Share

Bab 5 : Curiga

Irfan masuk ke dalam rumah yang kini sunyi, segera melepaskan baju dan sepatunya. Naik ke atas kamar dan  berbaring di sana sembari menunggu. Kemungkinan berada di sana untuk beberapa saat sembari menunggu.

Ting ... Tong ....

Bel rumahnya berbunyi, bergema di kamarnya. Irfan membuka mata, menekan tombol audio. 

"Pak Irfan, ada yang ingin bertemu dengan Bapak," ucap seorang satpam.

Irfan menghela nafas, menetralkan debar jantungnya yang menggila. Ia memejam sejenak sebelum menjawab.

"Siapa?"

"Dua orang polisi."

Irfan memejam, ia mengatur nafas  untuk memberikan alasan serta jawaban yang sudah ia latih dalam pikirannya sejak tadi.

"Baiklah, suruh mereka masuk!"

***

"Ada apa gerangan Bapak datang kemari?" tanya Irfan pada  dua polisi di hadapannya.

"Begini, kami ingin mengabarkan sesuatu. Alya Putri Bratawijaya, benarkah alamatnya di sini?"

Irfan memicing, berusaha memasang mimik curiga.

"Ya, betul, ada apa, ya, Pak?"

"Istri Bapak telah mengalami kecelakaan tunggal dan mobilnya masuk ke dalam jurang."

"Benarkah? Istri saya kenapa bisa menyetir mobil dan masuk ke jurang? Astaga! Bagaimana keadaannya sekarang? Apa dia baik-baik saja?" 

Irfan terkejut dengan ekspresi yang ia buat seserius mungkin. Kedua polisi itu saling pandang, merasa aneh dengan tanggapan Irfan yang agak ... janggal.

Seorang suami tak mengetahui ke mana istrinya pergi saat malam hari seperti ini. Namun dua polisi itu hanya menduga-duga, tugas mereka datang hanya untuk memastikan alamat sang korban.

"Mengenai masalah itu, anehnya, jenazah saudari Alya tidak ditemukan di dalam mobil ataupun di sekitar jurang. Namun, untuk pemeriksaan lebih lanjut akan dilakukan esok hari karena ada kemungkinan jasad saudari Alya telah terbakar dan menjadi abu di dalam mobil yang juga terbakar di sana."

Irfan terdiam, berpikir dengan keras. Bagaimana bisa jenazah Alya tak ditemukan sama sekali. Padahal ia mengingat dengan jelas saat menabrakkan mobil itu tadi, ia melihat Alya ikut terguling bersama dengan mobil yang dikendarainya.

"Pak!"

Irfan tersentak, memandang kedua polisi yang menatapnya dengan bingung.

"Ah, saya hanya terlalu sedih," ucap Irfan sembari mengusap sudut matanya yang tak mengeluarkam air mata sebulirpun.  Ia menatap dua polisi tadi dengan wajah sedih.

"Kenyataan ini membuat saya terpukul, apakah saya bisa datang ke lokasi kejadian, Pak?"

"Tentu saja, anda bisa ikut bersama kami."

Irfan mengangguk, ia mengikuti dua polisi yang berjalan di depannya. Itu memutuskan untuk ikut sekedar memastikan sesuatu, jika jenazah Alya memang tidak ada di sana, itu berarti wanita itu masih selamat.

Sial!

***

Irfan tiba dengan air mata yang berusaha ia keluarkan sejak di mobil tadi. Matanya menelusuri mobil polisi di hadapannya sembari menelisik keberadaan Alya yang memang tak ada.

Bahkan tulang belulang atau  jasad yang hangus terbakar pun tidak ada. Sembari mulutnya terus mengaungkan nama Alya berulangkali. Seolah ia begitu meratapi tragedi yang menimpa sang istri.

Orang-orang yang berkerumun dan melihat tampak iba melihatnya. Beberapa warga yang lewat berusaha menghiburnya. Irfan hanya mengangguk-angguk dengan mengusap air matanya sembari mengumpat kesal dalam hati.

Sia-sia sudah semua yang dilakukannya tadi. Kalau Alya masih selamat ia harus mencari keberadaan wanita itu sebelum Alya datang dan membuat pengakuan pada dunia kalau suaminya yang telah membunuhnya.

Irfan tak bisa membiarkan hal itu terjadi.

"Alya!" 

Suara teriakan keras berasal dari sebelahnya. Irfan menoleh seketika saat melihat Brata dan Sriwati, kedua orang tua Alya datang setelah keluar dari mobil dengan menjerit histeris.

Irfan terkejut, ia lupa memberitahu kedua orang itu tadi.

"Irfan, Irfan, bagaimana keadaan putriku? Kenapa ia bisa jatuh ke jurang?" teriak Sri meraung sembari ingin turun melewati garis polisi. Beberapa warga menghalanginya.

"Mama tenanglah!" ucap Irfan mendatangi Sri dan memeluknya. Sementara Brata di belakang Irfan meski tak mengeluarkan air mata juga tampak shock.

Lelaki tua yang rambutnya hampir memutih sebagian itu perlahan memegangi dadanya yang terasa nyeri saat menatap mobil yang sudah terbalik di dalam jurang itu.

"Anakku, Alya!" ucapnya patah-patah dengan nafas terengah-engah. Orang-orang berkerumun padanya yang mendadak jatuh di tanah.

Irfan dan Sri sontak menoleh mendengar kebisingan itu. Sri langsung berlari menuju Brata sembari berteriak histeris.

"Mas!" 

Irfan terpaku di tempat dengan mulut terbuka. Ia berdecak kesal sembari memegangi kepalanya. Keadaan menjadi riweuh karena orang tua Alya.

"Papa!" teriak Irfan mau tidak mau mendekat, membopong ayah mertuanya itu masuk ke dalam mobil diiringi tangisan Sri yang mengiba.

Ia memutar kemudi dengan cepat menuju rumah sakit sembari mengumpat kesal lagi-lagi dalam hati.

"Brengs*k! Dasar tua bangka merepotkan!"

***

Begitu sampai di rumah sakit, Brata langsung di bawa menuju ruang IGD oleh para perawat dan dokter sementara Irfan dan Sri mengikuti dengan berlari kecil di belakang.

Irfan berusaha mensejajarkan langkah, dalam lorong menuju ruang IGD ia tak sengaja berpapasan dengan Fatih yang baru saja keluar dari ruangan lain.

Pandangan mereka bertemu sesaat. Irfan tidak mungkin tak mengenal Fatih, sahabat Alya itu terkadang beberapa kali bertemu dengannya. Fatih sahabat dekat Alya, beberapa kali istrinya itu meminta izin untuk pergi keluar bersama Fatih. Bahkan laki-laki itu juga selalu menghadiri acara keluarga Brata.

Sekejap sesaat setelah mata mereka bertemu, Fatih dengan cepat memutus tatapan itu sembari memperbaiki penutup wajah pada pasien yang ranjangnya sedang ia dorong.

Tangan pasien itu menjulur keluar dengan luka bakar parah di tubuhnya yang sebagian sudah diperban. Hal itu membuat langkah Irfan terhenti seketika.

Luka bakar dan tangan itu ....

Langkah Irfan yang terhenti sontak segera mengikuti langkah Fatih yang sedang mendorong ranjang. Ia sungguh penasaran dengan pasien yang sedang dibawa Fatih saat ini.

Namun, baru saja ia hendak berbelok, tangannya ditahan oleh seseorang. Irfan menoleh, Sri ada di sampingnya dengan wajah sedih.

"Kamu mau ke mana, Fan? Ruangan Papa ada di sebelah sana!" tunjuk Sri pada arah yang berlawanan.

"Ah, bukan, Ma, Irfan hanya ingin melihat sesuatu."

"Apa? Bukankah yang penting sekarang adalah kesehatan Papa? Ayo kita lihat dia!"

Tangan Irfan ditarik, sementara ia terus menoleh melihat Fatih yang masuk ke dalam salah satu ruangan. Rasa penasarannya semakin memuncak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status