli beberapa orang terus memperhatikannya dengan bingung.
Hanya satu yang ada di pikiran Fatih saat ini. Ia ingin menemukan Alya, dalam kondisi selamat, apapun yang terjadi.
***
"Mas ...," panggil Ratih dengan tubuh bergetar hebat. Pandangannya nanar menatap mobil Alya yang berguling di hadapannya. Ia menutup telinganya dengan kuat saat mendengar suara jeritan mengerikan dari sana.
"A--aku berhasil!" tukas Irfan yang tadinya menunduk kini menodngak menatap jurang di hadapannya. Laki-laki terkekeh pelan kemudian tertawa dengan keras hingga membuat Ratih menoleh perlahan. Wanita itu ketakutan melihat tingkah Irfan.
"Mas kamu sudah gila?"
"Hahaha, aku sudah menabraknya, kau lihat itu Ratih?"
Ratih menggelng, ia hendak melepas seatbelt namun dengan cepat Irfan menahan tangannya.
"Kau mau ke mana?"
"Alya, kita harus selamatkan dia, dia bisa mati!"
"Kau gila? Itu jurang, bagaimana kau akan menyelamatkannya?"
"T--tapi kita bisa membunuhnya kalau tidak segera menyelamatkannya, Mas."
"Bukankah itu tujuan kita?"
"Mas!"
"Kamu lihat keuntungannya jika ia tiada, hartanya akan menjadi milikku seutuhnya Ratih! Selama kami menikah aku mencegahnya punya anak, dengan menanamkan iud di rahimnya. Aku menunggu saat ini, bukahkan kau harus begitu?"
"M--mas, tapi ...."
"Sst .... " Irfan menempelkan telunjuknya di bibir Ratih. "Kau hanya perlu mengikuti alurnya sayang. Kejadian ini, hanya kamu dan aku yang tahu, jadi kau tidak perlu takut. Kita hanya harus diam, sampai semuanya selesai, kau mengerti?"
Ratih menggigit bibirnya dengan keras, matanya berkaca mencoba mengalihkan pandangan ke arah jurang tempat Alya jatuh. Namun Irfan dengan cepat menahannya.
"Ratih, kau dengar apa yang kukatakan, kan?" Irfan memegang wajah Ratih dengan kedua tangannya erat.
Ratih mengaangguk cepat, satu bulir air matanya jatuh.
"Bagus! Harus seperti itu! Pasang seatbeltmu kembali! Kita harus cepat pergi dari sini sebelum ada yang melihat."
Irfan berbalik sembari menghembuskan nafasnya kasar. Ia memasang seatbeltnya dan melajukan mobilnya menjauh dari tepi jurang. Mencoba menghilangkan bukti yang untungnya di sana tak ada cctv satupun.
***
Sementara itu ....
Di tempatnya, Alya tengah menguatkan diri. Darah yang mulai mengucur akibat benturan keras, juga pecahan kaca, serta posisinya yang benar-benar terjepit stir membuat Alya sesak luar biasa. Pendengarannya pun seolah menuli akibat benturan badannya ke berbagai sisi mobil yang jatuh ke badan jurang bertubi-tubi.
“Fat. To-tolong a-aku!”
Tak ada suara sahutan dari Fatih, ponsel yang ia gunakan juga sudah entah terlempar kemana. Mungkin saja sudah tidak menyala.
Kepala Alya pusing bukan main. Posisi mobilnya saat ini terbalik, membuatnya makin tak bisa melihat ada apa di sekitaran jurang yang gelap ini.
Bau bensin mulai memenuhi indera penciuman Alya. Mata Alya yang tadinya mulai memejam pasrah, kini kembali terbuka. Alya meraba-raba pintu mobilnya dan berusaha membuka, tapi sayang, pintunya tetap terkunci.
“Argh!” Alya berteriak saat mencoba mengangkat kedua kakinya yang terjepit kerangka mobilnya yang penyok.
“Tolong!!”
Alya tahu ini sia-sia, tapi ia tetap melakukannya, sembari terus mengetuk kaca mobil yang sudah tak utuh itu. Samar-samar, ia melihat sebuah pendar kekuningan dan bunyi percikan api.
Alya terlonjak, dirinya panik luar biasa saat sebuah percikan api itu mulai muncul di hadapannya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat.
“Tidak!” jerit Alya tertahan.
Ia tidak mau mati sia-sia dan hangus terbakar. Ia tidak mau membiarkan suaminya menjalani hidup bahagia bersama sahabat yang telah mengkhianatinya, terlebih jika suaminya menggunakan seluruh asetnya. Sungguh, ia tak akan rela!
Padahal ia telah merencanakan dengan baik apa yang harus ia lakukan selanjutnya setelah memergoki perselingkuhan suaminya. Bukan malah menjadi tragedi untuknya seperti ini.
Alya berusaha mencari jalan keluar. Pintu mobil yang tak bisa terbuka, membuat Alya dengan cepat mengincar kaca mobil yang telah retak itu. Dengan sisa-sisa tenaga, ia pukul-pukul kaca tersebut, tak peduli kalau telapak tangannya kini mulai mengeluarkan darah.
Usahanya memukul kaca mobil mulai berhasil. Retakan pada kaca itu semakin membesar. Ia hanya perlu mempercepat ritme pukulannya.
‘Sedikit lagi! Sedikit lagi!’ Alya menyemangati dirinya sendiri. Pukulan bertubi-tubi terus ia keluarkan, sampai akhirnya kaca itu pecah sepenuhnya, menghasilkan celah cukup besar untuknya keluar dari sana.
Perlahan, percikan api di mobil kian membesar, membakar kursi penumpang di sampingnya. Alya merasakan hawa panas yang begitu dekat di wajahnya.
Sembari merintih, ia berusaha keluar. Tak ada lagi waktu untuk merasakan sakit di sekujur kakinya yang terjepit. Terpaksa, Alya menarik kuat-kuat kakinya meski berbuah air mata dan teriakan pilu.
“Arrgggh ….”
Beberapa detik kemudian, mobil Alya yang sudah penyok itu meledak, suaranya mampu memekakkan telinga.
Duaar!
***
Irfan menyetir dengan kecepatan penuh, hening menyelimuti keduanya sampai di depan hotel tempat mereka tadi menginap, Irfan menurunkan Ratih.
"Pergilah, masuk ke dalam, ambil semua barang-barang kita lalu pulang ke apartemenmu. Aku akan memesankan taksi untukmu. Pastikan tak ada yang tertinggal dan buang baju yang kau pakai saat ini. Bertingkahlah seoalah kau tidak tahu apa-apa, Ratih."
"Mas ...," panggil Ratih dengan wajah memelas.
"Kau mengerti maksudku, kan? Kita tidak ada waktu. Polisi mungkin akan segera datang ke lokasi kejadian tadi."
Ratih menggigit bibirnya, ia mengalihkan pandangan dengan air mata mengalir. Tak pernah terlintas dalam benaknya ia akan mengalami ketakutan seperti ini.
"Aku mengerti."
"Bagus, aku harus pergi sekarang. Cepatlah masuk ke dalam, setelah itu pergi dari sini. Kau ingat apa yang kukatakan tadi, kan?"
Ratih mengangguk beranjak dari tempatnya. Irfan secepat kilat memutar kemudi, melaju dengan kecepatan penuh menuju rumahnya.
Suara sirene mobil polisi dan ambulan mengaung-ngaung berpapasan dengan mobilnya. Ia melirik sekilas untuk melihat ke arah mana mobil itu melaju.
Kecelakaan besar yang mengakibatkan mobil masuk ke dalam jurang itu pasti sudah dilaporkan wadga yang kebetulan lewat pada polisi.
Untuk itu, ia harus cepat sampai sebelum polisi datang dan menemukannya tak ada di rumah.
Irfan masuk ke dalam rumah yang kini sunyi, segera melepaskan baju dan sepatunya. Naik ke atas kamar dan berbaring di sana sembari menunggu. Kemungkinan berada di sana untuk beberapa saat sembari menunggu. Ting ... Tong .... Bel rumahnya berbunyi, bergema di kamarnya. Irfan membuka mata, menekan tombol audio. "Pak Irfan, ada yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap seorang satpam. Irfan menghela nafas, menetralkan debar jantungnya yang menggila. Ia memejam sejenak sebelum menjawab. "Siapa?" "Dua orang polisi." Irfan memejam, ia mengatur nafas untuk memberikan alasan serta jawaban yang sudah ia latih dalam pikirannya sejak tadi. "Baiklah, suruh mereka masuk!" *** "Ada apa gerangan Bapak datang kemari?" tanya Irfan pada dua polisi di hadapannya. "Begini, kami ingin mengabarkan sesuatu. Alya Putri Bratawijaya, benarkah alamatnya di sini?" Irfan memicing, berusaha memasang mimik curiga. "Ya, betul, ada apa, ya, Pak?" "Istri Bapak telah mengalami kecelakaan tunggal dan mobil
Brata terkena serangan jantung, harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Itu informasi yang Irfan dengar dari sang dokter sesaat setelah keluar dari ruangan Brata. Kini Irfan duduk sembari menenangkan Sri yang sedari tadi terus menangis sembari terus mengucapkan kata-kata yang terdengar tak jelas di telinga Irfan karena ia sedang fokus pada hal lain. "Mama khawatir, Fan, Alya kecelakaan dan belum ditemukan sementara Papanya tiba-tiba terkena serangan jantung. Mama takut Papa kenapa-kenapa." "Sabar, Ma! Papa pasti akan cepat sadar, kok," ucapnya berusaha menenangkan sembari menepuk pelan punggung Sri. Meski begitu matanya nampak awas melihat lorong yang kemungkinan akan dilewati Fatih. Ia sangat penasaran dengan pasien luka bakar yang dibawa oleh laki-laki itu tadi. Mengingat Alya yang tiba-tiba saja menghilang sementara mobilnya meledak dan terbakar, bisa jadi .... "Ma, bagaimana kalau Irfan belikan Mama minum? Mama butuh air mineral untuk menenangkan diri. Mama tunggu
Fatih tak bisa mempercayai berita ini. Segera ia berlari menuju saluran tv terdekat yang ada di rumah sakit. Tepat setelah ia menemukan remote. Ia mengganti siaran yang sedang viral. Pergantian pemimpin perusahaan Grup Brata. Seketika tubuhnya lemas tak bertenaga saat melihat wajah Irfan muncul di sana. Terlihat sangat senang saat diwawancari. Seharusnya kalau Alya sadar sekarang bukan Irfan yang menjadi pengganti pemimpin grup Brata. Meski Fatih belum tahu apa yang terjadi tapi ia sedikit banyak tahu dan menyimpulkan sendiri kalau kecelakaan yang Alya alami setelah ia memergoki Irfan dan Ratih telah selingkuh. Ia tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Bagaimana seseorang yang berkhianat dan seharusnya sudah pergi dari hidup Alya malah mendapat posisi bagus dan semakin memuncak sementara Alya yang merupakan korban harus menderita dalam kesakitan. Luka bakar yang dialami wanita itu cukup parah dan merusak sel-sel jaringan kulitnya. Meski sadar dari komanya nanti, Fatih tidak bisa me
Refan tertunduk dalam setelah keluar dari ruangan Irfan. Tangannya gemetar hebat dengan amarah memuncak saat perkataan Irfan terngiang di kepalanya. "Dia pikir aku gila jabatan?" tukas Refan dalam hati seraya mengepalkan tangannya. "Bahkan aku rela keluar dari perusahaan ini jika harus berada di sebelah orang berhati busuk seperti dirinya!" Refan berjalan dengan langkah menghentak. Luapan amarah membuatnya berperilaku demikian. Beberapa karyawan yang hendak menyapa memilih menyingkir karena melihat wajah masamnya. Sesampainya ia ke dalam lift, Refan mengeluarkan ponsel, menampilkan walpapernya sedang berfoto bersama keluarga Brata dan Alya ada di sampingnya. Keluarga Brata berjasa dalam hidupnya. Kalau bukan karena Brata Wijaya yang penuh kasih sayang itu mengangkatnya menjadi anak, ia tak akan mungkin bisa hidup sampai sekarang. Menjalani hidup sekarang di panti tanpa orang tua dan siksaan setiap hari, membuat ia menyerah bahkan hampir mati. Ia juga harus bekerja tanpa bisa seko
"Belum ada kabar tentangnya?" tanya Irfan sembari menggoyang-goyangkan gelas berisi minuman di tangan. Lelaki dengan pakaian serba hitam yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk itu mengangguk. "Dia tak bertingkah mencurigakan, Tuan. Hanya pergi dari rumah, bekerja di rumah sakit, melayani pasien, lalu pulang ke rumahnya kembali." "Apakah kau tidak melihatnya mampir ke suatu tempat? Atau yang lain?" "Tidak Tuan, Dokter itu menjalani harinya seperti hari-hari sebelumnya. Saya selalu mengikutinya ke mana pun, tak satu kalipun lepas dari pengawasan." Irfan mengernyit, merasa sedikit aneh. Kecurigaannya agak sia-sia sepertinya. Melalui kabar ini ia tak punya alasan untuk mencurigai Fatih. Jadi, pasien dengan luka bakar itu bukan Alya? "Baiklah, kau boleh pergi. Kabari aku jika kau menemukan sesuatu yang mencurigakan." "Baik Tuan." Lelaki berpakaian serba hitam itu mengangguk, pamit dari hadapannya dan berjalan keluar dari ruangan. Sesaat sebelum keluar lelaki itu berpapasan deng
"Singapura katamu?" ucap Irfan dengan mata menyipit. Ia mengerjap, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Orang suruhan yang ia minta untuk mengikuti Fatih mengabarkan, kalau lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu telah berangkat menuju bandara dan akan landing satu jam lagi menuju Singapura. Hal yang tak pernah Irfan bayangkan. Tapi, benaknya terus berpikir macam-macam hal. Alya dan Fatih begitu dekat, lantas hanya dalam beberapa hari sejak kepergian Alya, lelaki itu memutuskan untuk pergi ke Singapura. "Apakah dia pergi sendirian?" tanya Irfan. "Ya, tidak ada yang pergi bersamanya. Menurut informasi yang kami dapat, Dokter Fatih pergi untuk meneruskan pendidikan S2 nya di sana." Irfan terdiam sesaat, ditatapnya Refan yang menunggu dengan tenang tak jauh darinya. Apakah lelaki itu tahu? Secara Refan juga dekat dengannya. Tapi melihat jasad Alya telah ditemukan seperti ini dan Fatih yang tiba-tiba saja pergi tanpa ia tahu alasannya membuat Irfan merasa kalau ia tak bisa lagi m
"Aku turut prihatin dengan apa yang menimpanya, Fat." Fatih menoleh, tersenyum pedih saat Kelly menepuk pelan punggungnya. Ia mengalihkan pandangan pada Alya yang masih terbaring dengan perban di berbagai sisi tubuhnya. Proses pemindahan Alya di rumah sakit Mount Elizabeth cukup rumit. Untung saja Kelly telah mempersiapkan ruangan untuk wanita itu sebelumnya, jadi Fatih sedikit tenang. Ia kini duduk di salah satu sofa, Kelly mengikuti dan duduk di sampingnya. "Dia tak seharusnya mengalami hal ini, Kelly." "Ya, Alya terlalu baik untuk mendapatkan ujian semacam ini." "Aku menyesal membiarkannya menikah dengan Irfan." "Maksudmu?" "Apa aku belum mengatakannya? Alya kecelakaan setelah memergoki Irfan berselingkuh." "Astaga!" Kelly menutup mulutnya dengan dua tangan. "Terakhir kali sebelum kecelakaan ia menelponku dan memberitahu kalau ia baru saja memergoki Irfan berselingkuh." "Dengan siapa?" "Alya tak memberitahu, karena setelahnya sambungan itu terputus. Tapi aku yakin kalau
"Alya!" seru Kelly riang begitu masuk ke dalam ruangan. Gadis itu baru saja pergi dari ruangan setelah menyelesaikan pekerjaannya setelah mendengar kabar kalau Alya telah sadar dari koma. Alya menoleh, lantas tersenyum dengan lebar. Gadis berambut pirang dengan jas putih khas dokternya itu berjalan cepat dengan merentangkan tangan hendak memeluk Alya. Namun, Fatih yang tengah mengeluarkan kotak makanan dengan sigap menghadang gadis itu. "Oi! Tunggu! Jangan asal main peluk aja!" tukas Fatih gusar. Hampir saja, sedikit lagi mungkin Kelly akan memeluk Alya dengan erat. "Kenapa, Fat? Aku rindu, udah lama gak ketemu loh." "Luka Alya masih basah, kalau ditekan terlalu kuat bisa sakit. Aku tahu kamu rindu, tapi cuma mau memperingati soalnya kamu suka lupa, Kelly." "Oh, iya." Kelly menatap tubuh Alya yang terbalut perban di lengan dan wajahnya itu. "Aku hampir lupa." Ia menepuk dahi pelan. Padahal ia selalu mewanti-wanti Fatih selama ini. Tapi ia sendiri yang melanggar, kerinduan akan s