Irfan masuk ke dalam rumah yang kini sunyi, segera melepaskan baju dan sepatunya. Naik ke atas kamar dan berbaring di sana sembari menunggu. Kemungkinan berada di sana untuk beberapa saat sembari menunggu.
Ting ... Tong ....
Bel rumahnya berbunyi, bergema di kamarnya. Irfan membuka mata, menekan tombol audio.
"Pak Irfan, ada yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap seorang satpam.
Irfan menghela nafas, menetralkan debar jantungnya yang menggila. Ia memejam sejenak sebelum menjawab.
"Siapa?"
"Dua orang polisi."
Irfan memejam, ia mengatur nafas untuk memberikan alasan serta jawaban yang sudah ia latih dalam pikirannya sejak tadi.
"Baiklah, suruh mereka masuk!"
***
"Ada apa gerangan Bapak datang kemari?" tanya Irfan pada dua polisi di hadapannya.
"Begini, kami ingin mengabarkan sesuatu. Alya Putri Bratawijaya, benarkah alamatnya di sini?"
Irfan memicing, berusaha memasang mimik curiga.
"Ya, betul, ada apa, ya, Pak?"
"Istri Bapak telah mengalami kecelakaan tunggal dan mobilnya masuk ke dalam jurang."
"Benarkah? Istri saya kenapa bisa menyetir mobil dan masuk ke jurang? Astaga! Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik saja?"
Irfan terkejut dengan ekspresi yang ia buat seserius mungkin. Kedua polisi itu saling pandang, merasa aneh dengan tanggapan Irfan yang agak ... janggal.
Seorang suami tak mengetahui ke mana istrinya pergi saat malam hari seperti ini. Namun dua polisi itu hanya menduga-duga, tugas mereka datang hanya untuk memastikan alamat sang korban.
"Mengenai masalah itu, anehnya, jenazah saudari Alya tidak ditemukan di dalam mobil ataupun di sekitar jurang. Namun, untuk pemeriksaan lebih lanjut akan dilakukan esok hari karena ada kemungkinan jasad saudari Alya telah terbakar dan menjadi abu di dalam mobil yang juga terbakar di sana."
Irfan terdiam, berpikir dengan keras. Bagaimana bisa jenazah Alya tak ditemukan sama sekali. Padahal ia mengingat dengan jelas saat menabrakkan mobil itu tadi, ia melihat Alya ikut terguling bersama dengan mobil yang dikendarainya.
"Pak!"
Irfan tersentak, memandang kedua polisi yang menatapnya dengan bingung.
"Ah, saya hanya terlalu sedih," ucap Irfan sembari mengusap sudut matanya yang tak mengeluarkam air mata sebulirpun. Ia menatap dua polisi tadi dengan wajah sedih.
"Kenyataan ini membuat saya terpukul, apakah saya bisa datang ke lokasi kejadian, Pak?"
"Tentu saja, anda bisa ikut bersama kami."
Irfan mengangguk, ia mengikuti dua polisi yang berjalan di depannya. Itu memutuskan untuk ikut sekedar memastikan sesuatu, jika jenazah Alya memang tidak ada di sana, itu berarti wanita itu masih selamat.
Sial!
***
Irfan tiba dengan air mata yang berusaha ia keluarkan sejak di mobil tadi. Matanya menelusuri mobil polisi di hadapannya sembari menelisik keberadaan Alya yang memang tak ada.
Bahkan tulang belulang atau jasad yang hangus terbakar pun tidak ada. Sembari mulutnya terus mengaungkan nama Alya berulangkali. Seolah ia begitu meratapi tragedi yang menimpa sang istri.
Orang-orang yang berkerumun dan melihat tampak iba melihatnya. Beberapa warga yang lewat berusaha menghiburnya. Irfan hanya mengangguk-angguk dengan mengusap air matanya sembari mengumpat kesal dalam hati.
Sia-sia sudah semua yang dilakukannya tadi. Kalau Alya masih selamat ia harus mencari keberadaan wanita itu sebelum Alya datang dan membuat pengakuan pada dunia kalau suaminya yang telah membunuhnya.
Irfan tak bisa membiarkan hal itu terjadi.
"Alya!"
Suara teriakan keras berasal dari sebelahnya. Irfan menoleh seketika saat melihat Brata dan Sriwati, kedua orang tua Alya datang setelah keluar dari mobil dengan menjerit histeris.
Irfan terkejut, ia lupa memberitahu kedua orang itu tadi.
"Irfan, Irfan, bagaimana keadaan putriku? Kenapa ia bisa jatuh ke jurang?" teriak Sri meraung sembari ingin turun melewati garis polisi. Beberapa warga menghalanginya.
"Mama tenanglah!" ucap Irfan mendatangi Sri dan memeluknya. Sementara Brata di belakang Irfan meski tak mengeluarkan air mata juga tampak shock.
Lelaki tua yang rambutnya hampir memutih sebagian itu perlahan memegangi dadanya yang terasa nyeri saat menatap mobil yang sudah terbalik di dalam jurang itu.
"Anakku, Alya!" ucapnya patah-patah dengan nafas terengah-engah. Orang-orang berkerumun padanya yang mendadak jatuh di tanah.
Irfan dan Sri sontak menoleh mendengar kebisingan itu. Sri langsung berlari menuju Brata sembari berteriak histeris.
"Mas!"
Irfan terpaku di tempat dengan mulut terbuka. Ia berdecak kesal sembari memegangi kepalanya. Keadaan menjadi riweuh karena orang tua Alya.
"Papa!" teriak Irfan mau tidak mau mendekat, membopong ayah mertuanya itu masuk ke dalam mobil diiringi tangisan Sri yang mengiba.
Ia memutar kemudi dengan cepat menuju rumah sakit sembari mengumpat kesal lagi-lagi dalam hati.
"Brengs*k! Dasar tua bangka merepotkan!"
***
Begitu sampai di rumah sakit, Brata langsung di bawa menuju ruang IGD oleh para perawat dan dokter sementara Irfan dan Sri mengikuti dengan berlari kecil di belakang.
Irfan berusaha mensejajarkan langkah, dalam lorong menuju ruang IGD ia tak sengaja berpapasan dengan Fatih yang baru saja keluar dari ruangan lain.
Pandangan mereka bertemu sesaat. Irfan tidak mungkin tak mengenal Fatih, sahabat Alya itu terkadang beberapa kali bertemu dengannya. Fatih sahabat dekat Alya, beberapa kali istrinya itu meminta izin untuk pergi keluar bersama Fatih. Bahkan laki-laki itu juga selalu menghadiri acara keluarga Brata.
Sekejap sesaat setelah mata mereka bertemu, Fatih dengan cepat memutus tatapan itu sembari memperbaiki penutup wajah pada pasien yang ranjangnya sedang ia dorong.
Tangan pasien itu menjulur keluar dengan luka bakar parah di tubuhnya yang sebagian sudah diperban. Hal itu membuat langkah Irfan terhenti seketika.
Luka bakar dan tangan itu ....
Langkah Irfan yang terhenti sontak segera mengikuti langkah Fatih yang sedang mendorong ranjang. Ia sungguh penasaran dengan pasien yang sedang dibawa Fatih saat ini.
Namun, baru saja ia hendak berbelok, tangannya ditahan oleh seseorang. Irfan menoleh, Sri ada di sampingnya dengan wajah sedih.
"Kamu mau ke mana, Fan? Ruangan Papa ada di sebelah sana!" tunjuk Sri pada arah yang berlawanan.
"Ah, bukan, Ma, Irfan hanya ingin melihat sesuatu."
"Apa? Bukankah yang penting sekarang adalah kesehatan Papa? Ayo kita lihat dia!"
Tangan Irfan ditarik, sementara ia terus menoleh melihat Fatih yang masuk ke dalam salah satu ruangan. Rasa penasarannya semakin memuncak.
Brata terkena serangan jantung, harus dirawat di rumah sakit untuk sementara waktu. Itu informasi yang Irfan dengar dari sang dokter sesaat setelah keluar dari ruangan Brata. Kini Irfan duduk sembari menenangkan Sri yang sedari tadi terus menangis sembari terus mengucapkan kata-kata yang terdengar tak jelas di telinga Irfan karena ia sedang fokus pada hal lain. "Mama khawatir, Fan, Alya kecelakaan dan belum ditemukan sementara Papanya tiba-tiba terkena serangan jantung. Mama takut Papa kenapa-kenapa." "Sabar, Ma! Papa pasti akan cepat sadar, kok," ucapnya berusaha menenangkan sembari menepuk pelan punggung Sri. Meski begitu matanya nampak awas melihat lorong yang kemungkinan akan dilewati Fatih. Ia sangat penasaran dengan pasien luka bakar yang dibawa oleh laki-laki itu tadi. Mengingat Alya yang tiba-tiba saja menghilang sementara mobilnya meledak dan terbakar, bisa jadi .... "Ma, bagaimana kalau Irfan belikan Mama minum? Mama butuh air mineral untuk menenangkan diri. Mama tunggu
Fatih tak bisa mempercayai berita ini. Segera ia berlari menuju saluran tv terdekat yang ada di rumah sakit. Tepat setelah ia menemukan remote. Ia mengganti siaran yang sedang viral. Pergantian pemimpin perusahaan Grup Brata. Seketika tubuhnya lemas tak bertenaga saat melihat wajah Irfan muncul di sana. Terlihat sangat senang saat diwawancari. Seharusnya kalau Alya sadar sekarang bukan Irfan yang menjadi pengganti pemimpin grup Brata. Meski Fatih belum tahu apa yang terjadi tapi ia sedikit banyak tahu dan menyimpulkan sendiri kalau kecelakaan yang Alya alami setelah ia memergoki Irfan dan Ratih telah selingkuh. Ia tak bisa membiarkan hal ini terjadi. Bagaimana seseorang yang berkhianat dan seharusnya sudah pergi dari hidup Alya malah mendapat posisi bagus dan semakin memuncak sementara Alya yang merupakan korban harus menderita dalam kesakitan. Luka bakar yang dialami wanita itu cukup parah dan merusak sel-sel jaringan kulitnya. Meski sadar dari komanya nanti, Fatih tidak bisa me
Refan tertunduk dalam setelah keluar dari ruangan Irfan. Tangannya gemetar hebat dengan amarah memuncak saat perkataan Irfan terngiang di kepalanya. "Dia pikir aku gila jabatan?" tukas Refan dalam hati seraya mengepalkan tangannya. "Bahkan aku rela keluar dari perusahaan ini jika harus berada di sebelah orang berhati busuk seperti dirinya!" Refan berjalan dengan langkah menghentak. Luapan amarah membuatnya berperilaku demikian. Beberapa karyawan yang hendak menyapa memilih menyingkir karena melihat wajah masamnya. Sesampainya ia ke dalam lift, Refan mengeluarkan ponsel, menampilkan walpapernya sedang berfoto bersama keluarga Brata dan Alya ada di sampingnya. Keluarga Brata berjasa dalam hidupnya. Kalau bukan karena Brata Wijaya yang penuh kasih sayang itu mengangkatnya menjadi anak, ia tak akan mungkin bisa hidup sampai sekarang. Menjalani hidup sekarang di panti tanpa orang tua dan siksaan setiap hari, membuat ia menyerah bahkan hampir mati. Ia juga harus bekerja tanpa bisa seko
"Belum ada kabar tentangnya?" tanya Irfan sembari menggoyang-goyangkan gelas berisi minuman di tangan. Lelaki dengan pakaian serba hitam yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk itu mengangguk. "Dia tak bertingkah mencurigakan, Tuan. Hanya pergi dari rumah, bekerja di rumah sakit, melayani pasien, lalu pulang ke rumahnya kembali." "Apakah kau tidak melihatnya mampir ke suatu tempat? Atau yang lain?" "Tidak Tuan, Dokter itu menjalani harinya seperti hari-hari sebelumnya. Saya selalu mengikutinya ke mana pun, tak satu kalipun lepas dari pengawasan." Irfan mengernyit, merasa sedikit aneh. Kecurigaannya agak sia-sia sepertinya. Melalui kabar ini ia tak punya alasan untuk mencurigai Fatih. Jadi, pasien dengan luka bakar itu bukan Alya? "Baiklah, kau boleh pergi. Kabari aku jika kau menemukan sesuatu yang mencurigakan." "Baik Tuan." Lelaki berpakaian serba hitam itu mengangguk, pamit dari hadapannya dan berjalan keluar dari ruangan. Sesaat sebelum keluar lelaki itu berpapasan deng
"Singapura katamu?" ucap Irfan dengan mata menyipit. Ia mengerjap, tak percaya dengan apa yang ia dengar. Orang suruhan yang ia minta untuk mengikuti Fatih mengabarkan, kalau lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu telah berangkat menuju bandara dan akan landing satu jam lagi menuju Singapura. Hal yang tak pernah Irfan bayangkan. Tapi, benaknya terus berpikir macam-macam hal. Alya dan Fatih begitu dekat, lantas hanya dalam beberapa hari sejak kepergian Alya, lelaki itu memutuskan untuk pergi ke Singapura. "Apakah dia pergi sendirian?" tanya Irfan. "Ya, tidak ada yang pergi bersamanya. Menurut informasi yang kami dapat, Dokter Fatih pergi untuk meneruskan pendidikan S2 nya di sana." Irfan terdiam sesaat, ditatapnya Refan yang menunggu dengan tenang tak jauh darinya. Apakah lelaki itu tahu? Secara Refan juga dekat dengannya. Tapi melihat jasad Alya telah ditemukan seperti ini dan Fatih yang tiba-tiba saja pergi tanpa ia tahu alasannya membuat Irfan merasa kalau ia tak bisa lagi m
"Aku turut prihatin dengan apa yang menimpanya, Fat." Fatih menoleh, tersenyum pedih saat Kelly menepuk pelan punggungnya. Ia mengalihkan pandangan pada Alya yang masih terbaring dengan perban di berbagai sisi tubuhnya. Proses pemindahan Alya di rumah sakit Mount Elizabeth cukup rumit. Untung saja Kelly telah mempersiapkan ruangan untuk wanita itu sebelumnya, jadi Fatih sedikit tenang. Ia kini duduk di salah satu sofa, Kelly mengikuti dan duduk di sampingnya. "Dia tak seharusnya mengalami hal ini, Kelly." "Ya, Alya terlalu baik untuk mendapatkan ujian semacam ini." "Aku menyesal membiarkannya menikah dengan Irfan." "Maksudmu?" "Apa aku belum mengatakannya? Alya kecelakaan setelah memergoki Irfan berselingkuh." "Astaga!" Kelly menutup mulutnya dengan dua tangan. "Terakhir kali sebelum kecelakaan ia menelponku dan memberitahu kalau ia baru saja memergoki Irfan berselingkuh." "Dengan siapa?" "Alya tak memberitahu, karena setelahnya sambungan itu terputus. Tapi aku yakin kalau
"Alya!" seru Kelly riang begitu masuk ke dalam ruangan. Gadis itu baru saja pergi dari ruangan setelah menyelesaikan pekerjaannya setelah mendengar kabar kalau Alya telah sadar dari koma. Alya menoleh, lantas tersenyum dengan lebar. Gadis berambut pirang dengan jas putih khas dokternya itu berjalan cepat dengan merentangkan tangan hendak memeluk Alya. Namun, Fatih yang tengah mengeluarkan kotak makanan dengan sigap menghadang gadis itu. "Oi! Tunggu! Jangan asal main peluk aja!" tukas Fatih gusar. Hampir saja, sedikit lagi mungkin Kelly akan memeluk Alya dengan erat. "Kenapa, Fat? Aku rindu, udah lama gak ketemu loh." "Luka Alya masih basah, kalau ditekan terlalu kuat bisa sakit. Aku tahu kamu rindu, tapi cuma mau memperingati soalnya kamu suka lupa, Kelly." "Oh, iya." Kelly menatap tubuh Alya yang terbalut perban di lengan dan wajahnya itu. "Aku hampir lupa." Ia menepuk dahi pelan. Padahal ia selalu mewanti-wanti Fatih selama ini. Tapi ia sendiri yang melanggar, kerinduan akan s
Proses penyembuhan dan jadwal operasi Alya memakan waktu yang cukup lama. Untungnya, Fatih yang berpamitan pada orang tuanya mengatakan alasan yang cukup jelas. Melanjutkan pendudikan S2 nya di Singapura hingga Papa dan Mamanya tak pernah bertanya lebih lanjut karena ia tak kunjung pulang beberapa bulan sejak tiba di sana. Selain menemani Alya ia juga melanjutkan pendidikan, untuk itu ia memilih Singapura karena ada Kelly yang bisa membantunya menjaga Alya. Pada hari di mana Alya menjalani operasi sayangnya ia tidak bisa pergi mengantar karena harus menemui salah satu dosen penting. Membuatnya sedikit merasa bersalah walau Alya terus mengatakan ia baik-baik saja. Maka, sesaat setelah Fatih selesai melakukan urursannya, ia segera menuju rumah sakit untuk menemui Alya. Wanita itu telah dipindahkan ke ruangan inap untuk pemulihan setelah operasi plastiknya selesai dilakukan. Fatih belum bisa masuk, setidaknya sampai Kelly yang berada di dalam ruangan keluar dan selesai memasang infus